Sebelum hari yang penuh airmata ini tiba, aku adalah orang yang penuh bahagia. Setiap sudut cerita hidupku adalah perjuangan, tapi bersama bahagia. Tidak seperti hari ini ketika semuanya telah berbeda.
***
Airmata ku tak henti-hentinya mengalir setelah berhasil ku tahan beberapa menit yang lalu. Masih terbayang dan terus terulang pemandangan tak biasa yang ada didepanku sore ini. Apalagi yang lebih melukai hati ketika melihat sahabat sendiri bersama orang yang kucintai selama ini.
Aku menghempaskan diri seenaknya ke kasur dan mulai menangis lagi. Rasanya aku tak percaya jika sahabatku sendiri dengan sadar mengkhianatiku. Tapi adakah yang abadi di dunia yang fana ini? Tak terasa bantalku basah oleh airmataku, dan aku masih saja menangis. Ku pandangi langit langit hijau muda kamarku dengan pandangan kosong. Aku baru saja kehilangan sahabat dan seseorang yang kucintai dalam sekejap saja.
Tok..tok..tok..
“Din, ayo makan…” Suara ibu baru saja membuayarkan semua lamunan dan spontan menghentikan tangisku sekejap mata. Aku berusaha tidak mengeluarkan suara apapun agar ibu mengira aku tidur dan akan meneruskan makannya tanpaku. Sejenak aku merasa bersalah pada ibu, bagaimanapun ini telah menjadi trik semua anak masa sekarang ketika merasa ingin tak diganggu. Dan benar saja, setelah beberapa panggilan ibu akhirya menyerah dan melanjutkan makannya.
Tanpaku.
Sepahit apapun ceritanya nanti, jangan kehilangan rasa terima kasih pada kebersamaan dan cinta hari ini.
“Nanti biar ibu yang telepon.” Balas ibu tak mau kalah yang kemudian meneruskan menyapu sambil bernyanyi kecil..
Ibu memang cukup bahagia dengan kerja kerasku menyelesaikan kuliahku tepat empat tahun ini. Sejak ayah meninggalkan kami pada usia ku yang masih sangat muda, ibu telah bekerja keras dan menabung agar aku dan kakak semata wayangku bisa menyelesaikan pendidikan dengan baik. Tak berlebihan rasanya jika dia ingin kakak ku juga hadir pada acara wisuda.
Setelah menyelesaikan serangkaian tugas rumah dan mandi, aku duduk di teras dan menemani ibu menyelesaikan jahitannya. Ibu memang terampil menjahit dan telah terkenal di seluruh kompleks.
“Laila juga udah beres skripsinya?” Tanya ibu tiba-tiba.
“Udah bu, wisudanya barengan kog.” Jawabku tenang.
“Kalian gak mau kembaran aja kebayanya biar ibu yang jahit.” Lanjut ibu.
“Tadinya sih gitu bu, tapi kayaknya tante Sri udah siapin kebayanya Laila bu.” Aku berusaha meyakinkan ibu
Ibu memang menyanyangi Laila seperti anaknya sendiri. Tentu saja karena Laila, mantan sahabatku kemarin, sudah sering menginap dirumahku.
Tak ingin memperpanjang pembahasan menyakitkan ini, aku kembali ke kamar. Ku buka kembali lembaran skripsiku yang sudah siap untuk ku kumpulkan besok hari.
Ucapan Terima Kasih : Untuk Sahabatku, Laila yang telah merelakan siang dan malamnya turut berjuang menyelesaikan tugas ini. Tulis ku dengan begitu tulus, beberapa minggu lalu.
Saat terus membaca, tak terasa air mataku mengalir lagi membasahi pipi.
Aku memandang sekelliling kamarku, kamarku biasanya tak serapih ini di hari minggu, jika Laila ada di sini.
Saat terus membaca, tak terasa air mataku mengalir lagi membasahi pipi.
Aku memandang sekelliling kamarku, kamarku biasanya tak serapih ini di hari minggu, jika Laila ada di sini. Perlahan air mata menetes dari mataku, mengingat semua kenangan, kenangan bersama Rizky, dan juga Laila.
“Laila, aku kehilanganmu.” Batinku berbisik.
Aku takut akan segala macam kehilangan. Aku tak ingin kehilangan apapun. Aku tak kuat kehilangan Rizky ataupun Laila. Tapi, adakah hal yang abadi didunia ini?
Tawa berganti tangis
Cinta berganti khianat.
Riuh telah berganti sepi
dan
Aku terganti Laila.
***
Sesaat untuk Disini
Mereka berkata, semua akan baik baik saja. Satu hal yang kutau perihal luka hati adalah bahwa yang bisa menyembuhkannya adalah yang memberimu luka. Tapi, pernahkah ada luka yang sembuh tanpa sebuah maaf?
Hari yang dinantikan tiba, aku dan ibu saling berpandangan sesaat sebelum masuk ke aula tempat wisuda. Ibu akan masuk terlebih dahulu untuk duduk ditempat yang disediakan untuk orang tua, lalu aku dan teman-teman akan berbaris dan masuk dan duduk dikursi bertuliskan nama kami. Hal ini diatur sedemikian rapih agar tidak ada ijazah yang salah alamat.
Kami berbaris dengan toga berwarna kuning hitam. Sesaat setelah masuk ke aula berkapasitas 2000 orang tersebut, aku meneteskan air mata bahagiaku. Tentu saja aku tidak bisa mencari ibu di sekelilingku karena beliau ada di tribun tempat duduk orang tua. Namun entah mengapa walaupun aku tidak tau tepat posisi tempat duduk ibu, aku tetap merasa yakin bahwa ibu mengawasiku dan bahkan bisa mengetahui tempat duduk ku diantara lima ratus wisudawan dan wisudawati hari ini.
Namaku dipanggil untuk menerima ijazah dan untuk pemindahan tali toga. Tanda sah aku seorang sarjana sekarang. Setelah prosesi panjang dan melelahkan karena aku memang menggunakan sepatu berhak tinggi, mataku mencari ibu. Dan seperti yang telah ku pikirkan sebelumnya, tentu mata ibu mengawasiku ke mana-mana, karena baru saja aku mencari ibu, ibu telah berada tepat disampingku. Tak sulit menemukan ibuku diantara duaribu orang disini.
“Selamat yaa anakku.” Ucap ibu sembar memelukku yang kubalas dengan pelukan sebisanya.
“Bu, kita ke tempat foto yang disana.” Ajakku. Ayo berfoto. Kami melangkah ke salah satu stan foto yang memenuhi halaman.
“1, 2 , 3 senyum.” Tukang foto depan kami menghitung agar dan ibu mengeluarkan senyuman terbaik kami.
“Sekali lagi.” dan…
“tunggu, tunggu…“ Sebuah suara yang tak asing ikut meriuhkan suasana. Tiba tiba Laila dan Rizky sudah berdiri disamping ibu.
Aku berusaha sebisa mungkin untuk tersenyum. Dalam pelukan ibu, aku, Laila dan Rizky berfoto bersama.
****
Waktu akan menyembukan luka dan menceriakan kembali hati yang patah. Benarkah? Lupakah kau bahwa waktu tak pernah benar benar menyembuhkan? Itu hanya membuatmu terbiasa dengan rasa sakit.
Aku berusaha menjalani hidup dengan baik. Berusaha tegar dan kuat, tanpa harus memberi tahu ibu tentang cerita percintaanku yang malang. Namun, tak dapat di pungkiri, setiap sudut kota yang aku kunjungi untuk bertenang diri hanya membuatku kembali mengingat tentang Rizky, juga Laila.
Tak jarang, kami menghabiskan waktu bertiga, layaknya sahabat dan kelihatan tidak terpisahkan.
Laila dengan pembawaannya yang luwes dan mudah berteman, melengkapiku yang sulit membuka diri pada pertemanan. Menjadi penyelamat dan juru bicaraku saat kami bekerja kelompok dan juga berkumpul bersama teman-teman yang lain.
Dengan sekuat tenaga, aku berusaha untuk tidak menyesali bagian cerita hidupku yang terdengar malang saat ini.
Aku menyadari bahwa yang menyedihkan adalah pembawaanku yang membatasi pergaulan dan berteman dengan beberapa orang saja, menjadikan mereka duniaku, sehingga saat aku kehilangan yang beberapa orang, aku kehilangan semuanya.
****
Kita bisa berpura pura cinta, berpura pura bahagia, berpura pura kaya dan banyak lagi pura-pura lainnya. Tapi, ingat.. kita tak bisa selamanya seperti itu.
Malam ini ibu memasak makanan lebih banyak dari biasanya. Aku, Laila, dan Rizky menyantap makanan dengan lahap. Aku memang belum bercerita pada ibu tentang apapun. Cukuplah bagiku melihat ibu sebahagia hari ini. Aku pun ikut bahagia.
Sambil menyantap makanan, ibu tak henti hentinya bertanya banyak hal. Kemana saja Rizky beberapa minggu terakhir, kemana Laila akan mencari kerja, sembari berpesan agar Laila tak pernah melupakannya. Kali ini tak seorang pun dapat memahami perasaanku.
Aku masih belum paham mengapa pasangan yang berkhianat ini masih bisa muncul disini, tersenyum tanpa dosa seperti tak pernah terjadi apa-apa. Meminta maaf pun tidak.
Setelah makan, ibu merapikan meja dan dibantu oleh Laila. Sesekali kudengar Laila cekikan di dapur, entah apa yang dibahasnya bersama ibu. Apakah ibu tak bisa memahami perasaanku walau tanpa kuceritakan kisahku? Sejenak aku berpikir, mengapa ibu tak seperti ibu di sinetron yang bisa memahami anaknya tanpa harus bercerita.
Aku duduk di sofa sambil memijit kaki yang sudah pegal sejak tadi siang karena memakai high heels karena hari ini turut ambil bagian dalam golongan cewek yang menyiksa diri dan kaki dengan heels setinggi tujuh centimeter. Sesuatu yang tak mudah dipahami oleh kaum pria adalah wanita rela kesakitan agar terlihat cantik.
Di sudut ruangan, Rizky sibuk mengutak-atik handphonenya. Hei. Sebenarnya kita ini sedang apa? Batinku ingin berteriak sekeras-kerasnya. Apakah apa yang kulihat beberapa hari yang lalu hanya mimpi? Apakah Rizky masih benar-benar milikku? Mengapa semua terlihat baik-baik saja? Apakah aku tak berhak atas sebuah permintaan maaf?
Malam kian larut, Rizky dan Laila berpamitan. Aku masuk ke kamarku setelah hari yang panjang. Merebahkan diri, bukan untuk sejenak. Aku ingin pergi dari segala kepura-puraan ini. Namun ,tak dapat kusangkal, ada sedikit kebahagiaan melihat kembali Rizky dan Laila hari ini. Terlepas dari semua sakit yang ada. Aku tetap bahagia bisa bertemu mereka.
Apakah dengan pura-pura bahagia suatu ketika kita akan bisa bahagia tak peduli apapun keadaannya? Setelah semua pertanyaan tanpa jawaban berputar di kepalaku, aku tertidur.
Aku lelah dengan segala kepura-puraan. Entah sampai kapan, aku akan terus berbohong pada ibu.
***
Perpisahan terjadi karena salah satu pihak sudah tidak ingin bersama.***Kandasnya cerita cintaku dengan Rizky, karena Laila membuat rasa percaya diriku hilang.Aku bertanya tanya apakah ada yang salah dengan diriku, dalam hati aku sangat ingin bertemu Rizky untuk bertanya, meminta penjelasan, dan mengakhiri semuanya dengan lebih jelas, tapi yang terjadi adalah sepertinya Rizky tak berniat menemuiku, atau sekadar mengirim pesan permintaan maaf.Mungkin karena aku yang terlambat menyadari gerak gerik Rizky dan Laila, yang entah sejak kapan sudah saling menyukai.Saat Rizky tidak mengabariku seharian, aku tak pernah menaruh curiga, ataupun saat Laila dan Rizky dan Laila pulang bersama setelah menghabiskan waktu hingga larut malam dirumahku.Perihal penyebab perpisahan ini, aku masih terus menyalahkan diri sendiri. Sambil berderai air mata, aku menemukan sebuah kalimat yang kemudian menguras air mataku lebih
Musim hujan baru saja dimulai diawal November. Dibanding dengan daerah lainnya, kota ku memiliki musim kemarau yang lebih panjang. Musim hujan baru dimulai pada awal atau pertengahan bulan November. Hari ini aku sedang dalam perjalanan untuk wawancara kerja ketika hujan turun tanpa aba-aba dan memaksaku untuk berteduh karena tidak membawa jas hujan.“Permisi…” aku setengah berbisik saat berjalan di depan beberapa pengendara yang juga sedang berteduh ditempat yang sama. Aku memilih melangkah terus hingga ke pojokan karena tempat berteduh ini sudah mulai ramai.“akhirnya hujan juga.” Ucap seorang ibu berdaster dengan motif batik, dan hanya dibalas senyum oleh lawan bicaranya. Sepertinya mereka pun tidak saling kenal,, tapi namanya juga ibu-ibu apa saja pasti ingin dibahas.“Mau kerja dek?” Ibu berdaster itu berpaling kepadaku. Mungkin karena lawan bicara di sampingnya tidak menanggapi obrolan hujannya beberapa menit yang lalu.“Baru mau wawancara kerja
Tahukah kau bahwa kini mendengar namamu, tak lagi membuat hatiku merasakan bahagia?Mendengar namamu, aku tak lagi ingin membuatku bersemangat untuk bercerita kisah kita.Mendengar namamu tak juga membuatku bersedih.Mendengar namamu, berulang. Tak lagi membuatku ingin berlari memelukmu. Sungguh, kamu bukan siapa-siapa lagi di hati.***Suasana makan siang kami berlangsung dengan cukup khidmat, kaku dan dingin tanpa canda dan tawa seperti biasanya.Hal ini terjadi karena adanya orang asing yang semeja dengan kami. Aku duduk di samping Rina sedang di depanku pria pemilik sah gunung es duduk dan makan tanpa sedikit pun peduli pada kami. Aku berharap makhluk di depanku ini segera mengakhiri makannya namun harapan ini nampaknya sia-sia karena dia tetap di sana hingga waktu makan siang pun berakhir.Seusai m
Liburan akhir tahun pun tiba, dengan rutinitas yang melelahkan sepanjang tahun, kini saatnya melepas kepenatan. Aku memang tidak memiliki rencana liburan ke mana pun, menghabiskan waktu dirumah bersama ibu adalah hal yang sangat kusukai.Memiliki tujuh hari liburan adalah hal yang menyenangkan.Laila pun sedang menghabiskan liburan akhir tahun di sini. Cukup lama kami tak bertemu dan bertukar kabar. Laila baruTiga bulan pertama kepergiannya ke Jakarta, kami masih sering berkirim pesan, lalu masing- masing akhirnya larut dalam kesibukannya masing-masing. Barulah minggu lalu Laila memberi tahu bahwa dia akan segera pulang liburan.Aku mengambil handhoneku, berniat untuk mengirim pesan ke Laila tiba-tiba sebuah pesan singkat masuk dari pak Adrian :"Din, nonton yuk. Ada film baru. Mumpung libur” aku tertegun, mengucak mata seakan tak percaya."Apakah pak Adrian sedang berusaha mendekatiku?" tanyaku dalam hati.Bagaimana jika d
Liburan akhir tahun pun tiba, dengan rutinitas yang melelahkan sepanjang tahun, kini saatnya melepas kepenatan. Aku memang tidak memiliki rencana liburan ke mana pun, menghabiskan waktu dirumah bersama ibu adalah hal yang sangat kusukai.Memiliki tujuh hari liburan adalah hal yang menyenangkan.Laila pun sedang menghabiskan liburan akhir tahun di sini. Cukup lama kami tak bertemu dan bertukar kabar. Laila baruTiga bulan pertama kepergiannya ke Jakarta, kami masih sering berkirim pesan, lalu masing- masing akhirnya larut dalam kesibukannya masing-masing. Barulah minggu lalu Laila memberi tahu bahwa dia akan segera pulang liburan.Aku mengambil handhoneku, berniat untuk mengirim pesan ke Laila tiba-tiba sebuah pesan singkat masuk dari pak Adrian :"Din, nonton yuk. Ada film baru. Mumpung libur” aku tertegun, mengucak mata seakan tak percaya."Apakah pak Adrian sedang berusaha mendekatiku?" tanyaku dalam hati.Bagaimana jika d
Siang ini aku memutuskan mengunjungi Laila. Kedatanganku disambut oleh mbak Iyah yang bekerja di rumah Laila sejak lama."Neng Diana, silahkan masuk.""Makasih mbak Iyah, Lailanya ada?" Tanyaku."Ada. Di kamar. Langsung aja ke Kamarnya."Walaupun sudah hampir empat tahun aku tak ke rumah Laila, kedatanganku saat ini tetap disambut dengan hangat oleh mbak Iyah.Aku mengetuk pintu kamar Laila sekali, disusul pintu yang terbuka. Terlihat Laila masih dengan baju tidur dan mata yang membengkak.Benar dugaanku. Laila sedang menangis, dan mungkin saja sudah menangis sejak kemarin. Dugaanku diperkuat oleh banyaknya tisu di tempat sampah kecil berwarna ungu muda di depan pintu kamar mandi Laila."Laaa.." Aku memeluknya."Pak Adrian sudah cerita semuanya. Maafin aku yang ga pernah bertanya tentang kamu, jarang ke sini." Lanjutku"Gapapa, Din." Aku minta maaf sama kamu pernah ganggu hubungan kamu sama Rizky. Kamu berhak bahagia sam
Mungkin luka tak pernah pulih karena kita tak pernah memaafkan.Setelah kejadian makan malam bersama Pak Adrian, ibu jadi sering bertanya siapa pak Adrian. Jujur saja, aku masih merasa bingung dengan sikap pak Adrian yang menghilang setelah kejadian makan malam bersama ibu, aku bertanya-tanya mengapa tak ada pesan yang dikirimkan pak Adrian setelah pulang dari rumahku malam itu. Apakah aku terlalu berharap pak Adrian mengirimkan pesan padaku setiap hari? Kali ini aku kembali memberi peringatan pada diriku untuk tidak mudah merasa nyaman pada siapa pun karena akan mengakibatkan luka. Pak Adrian mungkin hanya kasian padaku.Sejak lulus kuliah dan kandasnya cerita cintaku dengan Rizky, aku selalu menjaga hatiku dengan baik untuk tidak pernah jatuh cinta pada siapapun. Sikapku yang termasuk cuek dan tidak peduli pada sederet pria yang berusaha masuk ke dalam kehidupanku telah membuatku hidup mandiri dan terlampau keras pada diri sendir
Untukmu yang ku sebut harta, hadiah pemberian Tuhan yang terindah dalam hidup.Berulang hatiku patah karenamu, banyak kali kau membuatku kesal dan marah. Namun, sebanyak itu pula maafku ku berikan padamu, entah saat kau meminta maaf, atau pun saat kau hanya mengucapkan canda yang berarti kau menyesalinya..Heiii kamu, hartaku.Satu- satunya yang pernah membuat hati berdegub kencang ketika kau menawarkan temu,yang membuatku berlari kegirangan mengelilingi kamar ku yang kecil ketika kau datang membawa kejutan, namun berusaha keluar dengan ekspresi wajah yang sedang sedang saja.Kamu, yang membuatku menahan sesak tangis saat kau memilih yang lain dan mengabaikanku, tapi yang harus kulakukan adalah menghadapi hari dengan senyuman.Ya, kamu.Apa kabarmu hari ini?hatiku rindu.Hatiku rindu saat dimana kau memelukku, mataku rindu ingin memandang wajah dan senyummu yang indah, telingaku rindu akan canda, aku ingin tertaw
Untukmu yang ku sebut harta, hadiah pemberian Tuhan yang terindah dalam hidup.Berulang hatiku patah karenamu, banyak kali kau membuatku kesal dan marah. Namun, sebanyak itu pula maafku ku berikan padamu, entah saat kau meminta maaf, atau pun saat kau hanya mengucapkan canda yang berarti kau menyesalinya..Heiii kamu, hartaku.Satu- satunya yang pernah membuat hati berdegub kencang ketika kau menawarkan temu,yang membuatku berlari kegirangan mengelilingi kamar ku yang kecil ketika kau datang membawa kejutan, namun berusaha keluar dengan ekspresi wajah yang sedang sedang saja.Kamu, yang membuatku menahan sesak tangis saat kau memilih yang lain dan mengabaikanku, tapi yang harus kulakukan adalah menghadapi hari dengan senyuman.Ya, kamu.Apa kabarmu hari ini?hatiku rindu.Hatiku rindu saat dimana kau memelukku, mataku rindu ingin memandang wajah dan senyummu yang indah, telingaku rindu akan canda, aku ingin tertaw
Mungkin luka tak pernah pulih karena kita tak pernah memaafkan.Setelah kejadian makan malam bersama Pak Adrian, ibu jadi sering bertanya siapa pak Adrian. Jujur saja, aku masih merasa bingung dengan sikap pak Adrian yang menghilang setelah kejadian makan malam bersama ibu, aku bertanya-tanya mengapa tak ada pesan yang dikirimkan pak Adrian setelah pulang dari rumahku malam itu. Apakah aku terlalu berharap pak Adrian mengirimkan pesan padaku setiap hari? Kali ini aku kembali memberi peringatan pada diriku untuk tidak mudah merasa nyaman pada siapa pun karena akan mengakibatkan luka. Pak Adrian mungkin hanya kasian padaku.Sejak lulus kuliah dan kandasnya cerita cintaku dengan Rizky, aku selalu menjaga hatiku dengan baik untuk tidak pernah jatuh cinta pada siapapun. Sikapku yang termasuk cuek dan tidak peduli pada sederet pria yang berusaha masuk ke dalam kehidupanku telah membuatku hidup mandiri dan terlampau keras pada diri sendir
Siang ini aku memutuskan mengunjungi Laila. Kedatanganku disambut oleh mbak Iyah yang bekerja di rumah Laila sejak lama."Neng Diana, silahkan masuk.""Makasih mbak Iyah, Lailanya ada?" Tanyaku."Ada. Di kamar. Langsung aja ke Kamarnya."Walaupun sudah hampir empat tahun aku tak ke rumah Laila, kedatanganku saat ini tetap disambut dengan hangat oleh mbak Iyah.Aku mengetuk pintu kamar Laila sekali, disusul pintu yang terbuka. Terlihat Laila masih dengan baju tidur dan mata yang membengkak.Benar dugaanku. Laila sedang menangis, dan mungkin saja sudah menangis sejak kemarin. Dugaanku diperkuat oleh banyaknya tisu di tempat sampah kecil berwarna ungu muda di depan pintu kamar mandi Laila."Laaa.." Aku memeluknya."Pak Adrian sudah cerita semuanya. Maafin aku yang ga pernah bertanya tentang kamu, jarang ke sini." Lanjutku"Gapapa, Din." Aku minta maaf sama kamu pernah ganggu hubungan kamu sama Rizky. Kamu berhak bahagia sam
Liburan akhir tahun pun tiba, dengan rutinitas yang melelahkan sepanjang tahun, kini saatnya melepas kepenatan. Aku memang tidak memiliki rencana liburan ke mana pun, menghabiskan waktu dirumah bersama ibu adalah hal yang sangat kusukai.Memiliki tujuh hari liburan adalah hal yang menyenangkan.Laila pun sedang menghabiskan liburan akhir tahun di sini. Cukup lama kami tak bertemu dan bertukar kabar. Laila baruTiga bulan pertama kepergiannya ke Jakarta, kami masih sering berkirim pesan, lalu masing- masing akhirnya larut dalam kesibukannya masing-masing. Barulah minggu lalu Laila memberi tahu bahwa dia akan segera pulang liburan.Aku mengambil handhoneku, berniat untuk mengirim pesan ke Laila tiba-tiba sebuah pesan singkat masuk dari pak Adrian :"Din, nonton yuk. Ada film baru. Mumpung libur” aku tertegun, mengucak mata seakan tak percaya."Apakah pak Adrian sedang berusaha mendekatiku?" tanyaku dalam hati.Bagaimana jika d
Liburan akhir tahun pun tiba, dengan rutinitas yang melelahkan sepanjang tahun, kini saatnya melepas kepenatan. Aku memang tidak memiliki rencana liburan ke mana pun, menghabiskan waktu dirumah bersama ibu adalah hal yang sangat kusukai.Memiliki tujuh hari liburan adalah hal yang menyenangkan.Laila pun sedang menghabiskan liburan akhir tahun di sini. Cukup lama kami tak bertemu dan bertukar kabar. Laila baruTiga bulan pertama kepergiannya ke Jakarta, kami masih sering berkirim pesan, lalu masing- masing akhirnya larut dalam kesibukannya masing-masing. Barulah minggu lalu Laila memberi tahu bahwa dia akan segera pulang liburan.Aku mengambil handhoneku, berniat untuk mengirim pesan ke Laila tiba-tiba sebuah pesan singkat masuk dari pak Adrian :"Din, nonton yuk. Ada film baru. Mumpung libur” aku tertegun, mengucak mata seakan tak percaya."Apakah pak Adrian sedang berusaha mendekatiku?" tanyaku dalam hati.Bagaimana jika d
Tahukah kau bahwa kini mendengar namamu, tak lagi membuat hatiku merasakan bahagia?Mendengar namamu, aku tak lagi ingin membuatku bersemangat untuk bercerita kisah kita.Mendengar namamu tak juga membuatku bersedih.Mendengar namamu, berulang. Tak lagi membuatku ingin berlari memelukmu. Sungguh, kamu bukan siapa-siapa lagi di hati.***Suasana makan siang kami berlangsung dengan cukup khidmat, kaku dan dingin tanpa canda dan tawa seperti biasanya.Hal ini terjadi karena adanya orang asing yang semeja dengan kami. Aku duduk di samping Rina sedang di depanku pria pemilik sah gunung es duduk dan makan tanpa sedikit pun peduli pada kami. Aku berharap makhluk di depanku ini segera mengakhiri makannya namun harapan ini nampaknya sia-sia karena dia tetap di sana hingga waktu makan siang pun berakhir.Seusai m
Musim hujan baru saja dimulai diawal November. Dibanding dengan daerah lainnya, kota ku memiliki musim kemarau yang lebih panjang. Musim hujan baru dimulai pada awal atau pertengahan bulan November. Hari ini aku sedang dalam perjalanan untuk wawancara kerja ketika hujan turun tanpa aba-aba dan memaksaku untuk berteduh karena tidak membawa jas hujan.“Permisi…” aku setengah berbisik saat berjalan di depan beberapa pengendara yang juga sedang berteduh ditempat yang sama. Aku memilih melangkah terus hingga ke pojokan karena tempat berteduh ini sudah mulai ramai.“akhirnya hujan juga.” Ucap seorang ibu berdaster dengan motif batik, dan hanya dibalas senyum oleh lawan bicaranya. Sepertinya mereka pun tidak saling kenal,, tapi namanya juga ibu-ibu apa saja pasti ingin dibahas.“Mau kerja dek?” Ibu berdaster itu berpaling kepadaku. Mungkin karena lawan bicara di sampingnya tidak menanggapi obrolan hujannya beberapa menit yang lalu.“Baru mau wawancara kerja
Perpisahan terjadi karena salah satu pihak sudah tidak ingin bersama.***Kandasnya cerita cintaku dengan Rizky, karena Laila membuat rasa percaya diriku hilang.Aku bertanya tanya apakah ada yang salah dengan diriku, dalam hati aku sangat ingin bertemu Rizky untuk bertanya, meminta penjelasan, dan mengakhiri semuanya dengan lebih jelas, tapi yang terjadi adalah sepertinya Rizky tak berniat menemuiku, atau sekadar mengirim pesan permintaan maaf.Mungkin karena aku yang terlambat menyadari gerak gerik Rizky dan Laila, yang entah sejak kapan sudah saling menyukai.Saat Rizky tidak mengabariku seharian, aku tak pernah menaruh curiga, ataupun saat Laila dan Rizky dan Laila pulang bersama setelah menghabiskan waktu hingga larut malam dirumahku.Perihal penyebab perpisahan ini, aku masih terus menyalahkan diri sendiri. Sambil berderai air mata, aku menemukan sebuah kalimat yang kemudian menguras air mataku lebih
Sebelum hari yang penuh airmata ini tiba, aku adalah orang yang penuh bahagia. Setiap sudut cerita hidupku adalah perjuangan, tapi bersama bahagia. Tidak seperti hari ini ketika semuanya telah berbeda.***Airmata ku tak henti-hentinya mengalir setelah berhasil ku tahan beberapa menit yang lalu. Masih terbayang dan terus terulang pemandangan tak biasa yang ada didepanku sore ini. Apalagi yang lebih melukai hati ketika melihat sahabat sendiri bersama orang yang kucintai selama ini.Aku menghempaskan diri seenaknya ke kasur dan mulai menangis lagi. Rasanya aku tak percaya jika sahabatku sendiri dengan sadar mengkhianatiku. Tapi adakah yang abadi di dunia yang fana ini? Tak terasa bantalku basah oleh airmataku, dan aku masih saja menangis. Ku pandangi langit langit hijau muda kamarku dengan pandangan kosong. Aku baru saja kehilangan sahabat dan seseorang yang kucintai dalam sekejap saja.Tok..tok..tok..“Din, ay