"Jhonny, dia minta Papa, menandatangani surat perjanjian. Bahwa The One Property adalah miliknya, Jhonny ingin menjadi pemilik saham terbesar di perusahaan kita. Jika tidak, kerjasama perusahaan kita dengan Hotel Hilton batal."
"Apa? Kurang ajar sekali dia itu? Seorang anak haram, yang ingin menjadi pangeran. Menghalalkan segala cara demi memperoleh keinginan."
"Lalu apa Papa, menandatanganinya?"
Papa menggelengkan kepala beberapa kali. Ia menunjuk ke lantai, sebuah sobekan kertas berwarna putih terjatuh di bawah ranjang.
Ini tak bisa dibiarkan. Tingkah Jhonny
"Berikan setengah saham perusahaan di The One Property pada Jhonny. Sebagai ganti telah menelantarkannnya selama dua puluh lima tahun ini."Kata-kata dari perempuan yang mengaku sebagai mama dari Jhonny terus terngiang. Tanpa malu perempuan yang menjadi selingkuhan, sekaligus perusak rumah tangga Papa dan Mama itu meminta setengah saham perusahaan untuk si bedebah Jhonny. Cih!Belum tentu Jhonny benar-benar anak kandung Papa! Bisa saja mereka hanya memanfaatkan harta serta sifat kasihan dari Papa.Semua ini tak bisa terus dibiarkan. Aku menatap tumpukan map yang kuambil dari kamar Papa beberapa hari yang lalu. Segera duduk dan membuka lembar d
Mobil perlahan melaju meninggalkan gedung The One Property. Mulai membaur dengan kendaraan lain. Jalanan ibukota selalu ramai, macet di mana-mana dan semua kendaraan bergerak perlahan.Matahari bersinar begitu teriknya, serasa membakar seluruh pori-pori. Aku ingin segera tiba di rumah. Segelas capuccino dingin pasti akan terasa nikmat.Oven berjalan. Ya, berkendara di siang hari di jalanan ibukota bagai masuk oven."Penampilan anda luar biasa, Tuan!"Aku menoleh, mengalihkan pandangan dari padatnya jalan pada lelaki berkacamata yang duduk d
"Mobil Alicia, tidak ada di garasi. Alicia, belum terlihat pulang dari sekolah!"Aku mengulangi kata-kata yang disampaikan oleh security yang bertugas berjaga di gerbang."Astaga, kemana gadis kecilku pergi? Tidak biasanya dia pulang terlambat. Apalagi tanpa memberi kabar!" Papa meracau, ia terlihat panik dan bingung."Tenanglah, Bram. Kita pasti akan menemukan Alicia," ujar Om Pram yang mencoba menenangkan Papa.Di mana Alicia?Tak biasanya dia pul
Hari sudah mulai gelap. Matahari telah pulang ke peraduannya. Bulan bersiap menerangi Bumi. Tinggallah aku seorang diri duduk di samping ranjang Papa. Om Pramudya sudah pamit pulang sejak pukul lima sore."Alex, cari adikmu segera. Jangan biarkan mereka menyakitinya!""Tentu Pa, serahkan semua pada Alex. Papa, jangan terlalu memikirkan semua ini. Istirahatlah," jawabku."Hubungi polisi segera ….""Iya, Pa. Tenanglah."Aku memotong perkataan Papa. Aku tahu
Empat puluh menit berkendara. Aku memasuki pintu gerbang Polsek Kebayoran Lama. Tak banyak orang berlalu lalang. Semoga saja aku masih bisa membuat laporan.Aku segera keluar dari mobil. Melangkah menuju kantor pintu masuk. Di depan sebuah ruangan ada meja kayu berwarna cokelat terang bertuliskan informasi. Ada sekat dari kaca berwarna putih tebal yang memberi jarak antara tamu dan lelaki di balik meja itu.Seorang lelaki berseragam cokelat yang duduk di belakang kaca berdiri, "Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?"Melihatku berdiri mematung menatap ruangan di belakangnya lelaki di balik meja informasi tadi menyapaku. Suaranya tegas dan ke
"Lepaskan, Tamara!" seruku pelan.Tiing!Lift terbuka. Dua orang lelaki berdiri di depan pintu menatap kami dengan tatapan penuh tanya. Aku segera mendorong Tamara menjauh. Melepaskan pelukannya.Tamara mundur beberapa langkah ke belakang. Sepertinya gadis itu tak menduga sikap tiba-tibaku ini. Hampir ia terjatuh, menabrak dinding lift bagian kanan."Alex?"Wajahnya memerah. Entah marah atau malu aku memperlakukannya dengan kasar tadi, terserah!
Byuur!Terdengar suara air yang tumpah. Dingin, sesuatu disiramkan ke tubuhku."Bangun, Tuan muda!"Seseorang menepuk pipiku dengan keras beberapa kali."Bangun!"Kali ini suaranya lebih keras dari sebelumnya. Aku terkesiap, refleks membuka dan mengerjapkan mata beberapa kali. Seorang lelaki yang ikut memukuliku di dalam klub tadi berdiri. Di samping kakinya ada ember kosong. Air menetes dari baju dan rambutku.
"Diam, ada yang datang!"Aku merangkul tubuh Tamara. Naluri lelakiku selalu tahu kapan saatnya untuk melindungi seorang wanita. Ya, walaupun dia adalah seorang pengkhianat. You know lah."Siapa disana?" bentak suara baritone itu. Terlihat sesosok lelaki yang berjarak sekitar sepuluh meter dariku dan Tamara. Bunyi sepatunya yang menapak ke lantai keramik dengan keras semakin dekat.Cahaya dari lampu senter terlihat bergerak-gerak ke arah kami. Aku merangkul Tamara, berjongkok dibalik beberapa tumpukan meja dan kursi kayu."Heh, siapa disana?"Bodoh. Dasar lelaki bodoh! Pada siapa ia bertanya? Pada angin? Kalaupun ada orang, pasti siapapun itu tak
~Perpisahan paling menyakitkan adalah terpisahnya dua hati tanpa kejelasan alasan. Saling memendam perasaan tanpa bisa menjelaskan.~"Wulan sedih Ali, ternyata selama ini Emak Wulan masih hidup, tapi dia gak pernah kasih kabar sedikit pun," ungkap Wulan di sela isak tangisnya."Sudahlah Wulan. Mungkin semua ini sudah takdir."Aku menepuk-nepuk punggung Wulan. Setelah bertemu dan saling mengungkapkan isi hati dengan ibunya beberapa jam, kami kembali pulang."Emak Jahat, Ali. Dia tega ninggalin Wulan dan abah.""Bukan ibumu yang meninggalkan, tetapi takdir memaksanya meninggalkan kalian. Dia juga terpaksa."
"Nak order ape?" Pelayan tadi kembali mengajukan pertanyaan. Menatap bingung pada kami berdua. Duduk di kursi restoran tapi tak memesan makanan. "Emak …." Suara Wulan bergetar. Matanya berkaca-kaca dan memerah. Pramusaji yang mendatangi meja kami refleks. Menatap Wulan dengan serius, kedua alisnya mengernyit, "Wulan?" "Kamu teh, Wulan Kirana?" Akhirnya. Perjumpaan yang kubayangkan seperti perkiraan. Istriku $ berdiri dari kursinya memeluk pramusaji di depannya. Sang pramusaji membeku. Kertas catatan order dan bolpoinnya terjatuh.
"Terima kasih untuk malam yang indah ini, Sayang." Wulan mencium bibirku setelah berkata. "Sudah tugasku untuk membahagiakanmu," ucapku sambil menatap mata bulat Wulan, "tidurlah, besok kita akan mulai jalan-jalan." Wulan tersenyum, wajahnya lebih ceria dari saat pertama aku mengenalnya dulu. Tak terlihat wajah lelah bahkan mengantuk seperti sebelum kuajak dia mengunjungi Suria KLCC. "Kemana? Besok kita akan kemana?" tanya Wulan bersemangat. "Tidurlah, besok kamu akan tahu kemana tujuan kita." Aku menaikkan selimut sampai dadanya. Ia menurut dan mulai memejamkan matanya. Malam ini akan menjadi malam yang takkan terlupakan oleh Wu
~Tempat ternyaman~ Aku memeluk Wulan dari belakang. Kami menikmati malam pertama di tengah kota Kuala Lumpur dari balkon hotel. Gedung-gedung tinggi menjulang membuat kota ini terlihat seperti kota metropolitan. Bias lampu warna-warni berpendar menyemarakkan malam. Di bawah sana jalanan beraspal padat oleh berbagai kendaraan. Bunyi klakson dan mesin mobil menggema hingga balkon, tempat kami berdiri. "Apa kau suka dengan bulan madu kita?" "Tentu saja, ini pertama kalinya Wulan keluar negeri." Wulan mendongak ke wajahku. Aku menghadiahinya sebuah ciuman hangat. Ia tersenyum.
KLIA 2, Malaysia. Aku menggandeng istriku, telapak tangan Wulan terasa sangat dingin, "Apa kamu kedinginan?" Wulan menggeleng pelan, "Wulan kalo gerogi emang suka panas dingin begini." Tersenyum menatap wajah istriku itu. Ini pengalaman pertamanya naik pesawat terbang. Aku berjalan lebih cepat. Satu langkah kakiku sama dengan dua kali langkah Wulan. Sontak istriku itu menarik tangan, "Kenapa sih, cepet-cepet?" "Pelan-pelan," katanya lagi. Aku tersenyum tak menjawab pertanyaan Wulan, hanya memelankan jalan. Keluar dari koridor para penumpang berbelok ke arah kiri menuju baggage claim area. Ada banyak passenger lain yang juga mencari koper mereka.
Pukul sembilan pagi aku dan Wulan sudah selesai bersiap-siap. Abah Dadang dan dua asisten rumah tangga mengantar sampai di teras. "Abah jaga diri ya, Jangan lupa makan. Kalau Wulan telepon harus diangkat." "Iya, Neng geulis." Keduanya melepaskan pelukan. Aku ganti bersalaman dengan Abah Dadang. "Kami berangkat dulu," pamitku kemudian. Mengajak istriku segera masuk ke dalam mobil. Dua jam dari sekarang pesawat akan take off. Perjalanan dari villa menuju bandara memakan waktu sekitar satu setengah jam. "Ini pertama kalinya Wulan, naik pesawat."  
~Hidup terlalu singkat untuk digunakan membahas masa lalu. Kehidupan yang sekarang adalah sebaik-baiknya pilihan yang sudah kita ambil.~***Kucium kening Wulan. Istriku mengerjap, bulu mata lentiknya bergetar ia menatapku sejenak, "Gak tidur?"Aku menggelengkan kepala pelan. Mengelus rambut sehitam jelaganya."Jam berapa sekarang?""Pukul 00.15 Sayang," jawabku.Sejak kami resmi menjadi suami istri, entah sudah berapa kali aku bercinta dengannya. Seakan-akan tak pernah puas, dan selalu kurang. Wulan pasti kelelahan meladeni keinginanku.
Tok … tok … tok!Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku dan Wulan sama-sama kelelahannya. Setelah bercinta di sofa kami melanjutkannya di kamar."Sayang, bangun." Aku mencoba membangunkan Wulan. Ia mengerjapkan mata, menoleh ke arahku."Ada apa?""Ada yang mengetuk pintu.""Ahhh, kamu yang bukain. Aku males," sahutnya sambil membelakangiku. Menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lebih erat.Terpaksa aku bangun. Meraih celana pendek dan kaos yang tercecer di lantai. Membuka pintu dan keluar dari kamar.
Aku merangkul Wulan, membimbingnya masuk ke dalam villa kami. Menutup pintunya kembali. Aku mengajak Wulan duduk di sofa."Apa?" tanya Wulan dengan penasaran.Langsung saja kulumat bibir ranum Wulan. Suasana rumah sangat sepi, tak ada orang lain selain kami. Tentu saja kesempatan ini tak boleh dilewatkan.Kali ini aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Kuarahkan istriku untuk duduk di atas pangkuan. Wulan bahkan mungkin tak sadar jika sudah berada di atasku. Ia memejamkan mata, sementara bibir kami terus bertaut. Sesekali li*ahnya ikut terhisap.Tanganku mulai bergerak lincah menjamah tubuh sintal Wulan. Aku mulai hapal dimana saja titik sensitif istriku ini. Menghentikan pagutan kami, beralih pad