"Diam, ada yang datang!"
Aku merangkul tubuh Tamara. Naluri lelakiku selalu tahu kapan saatnya untuk melindungi seorang wanita. Ya, walaupun dia adalah seorang pengkhianat. You know lah.
"Siapa disana?" bentak suara baritone itu. Terlihat sesosok lelaki yang berjarak sekitar sepuluh meter dariku dan Tamara. Bunyi sepatunya yang menapak ke lantai keramik dengan keras semakin dekat.
Cahaya dari lampu senter terlihat bergerak-gerak ke arah kami. Aku merangkul Tamara, berjongkok dibalik beberapa tumpukan meja dan kursi kayu.
"Heh, siapa disana?"
Bodoh. Dasar lelaki bodoh! Pada siapa ia bertanya? Pada angin? Kalaupun ada orang, pasti siapapun itu tak
"Ehhm, Alex, bisakah kau pertimbangkan tentang hubungan kita?"Haruskah aku memberi Tamara kesempatan?Pertunanganku berakhir sebelum rasa cinta lahir. Sebelum kumulai, jalan cerita antara aku dan Tamara telah usai."Sekarang giliran Anda, memberikan informasi!"Suara tegas seorang polisi yang bertugas mencatat keterangan membuyarkan lamunan. Aku mengangguk dan mendekat di meja Polisi yang bertugas. Alicia berdiri dari duduknya."Siapa nama Anda, sesuai di Kartu Ta
Pov Tamara Hilton.[Datanglah ke klub Heaven segera, Sayang!]20.00 WIB."Huuh, dasar brengsek!?"Kulempar ponsel ke atas ranjang, tanpa membalasnya.
POV Tamara Hilton.POV Tamara Hilton."Kita sudah sampai."Suara Alex menyadarkan dari kesibukanku, berselancar di media sosial.Aku segera mendongak dari layar ponsel. Menatap ke depan kaca. Tertulis papan nama besar Havana Club. Papan nama itu dikelilingi lampu berwarna putih dan hijau yang berkedip tiap beberapa menit. Tempat parkir ini telah penuh oleh kendaraan.Sepanjang perjalanan tadi kami tak banyak berkata. Aku sengaja menyibukkan diri memainkan ponsel. Sementara Alex mengemudikan Honda Brio merahku. Aku hanya sekali memberi petunjuk, Havana Klub. Sebuah klub malam terkenal. Alex pun langsung tahu dan mengemudikan mobil ke tempat itu, sepertinya Alex sudah pernah perg
POV Tamara Hilton.Jhonny menindih tubuhku, ia mulai melakukan aksi bejatnya. Jika dulu aku melakukannya dengan sukarela karena cinta. Kini, aku merasa diruda paksa.Mobil Jhonny bergerak perlahan. Mengikuti hentakan rudal miliknya yang mulai masuk ke dalam daerah pribadiku. Semoga tak ada yang tahu apa yang sedang kami lakukan di dalam sini.Aku jijik, muak, benci dengan diriku sendiri. Namun, apa yang bisa kulakukan?Seandainya Jhonny tau bukan kenikmatan yang kurasa. Hanya kesakitan dan keterpaksaan. Aku berteriak memanggil nama Papa dan Mam
POV Tamara Hilton"Diam, ada yang datang!"Alex merangkul tubuhku, ada rasa nyaman dan hangat dalam perlindungannya. Aku menatap wajah tampannya. Tak bisakah dia memberiku kesempatan?"Siapa disana?" bentak suara baritone itu.Seketika aku mengalihkan pandangan dari wajah Alex. Mencari arah suara tadi. Terlihat sesosok lelaki yang berjarak sekitar sepuluh meter dariku dan Alex. Bunyi sepatunya yang menapak ke lantai keramik dengan keras semakin dekat. Aku meremas tanganku yang basah.Cahaya dari lampu senter terlihat bergerak-gerak ke arah kami. Alex merangkulku lebih erat, kami menunduk, berjongkok dibalik beberapa tumpu
POV Alexander Ibrahim"Alex, bangun!""Alex … Alicia, kita sudah sampai. Bangunlah!""Alex … Alicia," panggil sebuah suara laki-laki.Aku berusaha membuka mata yang terasa sangat lengket, masih ingin terpejam. Mengerjap beberapa kali. Kulihat Om Pramudya sudah ada di samping pintu mobil. Sinar mentari pagi menerobos lewat sela pintu.Menoleh ke bawah, Alicia tertidur dengan lelap di atas pahaku. Beberapa helai rambutnya menutupi wajah. Mulut Alicia sedikit terbuka, posisi tidurnya miring."Bangun, Alicia!"
Pov Alexander Ibrahim.Tok … tok … tok!Terdengar suara pintu kamar yang diketuk beberapa kali. Aku tersadar, kembali ke alam nyata. Menyudahi lamunanku tentang Tamara dan Wulan. Dua wanita dengan sifat dan perilaku berbeda."Siapa?""Bik Asih, Den," jawab suara di depan pintu."Masuk aja, gak dikunci!"Kenop pintu tertarik ke bawah. Tak berapa lama pintu te
Bik Asih telah keluar dari kamar. Aku menatap pantulan wajah di cermin. Beberapa plaster tertempel. Satu di pipi, di kening atas mata, dan di sudut bibir.Wajah tampanku ini adalah aset masa depan. Awas saja jika para anak buah Jhonny tidak mendapatkan hukuman setimpal atas apa yang mereka perbuat.Selesai diobati oleh Bik Asih tadi, aku masih belum berpakaian. Menatap cermin seukuran dengan tubuhku. Ia mengoleskan semacam salep. Obat luar berupa cairan kental berwarna kuning. Bagian bawah perut sebelah kanan terlihat membiru. Banyak bekas luka di sekitar tangan dan kaki.Aku berjalan pelan menuju ranjang. Ingin segera merebahkan diri. Ngantuk berat.Persetan dengan Jhonny, lupakan pekerjaan menumpuk di ka