Pov Alexander Ibrahim.
Tok … tok … tok!
Terdengar suara pintu kamar yang diketuk beberapa kali. Aku tersadar, kembali ke alam nyata. Menyudahi lamunanku tentang Tamara dan Wulan. Dua wanita dengan sifat dan perilaku berbeda.
"Siapa?"
"Bik Asih, Den," jawab suara di depan pintu.
"Masuk aja, gak dikunci!"
Kenop pintu tertarik ke bawah. Tak berapa lama pintu te
Bik Asih telah keluar dari kamar. Aku menatap pantulan wajah di cermin. Beberapa plaster tertempel. Satu di pipi, di kening atas mata, dan di sudut bibir.Wajah tampanku ini adalah aset masa depan. Awas saja jika para anak buah Jhonny tidak mendapatkan hukuman setimpal atas apa yang mereka perbuat.Selesai diobati oleh Bik Asih tadi, aku masih belum berpakaian. Menatap cermin seukuran dengan tubuhku. Ia mengoleskan semacam salep. Obat luar berupa cairan kental berwarna kuning. Bagian bawah perut sebelah kanan terlihat membiru. Banyak bekas luka di sekitar tangan dan kaki.Aku berjalan pelan menuju ranjang. Ingin segera merebahkan diri. Ngantuk berat.Persetan dengan Jhonny, lupakan pekerjaan menumpuk di ka
Aku berdiri mematung di belakang pintu kamar, menatap ruang tidurku. Ranjang dengan kasur empuk, air conditioner tepat berada di dinding atasnya. Meja belajar dan komputer di samping nakas besi itu.Menengok ke lemari terbuka di samping pintu kamar mandi. Kemeja dan baju bermerk, accesories mahal dan semua hal lain yang kupunya yang mungkin tak dimiliki orang lain.Dengan semua hal yang kumiliki sejak lahir, kenapa aku tak merasa bahagia? Aku kesepian dan merasa seorang diri."Alex!"Suara seorang perempuan. Kurasa aku mengenal suara itu.
POV Tamara Hilton."Mama, bisakah Mama, membantu Tamara?""Tentu saja, Sayang. Apa yang bisa Mama bantu?"Sejenak aku terdiam. Harus dari mana kumulai bercerita, "Tentang perjodohanku dengan Alex."Aku berhenti bercerita menatap Mama penuh harap, "Bisakah Mama membicarakannya kembali dengan Om Abraham?""Tentu saja, Om Abraham tidak akan menolak melanjutkan rencana perjodohan kalian. Kedua keluarga dan perusahaan akan sama-sama diuntungkan! Dulu, pertunanganmu berhenti di tengah jalan karena Alex lama menghilang, bahkan dikabarkan telah mati."Dua sudut bib
Pov Alexander Ibrahim.Sudah tiga hari aku beristirahat di rumah. Menyembuhkan luka-luka di seluruh badan. Pekerjaan di kantor untuk sementara dikerjakan oleh Om Pramudya. Ah, itulah salah satu enaknya jadi seorang pemilik perusahaan. Aku bebas kapan pun untuk masuk kerja.Tak ada yang akan memecatku, karena aku yang akan memecat orang itu. Satu sudut bibirku terangkat naik. Sedikit menyombongkan diri atas kelebihan yang kupunya sejak lahir."Alex, apa luka-lukamu masih sakit? Kapan kamu akan masuk kerja?Aku mengambil tisu di meja makan, mengelapkannya di sekitar mulut, "Badan Alex sudah tidak sakit Pa, besok atau lusa Alex akan datang ke perusaahn kita!"
Liburan telah selesai. Waktunya kembali ke dunia nyata. It's show time! Saatnya untuk fokus bekerja.Aku menatap cermin, ada pantulan wajahku di sana. Mengenakan setelan formal dengan jas berwarna abu-abu. Bicara soal ketampanan, aku percaya tak ada wanita yang akan menolak pesonaku.Segera mengambil tas dimeja kerja. Aku keluar dari kamar. Bersiap untuk sarapan bersama papa dan Alicia lalu berangkat ke kantor.Menyusuri koridor kamar di lantai dua. Sepi, tak ada suara. Rumah sebesar ini hanya kami bertiga yang mendiaminya. Sepertinya rumah ini butuh suasana baru. Seperti kecerewetan seorang Wulan misalnya.
"Pekerjaanmu sudah selesai, Alex!"Aku menoleh pada Om Pramudya yang berjalan denganku. Semua tugasku hari ini telah selesai. Kami keluar dari ruang rapat. Berjalan menyusuri koridor, menuju ruangan kami masing-masing."Ini semua berkat bantuan, Om!""Tidak, Om hanya membantu menyiapkan data-data. Selebihnya semua ini adalah kerja keras dan kemampuanmu. Kamu memiliki karisma seorang pemimpin seperti, Papamu.""Kata pepatah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, Om!" timpalku.
Aku mengaduk Hazelnut cafe latte, dan mulai meminumnya. Apakah ini takdir tuhan yang selalu mempertemukan kami? Sudut mataku melirik sekilas pada Tamara yang masih membaca menu.Ah, Sepertinya hanya kebetulan saja!Aku mulai melahap burgerku. Memandang ke arah luar jendela. Kedua perempuan di hadapanku masih berbisik-bisik. Sesekali menatap ke arahku."Oh, ya, Alex, minggu depan aku mengadakan pesta kecil di salah satu villa pribadi keluarga Hilton. Apa kamu mau ikut?""Maaf aku sibuk!"
Puncak, Bogor.Aku membenarkan letak kacamata hitam. Walaupun sudah hampir siang hari, namun cuaca tetap sejuk. Melepas kacamata sebentar dan mengelapnya. Embun yang berair membuat pemandangan tak jelas.Udara disini benar-benar segar. Sejauh mata memandang hanya ada warna hijau, hamparan perkebunan teh. Aku berjalan mengelilingi lahan yang tengah dipersiapkan untuk pembangunan hotel proyek terbaru dari perusahaan. Hasil penandatanganan kontrak kemarin.Aku menyilangkan tangan di dada, menatap ke sekitar. Dari tempatku berdiri aku bisa melihat jalan raya jauh di arah bawah sana. Pada ketinggian ini, hotel akan mendapatkan pemandangan yang menarik. Ada perkebunan teh dan danau kecil. Hanya membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit menuju ja