POV Tamara Hilton.
"Mama, bisakah Mama, membantu Tamara?"
"Tentu saja, Sayang. Apa yang bisa Mama bantu?"
Sejenak aku terdiam. Harus dari mana kumulai bercerita, "Tentang perjodohanku dengan Alex."
Aku berhenti bercerita menatap Mama penuh harap, "Bisakah Mama membicarakannya kembali dengan Om Abraham?"
"Tentu saja, Om Abraham tidak akan menolak melanjutkan rencana perjodohan kalian. Kedua keluarga dan perusahaan akan sama-sama diuntungkan! Dulu, pertunanganmu berhenti di tengah jalan karena Alex lama menghilang, bahkan dikabarkan telah mati."
Dua sudut bib
Pov Alexander Ibrahim.Sudah tiga hari aku beristirahat di rumah. Menyembuhkan luka-luka di seluruh badan. Pekerjaan di kantor untuk sementara dikerjakan oleh Om Pramudya. Ah, itulah salah satu enaknya jadi seorang pemilik perusahaan. Aku bebas kapan pun untuk masuk kerja.Tak ada yang akan memecatku, karena aku yang akan memecat orang itu. Satu sudut bibirku terangkat naik. Sedikit menyombongkan diri atas kelebihan yang kupunya sejak lahir."Alex, apa luka-lukamu masih sakit? Kapan kamu akan masuk kerja?Aku mengambil tisu di meja makan, mengelapkannya di sekitar mulut, "Badan Alex sudah tidak sakit Pa, besok atau lusa Alex akan datang ke perusaahn kita!"
Liburan telah selesai. Waktunya kembali ke dunia nyata. It's show time! Saatnya untuk fokus bekerja.Aku menatap cermin, ada pantulan wajahku di sana. Mengenakan setelan formal dengan jas berwarna abu-abu. Bicara soal ketampanan, aku percaya tak ada wanita yang akan menolak pesonaku.Segera mengambil tas dimeja kerja. Aku keluar dari kamar. Bersiap untuk sarapan bersama papa dan Alicia lalu berangkat ke kantor.Menyusuri koridor kamar di lantai dua. Sepi, tak ada suara. Rumah sebesar ini hanya kami bertiga yang mendiaminya. Sepertinya rumah ini butuh suasana baru. Seperti kecerewetan seorang Wulan misalnya.
"Pekerjaanmu sudah selesai, Alex!"Aku menoleh pada Om Pramudya yang berjalan denganku. Semua tugasku hari ini telah selesai. Kami keluar dari ruang rapat. Berjalan menyusuri koridor, menuju ruangan kami masing-masing."Ini semua berkat bantuan, Om!""Tidak, Om hanya membantu menyiapkan data-data. Selebihnya semua ini adalah kerja keras dan kemampuanmu. Kamu memiliki karisma seorang pemimpin seperti, Papamu.""Kata pepatah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, Om!" timpalku.
Aku mengaduk Hazelnut cafe latte, dan mulai meminumnya. Apakah ini takdir tuhan yang selalu mempertemukan kami? Sudut mataku melirik sekilas pada Tamara yang masih membaca menu.Ah, Sepertinya hanya kebetulan saja!Aku mulai melahap burgerku. Memandang ke arah luar jendela. Kedua perempuan di hadapanku masih berbisik-bisik. Sesekali menatap ke arahku."Oh, ya, Alex, minggu depan aku mengadakan pesta kecil di salah satu villa pribadi keluarga Hilton. Apa kamu mau ikut?""Maaf aku sibuk!"
Puncak, Bogor.Aku membenarkan letak kacamata hitam. Walaupun sudah hampir siang hari, namun cuaca tetap sejuk. Melepas kacamata sebentar dan mengelapnya. Embun yang berair membuat pemandangan tak jelas.Udara disini benar-benar segar. Sejauh mata memandang hanya ada warna hijau, hamparan perkebunan teh. Aku berjalan mengelilingi lahan yang tengah dipersiapkan untuk pembangunan hotel proyek terbaru dari perusahaan. Hasil penandatanganan kontrak kemarin.Aku menyilangkan tangan di dada, menatap ke sekitar. Dari tempatku berdiri aku bisa melihat jalan raya jauh di arah bawah sana. Pada ketinggian ini, hotel akan mendapatkan pemandangan yang menarik. Ada perkebunan teh dan danau kecil. Hanya membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit menuju ja
"Ya, udah gue pamit dulu. Assalamualaikum," pamitnya. Lalu kembali masuk ke dalam angkot yang tak berpenumpang. Mungkin ia akan kembali pulang ke rumah.Aku segera masuk ke dalam mobil. "Pak, kita mampir ke satu tempat lagi!""Baik, Den!"Lamborghini Sian berwarna hitam milik Papa kembali bergerak. Aku memberikan instruksi kemana mobil akan mengarah. Di sepanjang perjalanan menuju rumah Abah Dadang banyak mata memandang. Sorot mata mereka memperlihatkan kekaguman. Maklum rumah Wulan berada di desa kecil sekitar sungai kali Ciliwung.
"Janji ya, jangan lupain Abah dan Wulan? Sebenarnya tadi, aku tahu itu kamu. Namun, aku takut. Masihkah Ali yang dulu kukenal sama seperti dulu atau sudah berubah!"Aku tersenyum menatap ke luar jendela. Kata-kata Wulan terngiang di ingatan. Bagaimana caranya menatapku. Sifat galak dan judes yang diperlihatkan juga ikut terbayang.Jadi gadis remaja itu takut aku berubah? Berbeda dengan Ali yang dia kenal waktu dulu, setelah aku kembali ke keluarga kandungku? Ali ataupun Alexander adalah orang yang sama. Dia lupa itu!Aku melihat bayangan pepohonan yang kian menjauh dan mengecil di luar jendela. Hubungan manusia terkadang seperti itu. Saat dekat hubungan itu terasa nyata. Bentuk mereka ada di depan mata. Namun, saat mulai jauh semuanya terl
"Hahahhaa … Kakak, ngapain?" Alicia tertawa terbahak-bahak. Satu tangannya memegang perut, "Pasti mimpi jorok, nih?" "Dasar cewek fiktor! Enak aja," jawabku, mencoba berdiri tegak, "Mau ngapain kesini pagi-pagi?" "Di bawah ada Kak David, lagi nunggu Kakak tuh!" Aku mengernyitkan alis. David? Kenapa dia kesini sepagi ini? Apa Om Pramudya masih sakit? Sepertinya ada sesuatu yang penting! "Suruh dia tunggu, sebentar lagi kakak akan turun!" Tanpa menunggu jawaban aku segera menyambar handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Melakukan ritual mandi secukupnya
~Perpisahan paling menyakitkan adalah terpisahnya dua hati tanpa kejelasan alasan. Saling memendam perasaan tanpa bisa menjelaskan.~"Wulan sedih Ali, ternyata selama ini Emak Wulan masih hidup, tapi dia gak pernah kasih kabar sedikit pun," ungkap Wulan di sela isak tangisnya."Sudahlah Wulan. Mungkin semua ini sudah takdir."Aku menepuk-nepuk punggung Wulan. Setelah bertemu dan saling mengungkapkan isi hati dengan ibunya beberapa jam, kami kembali pulang."Emak Jahat, Ali. Dia tega ninggalin Wulan dan abah.""Bukan ibumu yang meninggalkan, tetapi takdir memaksanya meninggalkan kalian. Dia juga terpaksa."
"Nak order ape?" Pelayan tadi kembali mengajukan pertanyaan. Menatap bingung pada kami berdua. Duduk di kursi restoran tapi tak memesan makanan. "Emak …." Suara Wulan bergetar. Matanya berkaca-kaca dan memerah. Pramusaji yang mendatangi meja kami refleks. Menatap Wulan dengan serius, kedua alisnya mengernyit, "Wulan?" "Kamu teh, Wulan Kirana?" Akhirnya. Perjumpaan yang kubayangkan seperti perkiraan. Istriku $ berdiri dari kursinya memeluk pramusaji di depannya. Sang pramusaji membeku. Kertas catatan order dan bolpoinnya terjatuh.
"Terima kasih untuk malam yang indah ini, Sayang." Wulan mencium bibirku setelah berkata. "Sudah tugasku untuk membahagiakanmu," ucapku sambil menatap mata bulat Wulan, "tidurlah, besok kita akan mulai jalan-jalan." Wulan tersenyum, wajahnya lebih ceria dari saat pertama aku mengenalnya dulu. Tak terlihat wajah lelah bahkan mengantuk seperti sebelum kuajak dia mengunjungi Suria KLCC. "Kemana? Besok kita akan kemana?" tanya Wulan bersemangat. "Tidurlah, besok kamu akan tahu kemana tujuan kita." Aku menaikkan selimut sampai dadanya. Ia menurut dan mulai memejamkan matanya. Malam ini akan menjadi malam yang takkan terlupakan oleh Wu
~Tempat ternyaman~ Aku memeluk Wulan dari belakang. Kami menikmati malam pertama di tengah kota Kuala Lumpur dari balkon hotel. Gedung-gedung tinggi menjulang membuat kota ini terlihat seperti kota metropolitan. Bias lampu warna-warni berpendar menyemarakkan malam. Di bawah sana jalanan beraspal padat oleh berbagai kendaraan. Bunyi klakson dan mesin mobil menggema hingga balkon, tempat kami berdiri. "Apa kau suka dengan bulan madu kita?" "Tentu saja, ini pertama kalinya Wulan keluar negeri." Wulan mendongak ke wajahku. Aku menghadiahinya sebuah ciuman hangat. Ia tersenyum.
KLIA 2, Malaysia. Aku menggandeng istriku, telapak tangan Wulan terasa sangat dingin, "Apa kamu kedinginan?" Wulan menggeleng pelan, "Wulan kalo gerogi emang suka panas dingin begini." Tersenyum menatap wajah istriku itu. Ini pengalaman pertamanya naik pesawat terbang. Aku berjalan lebih cepat. Satu langkah kakiku sama dengan dua kali langkah Wulan. Sontak istriku itu menarik tangan, "Kenapa sih, cepet-cepet?" "Pelan-pelan," katanya lagi. Aku tersenyum tak menjawab pertanyaan Wulan, hanya memelankan jalan. Keluar dari koridor para penumpang berbelok ke arah kiri menuju baggage claim area. Ada banyak passenger lain yang juga mencari koper mereka.
Pukul sembilan pagi aku dan Wulan sudah selesai bersiap-siap. Abah Dadang dan dua asisten rumah tangga mengantar sampai di teras. "Abah jaga diri ya, Jangan lupa makan. Kalau Wulan telepon harus diangkat." "Iya, Neng geulis." Keduanya melepaskan pelukan. Aku ganti bersalaman dengan Abah Dadang. "Kami berangkat dulu," pamitku kemudian. Mengajak istriku segera masuk ke dalam mobil. Dua jam dari sekarang pesawat akan take off. Perjalanan dari villa menuju bandara memakan waktu sekitar satu setengah jam. "Ini pertama kalinya Wulan, naik pesawat."  
~Hidup terlalu singkat untuk digunakan membahas masa lalu. Kehidupan yang sekarang adalah sebaik-baiknya pilihan yang sudah kita ambil.~***Kucium kening Wulan. Istriku mengerjap, bulu mata lentiknya bergetar ia menatapku sejenak, "Gak tidur?"Aku menggelengkan kepala pelan. Mengelus rambut sehitam jelaganya."Jam berapa sekarang?""Pukul 00.15 Sayang," jawabku.Sejak kami resmi menjadi suami istri, entah sudah berapa kali aku bercinta dengannya. Seakan-akan tak pernah puas, dan selalu kurang. Wulan pasti kelelahan meladeni keinginanku.
Tok … tok … tok!Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku dan Wulan sama-sama kelelahannya. Setelah bercinta di sofa kami melanjutkannya di kamar."Sayang, bangun." Aku mencoba membangunkan Wulan. Ia mengerjapkan mata, menoleh ke arahku."Ada apa?""Ada yang mengetuk pintu.""Ahhh, kamu yang bukain. Aku males," sahutnya sambil membelakangiku. Menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lebih erat.Terpaksa aku bangun. Meraih celana pendek dan kaos yang tercecer di lantai. Membuka pintu dan keluar dari kamar.
Aku merangkul Wulan, membimbingnya masuk ke dalam villa kami. Menutup pintunya kembali. Aku mengajak Wulan duduk di sofa."Apa?" tanya Wulan dengan penasaran.Langsung saja kulumat bibir ranum Wulan. Suasana rumah sangat sepi, tak ada orang lain selain kami. Tentu saja kesempatan ini tak boleh dilewatkan.Kali ini aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Kuarahkan istriku untuk duduk di atas pangkuan. Wulan bahkan mungkin tak sadar jika sudah berada di atasku. Ia memejamkan mata, sementara bibir kami terus bertaut. Sesekali li*ahnya ikut terhisap.Tanganku mulai bergerak lincah menjamah tubuh sintal Wulan. Aku mulai hapal dimana saja titik sensitif istriku ini. Menghentikan pagutan kami, beralih pad