"Ya, udah gue pamit dulu. Assalamualaikum," pamitnya. Lalu kembali masuk ke dalam angkot yang tak berpenumpang. Mungkin ia akan kembali pulang ke rumah.
Aku segera masuk ke dalam mobil. "Pak, kita mampir ke satu tempat lagi!"
"Baik, Den!"
Lamborghini Sian berwarna hitam milik Papa kembali bergerak. Aku memberikan instruksi kemana mobil akan mengarah. Di sepanjang perjalanan menuju rumah Abah Dadang banyak mata memandang. Sorot mata mereka memperlihatkan kekaguman. Maklum rumah Wulan berada di desa kecil sekitar sungai kali Ciliwung.
"Janji ya, jangan lupain Abah dan Wulan? Sebenarnya tadi, aku tahu itu kamu. Namun, aku takut. Masihkah Ali yang dulu kukenal sama seperti dulu atau sudah berubah!"Aku tersenyum menatap ke luar jendela. Kata-kata Wulan terngiang di ingatan. Bagaimana caranya menatapku. Sifat galak dan judes yang diperlihatkan juga ikut terbayang.Jadi gadis remaja itu takut aku berubah? Berbeda dengan Ali yang dia kenal waktu dulu, setelah aku kembali ke keluarga kandungku? Ali ataupun Alexander adalah orang yang sama. Dia lupa itu!Aku melihat bayangan pepohonan yang kian menjauh dan mengecil di luar jendela. Hubungan manusia terkadang seperti itu. Saat dekat hubungan itu terasa nyata. Bentuk mereka ada di depan mata. Namun, saat mulai jauh semuanya terl
"Hahahhaa … Kakak, ngapain?" Alicia tertawa terbahak-bahak. Satu tangannya memegang perut, "Pasti mimpi jorok, nih?" "Dasar cewek fiktor! Enak aja," jawabku, mencoba berdiri tegak, "Mau ngapain kesini pagi-pagi?" "Di bawah ada Kak David, lagi nunggu Kakak tuh!" Aku mengernyitkan alis. David? Kenapa dia kesini sepagi ini? Apa Om Pramudya masih sakit? Sepertinya ada sesuatu yang penting! "Suruh dia tunggu, sebentar lagi kakak akan turun!" Tanpa menunggu jawaban aku segera menyambar handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Melakukan ritual mandi secukupnya
Pintu tertutup, terasa getaran pelan. Udara seakan-akan terperangkap, tak bergerak. Pengap. Beberapa menit menaiki lift. Angka satu di papan dinding lift menyala. Seorang diri berada di dalam sini.Tiing.Terdengar bunyi, pertanda lantai tujuan telah sampai. Pintu lift terbuka, aku berjalan dengan segera menuju lobby."Tolong panggilkan supir mobil saya!" perintahku.Sang perempuan di balik meja resepsionis mengangguk. Ia menyalakan sesuatu lalu berbicara di depan mik kecil di hadapannya. Terdengar suara ramah wanita itu, menyebut namaku juga plat nomor di bagian belakang kendaraan.Tak butuh waktu lama,
"Halo ….""Halo, Alex!? Akhirnya kamu meneleponku."Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya panggilanku tersambung. Suara Wulan sedikit berbeda dari biasanya. Lewat panggilan telepon, suaranya lebih halus dan merdu. Nada suaranya terdengar sangat bersemangat ketika mendapat teleponku. Sengaja kukeraskan volume suara, ingin mendengarnya bicara dengan jelas."Kangen, ya?" tanyaku. Sengaja ingin menggodanya."Bagaimana soal pertunangan kita? The One Property pasti tidak ingin rugi bukan. Mari kita mulai dari awal lagi, aku berjanji tidak akan berselingkuh atau apapun itu."Apa yang dibi
Pintu lift terbuka perlahan. Aku berjalan lebih dulu di depan David. Anak Om Pramudya itu masih menatapku dengan tatapan yang entah. Alisnya mengernyit, timbul urat halus di keningnya."Serius loe, Bro?" David menyenggol lenganku, ia memasang wajah terkejut.Aku mengangguk dengan yakin. Tersenyum menatap sekretaris pribadiku itu."Gila! beneran loe, mau lakuin itu?"Aku kembali mengangguk dan tersenyum pada David dengan yakin."Jika Tamara tak mau melepaskanku, akan kubuat dia yang mundur dan melupakanku bagaimanapun caranya. Dengan cara ini aku bisa mencari wanita yang benar-benar mencintaiku karena aku adala
Menjelang malam hari seorang gadis cantik memakai blus berwarna biru dan rok mini sepahanya, membuka pintu kamar. Ia berjalan sangat pelan. Bola matanya menyorot perban putih memanjang di tungkai kaki. Wajahnya seakan-akan tampak terkejut, dan sedih. Alicia berjalan di belakangnya. Adik perempuanku itu sepertinya baru pulang sekolah. Ia masih mengenakan atasan putih, dan rok abu-abunya. Dari mana saja anak kesayangan Papa itu. Pasti dia jalan-jalan ke mall dengan kawan-kawannya, sampai lupa waktu. "Alex?" "Kakak …?" Alicia memekik melihat keadaanku. "Apa yang terjadi denganmu?" Tamara bertanya sembari menuju ranjang. Aku hanya di
"Aku gimana? Wulan tidur di mana?"Satu sudut bibirku terangkat naik, aku menepuk ranjang di sebelahku, "Kamu lupa hutang Abah sudah lunas karena siapa? Tugas kamu malam ini temenin aku tidur!" candaku."Apaaa?!" Wulan berteriak tak percaya pada apa yang didengarnya."Gue kan udah bayarin utang Abah, sebagai balas budi Loe harus temenin gue tidur malam ini." Aku memasang wajah seserius mungkin. Menatap Wulan tanpa berkedip."Aapaaa?" Mulutnya kembali terbuka lebar."Gue pulang dulu ya, terserah kalian deh, mau bertengkar, main pijat-pijatan atau mau cakar-cakaran juga up to you. Bye!" David b
Perlahan kepalaku pun merosot turun. Menyandar pada kepala Wulan. Aku ikut memejamkan mata. Berada sedekat ini dengan Wulan, membuatku merasa nyaman. Rasanya tak ingin waktu berputar. Tetaplah seperti ini, jangan ada yang mengganggu.Walau jemari tak berpegangan erat. Namun, hati kami perlahan mulai menjerat. Entah di belokan takdir yang mana, semoga tujuan kami sama. Berjalan bersama menuju arah itu.Semoga!"Aleeex!" Seseorang berteriak memanggil namaku."Apa yang kamu lakukan?"Aku segera membuka mata. Melepaskan earphone dari telingaku. Tamara berdiri di ambang pintu. Ia menatap tajam pad