"Lepaskan, Tamara!" seruku pelan.
Tiing!
Lift terbuka. Dua orang lelaki berdiri di depan pintu menatap kami dengan tatapan penuh tanya. Aku segera mendorong Tamara menjauh. Melepaskan pelukannya.
Tamara mundur beberapa langkah ke belakang. Sepertinya gadis itu tak menduga sikap tiba-tibaku ini. Hampir ia terjatuh, menabrak dinding lift bagian kanan.
"Alex?"
Wajahnya memerah. Entah marah atau malu aku memperlakukannya dengan kasar tadi, terserah!
<
Byuur!Terdengar suara air yang tumpah. Dingin, sesuatu disiramkan ke tubuhku."Bangun, Tuan muda!"Seseorang menepuk pipiku dengan keras beberapa kali."Bangun!"Kali ini suaranya lebih keras dari sebelumnya. Aku terkesiap, refleks membuka dan mengerjapkan mata beberapa kali. Seorang lelaki yang ikut memukuliku di dalam klub tadi berdiri. Di samping kakinya ada ember kosong. Air menetes dari baju dan rambutku.
"Diam, ada yang datang!"Aku merangkul tubuh Tamara. Naluri lelakiku selalu tahu kapan saatnya untuk melindungi seorang wanita. Ya, walaupun dia adalah seorang pengkhianat. You know lah."Siapa disana?" bentak suara baritone itu. Terlihat sesosok lelaki yang berjarak sekitar sepuluh meter dariku dan Tamara. Bunyi sepatunya yang menapak ke lantai keramik dengan keras semakin dekat.Cahaya dari lampu senter terlihat bergerak-gerak ke arah kami. Aku merangkul Tamara, berjongkok dibalik beberapa tumpukan meja dan kursi kayu."Heh, siapa disana?"Bodoh. Dasar lelaki bodoh! Pada siapa ia bertanya? Pada angin? Kalaupun ada orang, pasti siapapun itu tak
"Ehhm, Alex, bisakah kau pertimbangkan tentang hubungan kita?"Haruskah aku memberi Tamara kesempatan?Pertunanganku berakhir sebelum rasa cinta lahir. Sebelum kumulai, jalan cerita antara aku dan Tamara telah usai."Sekarang giliran Anda, memberikan informasi!"Suara tegas seorang polisi yang bertugas mencatat keterangan membuyarkan lamunan. Aku mengangguk dan mendekat di meja Polisi yang bertugas. Alicia berdiri dari duduknya."Siapa nama Anda, sesuai di Kartu Ta
Pov Tamara Hilton.[Datanglah ke klub Heaven segera, Sayang!]20.00 WIB."Huuh, dasar brengsek!?"Kulempar ponsel ke atas ranjang, tanpa membalasnya.
POV Tamara Hilton.POV Tamara Hilton."Kita sudah sampai."Suara Alex menyadarkan dari kesibukanku, berselancar di media sosial.Aku segera mendongak dari layar ponsel. Menatap ke depan kaca. Tertulis papan nama besar Havana Club. Papan nama itu dikelilingi lampu berwarna putih dan hijau yang berkedip tiap beberapa menit. Tempat parkir ini telah penuh oleh kendaraan.Sepanjang perjalanan tadi kami tak banyak berkata. Aku sengaja menyibukkan diri memainkan ponsel. Sementara Alex mengemudikan Honda Brio merahku. Aku hanya sekali memberi petunjuk, Havana Klub. Sebuah klub malam terkenal. Alex pun langsung tahu dan mengemudikan mobil ke tempat itu, sepertinya Alex sudah pernah perg
POV Tamara Hilton.Jhonny menindih tubuhku, ia mulai melakukan aksi bejatnya. Jika dulu aku melakukannya dengan sukarela karena cinta. Kini, aku merasa diruda paksa.Mobil Jhonny bergerak perlahan. Mengikuti hentakan rudal miliknya yang mulai masuk ke dalam daerah pribadiku. Semoga tak ada yang tahu apa yang sedang kami lakukan di dalam sini.Aku jijik, muak, benci dengan diriku sendiri. Namun, apa yang bisa kulakukan?Seandainya Jhonny tau bukan kenikmatan yang kurasa. Hanya kesakitan dan keterpaksaan. Aku berteriak memanggil nama Papa dan Mam
POV Tamara Hilton"Diam, ada yang datang!"Alex merangkul tubuhku, ada rasa nyaman dan hangat dalam perlindungannya. Aku menatap wajah tampannya. Tak bisakah dia memberiku kesempatan?"Siapa disana?" bentak suara baritone itu.Seketika aku mengalihkan pandangan dari wajah Alex. Mencari arah suara tadi. Terlihat sesosok lelaki yang berjarak sekitar sepuluh meter dariku dan Alex. Bunyi sepatunya yang menapak ke lantai keramik dengan keras semakin dekat. Aku meremas tanganku yang basah.Cahaya dari lampu senter terlihat bergerak-gerak ke arah kami. Alex merangkulku lebih erat, kami menunduk, berjongkok dibalik beberapa tumpu
POV Alexander Ibrahim"Alex, bangun!""Alex … Alicia, kita sudah sampai. Bangunlah!""Alex … Alicia," panggil sebuah suara laki-laki.Aku berusaha membuka mata yang terasa sangat lengket, masih ingin terpejam. Mengerjap beberapa kali. Kulihat Om Pramudya sudah ada di samping pintu mobil. Sinar mentari pagi menerobos lewat sela pintu.Menoleh ke bawah, Alicia tertidur dengan lelap di atas pahaku. Beberapa helai rambutnya menutupi wajah. Mulut Alicia sedikit terbuka, posisi tidurnya miring."Bangun, Alicia!"
~Perpisahan paling menyakitkan adalah terpisahnya dua hati tanpa kejelasan alasan. Saling memendam perasaan tanpa bisa menjelaskan.~"Wulan sedih Ali, ternyata selama ini Emak Wulan masih hidup, tapi dia gak pernah kasih kabar sedikit pun," ungkap Wulan di sela isak tangisnya."Sudahlah Wulan. Mungkin semua ini sudah takdir."Aku menepuk-nepuk punggung Wulan. Setelah bertemu dan saling mengungkapkan isi hati dengan ibunya beberapa jam, kami kembali pulang."Emak Jahat, Ali. Dia tega ninggalin Wulan dan abah.""Bukan ibumu yang meninggalkan, tetapi takdir memaksanya meninggalkan kalian. Dia juga terpaksa."
"Nak order ape?" Pelayan tadi kembali mengajukan pertanyaan. Menatap bingung pada kami berdua. Duduk di kursi restoran tapi tak memesan makanan. "Emak …." Suara Wulan bergetar. Matanya berkaca-kaca dan memerah. Pramusaji yang mendatangi meja kami refleks. Menatap Wulan dengan serius, kedua alisnya mengernyit, "Wulan?" "Kamu teh, Wulan Kirana?" Akhirnya. Perjumpaan yang kubayangkan seperti perkiraan. Istriku $ berdiri dari kursinya memeluk pramusaji di depannya. Sang pramusaji membeku. Kertas catatan order dan bolpoinnya terjatuh.
"Terima kasih untuk malam yang indah ini, Sayang." Wulan mencium bibirku setelah berkata. "Sudah tugasku untuk membahagiakanmu," ucapku sambil menatap mata bulat Wulan, "tidurlah, besok kita akan mulai jalan-jalan." Wulan tersenyum, wajahnya lebih ceria dari saat pertama aku mengenalnya dulu. Tak terlihat wajah lelah bahkan mengantuk seperti sebelum kuajak dia mengunjungi Suria KLCC. "Kemana? Besok kita akan kemana?" tanya Wulan bersemangat. "Tidurlah, besok kamu akan tahu kemana tujuan kita." Aku menaikkan selimut sampai dadanya. Ia menurut dan mulai memejamkan matanya. Malam ini akan menjadi malam yang takkan terlupakan oleh Wu
~Tempat ternyaman~ Aku memeluk Wulan dari belakang. Kami menikmati malam pertama di tengah kota Kuala Lumpur dari balkon hotel. Gedung-gedung tinggi menjulang membuat kota ini terlihat seperti kota metropolitan. Bias lampu warna-warni berpendar menyemarakkan malam. Di bawah sana jalanan beraspal padat oleh berbagai kendaraan. Bunyi klakson dan mesin mobil menggema hingga balkon, tempat kami berdiri. "Apa kau suka dengan bulan madu kita?" "Tentu saja, ini pertama kalinya Wulan keluar negeri." Wulan mendongak ke wajahku. Aku menghadiahinya sebuah ciuman hangat. Ia tersenyum.
KLIA 2, Malaysia. Aku menggandeng istriku, telapak tangan Wulan terasa sangat dingin, "Apa kamu kedinginan?" Wulan menggeleng pelan, "Wulan kalo gerogi emang suka panas dingin begini." Tersenyum menatap wajah istriku itu. Ini pengalaman pertamanya naik pesawat terbang. Aku berjalan lebih cepat. Satu langkah kakiku sama dengan dua kali langkah Wulan. Sontak istriku itu menarik tangan, "Kenapa sih, cepet-cepet?" "Pelan-pelan," katanya lagi. Aku tersenyum tak menjawab pertanyaan Wulan, hanya memelankan jalan. Keluar dari koridor para penumpang berbelok ke arah kiri menuju baggage claim area. Ada banyak passenger lain yang juga mencari koper mereka.
Pukul sembilan pagi aku dan Wulan sudah selesai bersiap-siap. Abah Dadang dan dua asisten rumah tangga mengantar sampai di teras. "Abah jaga diri ya, Jangan lupa makan. Kalau Wulan telepon harus diangkat." "Iya, Neng geulis." Keduanya melepaskan pelukan. Aku ganti bersalaman dengan Abah Dadang. "Kami berangkat dulu," pamitku kemudian. Mengajak istriku segera masuk ke dalam mobil. Dua jam dari sekarang pesawat akan take off. Perjalanan dari villa menuju bandara memakan waktu sekitar satu setengah jam. "Ini pertama kalinya Wulan, naik pesawat."  
~Hidup terlalu singkat untuk digunakan membahas masa lalu. Kehidupan yang sekarang adalah sebaik-baiknya pilihan yang sudah kita ambil.~***Kucium kening Wulan. Istriku mengerjap, bulu mata lentiknya bergetar ia menatapku sejenak, "Gak tidur?"Aku menggelengkan kepala pelan. Mengelus rambut sehitam jelaganya."Jam berapa sekarang?""Pukul 00.15 Sayang," jawabku.Sejak kami resmi menjadi suami istri, entah sudah berapa kali aku bercinta dengannya. Seakan-akan tak pernah puas, dan selalu kurang. Wulan pasti kelelahan meladeni keinginanku.
Tok … tok … tok!Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku dan Wulan sama-sama kelelahannya. Setelah bercinta di sofa kami melanjutkannya di kamar."Sayang, bangun." Aku mencoba membangunkan Wulan. Ia mengerjapkan mata, menoleh ke arahku."Ada apa?""Ada yang mengetuk pintu.""Ahhh, kamu yang bukain. Aku males," sahutnya sambil membelakangiku. Menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lebih erat.Terpaksa aku bangun. Meraih celana pendek dan kaos yang tercecer di lantai. Membuka pintu dan keluar dari kamar.
Aku merangkul Wulan, membimbingnya masuk ke dalam villa kami. Menutup pintunya kembali. Aku mengajak Wulan duduk di sofa."Apa?" tanya Wulan dengan penasaran.Langsung saja kulumat bibir ranum Wulan. Suasana rumah sangat sepi, tak ada orang lain selain kami. Tentu saja kesempatan ini tak boleh dilewatkan.Kali ini aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Kuarahkan istriku untuk duduk di atas pangkuan. Wulan bahkan mungkin tak sadar jika sudah berada di atasku. Ia memejamkan mata, sementara bibir kami terus bertaut. Sesekali li*ahnya ikut terhisap.Tanganku mulai bergerak lincah menjamah tubuh sintal Wulan. Aku mulai hapal dimana saja titik sensitif istriku ini. Menghentikan pagutan kami, beralih pad