"Maksud Alex ada orang lain dibalik Aseptian Waluyo. Seseorang yang dengan sengaja menekan dan menyuruhnya melakukan semua perbuatan kriminalnya pada keluarga kita."
Papa dan Mama saling berpandangan. Seharusnya mereka bisa menduganya. Ada sebuah persekongkolan dibalik semua kejadian di rumah keluarga Ibrahim.
Di mulai dari masuknya Paula Stephanie ke kehidupan papa. Bagaimana dia menjadi sekretaris yang menggoda lalu berusaha naik ke ranjang Papa.
Kejadian demi kejadian terjadi. Secara bertahap kemudian mama yang depresi dan ketergantungan alkohol hingga terjebak dalam one night stand dengan lelaki lain. Semua hal itu saling berkaitan.
"Kesimpulan Alex, ada beberapa orang yang terlibat dan orang-orang itu ing
Aku dan David kembali masuk ke dalam mobil. Peninjauan lokasi kali ini cukup. Mungkin lain kali aku akan menyerahkan tugas ini langsung pada penanggung jawabnya."Kita pulang, Bro.""Setelah ini Loe, ada rapat. Kita ke kantor The One Property dulu."Kami segera masuk ke mobil. Matahari kian meninggi. Pekerjaan di kantor meminta untuk segera ditangani."Siapa itu, Bro?" Pandanganku fokus menatap seseorang yang menghalangi jalan kami."Entahlah, aku juga tak tahu." Tanpa menoleh David berkata. Kami sama-sama fokus menatap ke arah lelaki paruh baya yang menghadang jalan.Tak berapa lama muncul b
Dua hari kemudian.Sebuah panggung dari besi sudah berdiri di atas lahan pembangunan pabrik kedua Indonesia Farma. Ada meja memanjang di bagian kiri dan kanan panggung.[Presentasi akan segera dimulai, Bro.]✅✅09.00 WIB.Sebuah pesan masuk dari David.[Tolong awasi. Semuanya kuserahkan padamu.]✅✅09.02 WIB.Pesan yang kukirim segera dibuka dan dibaca. Tanda dua centang biru terlihat di bawah pesanku.Kali ini aku tak ikut ke lapangan. Cuaca terlalu panas. Seorang pemimpin tak harus datang, yang p
Aku tersenyum melihat bibir Wulan yang cemberut tadi. Entah kenapa mengerjainya adalah sesuatu yang membuatku senang. Ceklek. Kamar papa terbuka. Bik Asih muncul dan memegang nampan. Keluar perlahan-lahan. Sepertinya papa dan mama sudah selesai makan siang. "Alex!" Aku berhenti. Menoleh kembali ke arah kamar papa. "Ada apa, Pa?" "Kemarilah?" Aku menutup pintu dan melangkah masuk. Mama duduk di sofa sebelah papa. Wajah keduanya terliht serius. Aku menger
Aku membuka kacamata hitam. Menatap dengan seksama kalung di dalam kotak. Benar-benar indah dan mewah. "Ini adalah kalung The Queen Of Heart, terbuat dari berlian putih. Di tengahnya ada batu rubi berwarna hijau." Aku menoleh pada Wulan, "Cantik." "Pasti mahal! Karena bagus dan bernilai seni," tuturnya lagi. Kami saling bertukar pendapat. "Barang bagus pasti mahal. Kalung ini pernah dipakai Marlyn Monroe saat dia hidup dulu. Saya jamin anda tidak akan menyesal memilikinya." Si pelayan toko berusaha meyakinkanku. Pandangan pertama saat melihat kalung ini aku sudah menyukainya. Wulan bahk
Mama menoleh pada Wulan, "Kamu juga harus ikut, Lan!""Iya, Tante." Wulan mengangguk dengan patuh. Ia terlihat sedikit canggung ikut makan semeja dengan keluarga Ibrahim."Apa yang kalian beli, tadi?" Papa menaruh gelas kosong di sebelah piring."The Queen of Heart." Kataku dengan bangga."Apa itu?" Alicia bertanya dengan penuh semangat.Aku tersenyum, mengambil kotak hitam di dalam paper bag, membukanya pelan. Semua mata tertuju pada perhiasan di dalamnya, "Lihatlah!""Waahh, bagus," seru Alicia.Semua orang menghentikan makan. Menatap pa
"Ali!" Mama memelototiku, "Wulan cantik pake baju ini. Kalau gak cantik kenapa kamu memandang Wulan tanpa berkedip?!" Tak sadar aku segera berkedip. Merapatkan bibir yang sedari tadi menampakkan sederet gigi, "Jelek dia Ma," kilahku. Kedua alis tebal Wulan kian merapat, tampak seperti akan menyatu. Hei … apa aku mengatakan sesuatu yang salah? Kenapa mama dan Wulan menatapku dengan aneh? Wulan berjalan pelan ke sisi ranjang. Ia duduk dengan lemas, wajahnya hanya menunduk, "Wulan, gak ikut aja ya, Tante? Wulan malu. Toh, gak ada yang Wulan kenal di sana nanti." Wajah Wulan terlihat putus asa. Apa karena aku mengatakan dia jelek?
Tangan terulur untuk menyalakan tombol playlist di dashboard. Sebuah lagu yang sering kudengar. Entah kenapa aku sangat menyukai lagu ini.Nada pembuka lagu mulai mengalun. Wulan mendongak, ia selalu menunduk sedari tadi. Menatapku sebentar lalu melirik playlist yang menyala.Suasana canggung di dalam mobilku berubah menjadi lebih romantis tentunya. Wulan menoleh ke arah kaca jendela. Aku masih dapat melihatnya, ia menarik segaris datar senyuman.🎶🎶Kutuliskan kenangan tentang.Caraku menemukan dirimu.Tentang apa yang membuatku mudah.Berikan hatiku padamu.
Aku dan Wulan segera berjalan ke arah meja mama. Ruang tamu nenek dipenuhi para tamu. Aku harus sedikit sabar saat berjalan. Beberapa kali berdesakan dengan tamu lainnya. "Argh …." Wulan terjatuh. Ia tengkurap di lantai. "Kamu kenapa? Benar-benar ceroboh, memalukan jatuh di tempat ini?" gerutuku lalu segera membangunkannya. Sepasang sepatu berwarna hitam berdiri di samping kami. Aku segera mendongak. Pantas saja aku merasa janggal. Wulan segera berdiri. Dia melepas tanganku, "Heh, kamu! Kenapa sengaja menjulurkan kaki saat aku lewat, tadi?" Wulan membelalak lebar pada si pemilik sepatu hitam tadi. Si pemilik
~Perpisahan paling menyakitkan adalah terpisahnya dua hati tanpa kejelasan alasan. Saling memendam perasaan tanpa bisa menjelaskan.~"Wulan sedih Ali, ternyata selama ini Emak Wulan masih hidup, tapi dia gak pernah kasih kabar sedikit pun," ungkap Wulan di sela isak tangisnya."Sudahlah Wulan. Mungkin semua ini sudah takdir."Aku menepuk-nepuk punggung Wulan. Setelah bertemu dan saling mengungkapkan isi hati dengan ibunya beberapa jam, kami kembali pulang."Emak Jahat, Ali. Dia tega ninggalin Wulan dan abah.""Bukan ibumu yang meninggalkan, tetapi takdir memaksanya meninggalkan kalian. Dia juga terpaksa."
"Nak order ape?" Pelayan tadi kembali mengajukan pertanyaan. Menatap bingung pada kami berdua. Duduk di kursi restoran tapi tak memesan makanan. "Emak …." Suara Wulan bergetar. Matanya berkaca-kaca dan memerah. Pramusaji yang mendatangi meja kami refleks. Menatap Wulan dengan serius, kedua alisnya mengernyit, "Wulan?" "Kamu teh, Wulan Kirana?" Akhirnya. Perjumpaan yang kubayangkan seperti perkiraan. Istriku $ berdiri dari kursinya memeluk pramusaji di depannya. Sang pramusaji membeku. Kertas catatan order dan bolpoinnya terjatuh.
"Terima kasih untuk malam yang indah ini, Sayang." Wulan mencium bibirku setelah berkata. "Sudah tugasku untuk membahagiakanmu," ucapku sambil menatap mata bulat Wulan, "tidurlah, besok kita akan mulai jalan-jalan." Wulan tersenyum, wajahnya lebih ceria dari saat pertama aku mengenalnya dulu. Tak terlihat wajah lelah bahkan mengantuk seperti sebelum kuajak dia mengunjungi Suria KLCC. "Kemana? Besok kita akan kemana?" tanya Wulan bersemangat. "Tidurlah, besok kamu akan tahu kemana tujuan kita." Aku menaikkan selimut sampai dadanya. Ia menurut dan mulai memejamkan matanya. Malam ini akan menjadi malam yang takkan terlupakan oleh Wu
~Tempat ternyaman~ Aku memeluk Wulan dari belakang. Kami menikmati malam pertama di tengah kota Kuala Lumpur dari balkon hotel. Gedung-gedung tinggi menjulang membuat kota ini terlihat seperti kota metropolitan. Bias lampu warna-warni berpendar menyemarakkan malam. Di bawah sana jalanan beraspal padat oleh berbagai kendaraan. Bunyi klakson dan mesin mobil menggema hingga balkon, tempat kami berdiri. "Apa kau suka dengan bulan madu kita?" "Tentu saja, ini pertama kalinya Wulan keluar negeri." Wulan mendongak ke wajahku. Aku menghadiahinya sebuah ciuman hangat. Ia tersenyum.
KLIA 2, Malaysia. Aku menggandeng istriku, telapak tangan Wulan terasa sangat dingin, "Apa kamu kedinginan?" Wulan menggeleng pelan, "Wulan kalo gerogi emang suka panas dingin begini." Tersenyum menatap wajah istriku itu. Ini pengalaman pertamanya naik pesawat terbang. Aku berjalan lebih cepat. Satu langkah kakiku sama dengan dua kali langkah Wulan. Sontak istriku itu menarik tangan, "Kenapa sih, cepet-cepet?" "Pelan-pelan," katanya lagi. Aku tersenyum tak menjawab pertanyaan Wulan, hanya memelankan jalan. Keluar dari koridor para penumpang berbelok ke arah kiri menuju baggage claim area. Ada banyak passenger lain yang juga mencari koper mereka.
Pukul sembilan pagi aku dan Wulan sudah selesai bersiap-siap. Abah Dadang dan dua asisten rumah tangga mengantar sampai di teras. "Abah jaga diri ya, Jangan lupa makan. Kalau Wulan telepon harus diangkat." "Iya, Neng geulis." Keduanya melepaskan pelukan. Aku ganti bersalaman dengan Abah Dadang. "Kami berangkat dulu," pamitku kemudian. Mengajak istriku segera masuk ke dalam mobil. Dua jam dari sekarang pesawat akan take off. Perjalanan dari villa menuju bandara memakan waktu sekitar satu setengah jam. "Ini pertama kalinya Wulan, naik pesawat."  
~Hidup terlalu singkat untuk digunakan membahas masa lalu. Kehidupan yang sekarang adalah sebaik-baiknya pilihan yang sudah kita ambil.~***Kucium kening Wulan. Istriku mengerjap, bulu mata lentiknya bergetar ia menatapku sejenak, "Gak tidur?"Aku menggelengkan kepala pelan. Mengelus rambut sehitam jelaganya."Jam berapa sekarang?""Pukul 00.15 Sayang," jawabku.Sejak kami resmi menjadi suami istri, entah sudah berapa kali aku bercinta dengannya. Seakan-akan tak pernah puas, dan selalu kurang. Wulan pasti kelelahan meladeni keinginanku.
Tok … tok … tok!Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku dan Wulan sama-sama kelelahannya. Setelah bercinta di sofa kami melanjutkannya di kamar."Sayang, bangun." Aku mencoba membangunkan Wulan. Ia mengerjapkan mata, menoleh ke arahku."Ada apa?""Ada yang mengetuk pintu.""Ahhh, kamu yang bukain. Aku males," sahutnya sambil membelakangiku. Menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lebih erat.Terpaksa aku bangun. Meraih celana pendek dan kaos yang tercecer di lantai. Membuka pintu dan keluar dari kamar.
Aku merangkul Wulan, membimbingnya masuk ke dalam villa kami. Menutup pintunya kembali. Aku mengajak Wulan duduk di sofa."Apa?" tanya Wulan dengan penasaran.Langsung saja kulumat bibir ranum Wulan. Suasana rumah sangat sepi, tak ada orang lain selain kami. Tentu saja kesempatan ini tak boleh dilewatkan.Kali ini aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Kuarahkan istriku untuk duduk di atas pangkuan. Wulan bahkan mungkin tak sadar jika sudah berada di atasku. Ia memejamkan mata, sementara bibir kami terus bertaut. Sesekali li*ahnya ikut terhisap.Tanganku mulai bergerak lincah menjamah tubuh sintal Wulan. Aku mulai hapal dimana saja titik sensitif istriku ini. Menghentikan pagutan kami, beralih pad