Grace menghampiri ibunya dan mencoba mengangkat kepala Hanna. Terlihat wajah yang sangat pucat dan tangan dingin membuat Grace amat sangat panik.
Grace langsung menggendong Hanna dipunggungnya dan bergegas keluar untuk mencari pertolongan.
Yang tadinya para ibu-ibu itu berkumpul di depan rumah kini sudah tak terlihat membuat dirinya semakin bingung sekaligus khawatir.
Grace mengunci pintu rumahnya dan berjalan menuju jalan besar agar bisa menemui kendaraan umum. Ia berjalan dengan kaki gemetaran karena bobot ibunya yang lebih besar dari dirinya,
Tiin
Grace terhenti dari jalannya dan melirik ke arah belakang. Seorang pria turun dari mobilnya dan berjalan menghampirinya.
"Mba, apa mau saya bantu?" tawar lelaki itu, namun Grace langsung menolak.
"Saya bisa naik taksi di depan."
Grace hendak melanjutkan perjalanannya namun lelaki itu langsung menghentikan langkahnya.
"Susah loh cari kendaraan umum pagi-pagi begini, mbak. Bahaya juga karena mbak bawa orang yang pingsan. Kalau dibiarin lebih lama, bisa-bisa terjadi hal yang tidak diinginkan." Saran lelaki itu membuat Grace berpikir kembali.
Karena perkataan lelaki itu yang terbilang masuk akal, Grace menyetujui tawarannya dan masuk ke dalam mobil pria itu.
Mereka bergegas pergi menuju rumah sakit terdekat untuk menangani Hanna yang sudah lama tidak sadarkan diri.
Grace mundar-mandir gelisah didepan ruangan ibunya. Pria yang tadi mengantar itu menatapnya kasihan lalu menghampirinya.
"Mba, sebaiknya kamu tenang dengan duduk terlebih dahulu. Aku yakin ibumu tidak akan mengalami hal yang sulit."
Grace menatapnya sebentar, sebelum akhirnya ia menurut lalu duduk dikursi yang tak jauh dari ruang periksa Hanna.
"Em.. siapa namamu?" tanya Grace, pria itu menoleh.
"Ah, perkenalkan aku Alvin." Jawab Alvin sambil mengulurkan tangannya. Grace membalas uluran tangannya. “Grace."
"Apa kamu penduduk baru di pemukiman rumahku? Aku belum melihatmu sebelumnya." Tanya Grace, Alvin tersenyum sesaat.
"Justru aku yang harus bertanya begitu, aku tinggal dari kecil di sana dan melakukan pekerjaan diluar kota untuk beberapa bulan." Jawab Alvin membuat Grace sedikit tertegun.
"Lalu, kamu anak ibu siapa?"
"Ibu Fina, apa kamu mengenal ibuku?" Grace membukakan mulut sedikit, ia mengangguk senang karena mengenal ibu Alvin sangat baik.
"Baguslah kalau kamu mengenalnya, ibu adalah orang yang sangat ramah pada orang lain." Puji Alvin yang disetujui oleh Grace.
"Iya benar, beliau selalu membantu saya dikala saya kesulitan. Apa sifat itu menurun pada kamu hingga kini kamu membantuku menunggu ibuku."
Alvin terkekeh pelan yang diikuti oleh Grace. Tak lama dari itu, keheningan datang.
Mereka masuk ke dalam pikirannya masing-masing hingga akhirnya suara pintu terbuka memecahkan keheningan itu.
Grace langsung menghampiri dokternya dengan wajah penuh khawatir.
"Dokter, bagaimana keadaan ibu saya?" tanya Grace tergesa-gesa, Alvin menahannya agar Grace tidak terlalu panik.
“Anda bisa ikut ke ruangan saya, saya akan menjelaskan lebih detailnya.” Ajak sang dokter yang langsung disetujui oleh Grace.
Mereka memasuki ruangan dokter. Aura dingin menusuk kulit Grace karena AC ruangan yang tak pernah dimatikan.
Dokter mempersilahkan Grace duduk dan mulai membuka pembicaraan dengan serius.
“Ibu anda.. mengalami kanker darah.”
Grace terdiam sejenak. Ia berusaha memahami perkataan sang dokter yang baru saja menangani ibunya.
“Beliau sudah mengalami kanker di stadium empat, maka dari itu dia harus menjalani kemo terapi sebanyak sebulan sekali. Ini adalah jalan terakhir untuk penderita kanker stadium akhir.” Jelas dokter membuat Grace menangis dalam hati.
“Untuk biayanya.. butuh berapa banyak dokter?” tanya Grace ragu.
“Untuk satu kali kemo kurang lebih sebanyak lima juta.”
Grace terkejut kembali. Ia mulai memikirkan uang yang akan ia dapatkan bila dia bekerja kembali menjadi kupu-kupu malam.
“Semalam saja aku mendapatkan lima juta, kalau aku sering menjadi kupu-kupu malam berarti aku akan mendapatkan banyak uang dan membayar biaya pengobatan ibu?” batin Grace dalam hati.
"Bagaimana, Mbak? Keputusannya harus segera ditentukan agar pasien tidak mengalami hal yang tidak diinginkan."
Grace tersadar lalu mengangguk tegas.
“Baik dokter, lakukan apapun untuk kesembuhan ibu saya.” Jawab Grace dengan penuh keyakinan. Dokter tersenyum lalu bangkit dari duduknya.
“Baik kalau begitu, kami akan memulai kemoterapi yang pertama sekarang.” Ucap dokter.
.
Selesai mengganti bajunya, Grace menghapus semua makeupnya di toilet yang ada di pom bensin. Pom itu jaraknya tak jauh dari rumah sakit, sehingga Grace bisa langsung pergi menuju rumah sakit dimana ibunya dirawat.
Sesaat pintu rumah sakit terbuka, Alvin dengan lembutnya sedang menyuapi makan malam Hanna.
“Vin? Masih disini?”
Alvin membalikkan badan lalu tersenyum.
“Aku khawatir meninggalkan ibumu yang sedang sakit sendirian. Jadi aku menjaganya sampai kamu pulang.” Jelas Alvin membuat Grace semakin merasa tak enak.
“Aku sangat merepotkan, padahal kamu bisa menyuruh suster untuk menjaga ibu,”
Grace duduk disebelah Alvin begitu pria itu menggeser dari kursi panjangnya.
“Aku tidak melakukan hal yang banyak kok.”
Grace menghela nafas panjang.
"Apa yang harus ku berikan atas tanda terimakasih untukmu? Kamu sudah mengantarku subuh-subuh bahkan menebus biaya obat ibuku, melunasi biaya perawatan sekaligus pengobatan untuk ibuku. Rasanya tak ada hal yang bisa aku balas untuk kebaikanmu." Ucap Grace tak enak karena membebani orang yang baru saja ia kenal.
"Kamu tidak perlu terus merasa berhutang seperti itu. Aku melakukan ini dengan ikhlas tidak mengharapkan balasan apapun." Balas Alvin dengan penuh keyakinan namun Grace tetap merasa tidak enak.
Alvin melihat tatapan Grace malah merasa tidak nyaman, padahal ia sudah meyakinkan bahwa Grace tidak perlu melakukan hal tidak penting untuk dirinya yang mempunyai segala.
"Ah, apakah kamu bisa membuat laporan?" tanya Alvin, Grace langsung mengerutkan dahinya.
"Tentu bisa, apa kamu mau memintaku untuk membuat laporan?" tanya balik Grace, Alvin mengangguk semangat.
"Kalau begitu kamu bisa membantuku membuat laporan dari tugas kuliahku? Anggap saja itu sebagai balas budiku karena aku tidak bisa membuat laporan, hahaha." Pinta Alvin, Grace tersenyum.
"Baiklah, akan ku lakukan. Kalau begitu tolong ketik nomor w******p mu disini. Nanti aku akan melihat tugas laporanmu dan mengirimnya di sana." Ucap Grace memberikan ponselnya.
Alvin menerima ponsel itu lalu mengetik nomor w******pnya.
"Ini, aku akan mengabarimu bila kamu sudah pulang dari rumah sakit. Untuk saat ini beristirahatlah dengan ibumu." Titah Alvin, Grace mengangguk.
"Terima kasih, Alvin."
Alvin terkejut melihat senyuman Grace yang begitu indah dimatanya.
Ia membalas senyuman itu dengan sangat senang karena baru kali ini mendengar ucapan terima kasih dari seseorang.
.
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, Hanna sudah diizinkan oleh dokter untuk pulang dari rumah sakit.
Karena Hanna tidak nyaman dengan suasana rumah sakit yang sunyi, mau tak mau Grace membawa ibunya kembali demi kenyamanan penyembuhan Hanna.
Sesampainya mereka perempatan menuju pemukiman tempat mereka tinggal, Grace memapah Hanna untuk berjalan dari sana.
Mereka menggunakan transportasi umum sehingga mau tak mau harus berjalan menuju rumahnya karena daerah rumahnya tidak dilintasi oleh kendaraan umum.
Setelah mereka sampai di rumah kontrakannya, Grace merasakan tatapan aneh dari para tetangganya yang sedang berkumpul di sekitar rumahnya.
Grace menunduk sopan sambil melewati mereka walau tak enak karena terus ditatap dengan sangat sinis.
Hanna langsung masuk begitu pintu rumah mereka terbuka, Grace yang hendak masuk itu langsung terdiam begitu mendengar bisikan keras yang menusuk ke dalam hatinya.
"Itulah wanita malam yang menggoda anak Bu Fina."
"Apakah ibunya tahu bahwa anaknya seorang wanita panggilan?"
"Mana mungkin tahu, ibunya aja seperti sekarat gitu!"
Grace langsung menutup pintunya keras membuat para penggosip itu bungkam.
"Grace? Kenapa kamu menutup pintunya begitu kencang? Nanti pemilik rumah ini akan marah!" tegur Hanna yang hanya dibalas cengehan dari Grace.
"Ibu, sebaiknya kita pindah tempat tinggal." Ucap Grace sambil mendekati Hanna. Hanna mengerutkan dahinya bingung.
"Kenapa?"
"Ah, itu.." Grace berpikir keras tentang alasannya. "Di sini jauh kemana-mana ibu, akan lebih baik jika kita tinggal di tempat yang ramai."
Hanna tampak memikirkan pendapat Grace. Wanita itupun mengangguk menyetujui.
"Benar, akan berbahaya untuk Grace yang menyukai malam." Ujar Hanna, Grace tersenyum senang.
"Kalau begitu malam ini kita akan pindah, aku akan mencari beberapa tempat yang cocok untuk kita!" seru Grace, Hanna mengangguk senang.
Grace melihat ibunya sudah terbaring tenang di kasur. Hanna sudah terlelap beberapa saat karena lelah dengan semua aktivitas yang mereka lakukan padahal Hanna baru saja keluar dari rumah sakit. Grace langsung membuka ponselnya dan mulai mengaktifkan akunnya kembali diaplikasi 'ButterFly' agar orang bisa menyewanya melalui aplikasi itu. Ia bersiap-siap dengan baju yang sebelumnya sudah ia siapkan, ia juga sedikit berdandan agar dirinya tampak lebih cantik dan menggoda. Ting Sebuah notifikasi masuk membuat Grace mengambil ponselnya. Ia membaca sedikit pesan dari pemesannya itu dan bergegas pergi menuju hotel yang sudah dipesan. Grace pergi dari hotel itu setelah melakukan pekerjaannya dan mendapat bayaran yang cukup. Ternyata benar, di kota ini banyak sekali orang-orang kaya yang bisa membayarnya berkali-kali lipat. Ia merasa badannya sudah remuk itu bergegas kembali ke apart sebelum ibunya terbangun. Bisa bahaya jika sang ibu melihat dirinya dengan penampilan seperti ini datang s
Diperjalanan, Grace selalu terpikirkan akan ibunya. Ia takut meninggalkan ibunya malam-malam kerena mengingat malam itu. Tapi ia menjernihkan pikirannya lagi untuk menjadi lebih positif. Grace pun menghela nafas gusar. "Nona, anda telah sampai." Grace tersadar lalu memberikan bayaran kepada supir taksi. Ia pun bergegas pergi memasuki hotel dan berjalan menuju kamar yang sudah dipesan. Sesampainya didepan kamar, Grace mengetuk pintu itu sebanyak tiga kali. Tak lama kemudian, pintu terbuka menampilkan sosok yang tak asing dimata Grace. "Selamat datang." Grace sedikit merinding dengan sambutan itu, namun iya hanya tersenyum kikuk lalu memasuki kamar dengan sedikit gemetara. Max melihat itu sempat khawatir, namun ia berpikir lagi untuk berusaha baik karena ia tidak bermaksud untuk menjamah wanita itu. "Em, apa akan dimula--" "Aku tak akan menjamahmu." Sela Max yang langsung mendapat tatapan heran dari Grace. Max duduk dikursi hotel dan mengambil gelasnya yang berisi alkohol. Grac
Grace menatap lurus kearah batu nisan yang bertuliskan nama ibunya.Orang-orang sekitar mengucapkan turut berduka cita untuk formalitas karena mereka tidak saling mengenal.Satu persatu orang-orang berhamburan pergi, hanya menyisakan Grace dengan pikiran kosongnya.Langit makin menggelap, air diatas awan mulai berjatuhan. Seperti keadaan hati Grace, alam ikut bersedih.Gadis itu mulai menyadari kesepiannya, ia menangis terisak-isak sambil memeluk kuburan yang masih basah."Ibu.."Grace terus menangis dibawah derasnya hujan. Ia sudah menyerah untuk hidupnya jika tanpa Hanna.Dalam seketika, air hujan itu tidak berjatuh dibawah Grace. Grace melihat kedepan dan menyadari bahwa hujan masih turun begitu derasnya. Lantas ia menenggak keatas dan melihat payung yang melindungi tubuhnya."Aku turut berduka cita, Grace." Ucap Alvin turut bersedih.Grace semakin menangis begitu menyadari bahwa dirinya masih diingat oleh orang lain."Alvin.. aku sudah tidak semangat hidup lagi." Keluh Grace, Alvi
Grace terdiam membeku diambang pintu."Kemarilah nona, aku ingin mendengar lamaranmu pada perusahaanku." Titah Max dengan nada lembutnya.Grace yang menegang itu perlahan mendekati Max dan duduk dihadapannya."Jadi, apa bakatmu?"Grace terdiam sejenak. Apakah dirinya harus mengurungkan niat untuk melamar di perusahaan Max?Ia sangat tidak tahu bahwa Max adalah seorang CEO perusahaan, apalagi perusahaan tersebut adalah perusahaan terjaya di kotanya."Sa-saya..""Bakatmu bukan diranjang lagi kan?" tanya Max membuat hati Grace tergetuk."Saya tidak menyangka seorang CEO dari perusahaan terbesar menanyakan itu pada calon karyawannya." Tegas Grace tersinggung membuat Max terkekeh pelan."Apa aku harus mengungkit janji yang telah kau ingkari?" Grace terdiam begitu Max melontarkan pertanyaan itu, Max menghela nafas."Padahal kau sudah teriak kenikmatan saat itu. Akan ku maafkan karena aku juga merasakan kenikmatan. Sekarang, apa yang akan kamu lakukan di perusahaanku?"Grace berusaha menata
Grace membereskan barang-barangnya untuk segera pulang. Ia keluar dari ruangannya dan berpas-pasan dengan Max yang keluar juga dari ruangan."Pulanglah bersamaku." Ajak Max, tentu saja Grace langsung menolak."Saya bisa sendiri."Max memperhatikan Grace dari ujung rambut hingga ujung kaki."Helly akan mengincarmu malam ini." Grace sempat tersentak, namun ia tersadar kembali kalau dirinya bersama Max akan lebih berbahaya lagi."Saya baik-baik saja." Tegas Grace membuat Max tertawa. Pria itu langsung pergi begitu saja membuat Grace menggerutu."Huh, sabar. Jika tidak bersamanya aku tidak biaa hidup.".Grace masih setia menunggu bus angkutan umum untuk mengantarnya ke apartemen yang biasanya ia tempati.Sudah jam sembilan lewat tapi bus itu tak juga melintas, biasanya jam sembilan bus itu sudah tiba di tempat yang Grace tunggu itu."Seharusnya aku menerima ajakan Olivia."Sebuah mobil sedan berhenti tepat dihadapannya. Grace awalnya merasa biasa saja akan hal itu. Namun ketika seorang
Grace merapihkan berkas yang akan ditanda tangani oleh Max. Ia bergegas menuju ruangan Max namun berpas-pasan dengan Helly yang baru saja keluar dari ruangan Max."Oho, apa ini? Kau masih hidup?" Cerocos wanita itu membuat Grace geram namun terus menahan karena tahu bahwa lawannya ini bukan orang biasa."Sayangnya begitu, nona." Jawab Grace yang berhasil membuat Helly kesal."Dasar wanita rendahan!" sentak Helly, Grace menghela nafasnya."Entah apa yang membuat anda berpikir seperti itu, tetapi bukankah wanita yang berkelas tidak pantas menilai orang hanya dalam satu kali lihat?" Plak!Helly berhasil menampar keras pipi kanan Grace sampai Grace terhuyung kebelakang. Suara berjatuhan berkas itu berhasil membuat para karyawan disekitarnya melirik."Berani-beraninya orang rendahan sepertimu mengajariku! Dasar jalang sialan!" teriak Helly yang hendak menampar kembali Grace namun Jovel berhasil menahan tangan itu."Ada berisik apa ini?" tanya Jovel muncul dari ruangan Max.Helly menarik
Grace meminum pil kontrasepsi yang baru ia beli di apotik sepulang kerja tadi. Walau Max berkata akan menikahinya jika ia hamil, Grace sama sekali tidak ingin mengandung anaknya.Wanita itu menghela nafas sambil berbaring di sofa panjang apartemennya."Setidaknya aku bisa memanfaatkan ke obsesannya padaku untuk menikmati hidup." Ucap Grace sambil memikirkan beberapa strategi kedepannya.Ting TongGrace melirik kearah pintu, ia sempat terdiam sebentar untuk menunggu bel kedua.Ting TongWanita itu bangkit kemudian berjalan membuka pintu apartemennya. Muncul seorang pria dengan buket bunga indah menutupi dirinya membuat Grace mengerutkan dahi."Siapa anda?" Pria itu memiringkan bunganya dan terpampang lah wajah Max yang tampak sangat senang.Grace sedikit terkejut namun kemudia ia memasang wajah ekting yang sangat menipu."Ah, Max. Terima kasih." Grace mengambil buket bunga itu dan menghirupnya dalam-dalam. Grace langsung terdiam begitu menyadari bahwa aroma bunga itu adalah racun y
Grace merebahkan dirinya diatas kasur begitu sampai di apartemennya. Ia menghela nafas panjang lalu melirik kearah ponselnya yang berdering."Halo?""Grace.." lirik Olivia membuat Grace terbangun dari tidurnya."Ada apa Olivia?"Olivia diam tak bergeming, itu membuat Grace semakin panik."Olivia, cepat jawab aku!" seru Grace, Olivia mulai terisak."Grace, lelaki sialan itu..""Mantanmu?""Iya.. dia telah memakai ktp ku untuk meminjam uang diaplikasi, sekarang para rentenir itu sedang berdiri didepan apartemenku. Aku takut." Gumam Olivia bergetar membuat Grace semakin khawatir."Olivia, kamu dimana sekarang?" tanya Grace."Aku di lapang dekat apartemenku. Aku melihat apartemenku sedang digedor oleh rentenir! Sebelumnya mereka meneleponku terus, aku takut Grace, tolong aku." Pinta Olivia yang tiada hentinya menangis."Olivia tenanglah dan bersembunyi! Aku akan segera menjemputmu!"Grace mematikan sambungan telepon dan buru - buru keluar apartemennya. Begitu pintu terbuka, Max muncul diba
"Istri saya?" tanya Jovel pura-pura kebingungan."Yah, istrimu. Siapa tahu dia akan berteman dengan Grace." Jelas Max, Jovel menghela nafas lega."Saya tidak punya istri tuan, anda tidak perlu khawatir." Jelas Jovel, Max mengerutkan alisnya.Max tahu kalau saat ini Jovel sedang berbohong. Tapi dari itu semua, Max sangat mengerti jika Jovel tidak ingin memberitahukan identitas istrinya itu."Baiklah, segera bawa Olivia kemari. Kamu tidak perlu menempatkannya disisiku, buat saja dia ingin bertemu Grace walau sebentar." Titah Max. Jovel membungkukkan badannya. "Baik tuan."Jovel keluar dari ruangan Max dan berpas-pasan dengan assisten dari Riksan."Apa tuan Max didalam?" tanyanya, Jovel mengangguk."Tuan muda ingin bertemu, apakah bisa?"Jovel sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Tuan muda yang ia maksud pasti adik tiri Max, apakah Max akan baik-baik saja jika bertemu denganya?"Akan ku tanyakan terlebih dulu."Jovel masuk kembali ke ruangan membuat Max menatapnya bingung. "Kenapa?""
"Jadi, kamu akan menandatanganinya?" tanya Riksan begitu mendengar kalau Max memanggilnya.Max mengangguk lalu mengambil berkas yang diberikan assisten Riksan. Max membaca sekilas berkas itu, menandatanganinya lalu memberikannya pada Riksan."See?"Riksan menerima berkas itu dan mengembangkan senyuman."Bagus, akhirnya kamu memiliki pemikiran dewasa." Max membuang muka sambil menghela nafas."Sekarang berikan istriku!" tegas Max membuat Riksan terkekeh pelan."Tenang. Jo! Jemputlah Grace dengan hati-hati. Dia adalah wanita kesayangan anakku." Titah Riksan yang langsung dituruti oleh assistennya.Kepergian Jo bertepatan dengan Jovel yang baru saja datang membawa Grace. Semua tatapan itu refleks melirik padanya."Ah, ternyata kau sudah kabur."Grace terlihat tenang lalu melirik pada Max. Max bangun dari duduknya dan berjalan kearah Grace.Mereka berpelukan untuk waktu yang lama. Menjalarkan kerinduan karena beberapa saat mereka tidak bertemu karena masalah keluarga Max yang sangat meru
"Sialan!"Max membanting semua barang di rumahnya membuat kegaduhan besar di rumah. Para pelayannya hanya menunduk melihat tuannya marah besar karena tidak berani sama sekali dengan Max."Aku tidak menyangka pelayanku sendiri mengkhianatiku." Gumam Max yang dapat didengar oleh seluruh pelayan di rumahnya.Max menatapi pelayan itu satu-satu. Memelototi mereka dengan tajam membuat nyali mereka makin menciut."Sania!"Orang yang dipanggil itu keluar. Ia berjalan mendekat kearah Max sambil tetap menundukan kepalanya.Max menatap lekat orang itu. Sania yang sudah lama menjadi kepala pelayan hanya bisa menunduk menerima kenyataan bahwa dirinya lah yang akan disalahkan."Tuan, tolong kendalikan diri anda!" Jovel tiba-tiba datang seperti penyelaman untuk para pelayan.Max menatap Jovel dengan tajam dan kini membuang muka. Jovel mendekati tuannya lalu menunduk dengan sopan."Tuan, jika memang anda ingin istri anda kembali, coba pertimbangkan kembali tawaran ayah anda." Ucap Jovel membuat Max t
Beberapa hari berlalu, kini Grace dan Max sudah kembali lagi ke negara asal. Jovel yang sudah setia menunggu di bandara langsung membawa laki-laki itu menuju kantor membuat Grace bergeleng kepala."Pulanglah ke rumah. Aku akan segera pulang." Titah Max. Grace hanya mengangguk menurut lalu melambaikan tangan pada Max yang kini sudah pergi berlalu.Grace menatap kepergian Max yang diiringi dengan Jovel. Seseorang pun menepuk pundaknya membuat Grace membalikkan badan."Nyonya, mari ikuti saya." Ucap seseorang yang memakai baju pelayan yang sering ada di rumahnya.Grace tersenyum dan mengangguk lalu mengikuti pria itu.Sebenarnya Grace sedikit asing dengan pelayan dihadapannya. Pelayan di rumah Max memang terbilang cukup banyak, tetapi pasti selewat Grace mengenal wajah pelayan itu."Silahkan masuk nyonya."Grace ditambah bingung lagi ketika melihat mobil yang tidak pernah ia naiki itu. Max tidak pernah membeli mobil yang modelannya seperti ini."Em, apa ini mobil Max?" tanya Grace. Pelay
"Keluarkan Olivia dan buang dia jauh-jauh dari Grace." Jovel sangat bahagia dalam hatinya. Max akhirnya memerintahkan untuk membuang Olivia dimana pria itu tidak akan menganggangu Olivia lagi."Satu lagi, uruslah perusahaanku di Bali untuk sementara waktu. Aku tidak bisa keluar kota untuk saat ini."Jovel membungkuk dengan sopan lalu pergi berlalu untuk segera melaksanakan perintah atasannya. Jovel melangkah dengan senangnya sambil membuat surat rekomendasi untuk Olivia bekerja di perusahaan Bali agar bisa terus bersamanya.Sampai setelah rencananya semua itu berjalan lancar, Olivia malah merobek surat rekomendasinya membuat Jovel mematung kaget."Aku akan pergi sendiri."Gadis itu pergi berlalu begitu saja membuat Jovel segera berbalik dan menarik lengannya. "Jangan tinggalkan aku!"Olivia tersentak mendengar itu dan berbalik melihat Jovel yang kini sudah menangis dengan wajah sedihnya.Wanita itu pastinya sangat tidak percaya dengan ekspresi itu. Selama ini Jovel yang selalu tidak
Jovel menghela nafas panjang. Sudah dua hari berlalu dari libur tuannya memberatkan harinya. Padahal dirinya sudah sibuk mengurus perusahaan Max yang ada di Bali, kini dirinya juga harus mengurus perusahaan di Jakarta. Yang benar saja.Namun untungnya ia mempunyai istri yang berbakat sehingga pekerjaannya di Bali sedikit lebih ringan.Kintan masuk ke ruangan Max yang sedang diisi Jovel membuat pria itu kini menyorotnya dengan mata sinis. Sudah dua hari pula gadis itu tidak masuk sehingga pekerjaannya disini tidak ada yang membantu."Kemana saja kau?!" tanya Jovel bengis membuat Kintan mengerutkan alis."Kenapa kamu yang disini? Kemana tuan Max?" tanya Kintan, Jovel mendesah pelan sambil membuang pandangannya tak menjawab pertanyaan Kintan.Kintan merasa tersinggung dicueki seperti itu. Dirinya pun berjalan menghentakkan kaki mendekati Jovel. Ia menarik kerah baju Jovel dan menatapnya dengan lekat."Beritahu aku kemana perginya Max!"Jovel menepis lengan Kintan dari bajunya. Pria itu m
Keesokan harinya. Max sudah berjanji kepada Grace untuk membawanya bermain salju. Grace sudah siap dengan pakaian hangatnya membuat Max merasa gemas. Jaket tebal bulu berwarna pink dan topi kupluk itu membuat Grace merasa hangat namun terlihat tenggelam karena Grace bertubuh kecil. "Ayo! Aku sudah siap." Ajak Grace dengan semangatnya. Max terkekeh pelan lalu meraih lengan sang istri dengan lembut. "Ayo!" Mereka pun berjalan bersama keluar kamar hotel. Sebenarnya, konsep hotel yang mereka tempati itu terlihat seperti tenda namun ini tidak menggunakan bahan tenda. Dimana setiap kamarnya berjarak cukup jauh jadi mereka bisa melihat dan merasakan salju walaupun keluar kamar. "Aku akan membawa mu menaiki gondola. Agar kamu bisa puas melihat-lihat Swiss sebelum pulang. Maaf karena tidak bisa membawamu berlibur yang panjang." Ucap Max. Jujur, Grace sangat senang dengan rencana yang Max buat sendiri. Dirinya jadi hanya perlu diam mengikuti dan menikmati pemandangan indah dari negeri asin
Hari yang Grace nantikan telah tiba. Liburan romantisnya ke negeri Swiss membuat wanita itu tersenyum senang menikmati salju yang kini turun dari langit. Sejujurnya, Grace tidak pernah merasakan salju sama sekali. Karena dirinya lahir dari keluarga miskin, ia jadi tidak bisa pergi kemana pun sesuka hati. Boro-boro berpergian, untuk sesuap nasi saja mereka kesulitan karena ayahnya yang sering berhutang judi kesana kemari. Mengingat itu membuat Grace jadi kepikiran dengan orang tuanya. Apa kabar ayahnya sekarang? Setelah terakhir menemui Max, ia tidak pernah muncul lagi, apa Max melakukan sesuatu? "Grace.. apa yang kamu pikirkan? Kamu tidak boleh banyak pikiran!" seru Max sambil mengalungkan tangannya dipinggang Grace. "Ah, tidak. Aku hanya kepikiran keluargaku saja." Max mengerutkan dahi. "Aku kan keluargamu, Grace." Grace terkekeh pelan mendengar itu
Grace dan Max sudah siap untuk pergi ke dokter kandungan. Mereka akan segera memeriksa bagimana keadaan kandungan Grace saat ini. Jaga-jaga jika sang wanita tidak sehat, Max sangat tidak ingin Grace sakit.Sesampainya mereka di rumah sakit, Max menghantar Grace dengan begitu romantisnya membuat Grace merasa senang saat ini."Silahkan berbaring nyonya." Titah dokter yang langsung disetujui oleh Grace.Wanita itu segera berbaring dan dokter memeriksa perutnya. Dokter mengarahkan alat untuk mencari janin yang tengah dikandung Grace."Wah, selamat nyonya, anak anda ada dua!"Grace menatap Max dengan begitu bahagianya membuat Max ikut tersenyum."Apa bayinya sehat?" tanya Max.Dokter tersebut mengangguk lalu memperhatikan layar yang menampilkan bayi."Ibunya sedang bahagia ya? Bayinya terlihat senang. Tolong dipertahankan ya." Ucap dokter.Grace tertawa pelan lalu mengangguk. Max menatap Grace dengan sayu dan tersenyum menyadari kalau gadis itu kini tengah bahagia."Nah sudah selesai. Saya