Grace terdiam membeku diambang pintu.
"Kemarilah nona, aku ingin mendengar lamaranmu pada perusahaanku." Titah Max dengan nada lembutnya.Grace yang menegang itu perlahan mendekati Max dan duduk dihadapannya."Jadi, apa bakatmu?"Grace terdiam sejenak. Apakah dirinya harus mengurungkan niat untuk melamar di perusahaan Max?Ia sangat tidak tahu bahwa Max adalah seorang CEO perusahaan, apalagi perusahaan tersebut adalah perusahaan terjaya di kotanya."Sa-saya..""Bakatmu bukan diranjang lagi kan?" tanya Max membuat hati Grace tergetuk."Saya tidak menyangka seorang CEO dari perusahaan terbesar menanyakan itu pada calon karyawannya." Tegas Grace tersinggung membuat Max terkekeh pelan."Apa aku harus mengungkit janji yang telah kau ingkari?"Grace terdiam begitu Max melontarkan pertanyaan itu, Max menghela nafas."Padahal kau sudah teriak kenikmatan saat itu. Akan ku maafkan karena aku juga merasakan kenikmatan. Sekarang, apa yang akan kamu lakukan di perusahaanku?"Grace berusaha menata hatinya. Ia menghilangkan semua dendam dan pikiran demi masa depannya yang ia simpan di perusahaan ini."Saya menginginkan posisi editing." Jawab Grace, Max seperti mempertimbangkan sesuatu."Editing sangat jauh dengan ku.. bagaimana kalau menjadi assisten sekertarisku?"Grace membelakkan matanya lebar. Tawaran itu tentu adalah hal yang terindah bagi semua orang, namun Grace yang posisinya seperti ini malah berpikir curiga dengan niat terselubung Max."Saya keberatan, saya belum yakin untuk bisa menempatkan diri diposisi itu. Saya ini menjadi karyawan biasa." Pinta Grace membuat Max menatapnya dalam."Pilihannya hanya dua, menjadi assisten sekertarisku, atau menjadi sekertarisku."."Grace!"Olivia mendekati Grace yang berada dikursi kantin kantor."Kamu udah disini aja! Gimana interviewnya, lancar?" tanya Olivia bersemangat. Grace meliriknya tak enak untuk mengubah suasan."Iya, apa kamu keterima?" tanya balik Grace, Olivia mengembangkan senyum."Iya!"Grace ikut tersenyum dan bernafas lega. Entah kenapa, kebahagiaan temannya itu membuat dia ikut bahagia."Aku terpilih menjadi copywriter. Katanya aku berurusan langsung dengan CEO, bukankah itu sebuah keberuntungan?"Grace mengangguk sambil tersenyum, ia semakin tak enak untuk memberitahu bahwa pangkatnya lebih tinggi daripada Olivia.Grace dan Olivia tersentak melihat orang-orang segera menunduk. Mereka mencoba mengedarkan pandangan dan melihat bahwa CEO mereka, Max, akan memasuki kantin.Grace dan Olivia ikut menunduk. Mereka melirik kearah bawah dan tersentak begitu melihat ada kaki seseorang dengan sepatu mewah berdiri dihadapan mereka.Grace mengangkat kepalanya, ia melihat wajah Max yang tersenyum menang sambil menatap Grace."Aku belum menyuruhmu mengangkat kepalamu,"Dengan segera, Grace menundukkan kepalanya kembali.Max terkekeh pelan dengan sikap sekertaris barunya. Ia menyentuh dagu Grace dan mengangkat ke depan wajahnya."Jangan menunjukkan wajah kesal padaku, Monica."Max pergi berlalu setelah mengucapkan kata-kata itu. Olivia yang tak mengerti situasi itu melirik kearah Grace dengan wajah bertanya-tanya."Namamu Grace kan? Kenapa pak Max memanggilmu Monica?" tanya Olivia penasaran, Grace hanya bergeleng tak mau menjawab lalu pergi berlalu dari sana..Grace memasuki ruangan Max begitu assistennya, Jovel, memanggilnya.Berbeda dengan Grace yang menjadi sekertaris kantor, Jovel adalah seorang assisten yang membantu kehidupan pribadi Max."Tuan, Grace sudah datang." Ucap Jovel memberitahu Max.Max yang sedang berkutat dengan berkas itu langsung mendonggakkan kepalanya tanpa menghentikan aktivitas tangannya.Grace tergugup sambil melangkah mendekati Max."Ada pekerjaan yang harus kamu lakukan." Ucap Max, Grace hanya diam menunggu arahan Max.Max terdiam sebentar, manatap Grace dari atas sampai bawah."Temani aku tidur malam ini."Grace membelakkan matanya."Saya adalah seorang sekertaris, bukan tugas seorang sekertaris menemani atasannya tidur." Tolak Grace tegas membuat Max kesal."Kau ka--""Saya adalah sekertaris sekarang, bukan kupu-kupu malam." Potong Grace.Max yang geram memukul meja keras membuat Grace tersentak.Max menghentakkan kaki menuju Grace lalu menarik lengan wanita itu dengan kasar."Sampai kapan kau akan membantah ucapanku, hah?"Grace membalas tatapan Max yang begitu tajam dan dalam."Silahkan pecat saya jika anda tak suka."Max membanting lengan Grace membuat gadis itu sedikit terhuyung."Bawa dia keluar." titah Max pada Jovel, Jovel menunduk lalu menarik lengan Grace dan membawanya keluar ruangan.Grace menghela nafas lega setelah berada diluar ruangan.Jovel menatap Grace tajam membuat gadis itu merasa tak nyaman."Apa ada yang ingin anda sampaikan?" tanya Grace karena tak tahan terus diperhatikan."Anda adalah bawahan, tidak seharusnya anda melawan atasan anda." Tegas Jovel membuat Grace tersentak."Apa saya salah mempertahankan harga diri saya?" tanya Grace kembali. Jovel mendorong nafasnya kasar."Dari awal juga harga diri anda sudah rendah, tidak perlu anda membicarakan harga diri yang tidak ada itu."Jovel langsung pergi meninggalkan Grace membuat gadis itu terdiam membeku di depan pintu.."Sekarang beritahu jadwal ini pada pak Max, temani dia saat meeting dan lakukan tugasmu dengan benar." Titah Wildan, mantan sekretaris Max."Baik, Pak, terima kasih."Grace menerima berkas yang diberi Wildan dengan sopan. Ia membuka berkas itu untuk membacanya sekilas.Wildan menghela nafas yang terdengar oleh telinga Grace."Apa ada yang bapak khawatirkan?" tanya Grace, Wildan melirik."Tidak, hanya baru kali ini pak Max akhirnya mengganti sekretaris, aku merasa bebas." Jawab Wildan dengan lega. Grace hanya tersenyum kecut karena kini dirinya lah yang tak bebas."Kalau begitu semangat bekerja Grace, jangan biarkan resign ku sia-sia." Ucap Wildan membuat Grace merasa tak enak."Baik, Pak, terima kasih banyak."Wildan tersenyum lalu pergi dari ruangan sekretaris Max.Grace menghela nafas panjang lalu duduk dikursi sana. Ia merenggangkan badannya sedikit sebelum akhirnya ia mendapat panggilan dari telepon kantor."Halo?""Dengan sekretaris CEO?" tanya penelpon."Iya, ini saya, Grace, sekretaris baru pak Max." Jawab Grace dengan tegas."Disini ada wanita yang meminta izin untuk bertemu dengan pak Max, tolong konfirmasinya." Jelas penelpon, Grace mengerutkan alisnya.Dari ruangannya yang bisa terpantau aktivitas Max karena ruangan mereka bersebelahan dan hanya terhalang kaca pembatas, Grace jadi bisa melihat Max yang sedang sibuk berkutat dengan berkas."Saya akan tanyakan terlebih dahulu.""Baik."Grace menutup teleponnya dan bangkit untuk memasuki ruangan Max. Setelah sampai dihadapan Max, pria itu mendogak dengan muka bertanya sekaligus kesal."Ada wanita yang ingin bertemu bapak." Ucap Grace, Max menghela nafas."Suruh dia pergi."BRAKGrace dan Max refleks menoleh begitu pintu ruangan Max terbanting keras.Terlihat seorang wanita dengan pakaian seksinya menunjukkan bentuk tubuh seksi milik wanita itu.Wanita itu melirik Grace tak suka karena itu lah wanita yang membuat pertemuannya dengan Max jadi terhambat."Sayang, kenapa kau menempatkan sekertaris bodoh itu disampingmu?" tanya wanita itu mendekati Max dan memeluknya manja.Grace yang mendengar kata-kata itu tersentak kaget membuat Max kesal."Ngapain kamu kesini Helly?" tanya Max menahan emosi. Helly mendogak memperhatikan wajah Max."Apakah butuh alasan untuk seorang wanita datang menemui pacarnya?"Pertanyaan itu membuat Max kesal karena ekspresi Grace yang terlihat buruk. Max mendorong wanita itu untuk menjauh darinya dan segera bangkit untuk pergi."Jika kau menolakku lagi, apa ayahmu akan membiarkan ini semua?" teriak Helly menahan kepergian Max.Max dengan ekspresi kesal membalikkan badannya."Biarkan orang yang bau tanah itu tenang dengan kau berhenti mengadu, Helly. Jika dia mati, perusahaannya akan turun padaku, bukan kamu yang hanya bisa mengangkang untuk dimasuki semua pria."Penuturan Max berhasil membuat Helly geram. Ia sudah cukup malu untuk semua perkataan Max dan melirik pada Grace yang masih diam tak bergeming.Helly berjalan menghentakkan kaki mendekati Grace dan menarik rambut Grace membuat Grace refleks teriak."Aaakkkh!""Ini kah yang membuatmu berubah? Akan ku bunuh wanita ini dengan tanganku sendiri!" ancan Helly.Max melihat pertunjukkan itu dengan sedikit terhibur. Ia melihat ekspresi Grace yang menangis kesakitan membuatnya membayangkan jika Grace berekspresi seperti itu saat berada dibawahnya pasti akan sangat menyenangkan.Helly yang melihat Max tertawa semakin kesal. Ia mendorong Grace kencang membuat Grace terjatuh hampir membentur meja."Awas saja jika kau berani menolakku lagi!"Helly keluar dengan perasaan jengkel, sedangkan Max masih menatap Grace yang sedang meringis kesakitan. Ia mulai menyusun strategi agar bayangannya tadi bisa terwujud saat itu juga.Grace membereskan barang-barangnya untuk segera pulang. Ia keluar dari ruangannya dan berpas-pasan dengan Max yang keluar juga dari ruangan."Pulanglah bersamaku." Ajak Max, tentu saja Grace langsung menolak."Saya bisa sendiri."Max memperhatikan Grace dari ujung rambut hingga ujung kaki."Helly akan mengincarmu malam ini." Grace sempat tersentak, namun ia tersadar kembali kalau dirinya bersama Max akan lebih berbahaya lagi."Saya baik-baik saja." Tegas Grace membuat Max tertawa. Pria itu langsung pergi begitu saja membuat Grace menggerutu."Huh, sabar. Jika tidak bersamanya aku tidak biaa hidup.".Grace masih setia menunggu bus angkutan umum untuk mengantarnya ke apartemen yang biasanya ia tempati.Sudah jam sembilan lewat tapi bus itu tak juga melintas, biasanya jam sembilan bus itu sudah tiba di tempat yang Grace tunggu itu."Seharusnya aku menerima ajakan Olivia."Sebuah mobil sedan berhenti tepat dihadapannya. Grace awalnya merasa biasa saja akan hal itu. Namun ketika seorang
Grace merapihkan berkas yang akan ditanda tangani oleh Max. Ia bergegas menuju ruangan Max namun berpas-pasan dengan Helly yang baru saja keluar dari ruangan Max."Oho, apa ini? Kau masih hidup?" Cerocos wanita itu membuat Grace geram namun terus menahan karena tahu bahwa lawannya ini bukan orang biasa."Sayangnya begitu, nona." Jawab Grace yang berhasil membuat Helly kesal."Dasar wanita rendahan!" sentak Helly, Grace menghela nafasnya."Entah apa yang membuat anda berpikir seperti itu, tetapi bukankah wanita yang berkelas tidak pantas menilai orang hanya dalam satu kali lihat?" Plak!Helly berhasil menampar keras pipi kanan Grace sampai Grace terhuyung kebelakang. Suara berjatuhan berkas itu berhasil membuat para karyawan disekitarnya melirik."Berani-beraninya orang rendahan sepertimu mengajariku! Dasar jalang sialan!" teriak Helly yang hendak menampar kembali Grace namun Jovel berhasil menahan tangan itu."Ada berisik apa ini?" tanya Jovel muncul dari ruangan Max.Helly menarik
Grace meminum pil kontrasepsi yang baru ia beli di apotik sepulang kerja tadi. Walau Max berkata akan menikahinya jika ia hamil, Grace sama sekali tidak ingin mengandung anaknya.Wanita itu menghela nafas sambil berbaring di sofa panjang apartemennya."Setidaknya aku bisa memanfaatkan ke obsesannya padaku untuk menikmati hidup." Ucap Grace sambil memikirkan beberapa strategi kedepannya.Ting TongGrace melirik kearah pintu, ia sempat terdiam sebentar untuk menunggu bel kedua.Ting TongWanita itu bangkit kemudian berjalan membuka pintu apartemennya. Muncul seorang pria dengan buket bunga indah menutupi dirinya membuat Grace mengerutkan dahi."Siapa anda?" Pria itu memiringkan bunganya dan terpampang lah wajah Max yang tampak sangat senang.Grace sedikit terkejut namun kemudia ia memasang wajah ekting yang sangat menipu."Ah, Max. Terima kasih." Grace mengambil buket bunga itu dan menghirupnya dalam-dalam. Grace langsung terdiam begitu menyadari bahwa aroma bunga itu adalah racun y
Grace merebahkan dirinya diatas kasur begitu sampai di apartemennya. Ia menghela nafas panjang lalu melirik kearah ponselnya yang berdering."Halo?""Grace.." lirik Olivia membuat Grace terbangun dari tidurnya."Ada apa Olivia?"Olivia diam tak bergeming, itu membuat Grace semakin panik."Olivia, cepat jawab aku!" seru Grace, Olivia mulai terisak."Grace, lelaki sialan itu..""Mantanmu?""Iya.. dia telah memakai ktp ku untuk meminjam uang diaplikasi, sekarang para rentenir itu sedang berdiri didepan apartemenku. Aku takut." Gumam Olivia bergetar membuat Grace semakin khawatir."Olivia, kamu dimana sekarang?" tanya Grace."Aku di lapang dekat apartemenku. Aku melihat apartemenku sedang digedor oleh rentenir! Sebelumnya mereka meneleponku terus, aku takut Grace, tolong aku." Pinta Olivia yang tiada hentinya menangis."Olivia tenanglah dan bersembunyi! Aku akan segera menjemputmu!"Grace mematikan sambungan telepon dan buru - buru keluar apartemennya. Begitu pintu terbuka, Max muncul diba
Olivia membereskan barangnya karena jam sudah menunjukkan pukul lima sore, itu adalah jam para karyawan menyelesaikan waktunya di kantor.Gadis itu menenteng tasnya dan beberapa map berisi dokumen untuk dia laporkan pada atasannya bidangnya, Jovel.Olivia berjalan menaiki lift dan memencet tombol kearah lantai yang ia tuju. Sesampainya di lantai tujuh, ia malah berpas - pasan dengan Jovel yang akan dia temui."Ah, tuan Jovel, selamat sore." Ucap Olivia sopan yang disambut oleh Jovel."Apa kau ingin memberikan laporan padaku?" tanya Jovel, Olivia mengangguk pelan."Kalau begitu kita obrolkan di restoran sebrang saja, aku sudah kelaparan." Ucap Jovel ikut masuk ke dalam lift."Oh, baiklah."Merekapun berjalan bersama menuju restoran yang dimaksud."Selamat datang, anda ingin kami siapkan untuk berapa orang?" tanya pelayan begitu Jovel dan Olivia memasuki restoran."Dua saja." Jawab Jovel."Baik, kami akan memberikan tempat paling romantis." Olivia dan Jovel saling terkejut, mereka semp
Grace menghentikan aktivitasnya begitu kedua sejoli itu sudah mencapai puncaknya masing - masing. Grace ambruk diatas Max sedangkan Max mulai merapihkan Grace.Setelah selesai merapihkan pakaian, Max menyimpan Grace pada kursi penumpang dan mulai menjalankan mobilnya kembali menuju rumahnya.Grace bangun tersadar. Ia melihat sekitar dan menyadari bahwa mereka tengah berada diperjalanan."Apa kita akan pulang?" tanya Grace."Tentu." Jawab Max.Grace terdiam tak membalas. Ia melihat kearah jendela dan mencoba memikirkan sesuatu yang sekiranya penting untuk ia pikirnya.Namun seringkali, begitu ia melakukan hubungan sex dengan Max, pasti dalam beberapa saat ingatannya hanya itu.Grace mengusap mukanya lalu menyandarkan diri pada kursi mobil."Apa yang membuatmu gelisah?" tanya Max, Grace meliriknya."Em, tidak. Hanya saja aku tidak ada hal untuk dipikirkan." Jawab Grace.Max terkekeh sambil mengemudikan mobilnya dengan tenang."Apa otakmu itu harus terus berpikir setiap saat?" tanya Max
Grace berlari pelan di koridor rumah sakit. Ia ditemani oleh Jovel karena Max harus mengurusi beberapa berkas yang tertunda. "Sebelah sini, Nona." Panggil Jovel begitu Grace melewati kamar Olivia. Grace terhenti lalu balik badan, ia pun memasuki kamar yang Jovel maksud. Grace berjalan perlahan menuju kasur Oliva. Terlihat Olivia yang berbaring tak berdaya dengan beberapa selang yang ada ditubuhnya. "Apa kamu yakin, Olivia baik - baik saja?" tanya Grace tak percaya dengan pernyataan Jovel sebelumnya yang mengabarkan bahwa Olivia dalam keadaan baik. "Iya, Nona. Olivia sebelumnya sadar dan sempat mengobrol dengan saya." Jelas Jovel, Grace hanya mengangguk pelan. Gadis itu duduk dikursi yang ada didekat kasur Oliva. Memperhatikan Olivia dan menitikan air mata karena kasihan dengan nasib malang gadis itu. Sudah diselingkuhi oleh mantan kekasihnya sesaat akan menikah, dijadikan taruhan pinjol bahkan mendorongnya hingga tabrakan, sungguh orang yang kejam! "Apa lelaki itu sudah ditang
"Kau mau membantu apa, Alvin?" tanya Max membuat Alvin sedikit terkejut."Haha, aku tersanjung karena kamu mengenalku. Tapi apa aku yang hilang ingatan karena tidak mengenalmu?" tanya balik Alvin.Max mengacuhkan pertanyaan itu dengan meminun kopi yang belum habis."Ah, mari kita dengar masukanmu! Coba duduk disini dan katakan apa yang harus kita lakukan." Sahut Derick dengan serius, Alvin tersnyum sambil mendudukan diri dikursi."Aku mengenal nona Grace, kita pernah berada di satu kampung yang sama. Disana Grace dekat dengan satu wanita dan kita bisa memakai wanita itu untuk menggantikan kita!" jelas Alvin membuat semua terkejut."Itu hal yang bagus! Kita bisa perlahan mengusik Olivia lewat temannya dan Grace akan semakin membutuhkanmu kan, tuan?" tanya Derick.Max tampak tersenyum miring. Ia tertawa pelan sambil menyimpan kopinya."Bukan ide yang buruk."Alvin tersenyum mendengarnya. Ini lah langkah yang membawanya menuju kesuksesan. Ikut bergabung pada orang yang obsesi pada orang
"Istri saya?" tanya Jovel pura-pura kebingungan."Yah, istrimu. Siapa tahu dia akan berteman dengan Grace." Jelas Max, Jovel menghela nafas lega."Saya tidak punya istri tuan, anda tidak perlu khawatir." Jelas Jovel, Max mengerutkan alisnya.Max tahu kalau saat ini Jovel sedang berbohong. Tapi dari itu semua, Max sangat mengerti jika Jovel tidak ingin memberitahukan identitas istrinya itu."Baiklah, segera bawa Olivia kemari. Kamu tidak perlu menempatkannya disisiku, buat saja dia ingin bertemu Grace walau sebentar." Titah Max. Jovel membungkukkan badannya. "Baik tuan."Jovel keluar dari ruangan Max dan berpas-pasan dengan assisten dari Riksan."Apa tuan Max didalam?" tanyanya, Jovel mengangguk."Tuan muda ingin bertemu, apakah bisa?"Jovel sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Tuan muda yang ia maksud pasti adik tiri Max, apakah Max akan baik-baik saja jika bertemu denganya?"Akan ku tanyakan terlebih dulu."Jovel masuk kembali ke ruangan membuat Max menatapnya bingung. "Kenapa?""
"Jadi, kamu akan menandatanganinya?" tanya Riksan begitu mendengar kalau Max memanggilnya.Max mengangguk lalu mengambil berkas yang diberikan assisten Riksan. Max membaca sekilas berkas itu, menandatanganinya lalu memberikannya pada Riksan."See?"Riksan menerima berkas itu dan mengembangkan senyuman."Bagus, akhirnya kamu memiliki pemikiran dewasa." Max membuang muka sambil menghela nafas."Sekarang berikan istriku!" tegas Max membuat Riksan terkekeh pelan."Tenang. Jo! Jemputlah Grace dengan hati-hati. Dia adalah wanita kesayangan anakku." Titah Riksan yang langsung dituruti oleh assistennya.Kepergian Jo bertepatan dengan Jovel yang baru saja datang membawa Grace. Semua tatapan itu refleks melirik padanya."Ah, ternyata kau sudah kabur."Grace terlihat tenang lalu melirik pada Max. Max bangun dari duduknya dan berjalan kearah Grace.Mereka berpelukan untuk waktu yang lama. Menjalarkan kerinduan karena beberapa saat mereka tidak bertemu karena masalah keluarga Max yang sangat meru
"Sialan!"Max membanting semua barang di rumahnya membuat kegaduhan besar di rumah. Para pelayannya hanya menunduk melihat tuannya marah besar karena tidak berani sama sekali dengan Max."Aku tidak menyangka pelayanku sendiri mengkhianatiku." Gumam Max yang dapat didengar oleh seluruh pelayan di rumahnya.Max menatapi pelayan itu satu-satu. Memelototi mereka dengan tajam membuat nyali mereka makin menciut."Sania!"Orang yang dipanggil itu keluar. Ia berjalan mendekat kearah Max sambil tetap menundukan kepalanya.Max menatap lekat orang itu. Sania yang sudah lama menjadi kepala pelayan hanya bisa menunduk menerima kenyataan bahwa dirinya lah yang akan disalahkan."Tuan, tolong kendalikan diri anda!" Jovel tiba-tiba datang seperti penyelaman untuk para pelayan.Max menatap Jovel dengan tajam dan kini membuang muka. Jovel mendekati tuannya lalu menunduk dengan sopan."Tuan, jika memang anda ingin istri anda kembali, coba pertimbangkan kembali tawaran ayah anda." Ucap Jovel membuat Max t
Beberapa hari berlalu, kini Grace dan Max sudah kembali lagi ke negara asal. Jovel yang sudah setia menunggu di bandara langsung membawa laki-laki itu menuju kantor membuat Grace bergeleng kepala."Pulanglah ke rumah. Aku akan segera pulang." Titah Max. Grace hanya mengangguk menurut lalu melambaikan tangan pada Max yang kini sudah pergi berlalu.Grace menatap kepergian Max yang diiringi dengan Jovel. Seseorang pun menepuk pundaknya membuat Grace membalikkan badan."Nyonya, mari ikuti saya." Ucap seseorang yang memakai baju pelayan yang sering ada di rumahnya.Grace tersenyum dan mengangguk lalu mengikuti pria itu.Sebenarnya Grace sedikit asing dengan pelayan dihadapannya. Pelayan di rumah Max memang terbilang cukup banyak, tetapi pasti selewat Grace mengenal wajah pelayan itu."Silahkan masuk nyonya."Grace ditambah bingung lagi ketika melihat mobil yang tidak pernah ia naiki itu. Max tidak pernah membeli mobil yang modelannya seperti ini."Em, apa ini mobil Max?" tanya Grace. Pelay
"Keluarkan Olivia dan buang dia jauh-jauh dari Grace." Jovel sangat bahagia dalam hatinya. Max akhirnya memerintahkan untuk membuang Olivia dimana pria itu tidak akan menganggangu Olivia lagi."Satu lagi, uruslah perusahaanku di Bali untuk sementara waktu. Aku tidak bisa keluar kota untuk saat ini."Jovel membungkuk dengan sopan lalu pergi berlalu untuk segera melaksanakan perintah atasannya. Jovel melangkah dengan senangnya sambil membuat surat rekomendasi untuk Olivia bekerja di perusahaan Bali agar bisa terus bersamanya.Sampai setelah rencananya semua itu berjalan lancar, Olivia malah merobek surat rekomendasinya membuat Jovel mematung kaget."Aku akan pergi sendiri."Gadis itu pergi berlalu begitu saja membuat Jovel segera berbalik dan menarik lengannya. "Jangan tinggalkan aku!"Olivia tersentak mendengar itu dan berbalik melihat Jovel yang kini sudah menangis dengan wajah sedihnya.Wanita itu pastinya sangat tidak percaya dengan ekspresi itu. Selama ini Jovel yang selalu tidak
Jovel menghela nafas panjang. Sudah dua hari berlalu dari libur tuannya memberatkan harinya. Padahal dirinya sudah sibuk mengurus perusahaan Max yang ada di Bali, kini dirinya juga harus mengurus perusahaan di Jakarta. Yang benar saja.Namun untungnya ia mempunyai istri yang berbakat sehingga pekerjaannya di Bali sedikit lebih ringan.Kintan masuk ke ruangan Max yang sedang diisi Jovel membuat pria itu kini menyorotnya dengan mata sinis. Sudah dua hari pula gadis itu tidak masuk sehingga pekerjaannya disini tidak ada yang membantu."Kemana saja kau?!" tanya Jovel bengis membuat Kintan mengerutkan alis."Kenapa kamu yang disini? Kemana tuan Max?" tanya Kintan, Jovel mendesah pelan sambil membuang pandangannya tak menjawab pertanyaan Kintan.Kintan merasa tersinggung dicueki seperti itu. Dirinya pun berjalan menghentakkan kaki mendekati Jovel. Ia menarik kerah baju Jovel dan menatapnya dengan lekat."Beritahu aku kemana perginya Max!"Jovel menepis lengan Kintan dari bajunya. Pria itu m
Keesokan harinya. Max sudah berjanji kepada Grace untuk membawanya bermain salju. Grace sudah siap dengan pakaian hangatnya membuat Max merasa gemas. Jaket tebal bulu berwarna pink dan topi kupluk itu membuat Grace merasa hangat namun terlihat tenggelam karena Grace bertubuh kecil. "Ayo! Aku sudah siap." Ajak Grace dengan semangatnya. Max terkekeh pelan lalu meraih lengan sang istri dengan lembut. "Ayo!" Mereka pun berjalan bersama keluar kamar hotel. Sebenarnya, konsep hotel yang mereka tempati itu terlihat seperti tenda namun ini tidak menggunakan bahan tenda. Dimana setiap kamarnya berjarak cukup jauh jadi mereka bisa melihat dan merasakan salju walaupun keluar kamar. "Aku akan membawa mu menaiki gondola. Agar kamu bisa puas melihat-lihat Swiss sebelum pulang. Maaf karena tidak bisa membawamu berlibur yang panjang." Ucap Max. Jujur, Grace sangat senang dengan rencana yang Max buat sendiri. Dirinya jadi hanya perlu diam mengikuti dan menikmati pemandangan indah dari negeri asin
Hari yang Grace nantikan telah tiba. Liburan romantisnya ke negeri Swiss membuat wanita itu tersenyum senang menikmati salju yang kini turun dari langit. Sejujurnya, Grace tidak pernah merasakan salju sama sekali. Karena dirinya lahir dari keluarga miskin, ia jadi tidak bisa pergi kemana pun sesuka hati. Boro-boro berpergian, untuk sesuap nasi saja mereka kesulitan karena ayahnya yang sering berhutang judi kesana kemari. Mengingat itu membuat Grace jadi kepikiran dengan orang tuanya. Apa kabar ayahnya sekarang? Setelah terakhir menemui Max, ia tidak pernah muncul lagi, apa Max melakukan sesuatu? "Grace.. apa yang kamu pikirkan? Kamu tidak boleh banyak pikiran!" seru Max sambil mengalungkan tangannya dipinggang Grace. "Ah, tidak. Aku hanya kepikiran keluargaku saja." Max mengerutkan dahi. "Aku kan keluargamu, Grace." Grace terkekeh pelan mendengar itu
Grace dan Max sudah siap untuk pergi ke dokter kandungan. Mereka akan segera memeriksa bagimana keadaan kandungan Grace saat ini. Jaga-jaga jika sang wanita tidak sehat, Max sangat tidak ingin Grace sakit.Sesampainya mereka di rumah sakit, Max menghantar Grace dengan begitu romantisnya membuat Grace merasa senang saat ini."Silahkan berbaring nyonya." Titah dokter yang langsung disetujui oleh Grace.Wanita itu segera berbaring dan dokter memeriksa perutnya. Dokter mengarahkan alat untuk mencari janin yang tengah dikandung Grace."Wah, selamat nyonya, anak anda ada dua!"Grace menatap Max dengan begitu bahagianya membuat Max ikut tersenyum."Apa bayinya sehat?" tanya Max.Dokter tersebut mengangguk lalu memperhatikan layar yang menampilkan bayi."Ibunya sedang bahagia ya? Bayinya terlihat senang. Tolong dipertahankan ya." Ucap dokter.Grace tertawa pelan lalu mengangguk. Max menatap Grace dengan sayu dan tersenyum menyadari kalau gadis itu kini tengah bahagia."Nah sudah selesai. Saya