Olivia membereskan barangnya karena jam sudah menunjukkan pukul lima sore, itu adalah jam para karyawan menyelesaikan waktunya di kantor.Gadis itu menenteng tasnya dan beberapa map berisi dokumen untuk dia laporkan pada atasannya bidangnya, Jovel.Olivia berjalan menaiki lift dan memencet tombol kearah lantai yang ia tuju. Sesampainya di lantai tujuh, ia malah berpas - pasan dengan Jovel yang akan dia temui."Ah, tuan Jovel, selamat sore." Ucap Olivia sopan yang disambut oleh Jovel."Apa kau ingin memberikan laporan padaku?" tanya Jovel, Olivia mengangguk pelan."Kalau begitu kita obrolkan di restoran sebrang saja, aku sudah kelaparan." Ucap Jovel ikut masuk ke dalam lift."Oh, baiklah."Merekapun berjalan bersama menuju restoran yang dimaksud."Selamat datang, anda ingin kami siapkan untuk berapa orang?" tanya pelayan begitu Jovel dan Olivia memasuki restoran."Dua saja." Jawab Jovel."Baik, kami akan memberikan tempat paling romantis." Olivia dan Jovel saling terkejut, mereka semp
Grace menghentikan aktivitasnya begitu kedua sejoli itu sudah mencapai puncaknya masing - masing. Grace ambruk diatas Max sedangkan Max mulai merapihkan Grace.Setelah selesai merapihkan pakaian, Max menyimpan Grace pada kursi penumpang dan mulai menjalankan mobilnya kembali menuju rumahnya.Grace bangun tersadar. Ia melihat sekitar dan menyadari bahwa mereka tengah berada diperjalanan."Apa kita akan pulang?" tanya Grace."Tentu." Jawab Max.Grace terdiam tak membalas. Ia melihat kearah jendela dan mencoba memikirkan sesuatu yang sekiranya penting untuk ia pikirnya.Namun seringkali, begitu ia melakukan hubungan sex dengan Max, pasti dalam beberapa saat ingatannya hanya itu.Grace mengusap mukanya lalu menyandarkan diri pada kursi mobil."Apa yang membuatmu gelisah?" tanya Max, Grace meliriknya."Em, tidak. Hanya saja aku tidak ada hal untuk dipikirkan." Jawab Grace.Max terkekeh sambil mengemudikan mobilnya dengan tenang."Apa otakmu itu harus terus berpikir setiap saat?" tanya Max
Grace berlari pelan di koridor rumah sakit. Ia ditemani oleh Jovel karena Max harus mengurusi beberapa berkas yang tertunda. "Sebelah sini, Nona." Panggil Jovel begitu Grace melewati kamar Olivia. Grace terhenti lalu balik badan, ia pun memasuki kamar yang Jovel maksud. Grace berjalan perlahan menuju kasur Oliva. Terlihat Olivia yang berbaring tak berdaya dengan beberapa selang yang ada ditubuhnya. "Apa kamu yakin, Olivia baik - baik saja?" tanya Grace tak percaya dengan pernyataan Jovel sebelumnya yang mengabarkan bahwa Olivia dalam keadaan baik. "Iya, Nona. Olivia sebelumnya sadar dan sempat mengobrol dengan saya." Jelas Jovel, Grace hanya mengangguk pelan. Gadis itu duduk dikursi yang ada didekat kasur Oliva. Memperhatikan Olivia dan menitikan air mata karena kasihan dengan nasib malang gadis itu. Sudah diselingkuhi oleh mantan kekasihnya sesaat akan menikah, dijadikan taruhan pinjol bahkan mendorongnya hingga tabrakan, sungguh orang yang kejam! "Apa lelaki itu sudah ditang
"Kau mau membantu apa, Alvin?" tanya Max membuat Alvin sedikit terkejut."Haha, aku tersanjung karena kamu mengenalku. Tapi apa aku yang hilang ingatan karena tidak mengenalmu?" tanya balik Alvin.Max mengacuhkan pertanyaan itu dengan meminun kopi yang belum habis."Ah, mari kita dengar masukanmu! Coba duduk disini dan katakan apa yang harus kita lakukan." Sahut Derick dengan serius, Alvin tersnyum sambil mendudukan diri dikursi."Aku mengenal nona Grace, kita pernah berada di satu kampung yang sama. Disana Grace dekat dengan satu wanita dan kita bisa memakai wanita itu untuk menggantikan kita!" jelas Alvin membuat semua terkejut."Itu hal yang bagus! Kita bisa perlahan mengusik Olivia lewat temannya dan Grace akan semakin membutuhkanmu kan, tuan?" tanya Derick.Max tampak tersenyum miring. Ia tertawa pelan sambil menyimpan kopinya."Bukan ide yang buruk."Alvin tersenyum mendengarnya. Ini lah langkah yang membawanya menuju kesuksesan. Ikut bergabung pada orang yang obsesi pada orang
Grace berjalan keluar restoran. Ia menghela nafas lalu mulai membuka suara. "Aku sudah selesai, bawa aku pulang." Jovel muncul sambil membungkuk. Ia menuntuk Grace menuju mobilnya dan mempersilahkannya masuk. Jovel berlari pelan lalu duduk dikursi pengemudi. Ia pun menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. "Jika anda melakukan hal tadi lagi, saya akan melaporkannya pada tuan." Ancam Jovel, Grace hanya terdiam sambil menatap lurus kearah jendela. Jovel yang tak mendapat jawaban melirik ke kaca atas untuk melihat apa yang sedang dilakukan atasannya itu. "Apa anda mencurigai tuan?" Grace melirik kearah Jovel. "Apa aku terlihat begitu?" tanya balik Grace. Jovel kembali fokus mengemudi tanpa melawan perkataan Grace. Grace yang merasa kesal menghela nafas panjang lalu melirik kembali kearah jendela. Perjalanan panjang itu sangat hening sampai mereka tiba di rumah Max. Padahal Grace meminta untuk memulangkan ke rumahnya, tetapi ia malah diantar ke rumah Max. "Jadi rumahku sudah pi
Max bangun dari tidurnya. Ia melihat ke samping kirinya dan tidak mendapati Grace berbaring disana. Seketika ia pun bangkit lalu berlari keluar kamar dan mencari pelayan untuk menanyakan Grace. Langkahnya terhenti begitu melihat kearah dapur dan melihat Grace sedang memasak disana. "Tuan, apa anda memerlukan sesuatu?" tanya salah satu pelayan yang ada disana. Karena jaraknya cukup dekat, Grace melirik kearah suara itu dan sedikit terkejut mendapati Max yang turun dengan telanjang dada. "Max, apa yang sedang kau lakukan? Pakai bajumu dulu baru turun ke bawah!" seru Grace membuat Max tersadar. Pria itu mengusap wajahnya gusar dan berbalik badan untuk memakai baju. Grace bergeleng kepala lalu menghela nafas. Ia pun kembali memasak melanjutkan hal yang belum terselesaikan. Beberapa menit kemudian, Max turun dari kamar menggunakan kaos dan celana panjang lalu menghampiri Grace. Ia berjalan ke belakang tubuh Grace dan memeluknya begitu saja. Grace sedikit terkejut lalu melirik pada o
Max menatap Olivia lama, Olivia yang ditatap itu sedikit menegang namun tetap menahan diri."Apa yang kau bicarakan?" tanya Max."Apa anda tidak memikirkan nasib Grace kedepannya? Jika Grace mengandung anak anda, bukan kah orang akan menganggap anak itu sebagai anak haram? Dan kalau Grace tidak dinikahi juga, dia bisa saja dianggap sebagai simpanan tuan, bukan sebagai kekasih." Jelas Olivia berani.Max tampak memikirkan perkataan Grace. Pria itu tersenyum miring lalu bangkit dari duduknya."Kau teman yang sangat baik, aku akan memikirkan itu tapi sekarang aku harus fokus dulu pada projek perusahaan. Jika aku menikah disaat seperti ini, bisa bisa para petinggi akan mengatakan hal buruk." Jelas Max.Olivia hanya terdiam sambil mencerna kata kata Max. Tak lama kemudian, Olivia menunduk lalu berpamitan."Saya berkata tanpa memikirkan tuan, mohon maaf. Kalau begitu saya pamit pergi." Ucap Olivia lalu pergi dari ruangan Max.Max menatap kepergian Olivia sambil terkekeh pelan. Ia membalikkan
Tok tok tokOlivia membuka pintu apartemennya dan membelak kaget mendapati Grace yang basah kuyup dengan wajah tidak bisa diartikan."Grace?" Grace tersenyum kecut."Olivia, apa aku boleh tinggal di rumah mu sementara?" tanya Grace.Olivia tersadar sesuatu langsung menyuruh Grace masuk."Apa yang kamu bicarakan, tentu saja boleh, Grace, bahkan untuk selamanya pun tak apa." Balas Olivia.Grace merasa bersyukur masih memiliki orang yang sangat menyayanginya. Ia tak bisa membayangkan hidupnya akan seperti ini ketika sudah ditinggalkan oleh sang ibu.Olivia memberikan baju beserta handuk pada Grace."Mandi lah dulu, Grace, kamu bisa sakit kalau tubuhmu basah." Titah Olivia, Grace mengangguk lalu pergi ke kamar mandi.Olivia berinisiatif membuat makanan hangat untuk Grace. Ia juga membuatkan teh agar Grace mendapatkan kesenangannya kembali.Beberapa menit kemudian, Grace datang dengan pakaian yang diberikan Olivia. Ia duduk dikursi bar dan memperhatikan Olivia memasak."Kamu sudah selesai
"Istri saya?" tanya Jovel pura-pura kebingungan."Yah, istrimu. Siapa tahu dia akan berteman dengan Grace." Jelas Max, Jovel menghela nafas lega."Saya tidak punya istri tuan, anda tidak perlu khawatir." Jelas Jovel, Max mengerutkan alisnya.Max tahu kalau saat ini Jovel sedang berbohong. Tapi dari itu semua, Max sangat mengerti jika Jovel tidak ingin memberitahukan identitas istrinya itu."Baiklah, segera bawa Olivia kemari. Kamu tidak perlu menempatkannya disisiku, buat saja dia ingin bertemu Grace walau sebentar." Titah Max. Jovel membungkukkan badannya. "Baik tuan."Jovel keluar dari ruangan Max dan berpas-pasan dengan assisten dari Riksan."Apa tuan Max didalam?" tanyanya, Jovel mengangguk."Tuan muda ingin bertemu, apakah bisa?"Jovel sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Tuan muda yang ia maksud pasti adik tiri Max, apakah Max akan baik-baik saja jika bertemu denganya?"Akan ku tanyakan terlebih dulu."Jovel masuk kembali ke ruangan membuat Max menatapnya bingung. "Kenapa?""
"Jadi, kamu akan menandatanganinya?" tanya Riksan begitu mendengar kalau Max memanggilnya.Max mengangguk lalu mengambil berkas yang diberikan assisten Riksan. Max membaca sekilas berkas itu, menandatanganinya lalu memberikannya pada Riksan."See?"Riksan menerima berkas itu dan mengembangkan senyuman."Bagus, akhirnya kamu memiliki pemikiran dewasa." Max membuang muka sambil menghela nafas."Sekarang berikan istriku!" tegas Max membuat Riksan terkekeh pelan."Tenang. Jo! Jemputlah Grace dengan hati-hati. Dia adalah wanita kesayangan anakku." Titah Riksan yang langsung dituruti oleh assistennya.Kepergian Jo bertepatan dengan Jovel yang baru saja datang membawa Grace. Semua tatapan itu refleks melirik padanya."Ah, ternyata kau sudah kabur."Grace terlihat tenang lalu melirik pada Max. Max bangun dari duduknya dan berjalan kearah Grace.Mereka berpelukan untuk waktu yang lama. Menjalarkan kerinduan karena beberapa saat mereka tidak bertemu karena masalah keluarga Max yang sangat meru
"Sialan!"Max membanting semua barang di rumahnya membuat kegaduhan besar di rumah. Para pelayannya hanya menunduk melihat tuannya marah besar karena tidak berani sama sekali dengan Max."Aku tidak menyangka pelayanku sendiri mengkhianatiku." Gumam Max yang dapat didengar oleh seluruh pelayan di rumahnya.Max menatapi pelayan itu satu-satu. Memelototi mereka dengan tajam membuat nyali mereka makin menciut."Sania!"Orang yang dipanggil itu keluar. Ia berjalan mendekat kearah Max sambil tetap menundukan kepalanya.Max menatap lekat orang itu. Sania yang sudah lama menjadi kepala pelayan hanya bisa menunduk menerima kenyataan bahwa dirinya lah yang akan disalahkan."Tuan, tolong kendalikan diri anda!" Jovel tiba-tiba datang seperti penyelaman untuk para pelayan.Max menatap Jovel dengan tajam dan kini membuang muka. Jovel mendekati tuannya lalu menunduk dengan sopan."Tuan, jika memang anda ingin istri anda kembali, coba pertimbangkan kembali tawaran ayah anda." Ucap Jovel membuat Max t
Beberapa hari berlalu, kini Grace dan Max sudah kembali lagi ke negara asal. Jovel yang sudah setia menunggu di bandara langsung membawa laki-laki itu menuju kantor membuat Grace bergeleng kepala."Pulanglah ke rumah. Aku akan segera pulang." Titah Max. Grace hanya mengangguk menurut lalu melambaikan tangan pada Max yang kini sudah pergi berlalu.Grace menatap kepergian Max yang diiringi dengan Jovel. Seseorang pun menepuk pundaknya membuat Grace membalikkan badan."Nyonya, mari ikuti saya." Ucap seseorang yang memakai baju pelayan yang sering ada di rumahnya.Grace tersenyum dan mengangguk lalu mengikuti pria itu.Sebenarnya Grace sedikit asing dengan pelayan dihadapannya. Pelayan di rumah Max memang terbilang cukup banyak, tetapi pasti selewat Grace mengenal wajah pelayan itu."Silahkan masuk nyonya."Grace ditambah bingung lagi ketika melihat mobil yang tidak pernah ia naiki itu. Max tidak pernah membeli mobil yang modelannya seperti ini."Em, apa ini mobil Max?" tanya Grace. Pelay
"Keluarkan Olivia dan buang dia jauh-jauh dari Grace." Jovel sangat bahagia dalam hatinya. Max akhirnya memerintahkan untuk membuang Olivia dimana pria itu tidak akan menganggangu Olivia lagi."Satu lagi, uruslah perusahaanku di Bali untuk sementara waktu. Aku tidak bisa keluar kota untuk saat ini."Jovel membungkuk dengan sopan lalu pergi berlalu untuk segera melaksanakan perintah atasannya. Jovel melangkah dengan senangnya sambil membuat surat rekomendasi untuk Olivia bekerja di perusahaan Bali agar bisa terus bersamanya.Sampai setelah rencananya semua itu berjalan lancar, Olivia malah merobek surat rekomendasinya membuat Jovel mematung kaget."Aku akan pergi sendiri."Gadis itu pergi berlalu begitu saja membuat Jovel segera berbalik dan menarik lengannya. "Jangan tinggalkan aku!"Olivia tersentak mendengar itu dan berbalik melihat Jovel yang kini sudah menangis dengan wajah sedihnya.Wanita itu pastinya sangat tidak percaya dengan ekspresi itu. Selama ini Jovel yang selalu tidak
Jovel menghela nafas panjang. Sudah dua hari berlalu dari libur tuannya memberatkan harinya. Padahal dirinya sudah sibuk mengurus perusahaan Max yang ada di Bali, kini dirinya juga harus mengurus perusahaan di Jakarta. Yang benar saja.Namun untungnya ia mempunyai istri yang berbakat sehingga pekerjaannya di Bali sedikit lebih ringan.Kintan masuk ke ruangan Max yang sedang diisi Jovel membuat pria itu kini menyorotnya dengan mata sinis. Sudah dua hari pula gadis itu tidak masuk sehingga pekerjaannya disini tidak ada yang membantu."Kemana saja kau?!" tanya Jovel bengis membuat Kintan mengerutkan alis."Kenapa kamu yang disini? Kemana tuan Max?" tanya Kintan, Jovel mendesah pelan sambil membuang pandangannya tak menjawab pertanyaan Kintan.Kintan merasa tersinggung dicueki seperti itu. Dirinya pun berjalan menghentakkan kaki mendekati Jovel. Ia menarik kerah baju Jovel dan menatapnya dengan lekat."Beritahu aku kemana perginya Max!"Jovel menepis lengan Kintan dari bajunya. Pria itu m
Keesokan harinya. Max sudah berjanji kepada Grace untuk membawanya bermain salju. Grace sudah siap dengan pakaian hangatnya membuat Max merasa gemas. Jaket tebal bulu berwarna pink dan topi kupluk itu membuat Grace merasa hangat namun terlihat tenggelam karena Grace bertubuh kecil. "Ayo! Aku sudah siap." Ajak Grace dengan semangatnya. Max terkekeh pelan lalu meraih lengan sang istri dengan lembut. "Ayo!" Mereka pun berjalan bersama keluar kamar hotel. Sebenarnya, konsep hotel yang mereka tempati itu terlihat seperti tenda namun ini tidak menggunakan bahan tenda. Dimana setiap kamarnya berjarak cukup jauh jadi mereka bisa melihat dan merasakan salju walaupun keluar kamar. "Aku akan membawa mu menaiki gondola. Agar kamu bisa puas melihat-lihat Swiss sebelum pulang. Maaf karena tidak bisa membawamu berlibur yang panjang." Ucap Max. Jujur, Grace sangat senang dengan rencana yang Max buat sendiri. Dirinya jadi hanya perlu diam mengikuti dan menikmati pemandangan indah dari negeri asin
Hari yang Grace nantikan telah tiba. Liburan romantisnya ke negeri Swiss membuat wanita itu tersenyum senang menikmati salju yang kini turun dari langit. Sejujurnya, Grace tidak pernah merasakan salju sama sekali. Karena dirinya lahir dari keluarga miskin, ia jadi tidak bisa pergi kemana pun sesuka hati. Boro-boro berpergian, untuk sesuap nasi saja mereka kesulitan karena ayahnya yang sering berhutang judi kesana kemari. Mengingat itu membuat Grace jadi kepikiran dengan orang tuanya. Apa kabar ayahnya sekarang? Setelah terakhir menemui Max, ia tidak pernah muncul lagi, apa Max melakukan sesuatu? "Grace.. apa yang kamu pikirkan? Kamu tidak boleh banyak pikiran!" seru Max sambil mengalungkan tangannya dipinggang Grace. "Ah, tidak. Aku hanya kepikiran keluargaku saja." Max mengerutkan dahi. "Aku kan keluargamu, Grace." Grace terkekeh pelan mendengar itu
Grace dan Max sudah siap untuk pergi ke dokter kandungan. Mereka akan segera memeriksa bagimana keadaan kandungan Grace saat ini. Jaga-jaga jika sang wanita tidak sehat, Max sangat tidak ingin Grace sakit.Sesampainya mereka di rumah sakit, Max menghantar Grace dengan begitu romantisnya membuat Grace merasa senang saat ini."Silahkan berbaring nyonya." Titah dokter yang langsung disetujui oleh Grace.Wanita itu segera berbaring dan dokter memeriksa perutnya. Dokter mengarahkan alat untuk mencari janin yang tengah dikandung Grace."Wah, selamat nyonya, anak anda ada dua!"Grace menatap Max dengan begitu bahagianya membuat Max ikut tersenyum."Apa bayinya sehat?" tanya Max.Dokter tersebut mengangguk lalu memperhatikan layar yang menampilkan bayi."Ibunya sedang bahagia ya? Bayinya terlihat senang. Tolong dipertahankan ya." Ucap dokter.Grace tertawa pelan lalu mengangguk. Max menatap Grace dengan sayu dan tersenyum menyadari kalau gadis itu kini tengah bahagia."Nah sudah selesai. Saya