Diperjalanan, Grace selalu terpikirkan akan ibunya. Ia takut meninggalkan ibunya malam-malam kerena mengingat malam itu. Tapi ia menjernihkan pikirannya lagi untuk menjadi lebih positif. Grace pun menghela nafas gusar.
"Nona, anda telah sampai."Grace tersadar lalu memberikan bayaran kepada supir taksi. Ia pun bergegas pergi memasuki hotel dan berjalan menuju kamar yang sudah dipesan.Sesampainya didepan kamar, Grace mengetuk pintu itu sebanyak tiga kali. Tak lama kemudian, pintu terbuka menampilkan sosok yang tak asing dimata Grace."Selamat datang."Grace sedikit merinding dengan sambutan itu, namun iya hanya tersenyum kikuk lalu memasuki kamar dengan sedikit gemetara.Max melihat itu sempat khawatir, namun ia berpikir lagi untuk berusaha baik karena ia tidak bermaksud untuk menjamah wanita itu."Em, apa akan dimula--""Aku tak akan menjamahmu." Sela Max yang langsung mendapat tatapan heran dari Grace.Max duduk dikursi hotel dan mengambil gelasnya yang berisi alkohol. Grace hanya berdiri diam sampai akhirnya Max menyuruhnya untuk ikut duduk dikursi.Grace duduk lalu menuangkan alkohol digelas Max yang sudah kosong. Max hanya menatap wajah Grace lekat sambil beberapa kali meneguk alkohol itu."Kenapa anda memesan saya kalau tidak untuk dijamah?" tanya Grace penasaran, Max terdiam sejenak."Aku tidak tau, tapi sepertinya aku melakukan kesalahan." Jawab Max membuat Grace mengerutkan dahinya."Apa maksudnya itu?"Max menyimpan gelasnya lalu menyandarkan dirinya pada sofa sambil memejamkan mata. Grace sempat kesal karena Max tidak langsung menjawab pertanyaan Grace. Ia malah tiduran membuat Grace menunggu dengan terus menatapnya.Max membuka matanya lalu melirik kearah Grace yang masih setia menunggu, pria itu pun terkekeh pelan."Aku tidak memesan gadis perawan untuk malam itu. Kenapa bisa-bisanya kamu menjual keperawanan padaku?" tanya Max membuat Grace terkejut."Apa sebelumnya hal itu tidak pernah terjadi?" tanya balik Grace, pria itu langsung bergeleng."Tidak ada istilahnya gadis perawan memainkan aplikasi itu. Apa kamu butuh uang?"Grace terdiam. Ia teringat pada pesan dokter saat ibunya dirumah sakit. Dokter memberi tahu bahwa ternyata Hanna terkena kanker darah yang membuatnya harus memiliki banyak uang untuk kemoterapi.Max yang melihat raut wajah Grace bisa menilai bahwa perkataanya itu benar adanya."Apa kau mau aku bantu? Tapi semua itu tidak gratis." Ucap Max, Grace melirik kearahnya dan sudah bisa menebak apa yang akan dialaminya jika dirinya dibantu oleh pria itu.Lantas Grace membalasnya dengan bergeleng. Max yang tersinggung itu mendekati dirinya pada Grace sambil menahan gejolak marahnya yang mulai meluap itu."Kenapa tidak?""Lebih baik aku menjadi wanita malam dari banyak orang, aku tidak mau menjadi budak sex mu." Jelas Grace membuat Max sangat kesal."Pekerjaan kotor mu benar-benar profesional. Apakah itu artinya kamu mau mencoba semua alat kelamin laki-laki?"Grace hanya terdiam tanpa menjawab pertanyaan Max. Lelaki itu sudah sangat kesal dengan Grace. Wanita yang sangat ia inginkan dengan terang-terangan menginginkan pria lain dan menolak menjadi miliknya dengan utuh.Tidak mungkin juga Max membiarkan hal itu berlalu setelah ia menjalani hari panjang penuh penyiksaan."Lalu bagaimana caranya agar kau tetap disisiku?" Max menyentuh dagu Grace kasar, namun Grace hanya terdiam sambil menatapnya."Jawab aku, jalang sialan!"Grace tersentak sedikit. Ia menahan goresan dihatinya dan mencoba memantapkan diri."Aku sudah berkata dengan jelas, aku tidak akan menjadi orangmu!""Huh? Bisa-bisanya kau menolakku." Max menarik Grace kedalam dekapannya lalu menciumi Grace kasar hingga gadis itu kewalahan."Aku menarik kata-kataku yang bilang tak akan menjamahmu karena aku merasa kesal padamu sekarang."Grace hanya pasrah pada Max yang sudah menciumi tubuhnya liar. Sendari awal ia memang sudah tidak percaya dengan perkataan laki-laki karena, laki-laki mana yang harus ia percaya?.Beberapa jam berlalu, Max telah menyudahi aktivitas menggelikan itu. Grace selalu merasa terpukul bila sudah melakukan hal ini."Jawab pertanyaanku tadi." Ucap Max tiba-tiba membuat Grace melirik kearahnya dengan kebingungan."Jawab apa?""Kenapa punya mu masih begitu sempit? kau kan wanita panggilan." Tanya Max.Grace memalingkan wajahnya tak menjawab pertanyaan Max membuat pria itu menarik wajah Grace kasar dan mendekatkan wajahnya pada wajah Grace."Jawab! Jangan bilang kau hanya bersetubuh denganku?"Grace hanya terdiam dengan pertanyaan itu. Max membuang wajah Grace kasar lalu menjauhi dirinya."Sial!"Grace bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Dirinya memang baru melakukan hubungan intim sebanyak dua kali, bagaimana bisa dirinya bisa longgar hanya dengan dua kali aktivitas.Max mengambil sesuatu dari lacinya, itu adalah alat yang selama beberapa jam tadi mereka lakukan untuk mencegah hal yang tidak diinginkan.Max memasangkan benda itu pada dirinya membuat Grace membelakkan matanya."Apakah kau akan melakukannya lagi?" tanya Grace tak menyangka.Mereka saja sudah melakukan itu selama beberapa jam, itu membuat Grace sudah lemah tak berdaya bahkan hampir pingsan. Sekarang, Max akan melakukannya lagi? Apa Max berniat untuk menghancurkan dirinya?"Kenapa ekspresimu seperti itu? Bukankah tugas seorang wanita kupu-kupu hanya berbaring dan membuka kedua kakinya lalu mendapatkan uang?"Kata-kata Max sangat menusuk hati Grace. Pekerjaan ini bukanlah pekerjaan yang ia inginkan.Grace ingin meneriaki itu namun dirinya sudah berada dalam dekapan Max membuat ia tak bisa berbuat apa-apa lagi."Kenapa diam? Bukankah kamu butuh uang?" tanya Max menatap lekat mata Grace.Grace mengalihkan pandangannya dengan membuang muka dari Max. Max langsung menarik wajah Grace sehingga mereka bertatapan kembali."Berani-beraninya kamu mengabaikanku, apakah itu yang diajarkan atasanmu dalam melayani pria?"Grace ingin menangis sejadi-jadinya, namun ia belum bisa melakukan itu sekarang. Ia berpikir lamanya Max melakukan itu karena ia masih merasa kesal pada Grace."Tuan, jangan terlalu kesal padaku. Jika kau membuat aku berteriak kenikmatan sekarang, aku akan menyetujui tawaran menjadi wanita pribadimu." Bisik Grace ditelinga Max dengan sangat lembut.Max yang senang dengan penuturan itu langsung memulai aktivitasnya dengan penuh semangat. Tak lupa, ia juga melakukan dengan sangat sempurna agar wanita dibawahnya berteriak kenikmatan seperti permintaan sebelumnya.Grace memejamkan matanya. Ia mengeluarkan sedikit air mata lalu mulai berekting untuk memuaskan keinginan lelaki itu..Grace berjalan sempoyongan menuju apartemennya. setelah membuka pintu apartemennya, ia merasa hawanya sangat sepi membuat dirinya sedikit merinding.Ia menghiraukan perasaan itu lalu mencopot sepatunya dan menyimpan dirak yang ada disebelah pintu masuk. Ia menyalakan lampu ruang tengah dan melihat ada beberapa makanan yang sangat menggugah selera.Perutnya sudah keroncongan sendari tadi, dengan itu ia memilih untuk makan terlebih dahulu sebelum membersihkan dirinya.Grace terpikirkan bagaimana keadaan ibunya sekarang. Ia sempat mengintip sebentar ke kamar untuk melihat apakah ibunya sudah tertidur pulas atau belum.Grace melihat Hanna berbaring tenang, ia langsung lega dengan hal itu.Namun semakin lama Grace perhatikan, ia merasa ada yang mengganjal dengan tidur Hanna yang sangat tenang.Demi menenangkan hatinya, Grace masuk ke dalam kamar dan mendekati Hanna lalu menyentuh tangannya."Ibu?"Grace sangat terkejut mendapati lengan Hanna yang sangat dingin dan kaku. Ia segera memeriksa denyut jantung Hanna melalui nadi dan semakin terkejut karena denyutan itu tidak terasa padanya."Ibu? Ibu tidak bercanda kan?"Grace yang panik itu sudah tidak bisa berpikiran jernih. Ia berpikir yang tidak-tidak mengenai keadaan ibunya sekarang namun merasa masih ada kesempatan.Grace memeriksa pernafasan serta perut Hanna yang tidak bergerak sama sekali. Apakah ini pertanda ibunya sudah pergi meninggalkannya?Setetes air mata jatuh dipipi Grace dengan sangat deras."Ibu!"Grace menatap lurus kearah batu nisan yang bertuliskan nama ibunya.Orang-orang sekitar mengucapkan turut berduka cita untuk formalitas karena mereka tidak saling mengenal.Satu persatu orang-orang berhamburan pergi, hanya menyisakan Grace dengan pikiran kosongnya.Langit makin menggelap, air diatas awan mulai berjatuhan. Seperti keadaan hati Grace, alam ikut bersedih.Gadis itu mulai menyadari kesepiannya, ia menangis terisak-isak sambil memeluk kuburan yang masih basah."Ibu.."Grace terus menangis dibawah derasnya hujan. Ia sudah menyerah untuk hidupnya jika tanpa Hanna.Dalam seketika, air hujan itu tidak berjatuh dibawah Grace. Grace melihat kedepan dan menyadari bahwa hujan masih turun begitu derasnya. Lantas ia menenggak keatas dan melihat payung yang melindungi tubuhnya."Aku turut berduka cita, Grace." Ucap Alvin turut bersedih.Grace semakin menangis begitu menyadari bahwa dirinya masih diingat oleh orang lain."Alvin.. aku sudah tidak semangat hidup lagi." Keluh Grace, Alvi
Grace terdiam membeku diambang pintu."Kemarilah nona, aku ingin mendengar lamaranmu pada perusahaanku." Titah Max dengan nada lembutnya.Grace yang menegang itu perlahan mendekati Max dan duduk dihadapannya."Jadi, apa bakatmu?"Grace terdiam sejenak. Apakah dirinya harus mengurungkan niat untuk melamar di perusahaan Max?Ia sangat tidak tahu bahwa Max adalah seorang CEO perusahaan, apalagi perusahaan tersebut adalah perusahaan terjaya di kotanya."Sa-saya..""Bakatmu bukan diranjang lagi kan?" tanya Max membuat hati Grace tergetuk."Saya tidak menyangka seorang CEO dari perusahaan terbesar menanyakan itu pada calon karyawannya." Tegas Grace tersinggung membuat Max terkekeh pelan."Apa aku harus mengungkit janji yang telah kau ingkari?" Grace terdiam begitu Max melontarkan pertanyaan itu, Max menghela nafas."Padahal kau sudah teriak kenikmatan saat itu. Akan ku maafkan karena aku juga merasakan kenikmatan. Sekarang, apa yang akan kamu lakukan di perusahaanku?"Grace berusaha menata
Grace membereskan barang-barangnya untuk segera pulang. Ia keluar dari ruangannya dan berpas-pasan dengan Max yang keluar juga dari ruangan."Pulanglah bersamaku." Ajak Max, tentu saja Grace langsung menolak."Saya bisa sendiri."Max memperhatikan Grace dari ujung rambut hingga ujung kaki."Helly akan mengincarmu malam ini." Grace sempat tersentak, namun ia tersadar kembali kalau dirinya bersama Max akan lebih berbahaya lagi."Saya baik-baik saja." Tegas Grace membuat Max tertawa. Pria itu langsung pergi begitu saja membuat Grace menggerutu."Huh, sabar. Jika tidak bersamanya aku tidak biaa hidup.".Grace masih setia menunggu bus angkutan umum untuk mengantarnya ke apartemen yang biasanya ia tempati.Sudah jam sembilan lewat tapi bus itu tak juga melintas, biasanya jam sembilan bus itu sudah tiba di tempat yang Grace tunggu itu."Seharusnya aku menerima ajakan Olivia."Sebuah mobil sedan berhenti tepat dihadapannya. Grace awalnya merasa biasa saja akan hal itu. Namun ketika seorang
Grace merapihkan berkas yang akan ditanda tangani oleh Max. Ia bergegas menuju ruangan Max namun berpas-pasan dengan Helly yang baru saja keluar dari ruangan Max."Oho, apa ini? Kau masih hidup?" Cerocos wanita itu membuat Grace geram namun terus menahan karena tahu bahwa lawannya ini bukan orang biasa."Sayangnya begitu, nona." Jawab Grace yang berhasil membuat Helly kesal."Dasar wanita rendahan!" sentak Helly, Grace menghela nafasnya."Entah apa yang membuat anda berpikir seperti itu, tetapi bukankah wanita yang berkelas tidak pantas menilai orang hanya dalam satu kali lihat?" Plak!Helly berhasil menampar keras pipi kanan Grace sampai Grace terhuyung kebelakang. Suara berjatuhan berkas itu berhasil membuat para karyawan disekitarnya melirik."Berani-beraninya orang rendahan sepertimu mengajariku! Dasar jalang sialan!" teriak Helly yang hendak menampar kembali Grace namun Jovel berhasil menahan tangan itu."Ada berisik apa ini?" tanya Jovel muncul dari ruangan Max.Helly menarik
Grace meminum pil kontrasepsi yang baru ia beli di apotik sepulang kerja tadi. Walau Max berkata akan menikahinya jika ia hamil, Grace sama sekali tidak ingin mengandung anaknya.Wanita itu menghela nafas sambil berbaring di sofa panjang apartemennya."Setidaknya aku bisa memanfaatkan ke obsesannya padaku untuk menikmati hidup." Ucap Grace sambil memikirkan beberapa strategi kedepannya.Ting TongGrace melirik kearah pintu, ia sempat terdiam sebentar untuk menunggu bel kedua.Ting TongWanita itu bangkit kemudian berjalan membuka pintu apartemennya. Muncul seorang pria dengan buket bunga indah menutupi dirinya membuat Grace mengerutkan dahi."Siapa anda?" Pria itu memiringkan bunganya dan terpampang lah wajah Max yang tampak sangat senang.Grace sedikit terkejut namun kemudia ia memasang wajah ekting yang sangat menipu."Ah, Max. Terima kasih." Grace mengambil buket bunga itu dan menghirupnya dalam-dalam. Grace langsung terdiam begitu menyadari bahwa aroma bunga itu adalah racun y
Grace merebahkan dirinya diatas kasur begitu sampai di apartemennya. Ia menghela nafas panjang lalu melirik kearah ponselnya yang berdering."Halo?""Grace.." lirik Olivia membuat Grace terbangun dari tidurnya."Ada apa Olivia?"Olivia diam tak bergeming, itu membuat Grace semakin panik."Olivia, cepat jawab aku!" seru Grace, Olivia mulai terisak."Grace, lelaki sialan itu..""Mantanmu?""Iya.. dia telah memakai ktp ku untuk meminjam uang diaplikasi, sekarang para rentenir itu sedang berdiri didepan apartemenku. Aku takut." Gumam Olivia bergetar membuat Grace semakin khawatir."Olivia, kamu dimana sekarang?" tanya Grace."Aku di lapang dekat apartemenku. Aku melihat apartemenku sedang digedor oleh rentenir! Sebelumnya mereka meneleponku terus, aku takut Grace, tolong aku." Pinta Olivia yang tiada hentinya menangis."Olivia tenanglah dan bersembunyi! Aku akan segera menjemputmu!"Grace mematikan sambungan telepon dan buru - buru keluar apartemennya. Begitu pintu terbuka, Max muncul diba
Olivia membereskan barangnya karena jam sudah menunjukkan pukul lima sore, itu adalah jam para karyawan menyelesaikan waktunya di kantor.Gadis itu menenteng tasnya dan beberapa map berisi dokumen untuk dia laporkan pada atasannya bidangnya, Jovel.Olivia berjalan menaiki lift dan memencet tombol kearah lantai yang ia tuju. Sesampainya di lantai tujuh, ia malah berpas - pasan dengan Jovel yang akan dia temui."Ah, tuan Jovel, selamat sore." Ucap Olivia sopan yang disambut oleh Jovel."Apa kau ingin memberikan laporan padaku?" tanya Jovel, Olivia mengangguk pelan."Kalau begitu kita obrolkan di restoran sebrang saja, aku sudah kelaparan." Ucap Jovel ikut masuk ke dalam lift."Oh, baiklah."Merekapun berjalan bersama menuju restoran yang dimaksud."Selamat datang, anda ingin kami siapkan untuk berapa orang?" tanya pelayan begitu Jovel dan Olivia memasuki restoran."Dua saja." Jawab Jovel."Baik, kami akan memberikan tempat paling romantis." Olivia dan Jovel saling terkejut, mereka semp
Grace menghentikan aktivitasnya begitu kedua sejoli itu sudah mencapai puncaknya masing - masing. Grace ambruk diatas Max sedangkan Max mulai merapihkan Grace.Setelah selesai merapihkan pakaian, Max menyimpan Grace pada kursi penumpang dan mulai menjalankan mobilnya kembali menuju rumahnya.Grace bangun tersadar. Ia melihat sekitar dan menyadari bahwa mereka tengah berada diperjalanan."Apa kita akan pulang?" tanya Grace."Tentu." Jawab Max.Grace terdiam tak membalas. Ia melihat kearah jendela dan mencoba memikirkan sesuatu yang sekiranya penting untuk ia pikirnya.Namun seringkali, begitu ia melakukan hubungan sex dengan Max, pasti dalam beberapa saat ingatannya hanya itu.Grace mengusap mukanya lalu menyandarkan diri pada kursi mobil."Apa yang membuatmu gelisah?" tanya Max, Grace meliriknya."Em, tidak. Hanya saja aku tidak ada hal untuk dipikirkan." Jawab Grace.Max terkekeh sambil mengemudikan mobilnya dengan tenang."Apa otakmu itu harus terus berpikir setiap saat?" tanya Max
"Istri saya?" tanya Jovel pura-pura kebingungan."Yah, istrimu. Siapa tahu dia akan berteman dengan Grace." Jelas Max, Jovel menghela nafas lega."Saya tidak punya istri tuan, anda tidak perlu khawatir." Jelas Jovel, Max mengerutkan alisnya.Max tahu kalau saat ini Jovel sedang berbohong. Tapi dari itu semua, Max sangat mengerti jika Jovel tidak ingin memberitahukan identitas istrinya itu."Baiklah, segera bawa Olivia kemari. Kamu tidak perlu menempatkannya disisiku, buat saja dia ingin bertemu Grace walau sebentar." Titah Max. Jovel membungkukkan badannya. "Baik tuan."Jovel keluar dari ruangan Max dan berpas-pasan dengan assisten dari Riksan."Apa tuan Max didalam?" tanyanya, Jovel mengangguk."Tuan muda ingin bertemu, apakah bisa?"Jovel sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Tuan muda yang ia maksud pasti adik tiri Max, apakah Max akan baik-baik saja jika bertemu denganya?"Akan ku tanyakan terlebih dulu."Jovel masuk kembali ke ruangan membuat Max menatapnya bingung. "Kenapa?""
"Jadi, kamu akan menandatanganinya?" tanya Riksan begitu mendengar kalau Max memanggilnya.Max mengangguk lalu mengambil berkas yang diberikan assisten Riksan. Max membaca sekilas berkas itu, menandatanganinya lalu memberikannya pada Riksan."See?"Riksan menerima berkas itu dan mengembangkan senyuman."Bagus, akhirnya kamu memiliki pemikiran dewasa." Max membuang muka sambil menghela nafas."Sekarang berikan istriku!" tegas Max membuat Riksan terkekeh pelan."Tenang. Jo! Jemputlah Grace dengan hati-hati. Dia adalah wanita kesayangan anakku." Titah Riksan yang langsung dituruti oleh assistennya.Kepergian Jo bertepatan dengan Jovel yang baru saja datang membawa Grace. Semua tatapan itu refleks melirik padanya."Ah, ternyata kau sudah kabur."Grace terlihat tenang lalu melirik pada Max. Max bangun dari duduknya dan berjalan kearah Grace.Mereka berpelukan untuk waktu yang lama. Menjalarkan kerinduan karena beberapa saat mereka tidak bertemu karena masalah keluarga Max yang sangat meru
"Sialan!"Max membanting semua barang di rumahnya membuat kegaduhan besar di rumah. Para pelayannya hanya menunduk melihat tuannya marah besar karena tidak berani sama sekali dengan Max."Aku tidak menyangka pelayanku sendiri mengkhianatiku." Gumam Max yang dapat didengar oleh seluruh pelayan di rumahnya.Max menatapi pelayan itu satu-satu. Memelototi mereka dengan tajam membuat nyali mereka makin menciut."Sania!"Orang yang dipanggil itu keluar. Ia berjalan mendekat kearah Max sambil tetap menundukan kepalanya.Max menatap lekat orang itu. Sania yang sudah lama menjadi kepala pelayan hanya bisa menunduk menerima kenyataan bahwa dirinya lah yang akan disalahkan."Tuan, tolong kendalikan diri anda!" Jovel tiba-tiba datang seperti penyelaman untuk para pelayan.Max menatap Jovel dengan tajam dan kini membuang muka. Jovel mendekati tuannya lalu menunduk dengan sopan."Tuan, jika memang anda ingin istri anda kembali, coba pertimbangkan kembali tawaran ayah anda." Ucap Jovel membuat Max t
Beberapa hari berlalu, kini Grace dan Max sudah kembali lagi ke negara asal. Jovel yang sudah setia menunggu di bandara langsung membawa laki-laki itu menuju kantor membuat Grace bergeleng kepala."Pulanglah ke rumah. Aku akan segera pulang." Titah Max. Grace hanya mengangguk menurut lalu melambaikan tangan pada Max yang kini sudah pergi berlalu.Grace menatap kepergian Max yang diiringi dengan Jovel. Seseorang pun menepuk pundaknya membuat Grace membalikkan badan."Nyonya, mari ikuti saya." Ucap seseorang yang memakai baju pelayan yang sering ada di rumahnya.Grace tersenyum dan mengangguk lalu mengikuti pria itu.Sebenarnya Grace sedikit asing dengan pelayan dihadapannya. Pelayan di rumah Max memang terbilang cukup banyak, tetapi pasti selewat Grace mengenal wajah pelayan itu."Silahkan masuk nyonya."Grace ditambah bingung lagi ketika melihat mobil yang tidak pernah ia naiki itu. Max tidak pernah membeli mobil yang modelannya seperti ini."Em, apa ini mobil Max?" tanya Grace. Pelay
"Keluarkan Olivia dan buang dia jauh-jauh dari Grace." Jovel sangat bahagia dalam hatinya. Max akhirnya memerintahkan untuk membuang Olivia dimana pria itu tidak akan menganggangu Olivia lagi."Satu lagi, uruslah perusahaanku di Bali untuk sementara waktu. Aku tidak bisa keluar kota untuk saat ini."Jovel membungkuk dengan sopan lalu pergi berlalu untuk segera melaksanakan perintah atasannya. Jovel melangkah dengan senangnya sambil membuat surat rekomendasi untuk Olivia bekerja di perusahaan Bali agar bisa terus bersamanya.Sampai setelah rencananya semua itu berjalan lancar, Olivia malah merobek surat rekomendasinya membuat Jovel mematung kaget."Aku akan pergi sendiri."Gadis itu pergi berlalu begitu saja membuat Jovel segera berbalik dan menarik lengannya. "Jangan tinggalkan aku!"Olivia tersentak mendengar itu dan berbalik melihat Jovel yang kini sudah menangis dengan wajah sedihnya.Wanita itu pastinya sangat tidak percaya dengan ekspresi itu. Selama ini Jovel yang selalu tidak
Jovel menghela nafas panjang. Sudah dua hari berlalu dari libur tuannya memberatkan harinya. Padahal dirinya sudah sibuk mengurus perusahaan Max yang ada di Bali, kini dirinya juga harus mengurus perusahaan di Jakarta. Yang benar saja.Namun untungnya ia mempunyai istri yang berbakat sehingga pekerjaannya di Bali sedikit lebih ringan.Kintan masuk ke ruangan Max yang sedang diisi Jovel membuat pria itu kini menyorotnya dengan mata sinis. Sudah dua hari pula gadis itu tidak masuk sehingga pekerjaannya disini tidak ada yang membantu."Kemana saja kau?!" tanya Jovel bengis membuat Kintan mengerutkan alis."Kenapa kamu yang disini? Kemana tuan Max?" tanya Kintan, Jovel mendesah pelan sambil membuang pandangannya tak menjawab pertanyaan Kintan.Kintan merasa tersinggung dicueki seperti itu. Dirinya pun berjalan menghentakkan kaki mendekati Jovel. Ia menarik kerah baju Jovel dan menatapnya dengan lekat."Beritahu aku kemana perginya Max!"Jovel menepis lengan Kintan dari bajunya. Pria itu m
Keesokan harinya. Max sudah berjanji kepada Grace untuk membawanya bermain salju. Grace sudah siap dengan pakaian hangatnya membuat Max merasa gemas. Jaket tebal bulu berwarna pink dan topi kupluk itu membuat Grace merasa hangat namun terlihat tenggelam karena Grace bertubuh kecil. "Ayo! Aku sudah siap." Ajak Grace dengan semangatnya. Max terkekeh pelan lalu meraih lengan sang istri dengan lembut. "Ayo!" Mereka pun berjalan bersama keluar kamar hotel. Sebenarnya, konsep hotel yang mereka tempati itu terlihat seperti tenda namun ini tidak menggunakan bahan tenda. Dimana setiap kamarnya berjarak cukup jauh jadi mereka bisa melihat dan merasakan salju walaupun keluar kamar. "Aku akan membawa mu menaiki gondola. Agar kamu bisa puas melihat-lihat Swiss sebelum pulang. Maaf karena tidak bisa membawamu berlibur yang panjang." Ucap Max. Jujur, Grace sangat senang dengan rencana yang Max buat sendiri. Dirinya jadi hanya perlu diam mengikuti dan menikmati pemandangan indah dari negeri asin
Hari yang Grace nantikan telah tiba. Liburan romantisnya ke negeri Swiss membuat wanita itu tersenyum senang menikmati salju yang kini turun dari langit. Sejujurnya, Grace tidak pernah merasakan salju sama sekali. Karena dirinya lahir dari keluarga miskin, ia jadi tidak bisa pergi kemana pun sesuka hati. Boro-boro berpergian, untuk sesuap nasi saja mereka kesulitan karena ayahnya yang sering berhutang judi kesana kemari. Mengingat itu membuat Grace jadi kepikiran dengan orang tuanya. Apa kabar ayahnya sekarang? Setelah terakhir menemui Max, ia tidak pernah muncul lagi, apa Max melakukan sesuatu? "Grace.. apa yang kamu pikirkan? Kamu tidak boleh banyak pikiran!" seru Max sambil mengalungkan tangannya dipinggang Grace. "Ah, tidak. Aku hanya kepikiran keluargaku saja." Max mengerutkan dahi. "Aku kan keluargamu, Grace." Grace terkekeh pelan mendengar itu
Grace dan Max sudah siap untuk pergi ke dokter kandungan. Mereka akan segera memeriksa bagimana keadaan kandungan Grace saat ini. Jaga-jaga jika sang wanita tidak sehat, Max sangat tidak ingin Grace sakit.Sesampainya mereka di rumah sakit, Max menghantar Grace dengan begitu romantisnya membuat Grace merasa senang saat ini."Silahkan berbaring nyonya." Titah dokter yang langsung disetujui oleh Grace.Wanita itu segera berbaring dan dokter memeriksa perutnya. Dokter mengarahkan alat untuk mencari janin yang tengah dikandung Grace."Wah, selamat nyonya, anak anda ada dua!"Grace menatap Max dengan begitu bahagianya membuat Max ikut tersenyum."Apa bayinya sehat?" tanya Max.Dokter tersebut mengangguk lalu memperhatikan layar yang menampilkan bayi."Ibunya sedang bahagia ya? Bayinya terlihat senang. Tolong dipertahankan ya." Ucap dokter.Grace tertawa pelan lalu mengangguk. Max menatap Grace dengan sayu dan tersenyum menyadari kalau gadis itu kini tengah bahagia."Nah sudah selesai. Saya