"Nah, sekarang buka hp, dan unduh aplikasi 'Butterfly' ini," Titah Kintan yang langsung diikuti oleh Grace.
Setelah berhasil terunduh, Grace mengisi beberapa data diri yang tidak terlalu privasi dan menentukan harga sewaan serta beberapa hal yang dibutuhkan.
"Terus gimana?"
"Nah, kamu tinggal foto pake baju-baju seksi dan liatin aset-aset kamu, sehingga orang bakal tertarik. Jangan lupa juga kalau kamu masih perawan, kamu harus kasih kisaran besar biar enggak rugi!" jelas Kintan.
Grace hanya mengangguk singkat.
"Kamu pasti belum punya baju seksi kan? Ayo ikut aku, biar aku bantu dandanin kamu!"
"Ah, aku enggak bisa. Ibuku pasti lagi nunggu aku!" Kintan menghela nafas.
"Kamu bilang aja sama ibu, kalau kamu mau nginep di rumah aku semalem. Lagian, rumah kita kan deketan!" seru Kintan.
Grace terlihat berpikir kembali.
"Udah pokoknya nurut aja sama aku! Kamu mau punya banyak duit kan?"
"Nah, kamu pilih mau pake baju apa?"Kintan menunjukkan beberapa koleksi baju seksi yang ia punya namun Grace sangat tidak suka dengan semua bajunya.
"Apa enggak ada yang lebih tertutup?"
Kintan tertawa keras."Mana ada seorang kupu-kupu malam pake baju tertutup. Udah sekarang jangan malu-malu lagi, cepetan pilih. Ini demi hidup kamu dan ibu!"
Grace langsung teringat pada ibunya. Benar, ibunya sedang berjuang melawan penyakit, ia harus membantu ibunya untuk berobat.
"Yang ini aja."
Kintan sedikit terkejut dengan pilihan Grace.
Itu adalah baju termini yang ia punya. Mengekspos bagian punggung dan dada secara luas membuat Kintan makin semangat untuk mendandani.
"Okey! Serahin semuanya sama aku!"
Kintan pun mulai mendandani Grace dengan sangat sempurna.
Grace yang bawaan kulitnya putih dan tubuhnya kecil namun berisi di bagian tertentu membuat kesan seksi dan menggoda pada dirinya sangat tinggi.
Kintan bangga pada dirinya sendiri karena telah mendandani manusia dengan tingkat kesempurnaan yang tinggi.
Ia memotret Grace beberapa kali untuk disimpan di album aplikasi 'Butterfly'nya Grace."Nah, sekarang tinggal nunggu ada orang yang mesen kamu," ucap Kintan, Grace mengangguk semangat.
Jujur, dada Grace berdetak cepat saat ini. Ia sangat gugup mengingat dirinya saja tidak pernah dekat dengan seorang pria terkecuali ayahnya.
Bahkan ayahnya saja adalah salah satu alasan dirinya trauma untuk dekat dengan laki-laki.
Ting
Sebuah notifikasi masuk pada ponsel Grace membuat kedua wanita itu langsung mengalihkan pandangan ke ponsel Grace.
"Nah! Ada yang pesen kamu. Cepet sekarang berangkat sebelum dia batalin!" seruKintan menyuruh Grace untuk segera bersiap.
Grace yang gugup mencoba menenangkan dirinya dan merapihkan bajunya lalu keluar bersama Kintan.
"Nih, pake jaket aku, hati-hati di jalan ya. Aku enggak bisa anter kamu lebih jauh lagi, nanti ada yang curiga."
Grace mengangguk paham.
"Makasih ya, Kintan."
"Enggak usah makasih, cepet pergi sebelum keliatan orang!" seru Kintan.
Grace mengangguk lalu segera pergi dari sana juga.
Grace berjalan agak jauh karena di dekat rumahnya tidak dilewati taksi.
Ia bergegas menghentikan taksi begitu mobil taksi itu melewat ke arahnya.
Grace segera masuk dan tanpa sadar ia bertemu dengan tetangga yang dekat dengan ibunya.
.Grace tiba di sebuah mewah berbintang lima. Itu adalah pertama kali dalam hidupnya untuk menginjak tempat mewah seperti ini.“Permisi, apakah anda tamu dari nomor kamar seratus tujuh belas?” tanya seorang lelaki yang datang menghampirinya. Grace sempat terkejut sedikit lalu mengangguk.
“I-iya, saya tamu kamar itu.” Jawab Grace setelah melihat nomor kamar dari ponselnya.
“Baik, kalau begitu mari saya antar.” Ucap sopan lelaki itu.
Grace hanya menunduk patuh lalu mengikuti pria itu. Ia berjalan cukup kaku karena melihat tubuh lelaki yang sedang bersamanya berukuran sangat besar.
Awalnya Grace kira ia adalah pelanggannya karena mengetahui kedatangannya dan nomor dari kamar yang dipesan pelanggannya. Namun begitu pelayan hotel itu membukakan pintu, Grace melihat seorang pria dengan ukuran badan yang cukup besar.
Grace sempat menyadari sesuatu bahwa lelaki di kota memiliki tubuh yang besar-besar. Namun yang membuatnya terkesan lagi, lelaki itu berwajah sangat rupawan. Dengan mata tegas dan bibir ranum membuat pria itu terkesan semakin eksotis.
Tak lama dari mengaguminya, Grace masuk ke dalam kamar itu dan berdiri didekat sofa.
Pria itu menggoyang-goyangkan gelas berisi wine. Ia menatap lekat gambar gadis yang berdiri di depannya.
“Selamat malam, Tuan.” Grace menyapa dengan gaya sensual, seperti yang Kintan ajarkan.
“Mendekatlah.”
Grace mendekat. Pria itu pun langsung menarik pinggang Grace. “Dengan nama apa aku harus memanggilmu?” tanyanya dengan napas panas yang menyentuh leher Grace.
“M-Monica, Tuan…” jawab Grace gugup karena jaraknya dengan Max yang sangat dekat.
“Baiklah, Monica. Kamu bisa memanggilku Max.”
Grace mencoba melakukan ajaran Kintan dengan bergelayut mesra pada Max. Ia mengalungkan tangannya dileher Max dan menjilat leher pria itu membuat Max tergoda sempurna."Sial, dia membuatku bergairah!"
Max langsung menarik wajah Grace dan menggulum bibirnya kasar.Grace yang mendapat perlakuan itu sempat terkejut tak siap karena ini kali pertamanya ia melakukan hal itu. Ia tampak bergetar membuat Max menyadari akan hal itu.
"Ada apa ini, apa kau gugup?" tanya Max menatap Grace lekat.
Gadis itu menggeleng lalu menarik kepala Max untuk menggulumnya kembali. Max yang senang akan hal itu langsung melahap Grace dengan sesuka hatinya.
Max membawa Grace ke kasur membuat gadis itu semakin menegang dibuatnya. Ia melihat ekspresi Max yang terus tersenyum, itu membuat dirinya semakin ketakutan.
"Kenapa kamu bereskpresi seperti akan dijahati? Bukankah kau sendiri yang menjual dirimu diaplikasi itu?" tanya Max dengan suara seraknya.
Grace mencoba mengatur kegugupannya kembali. Ia bersikap seperti wanita kupu-kupu yang sebenarnya membuat Max merasa makin tergoda.
Mereka menghabiskan malam yang sangat panjang, Max tiada hentinya menghantam tubuh mungil Grace yang sudah kesakitan. Entah sudah berapa kali Grace berteriak kesakitan, Max tak juga memperdulikan itu. Teriakan Grace membuatnya lebih bergairah sehingga pria itu menghantam Grace lebih keras lagi.
Setelah semua itu berakhir, Max memberikan uang yang telah dijanjikan, lalu berbaring lemas dan tertidur disamping Grace yang masih telanjang.Grace menerima uang itu dengan sedikit kecewa. Ini adalah uang yang hanya bisa dipakai untuk membayar hutang saja, belum untuk makan selanjutnya.
Gadis itu menghela nafas lalu ikut tertidur pulas disamping pria yang merenggut keperawanannya.
.
Pagi harinya, Grace terbangun dan tidak mendapati Max di sana.
Grace menghela nafas lalu beranjak dari kasurnya dengan kaki yang bergetar hebat. Ia harus menahan kesakitan itu untuk sementara waktu karena khawatir pada ibunya yang sudah lama menunggu dirinya.
Grace menatap nanar kearah kedua kakinya. Ia menangis terdiam menyadari kalau dirinya sudah melakukan pekerjaan haram yang ibunya larang.
“Bagaimana jika ibu tahu apa yang sudah aku lakukannya ya? Apakah ibu akan mengampuniku?” batinnya kecewa sambil meremas ujung kasur.
Ia melihat ada beberapa baju wanita yang lebih tertutup di sofa sana. Ia sempat berpikir, baju siapa itu?
Karena Grace tidak mungkin memakai baju seksi milik Kintan, ia langsung memakai dress anggun itu lalu pergi dari kamar hotel dengan terburu-buru.
Grace pulang menggunakan ojek online karena berpikir itu akan lebih menghiburnya karena ia bisa merasakan sejuknya malam.
Setelah sampai di pemukimannya, ia melihat ada beberapa ibu-ibu yang sedang melakukan aktivitasnya karena kini malam segera berganti pagi.
Grace mendekati ibu-ibu yang tidak asing untuknya, itu adalah ibu Fina, pemilik rumah kontrakan yang ia tempati bersama ibunya.
"Bu, saya ingin membayar kontrakan ya. Oh ya, saya juga ingin nitip uang pada ibu, bilamana ada yang menanyakan uang mengenai hutang saya, tolong berikan uang itu pada mereka ya." Pinta Grace.
Fina yang mendengar itu sedikit senang karena akhirnya hutang yang gadis itu gali selama sebulan telah tertutupi.
"Baiklah, terima kasih banyak."
Fina langsung berlalu masuk ke dalam rumahnya membuat Grace sedikit tersentak.
Tak biasanya ibu itu berperilaku cuek terhadap dirinya, tapi kini Grace merasa bahwa Fina tengah mengacuhkannya.
"Ah, mungkin cuman perasaanku karena aku lelah. Lebih baik aku segera pulang." Ucap Grace pada dirinya sendiri lalu bergegas pulang menuju rumahnya.
Ketika sampai di rumahnya, ia melihat pintu rumah yang tidak terkunci membuat dirinya amat sangat khawatir.
Grace membuka pintu lebar-lebar dan membelakkan mata begitu melihat ibunya tengah berbaring lemah di lantai.
"Ibu!"
Grace menghampiri ibunya dan mencoba mengangkat kepala Hanna. Terlihat wajah yang sangat pucat dan tangan dingin membuat Grace amat sangat panik. Grace langsung menggendong Hanna dipunggungnya dan bergegas keluar untuk mencari pertolongan. Yang tadinya para ibu-ibu itu berkumpul di depan rumah kini sudah tak terlihat membuat dirinya semakin bingung sekaligus khawatir. Grace mengunci pintu rumahnya dan berjalan menuju jalan besar agar bisa menemui kendaraan umum. Ia berjalan dengan kaki gemetaran karena bobot ibunya yang lebih besar dari dirinya, Tiin Grace terhenti dari jalannya dan melirik ke arah belakang. Seorang pria turun dari mobilnya dan berjalan menghampirinya. "Mba, apa mau saya bantu?" tawar lelaki itu, namun Grace langsung menolak. "Saya bisa naik taksi di depan." Grace hendak melanjutkan perjalanannya namun lelaki itu langsung menghentikan langkahnya. "Susah loh cari kendaraan umum pagi-pagi begini, mbak. Bahaya juga karena mbak bawa orang yang pingsan. Kalau dibi
Grace melihat ibunya sudah terbaring tenang di kasur. Hanna sudah terlelap beberapa saat karena lelah dengan semua aktivitas yang mereka lakukan padahal Hanna baru saja keluar dari rumah sakit. Grace langsung membuka ponselnya dan mulai mengaktifkan akunnya kembali diaplikasi 'ButterFly' agar orang bisa menyewanya melalui aplikasi itu. Ia bersiap-siap dengan baju yang sebelumnya sudah ia siapkan, ia juga sedikit berdandan agar dirinya tampak lebih cantik dan menggoda. Ting Sebuah notifikasi masuk membuat Grace mengambil ponselnya. Ia membaca sedikit pesan dari pemesannya itu dan bergegas pergi menuju hotel yang sudah dipesan. Grace pergi dari hotel itu setelah melakukan pekerjaannya dan mendapat bayaran yang cukup. Ternyata benar, di kota ini banyak sekali orang-orang kaya yang bisa membayarnya berkali-kali lipat. Ia merasa badannya sudah remuk itu bergegas kembali ke apart sebelum ibunya terbangun. Bisa bahaya jika sang ibu melihat dirinya dengan penampilan seperti ini datang s
Diperjalanan, Grace selalu terpikirkan akan ibunya. Ia takut meninggalkan ibunya malam-malam kerena mengingat malam itu. Tapi ia menjernihkan pikirannya lagi untuk menjadi lebih positif. Grace pun menghela nafas gusar. "Nona, anda telah sampai." Grace tersadar lalu memberikan bayaran kepada supir taksi. Ia pun bergegas pergi memasuki hotel dan berjalan menuju kamar yang sudah dipesan. Sesampainya didepan kamar, Grace mengetuk pintu itu sebanyak tiga kali. Tak lama kemudian, pintu terbuka menampilkan sosok yang tak asing dimata Grace. "Selamat datang." Grace sedikit merinding dengan sambutan itu, namun iya hanya tersenyum kikuk lalu memasuki kamar dengan sedikit gemetara. Max melihat itu sempat khawatir, namun ia berpikir lagi untuk berusaha baik karena ia tidak bermaksud untuk menjamah wanita itu. "Em, apa akan dimula--" "Aku tak akan menjamahmu." Sela Max yang langsung mendapat tatapan heran dari Grace. Max duduk dikursi hotel dan mengambil gelasnya yang berisi alkohol. Grac
Grace menatap lurus kearah batu nisan yang bertuliskan nama ibunya.Orang-orang sekitar mengucapkan turut berduka cita untuk formalitas karena mereka tidak saling mengenal.Satu persatu orang-orang berhamburan pergi, hanya menyisakan Grace dengan pikiran kosongnya.Langit makin menggelap, air diatas awan mulai berjatuhan. Seperti keadaan hati Grace, alam ikut bersedih.Gadis itu mulai menyadari kesepiannya, ia menangis terisak-isak sambil memeluk kuburan yang masih basah."Ibu.."Grace terus menangis dibawah derasnya hujan. Ia sudah menyerah untuk hidupnya jika tanpa Hanna.Dalam seketika, air hujan itu tidak berjatuh dibawah Grace. Grace melihat kedepan dan menyadari bahwa hujan masih turun begitu derasnya. Lantas ia menenggak keatas dan melihat payung yang melindungi tubuhnya."Aku turut berduka cita, Grace." Ucap Alvin turut bersedih.Grace semakin menangis begitu menyadari bahwa dirinya masih diingat oleh orang lain."Alvin.. aku sudah tidak semangat hidup lagi." Keluh Grace, Alvi
Grace terdiam membeku diambang pintu."Kemarilah nona, aku ingin mendengar lamaranmu pada perusahaanku." Titah Max dengan nada lembutnya.Grace yang menegang itu perlahan mendekati Max dan duduk dihadapannya."Jadi, apa bakatmu?"Grace terdiam sejenak. Apakah dirinya harus mengurungkan niat untuk melamar di perusahaan Max?Ia sangat tidak tahu bahwa Max adalah seorang CEO perusahaan, apalagi perusahaan tersebut adalah perusahaan terjaya di kotanya."Sa-saya..""Bakatmu bukan diranjang lagi kan?" tanya Max membuat hati Grace tergetuk."Saya tidak menyangka seorang CEO dari perusahaan terbesar menanyakan itu pada calon karyawannya." Tegas Grace tersinggung membuat Max terkekeh pelan."Apa aku harus mengungkit janji yang telah kau ingkari?" Grace terdiam begitu Max melontarkan pertanyaan itu, Max menghela nafas."Padahal kau sudah teriak kenikmatan saat itu. Akan ku maafkan karena aku juga merasakan kenikmatan. Sekarang, apa yang akan kamu lakukan di perusahaanku?"Grace berusaha menata
Grace membereskan barang-barangnya untuk segera pulang. Ia keluar dari ruangannya dan berpas-pasan dengan Max yang keluar juga dari ruangan."Pulanglah bersamaku." Ajak Max, tentu saja Grace langsung menolak."Saya bisa sendiri."Max memperhatikan Grace dari ujung rambut hingga ujung kaki."Helly akan mengincarmu malam ini." Grace sempat tersentak, namun ia tersadar kembali kalau dirinya bersama Max akan lebih berbahaya lagi."Saya baik-baik saja." Tegas Grace membuat Max tertawa. Pria itu langsung pergi begitu saja membuat Grace menggerutu."Huh, sabar. Jika tidak bersamanya aku tidak biaa hidup.".Grace masih setia menunggu bus angkutan umum untuk mengantarnya ke apartemen yang biasanya ia tempati.Sudah jam sembilan lewat tapi bus itu tak juga melintas, biasanya jam sembilan bus itu sudah tiba di tempat yang Grace tunggu itu."Seharusnya aku menerima ajakan Olivia."Sebuah mobil sedan berhenti tepat dihadapannya. Grace awalnya merasa biasa saja akan hal itu. Namun ketika seorang
Grace merapihkan berkas yang akan ditanda tangani oleh Max. Ia bergegas menuju ruangan Max namun berpas-pasan dengan Helly yang baru saja keluar dari ruangan Max."Oho, apa ini? Kau masih hidup?" Cerocos wanita itu membuat Grace geram namun terus menahan karena tahu bahwa lawannya ini bukan orang biasa."Sayangnya begitu, nona." Jawab Grace yang berhasil membuat Helly kesal."Dasar wanita rendahan!" sentak Helly, Grace menghela nafasnya."Entah apa yang membuat anda berpikir seperti itu, tetapi bukankah wanita yang berkelas tidak pantas menilai orang hanya dalam satu kali lihat?" Plak!Helly berhasil menampar keras pipi kanan Grace sampai Grace terhuyung kebelakang. Suara berjatuhan berkas itu berhasil membuat para karyawan disekitarnya melirik."Berani-beraninya orang rendahan sepertimu mengajariku! Dasar jalang sialan!" teriak Helly yang hendak menampar kembali Grace namun Jovel berhasil menahan tangan itu."Ada berisik apa ini?" tanya Jovel muncul dari ruangan Max.Helly menarik
Grace meminum pil kontrasepsi yang baru ia beli di apotik sepulang kerja tadi. Walau Max berkata akan menikahinya jika ia hamil, Grace sama sekali tidak ingin mengandung anaknya.Wanita itu menghela nafas sambil berbaring di sofa panjang apartemennya."Setidaknya aku bisa memanfaatkan ke obsesannya padaku untuk menikmati hidup." Ucap Grace sambil memikirkan beberapa strategi kedepannya.Ting TongGrace melirik kearah pintu, ia sempat terdiam sebentar untuk menunggu bel kedua.Ting TongWanita itu bangkit kemudian berjalan membuka pintu apartemennya. Muncul seorang pria dengan buket bunga indah menutupi dirinya membuat Grace mengerutkan dahi."Siapa anda?" Pria itu memiringkan bunganya dan terpampang lah wajah Max yang tampak sangat senang.Grace sedikit terkejut namun kemudia ia memasang wajah ekting yang sangat menipu."Ah, Max. Terima kasih." Grace mengambil buket bunga itu dan menghirupnya dalam-dalam. Grace langsung terdiam begitu menyadari bahwa aroma bunga itu adalah racun y
"Istri saya?" tanya Jovel pura-pura kebingungan."Yah, istrimu. Siapa tahu dia akan berteman dengan Grace." Jelas Max, Jovel menghela nafas lega."Saya tidak punya istri tuan, anda tidak perlu khawatir." Jelas Jovel, Max mengerutkan alisnya.Max tahu kalau saat ini Jovel sedang berbohong. Tapi dari itu semua, Max sangat mengerti jika Jovel tidak ingin memberitahukan identitas istrinya itu."Baiklah, segera bawa Olivia kemari. Kamu tidak perlu menempatkannya disisiku, buat saja dia ingin bertemu Grace walau sebentar." Titah Max. Jovel membungkukkan badannya. "Baik tuan."Jovel keluar dari ruangan Max dan berpas-pasan dengan assisten dari Riksan."Apa tuan Max didalam?" tanyanya, Jovel mengangguk."Tuan muda ingin bertemu, apakah bisa?"Jovel sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Tuan muda yang ia maksud pasti adik tiri Max, apakah Max akan baik-baik saja jika bertemu denganya?"Akan ku tanyakan terlebih dulu."Jovel masuk kembali ke ruangan membuat Max menatapnya bingung. "Kenapa?""
"Jadi, kamu akan menandatanganinya?" tanya Riksan begitu mendengar kalau Max memanggilnya.Max mengangguk lalu mengambil berkas yang diberikan assisten Riksan. Max membaca sekilas berkas itu, menandatanganinya lalu memberikannya pada Riksan."See?"Riksan menerima berkas itu dan mengembangkan senyuman."Bagus, akhirnya kamu memiliki pemikiran dewasa." Max membuang muka sambil menghela nafas."Sekarang berikan istriku!" tegas Max membuat Riksan terkekeh pelan."Tenang. Jo! Jemputlah Grace dengan hati-hati. Dia adalah wanita kesayangan anakku." Titah Riksan yang langsung dituruti oleh assistennya.Kepergian Jo bertepatan dengan Jovel yang baru saja datang membawa Grace. Semua tatapan itu refleks melirik padanya."Ah, ternyata kau sudah kabur."Grace terlihat tenang lalu melirik pada Max. Max bangun dari duduknya dan berjalan kearah Grace.Mereka berpelukan untuk waktu yang lama. Menjalarkan kerinduan karena beberapa saat mereka tidak bertemu karena masalah keluarga Max yang sangat meru
"Sialan!"Max membanting semua barang di rumahnya membuat kegaduhan besar di rumah. Para pelayannya hanya menunduk melihat tuannya marah besar karena tidak berani sama sekali dengan Max."Aku tidak menyangka pelayanku sendiri mengkhianatiku." Gumam Max yang dapat didengar oleh seluruh pelayan di rumahnya.Max menatapi pelayan itu satu-satu. Memelototi mereka dengan tajam membuat nyali mereka makin menciut."Sania!"Orang yang dipanggil itu keluar. Ia berjalan mendekat kearah Max sambil tetap menundukan kepalanya.Max menatap lekat orang itu. Sania yang sudah lama menjadi kepala pelayan hanya bisa menunduk menerima kenyataan bahwa dirinya lah yang akan disalahkan."Tuan, tolong kendalikan diri anda!" Jovel tiba-tiba datang seperti penyelaman untuk para pelayan.Max menatap Jovel dengan tajam dan kini membuang muka. Jovel mendekati tuannya lalu menunduk dengan sopan."Tuan, jika memang anda ingin istri anda kembali, coba pertimbangkan kembali tawaran ayah anda." Ucap Jovel membuat Max t
Beberapa hari berlalu, kini Grace dan Max sudah kembali lagi ke negara asal. Jovel yang sudah setia menunggu di bandara langsung membawa laki-laki itu menuju kantor membuat Grace bergeleng kepala."Pulanglah ke rumah. Aku akan segera pulang." Titah Max. Grace hanya mengangguk menurut lalu melambaikan tangan pada Max yang kini sudah pergi berlalu.Grace menatap kepergian Max yang diiringi dengan Jovel. Seseorang pun menepuk pundaknya membuat Grace membalikkan badan."Nyonya, mari ikuti saya." Ucap seseorang yang memakai baju pelayan yang sering ada di rumahnya.Grace tersenyum dan mengangguk lalu mengikuti pria itu.Sebenarnya Grace sedikit asing dengan pelayan dihadapannya. Pelayan di rumah Max memang terbilang cukup banyak, tetapi pasti selewat Grace mengenal wajah pelayan itu."Silahkan masuk nyonya."Grace ditambah bingung lagi ketika melihat mobil yang tidak pernah ia naiki itu. Max tidak pernah membeli mobil yang modelannya seperti ini."Em, apa ini mobil Max?" tanya Grace. Pelay
"Keluarkan Olivia dan buang dia jauh-jauh dari Grace." Jovel sangat bahagia dalam hatinya. Max akhirnya memerintahkan untuk membuang Olivia dimana pria itu tidak akan menganggangu Olivia lagi."Satu lagi, uruslah perusahaanku di Bali untuk sementara waktu. Aku tidak bisa keluar kota untuk saat ini."Jovel membungkuk dengan sopan lalu pergi berlalu untuk segera melaksanakan perintah atasannya. Jovel melangkah dengan senangnya sambil membuat surat rekomendasi untuk Olivia bekerja di perusahaan Bali agar bisa terus bersamanya.Sampai setelah rencananya semua itu berjalan lancar, Olivia malah merobek surat rekomendasinya membuat Jovel mematung kaget."Aku akan pergi sendiri."Gadis itu pergi berlalu begitu saja membuat Jovel segera berbalik dan menarik lengannya. "Jangan tinggalkan aku!"Olivia tersentak mendengar itu dan berbalik melihat Jovel yang kini sudah menangis dengan wajah sedihnya.Wanita itu pastinya sangat tidak percaya dengan ekspresi itu. Selama ini Jovel yang selalu tidak
Jovel menghela nafas panjang. Sudah dua hari berlalu dari libur tuannya memberatkan harinya. Padahal dirinya sudah sibuk mengurus perusahaan Max yang ada di Bali, kini dirinya juga harus mengurus perusahaan di Jakarta. Yang benar saja.Namun untungnya ia mempunyai istri yang berbakat sehingga pekerjaannya di Bali sedikit lebih ringan.Kintan masuk ke ruangan Max yang sedang diisi Jovel membuat pria itu kini menyorotnya dengan mata sinis. Sudah dua hari pula gadis itu tidak masuk sehingga pekerjaannya disini tidak ada yang membantu."Kemana saja kau?!" tanya Jovel bengis membuat Kintan mengerutkan alis."Kenapa kamu yang disini? Kemana tuan Max?" tanya Kintan, Jovel mendesah pelan sambil membuang pandangannya tak menjawab pertanyaan Kintan.Kintan merasa tersinggung dicueki seperti itu. Dirinya pun berjalan menghentakkan kaki mendekati Jovel. Ia menarik kerah baju Jovel dan menatapnya dengan lekat."Beritahu aku kemana perginya Max!"Jovel menepis lengan Kintan dari bajunya. Pria itu m
Keesokan harinya. Max sudah berjanji kepada Grace untuk membawanya bermain salju. Grace sudah siap dengan pakaian hangatnya membuat Max merasa gemas. Jaket tebal bulu berwarna pink dan topi kupluk itu membuat Grace merasa hangat namun terlihat tenggelam karena Grace bertubuh kecil. "Ayo! Aku sudah siap." Ajak Grace dengan semangatnya. Max terkekeh pelan lalu meraih lengan sang istri dengan lembut. "Ayo!" Mereka pun berjalan bersama keluar kamar hotel. Sebenarnya, konsep hotel yang mereka tempati itu terlihat seperti tenda namun ini tidak menggunakan bahan tenda. Dimana setiap kamarnya berjarak cukup jauh jadi mereka bisa melihat dan merasakan salju walaupun keluar kamar. "Aku akan membawa mu menaiki gondola. Agar kamu bisa puas melihat-lihat Swiss sebelum pulang. Maaf karena tidak bisa membawamu berlibur yang panjang." Ucap Max. Jujur, Grace sangat senang dengan rencana yang Max buat sendiri. Dirinya jadi hanya perlu diam mengikuti dan menikmati pemandangan indah dari negeri asin
Hari yang Grace nantikan telah tiba. Liburan romantisnya ke negeri Swiss membuat wanita itu tersenyum senang menikmati salju yang kini turun dari langit. Sejujurnya, Grace tidak pernah merasakan salju sama sekali. Karena dirinya lahir dari keluarga miskin, ia jadi tidak bisa pergi kemana pun sesuka hati. Boro-boro berpergian, untuk sesuap nasi saja mereka kesulitan karena ayahnya yang sering berhutang judi kesana kemari. Mengingat itu membuat Grace jadi kepikiran dengan orang tuanya. Apa kabar ayahnya sekarang? Setelah terakhir menemui Max, ia tidak pernah muncul lagi, apa Max melakukan sesuatu? "Grace.. apa yang kamu pikirkan? Kamu tidak boleh banyak pikiran!" seru Max sambil mengalungkan tangannya dipinggang Grace. "Ah, tidak. Aku hanya kepikiran keluargaku saja." Max mengerutkan dahi. "Aku kan keluargamu, Grace." Grace terkekeh pelan mendengar itu
Grace dan Max sudah siap untuk pergi ke dokter kandungan. Mereka akan segera memeriksa bagimana keadaan kandungan Grace saat ini. Jaga-jaga jika sang wanita tidak sehat, Max sangat tidak ingin Grace sakit.Sesampainya mereka di rumah sakit, Max menghantar Grace dengan begitu romantisnya membuat Grace merasa senang saat ini."Silahkan berbaring nyonya." Titah dokter yang langsung disetujui oleh Grace.Wanita itu segera berbaring dan dokter memeriksa perutnya. Dokter mengarahkan alat untuk mencari janin yang tengah dikandung Grace."Wah, selamat nyonya, anak anda ada dua!"Grace menatap Max dengan begitu bahagianya membuat Max ikut tersenyum."Apa bayinya sehat?" tanya Max.Dokter tersebut mengangguk lalu memperhatikan layar yang menampilkan bayi."Ibunya sedang bahagia ya? Bayinya terlihat senang. Tolong dipertahankan ya." Ucap dokter.Grace tertawa pelan lalu mengangguk. Max menatap Grace dengan sayu dan tersenyum menyadari kalau gadis itu kini tengah bahagia."Nah sudah selesai. Saya