“Sayang, ada ide spektakuler nggak? Biar beda dari tahun lalu. Acara ulang tahun perusahaan?” ucap Ilham pada sang istri.
“Apa, ya? Kalau festival band dari divisi-divisi bagaimana? Terus bisa dengan vidio konten gitu? Nanti yang terpilih baru manggung. Nggak usah ngundang seluruh orang karena memang nggak boleh ada kerumunan. Kepala divisi saja. Nanti disiarkan langsung via jejaring sosial.” Ilham terlihat sangat puas dengan ide sang istri.
“Pinter memang istriku. Kemarilah!” Ilham melambaikan tangannya agar istrinya mau mendekat.
“Apa?” Ilham menarik tangan Tias agar mau mendekat.
“I love yoau.”
“I love you too. Udah entar masakanku gosong.” Ilham menggelengkan kepalanya, karena memang ada pembantu di belakang.
“Mau nyanyi bareng aku? Nostalgia masa lalu.”
Ilham dan Tias akhirnya keluar dari kolam renang dan mengenakan handuk kimono yang emang selalu tersedia di kamar mandi samping kolam. “Darei tadi, Dit?” tanya Ilham.“Cukup untuk mendengar bos mendesah,” ucap Aditia memuta bola matanya.“Makanya jangan jomblo mulu biar bisa mendesah. Ganti baju dulu, Sayang.” Ilham menyuruh Tias mengganti Bajunya. Wanita itu menurut saja setelah satu ciuman.“Ada apa, Bos?” ucap Adit sambil menyeruput kopinya.“Ini, istriku punya ide untuk ulang tahun perusahaan besok. Bikin konten saja untuk lomba. Yang dapat like terbanyak yang menang. Kalau memungkinkan syukuran live streaming mengundang yang menang. Teknisnya bagaimana? Besok kita bahas.” Aditia mengangguk.“Oke, tadi berapa kali, Bos?” ucap Aditia.“Kamu masih penasaran? Bisa berkali-kali, Dit
Ilham tidak melepaskan sang istri. Dia menarik handuk kimomo yang dikenakan sang istri. “Sayang, jangan kira tadi lolos terus sekarang aku lepasin, ya? Tetep, bonus buatku.” Ilham mengkungkung tubuh istrinya di bawahnya.“Jangan curang. Kamu harus tangkap aku dulu Tuan Ilham Sanjaya Sasmita,” ucap Tias.“Sekarang ‘kan sudah. Kamu tidak bisa mengelak,ya Zahwa Almira. Suamimu ini sangat ulung dalam bernegosiasi. Jadi jangan menghindar dariku.” Ilham mulai beraksi dengan melumat bibir ranum sang istri.“Aku memang tidak bisa menghindar darimu, aku pasrah saja.” Ilham semakin tertantang ketika istrinya menggeliat. Ada perasaan yang tak biasa. Dia melihatnya sangat seksi. Namun bersamaan itu, Tias merasakan sakit yang luar biasa. Dia memegang perutnya. “Sayang, maafkan aku. Terlalu bergairah ya? Hingga menyakitimu.Ya Tuhan!” Ilham cepat-cepat memakai bajunya da
“Sayang kau sduah sadar?” Ilham berkali-kali mencium tangan Tias karena bahagia wanitanya sudah siuaman.“Aku sangat takut. Kau tidur sangat lama.” Terlihat aura sedaih mengeglayuti wajah tampannya.“Hai, kenapa sedih? Aku tidak akan mati semudah itu.enak aja, suamiku bisa kawin lagi kalau aku mati. Aku belum ikhlas,” ucap Tias dengan suara seraknya.“Kau bisa saja.maafkan Mas, Sayang. jangan marah padaku. Anak kita harus dibersihkan dari rahimmu. Aku minta maaf karena terlalu semangat hingga membunuh anak kita.” Ilham tergugu.“Jangan menangis. Bukan salahmu, Allah lebih sayang padanya. Tidak perlu disesali. Bantu aku duduk.” Ilham membantu istrinya duduk. Rasanya sangat lemas. Mungkin karena darah yang keluar sangat banyak, jadi sangat lemah.“Terima kasih, Sayang. Lain kali aku akan lebih lembut. Apa kau lapar?m
“Jangan menangis, aku tahu mas mengkhawatirkanku. Terima kasih sudah menjagaku. Aku minta maaf tidak bisa menjaga anak kita.” Tiar mengelus sang suami setelah menghabiskan makanan yang disupakan kepadanya.“Tidak usah disesali lagi, Sayang. Kita mulai dari awal.” Ilham mencium tangan istrinya dengan sangat dalam.“Mas, kapan boleh pulang. Aku nggak suka bau rumah sakit,” ucap Tias.“Kalau dokter membolehkan kamu pulang, baru kita pulang.” Tias manyun. Dia tidak ingin berada di rumah sakit. Satu-satunya tempat nyang membuatnya mual.“Kalau aku di sini terus, bukan malah sembuh tapi malah akan sakit lebih parah.” Ilham mengelus kepalanya sangat lembut kemudian beranjak meninggalkannya untuk menemui dokter terkait dengan keluahan istrinya. Tias semakin manyun karena Ilham meninggalkannya. Entah mengapa dia menangis karena hal itu.
Ilham semakin over protektif dengan Tias. Dia bahkan menyewa dua suster untuk menjaganya. Satu bertugas menyecek kesehatannya, yang satu bertugas untuk menjaganya dan mempersiapkan keperluannya. “Kalian jangan dengarkan suamiku. Dia suka berlebihan. Bawa kemari makanannya. Aku akan makan sendiri.” Suster Naina menggelengkan kepala.“Jangan, Nyonya.” Tuan Ilham memasang CCTV. Beliau akan mengecek setiap satu jam sekali. Saya tidak berani.” Tias manyun mendengarnya.“Nyonya, vitamin Anda.” Tias memutar bola matanya.“Bisakah kalian perlakukan aku jangan seperti orang sakit. Aku tidak apa-apa. Hanya butuh istirahat saja.” Tapi Tias menurut saja, karena kasihan takut mereka berdua dipecat oleh sang suami.“Ya Tuhan, entah aku harus bersyukur atau marah. Suamiku yang dulu sangat cuek bebek dan ngeselin karena nyakitin. Suami yang sekarang sangat
Tias merasa ada yang aneh. Dia melihat mereka serius dari tadi bicara. Kenapa pula harus menjauh? Biasanya juga mereka berbicara di depannya? Apa sebenenarnya yang ingin disembunyikan oleh Ilham suaminya? Tidak berapalama, Ilham datang menghampiri. “Kenapa menjauh? Ada rahasia apa?” ucap Tias sambil memakan buah yang tadi sudah dikupaskan oleh Ilham.“Tidak ada apa-apa, Sayang. Jangan curigaan. Malam ini aku akan keluar kota. Paling untuk sehari atau dua hari. Tapi kalau kamu keberatan nggak masalah biarkan Adit yang mengurus. Aditia selalu dapat diandalkan.” Ilham menggenggam tangannya.“Pergilah, aku baik-baik saja. tapi hati-hati, ya?” Ilham mengangguk. Dia menemani Tias hingga malam tiba. Malam ini juga Ilham akan mencari sendiri Galih. Dia tidak akan membiarkan lelaki itu mendekati istrinya barang sebentar pun.Seperti rencananya, Ilham sudah menyusun strategi untuk mengakhiri Gal
Ilham sudah sampai dilokasi pengintaian. Dia sudah pikirkan masak-masak, tidak akan berbuat yang melebihi batasan. Rasanya begitu membuat darahnya mendidih melihat rupa Galih. Dia tidak melepaskan Tias tapi juga tidak memeluknya. Lihatlah dia? Dengan pongah memeluk beberapa wanita jalang. Ilham menyamar untuk masuk ke dalam lingkaran Galih. Dia menyamar dengan menggunakan wajah karet sehingga tidak akan ada yang tahu karena dia sudah membuat pingsan salah satu penjaga.“Kamu masih di sini? Bukannya waktunya ganti penjaga?” keluh seseorang yang bertato kalajengking di bagian punggung tangannya.“Ah, baiklah. Aku tadi ke toilet dulu.” Ilham sudah sampai di pintu ruangan milik Galih. Ya, dia tahu bahwa lelaki yang dilumpuhkan adalah penjaga pintu masuk kamar atau ruangan Galih. Dia menatap tajam ke arah Galih. Ingin rasanya mermukkan tulang belulangnya sekarang. Tapi tunggu, mungkin saja sebentar lagi.
“Farhan, aku punya seorang pasien untukmu. Buat dia hanya bisa duduk di kursi roda.” Ilham memutuskan sambungannya. Dia berjalan dan melangkahi beberapa orang yang tepar tergeletak. Tidak lama para polisi datang untuk membawa orang-orang tersebut. Sedangkan Ilham dan Adit langsung ke rumah.Ilham merasakan sedikit pusing karena memang beberapa hari tidak tidur menjaga istrinya. Dia mulai mengaktifkan ponselnya. Terlihat banyak pesan masuk dan juga telepon tentu dari sang istri.“Mas, aku nggak bisa bobok.”“Mas kamu di mana?”“Nggak aktif,”“Mas ....”Dan masih banyak lagi Ilham segera menelepon istrinya. Tapi tidak di angkat. Dia menjadi frustasi sendiri. Ilham melepar ponsel yang bermerek apel separuh itu ke dasbor mobilnya. Lelaki itu memijit kepalanya yang semakin berdenyut. Setelah itu memilih m