Tias dan Lita terlihat sangat akrab dengan Mahendra walau bertemu hanya beberapa jam saja. Bercengkarama seolah sudah lama mereka kenal. Bahkan pembicaraan sangat ringan mereka lakukan untuk mengisi waktu menunggu pesanan. Tias memindai sekitar. Interior klasih khas sunda, dengan musik sunda klasih yang menggema membuat yang makan di sini menikmatinya sangat tenang. Mereka di bawa ke masa lalu, dengan suara suling yang mengalun. Seakan terasa di tengah persawahan dengan angin sepoi-sepoi yang sangat menyejukkan jiwa.
Lampu gantung yang terdapat di atap bergelantungan. Mungkin, saat malam hari akan temaram dan menjadikan suasana romantis. Ah, lagi-lagi pikiran Tias menuju kepada suaminya. Lelaki itu memang sudah masuk ke dalam sukmanya, walau ternyata dia tetap tidak bisa mentoleransi kesalahan fatal yang di lakukan oleh suaminya itu.
“Mangga, Akang dan juga Neng-Neng Gelius. Hatur nuhun. Saya permisi,” pamit pramu saji tadi.
<Bil di berikan kepada Mahendra oleh pelayan, kemudian sebuah kartu kredit di berikan kepada pelayan itu. Setelah beberapa saat, mereka sudah berjalan menuju ke tempat parkir. Mahendra menyuruh keduanya menunggu di lobi saja. Belum genap langkah Mahendra sepuluh , terdengar suara ledakan menggema. Ledakan itu di ikuti dengan kepulan asap dan api di depan restoran itu.Boumm ... Suaranya terdengar sangat tajam menusuk ke telinga setiap orang yang ada di tempat itu. Ledakan itu membuat gedung di depan porak poranda. Ada sebuah bom yang menyasar ke gedung tersebut. Suara itu di susul dengan bunyi teriakan dari penghuni gedung itu. Tias dan Lita menganga melihatnya. Akan tetapi, Tias merasa terpanggil untuk mengetahui apa yang terjadi di lokasi itu.Wanita itu berlari menuju ke depan. Lita tidak kuasa mencegahnya, karena wanita itu sudah gesit berlari. Ledakan tadi di susul dengan api yang mulai membakar gedung itu. Teriakan, tangisan pilu
“Mbak, kenapa masih disini?” Dua orang pemadam kebakaran yang melakukan sweeping karena mendengar bahwa masih ada orang di sini langsung menyusuri gedung. Mereka masuk melalui balkon dengan craine mobil bomber yang mengangkat tubuh mereka. “Pak di dalam masih ada orang.” “Iya, biar itu jadi urusan saya. Kamu turun saja.” Lelaki itu berusaha mendobrak pintu kamar. Sedangkan Tias berlari turun. Wanita itu bingung ketika sudah ada di anak tangga paling bawah . Di depan tangga, sudah ada api yang menyala-nyala memenuhi sudut ruangan. Seorang lelaki terlihat masuk ke dalam kobaran api itu. Dengan membawa selimut basah, lelaki itu menghampiri Tias. “Mbak, anda nekad sekali. Biarkan ini jadi tugas kami. Sekarang, pake ini dan keluarlah.” Tias menurut saja, karena memang sudah ada petugas di dalam gedung itu. Dia menerobos kobaran api yang menjilat-jilat. Berlari terus menyususri lantai dasar yang sudah seperti lautan api
Karena bosan menunggu sang pacar, Lita berjalan-jalan melewati beberapa keramba apung. Dia terpesona dengan ikan-ikan yang seolah menari-nari di keramba apung itu. Dia mendekat untuk lebih bisa melihat tarian ikan-ikan itu. Air laut yang jernih, bahkan sampai terlihat rumput laut warna-warni di dasar laut. Pesona itu sanggup merobohkan dinding hati untuk tetap mengagumi keindahannya. Siapa yang bisa menolak seluruh keindahan yang nyata disajikan oleh Tuhan?“Awas!” Suara teriakan itu membuat Lita terkejut. Sehingga wanita yang mengenakan celana pendek selutut dengan baju pantai santai itu terjebur ke keramba. Lita tidak bisa berenang, oleh karena itu dia kelabakan dengan tangan yang melambai-lambai. Tias langsung saja tanpa aba-aba berlari mengejar tubuh Lita yang melambai-lambai itu.Sekuat tenaga wanita yang sedang menyelesaikan tugas di kota Jepara itu berenang mendekati tubuh Lita, hingga akhirnya dapat meraih pinggangnya dan menepikan tubuh tersebut. T
“Iya, ada apa?” tanya Ilham dengan ketus. Lelaki itu memang selalu ketus dengan wanita manapun, kecuali dengan keluarganya. Bahkan dengan Tias juga ketus sebelumnya. Memang sebening balok es dan sedingin gunung es kutub utara si Ilham itu. Jika bukan bosnya, mungkin sudah di ihhh, sama Lita. Kalau bukan karena Tias mungkin ogah kali Lita telepon. “Ini, Pak. Jika bapak sudah baikan, ke rumah sakit sekarang. Tias di rawat.” Lita meluncurkan kata-kata itu juga akhirnya. “Apa? Di rumah sakit mana? Kok bisa? Karena apa? Maksudku ... aku akan ke sana. Shere lock.” Lita bengong mendengar respon dari atasannya itu. Dia tidak percaya, jika respon Ilham sangat heboh seperti itu. Lita masih bengong karena mendengar Ilham yang benar-benar antusias. Setelah beberapa menit, baru dia sadar bahwa harus mengirim peta lokasi secara digital. Lita mengirimkan lokasinya. Dua centang biru pada aplikasi itu tertera. Itu artinya lelaki itu sudah membaca pesannya. Terbit senyum di wa
Ilham memesan dua porsi nasi goreng. Untuk dirinya dan Lita. Sedangkan Tias, akan dia belikan jika dokter menyatakan boleh memakan olahan makanan. Atau setidaknya, apa yang boleh dimakan oleh wanita itu. Setelah menunggu sekitar setengah jam, akhirnya pesanan datang. Seorang lelaki dengan menggunakan kostum khusus mengantarkan makanan, sesuai dengan lokasi yang di berikan oleh Ilham. Pengantar makanan tersebut hanya boleh mengantar sampai di depan lobi, sehingga Ilham harus turun. Dia turun ke lantai satu untuk membayar pesanannya.“Berapa, Mas?” tanya Ilham. Ilham merogoh saku belakangnya untuk mengambil dompetnya.“Silakan ini bilnya, Tuan.” Ilham mengangguk kemudian membayarkan sejumlah uang yang ada pada bil tersebut. Ilham setengah berlari menuju ke lift, untuk sampai di lantai lima. Setelah bunyi cring, pintu membuka. Ilham langsung ke ruangan, di mana ada Lita di depan ruangan itu. Bersamaan dengan itu, dokter keluar dari ruang itu.
“Yas, aku menerima tawaran proyek di Dinas ini karena asistenku bilang kamu ada di dalamnya. Aku tidak pernah tertarik dengan proyek pemerintah.”Lita tambah membelalakan matanya. Ternyata, satu-satunya alasan hanya Tias. Lita menelan air liurnya susah payah. Ada seseorang yang demikian mencintai pasangannya sedalam itu. Mengapa tidak dari kemarin datang ke dalam kehidupan Tias. Dari pada dengan Galih yang selalu melukai Tias. Jika mereka bertemu beberapa tahun lalu, mungkin akan lain ceritanya.Ilham menggenggam tangannya, kemudian menciumnya berkali-kali. Genggaman tangan Ilham di balas oleh Tias. Wanita itu masih dalam keadaan terpejam, namun merespon sentuhan dari Ilham.“Yas, kamu merasakanku? Bukalah matamu jika kau mendengarku. Please!” Ilham berkali-kali membisikan kata sayang pada Tias, hingga sebanyak dia membisikan, sebanyak itu pula tangan Tias merespon.“Bag
“Nggak usah ngelawan sekali-kali kenapa, sih? Sudah lemah seperti itu masih saja bawel dan cerewet.” Ilham diam sejenak, kemudian dia menawarkan makan. “Laper nggak?” tanya Ilham mulai merendah.“Yas ....” Ilham tidak bertanya lagi, setelah mendengar suara kemerucuk dari perut Tias. Ilham keluar dari ruangan kemudian berjalan menuju ke ruang dokter dia ingin menanyakan apa yang boleh dimakan oleh Tias dan yang tidak boleh.Lelaki itu mengetuk pintu ruangan dokter, kemudian masuk ketika dokter mempersilakan. Dengan hati-hati lelaki itu memutar knop pintu kemudian masuk ke ruangan yang di dominasi oleh warna putih itu.“Silakan, Pak. Maaf ...” Dokter tercekat karena tidak tahu nama Ilham.“Terima kasih. Saya Ilham,” ucap Ilham sambil menjabat tangan dokter tampan tersebut. Meskipun usianya sepertinya t
Seorang berpakaian khas pengantar makanan dari restoran yang dia pesan terlihat menapaki lorong rumah sakit. Ilham menghampirinya. Terlihat dari aplikasi pergerakannya. Pengantar makanan itu akan stop hanya di depan gerbang masuk ruang rawat karena memang sekarang ini tidak diperbolehkan sembarang orang masuk. Sekotak pizza dan spagetty dipesannya. Wanita itu memang makan semua masakan tanpa memilih. Akan tetapi, dia selalu terlihat bahagia, saat memakan makanan Italia itu. “Pak, bisa uang pas? Saya tidak membawa kembalian,” tanya lelaki itu, setelah merogoh koceknya tidak ada uang dua puluh ribuan. “Anggap saja, bonus untukmu karena membantuku,” tukas Ilham. Lelaki muda itu terlihat gembira. Dia permisi untuk melanjutkan mengantar pesanan yang lain. Sedangkan Ilham memasuki ruangan itu. “Yas ...” Hening Ilham memegang urat nadi yang ada di leher