Karena bosan menunggu sang pacar, Lita berjalan-jalan melewati beberapa keramba apung. Dia terpesona dengan ikan-ikan yang seolah menari-nari di keramba apung itu. Dia mendekat untuk lebih bisa melihat tarian ikan-ikan itu. Air laut yang jernih, bahkan sampai terlihat rumput laut warna-warni di dasar laut. Pesona itu sanggup merobohkan dinding hati untuk tetap mengagumi keindahannya. Siapa yang bisa menolak seluruh keindahan yang nyata disajikan oleh Tuhan?
“Awas!” Suara teriakan itu membuat Lita terkejut. Sehingga wanita yang mengenakan celana pendek selutut dengan baju pantai santai itu terjebur ke keramba. Lita tidak bisa berenang, oleh karena itu dia kelabakan dengan tangan yang melambai-lambai. Tias langsung saja tanpa aba-aba berlari mengejar tubuh Lita yang melambai-lambai itu.
Sekuat tenaga wanita yang sedang menyelesaikan tugas di kota Jepara itu berenang mendekati tubuh Lita, hingga akhirnya dapat meraih pinggangnya dan menepikan tubuh tersebut. T
“Iya, ada apa?” tanya Ilham dengan ketus. Lelaki itu memang selalu ketus dengan wanita manapun, kecuali dengan keluarganya. Bahkan dengan Tias juga ketus sebelumnya. Memang sebening balok es dan sedingin gunung es kutub utara si Ilham itu. Jika bukan bosnya, mungkin sudah di ihhh, sama Lita. Kalau bukan karena Tias mungkin ogah kali Lita telepon. “Ini, Pak. Jika bapak sudah baikan, ke rumah sakit sekarang. Tias di rawat.” Lita meluncurkan kata-kata itu juga akhirnya. “Apa? Di rumah sakit mana? Kok bisa? Karena apa? Maksudku ... aku akan ke sana. Shere lock.” Lita bengong mendengar respon dari atasannya itu. Dia tidak percaya, jika respon Ilham sangat heboh seperti itu. Lita masih bengong karena mendengar Ilham yang benar-benar antusias. Setelah beberapa menit, baru dia sadar bahwa harus mengirim peta lokasi secara digital. Lita mengirimkan lokasinya. Dua centang biru pada aplikasi itu tertera. Itu artinya lelaki itu sudah membaca pesannya. Terbit senyum di wa
Ilham memesan dua porsi nasi goreng. Untuk dirinya dan Lita. Sedangkan Tias, akan dia belikan jika dokter menyatakan boleh memakan olahan makanan. Atau setidaknya, apa yang boleh dimakan oleh wanita itu. Setelah menunggu sekitar setengah jam, akhirnya pesanan datang. Seorang lelaki dengan menggunakan kostum khusus mengantarkan makanan, sesuai dengan lokasi yang di berikan oleh Ilham. Pengantar makanan tersebut hanya boleh mengantar sampai di depan lobi, sehingga Ilham harus turun. Dia turun ke lantai satu untuk membayar pesanannya.“Berapa, Mas?” tanya Ilham. Ilham merogoh saku belakangnya untuk mengambil dompetnya.“Silakan ini bilnya, Tuan.” Ilham mengangguk kemudian membayarkan sejumlah uang yang ada pada bil tersebut. Ilham setengah berlari menuju ke lift, untuk sampai di lantai lima. Setelah bunyi cring, pintu membuka. Ilham langsung ke ruangan, di mana ada Lita di depan ruangan itu. Bersamaan dengan itu, dokter keluar dari ruang itu.
“Yas, aku menerima tawaran proyek di Dinas ini karena asistenku bilang kamu ada di dalamnya. Aku tidak pernah tertarik dengan proyek pemerintah.”Lita tambah membelalakan matanya. Ternyata, satu-satunya alasan hanya Tias. Lita menelan air liurnya susah payah. Ada seseorang yang demikian mencintai pasangannya sedalam itu. Mengapa tidak dari kemarin datang ke dalam kehidupan Tias. Dari pada dengan Galih yang selalu melukai Tias. Jika mereka bertemu beberapa tahun lalu, mungkin akan lain ceritanya.Ilham menggenggam tangannya, kemudian menciumnya berkali-kali. Genggaman tangan Ilham di balas oleh Tias. Wanita itu masih dalam keadaan terpejam, namun merespon sentuhan dari Ilham.“Yas, kamu merasakanku? Bukalah matamu jika kau mendengarku. Please!” Ilham berkali-kali membisikan kata sayang pada Tias, hingga sebanyak dia membisikan, sebanyak itu pula tangan Tias merespon.“Bag
“Nggak usah ngelawan sekali-kali kenapa, sih? Sudah lemah seperti itu masih saja bawel dan cerewet.” Ilham diam sejenak, kemudian dia menawarkan makan. “Laper nggak?” tanya Ilham mulai merendah.“Yas ....” Ilham tidak bertanya lagi, setelah mendengar suara kemerucuk dari perut Tias. Ilham keluar dari ruangan kemudian berjalan menuju ke ruang dokter dia ingin menanyakan apa yang boleh dimakan oleh Tias dan yang tidak boleh.Lelaki itu mengetuk pintu ruangan dokter, kemudian masuk ketika dokter mempersilakan. Dengan hati-hati lelaki itu memutar knop pintu kemudian masuk ke ruangan yang di dominasi oleh warna putih itu.“Silakan, Pak. Maaf ...” Dokter tercekat karena tidak tahu nama Ilham.“Terima kasih. Saya Ilham,” ucap Ilham sambil menjabat tangan dokter tampan tersebut. Meskipun usianya sepertinya t
Seorang berpakaian khas pengantar makanan dari restoran yang dia pesan terlihat menapaki lorong rumah sakit. Ilham menghampirinya. Terlihat dari aplikasi pergerakannya. Pengantar makanan itu akan stop hanya di depan gerbang masuk ruang rawat karena memang sekarang ini tidak diperbolehkan sembarang orang masuk. Sekotak pizza dan spagetty dipesannya. Wanita itu memang makan semua masakan tanpa memilih. Akan tetapi, dia selalu terlihat bahagia, saat memakan makanan Italia itu. “Pak, bisa uang pas? Saya tidak membawa kembalian,” tanya lelaki itu, setelah merogoh koceknya tidak ada uang dua puluh ribuan. “Anggap saja, bonus untukmu karena membantuku,” tukas Ilham. Lelaki muda itu terlihat gembira. Dia permisi untuk melanjutkan mengantar pesanan yang lain. Sedangkan Ilham memasuki ruangan itu. “Yas ...” Hening Ilham memegang urat nadi yang ada di leher
Malam semakin larut mereka masih saja bercengkrama. Mulai hadir rasa nyaman antara keduanya. Perasaan di dalam diri Ilham mulai mengakar dan bertunas menjadi pohon cinta yang rimbun dan berbuah. Akan tetapi di lain sisi, terjadi kebimbangan dalam diri Tias. Wanita itu masih terikat perkawinan dengan pria lain. Baginya, ikatan itu sangat suci dan pantang untuk dinodai. Harapan itu masih sangat besar kepada suaminya, yang kini bahkan terkesan tidak peduli padanya. Bahkan mencarinya saja tidak.“Ehmm ... mas, malah lupa. Tadi katanya mau tanya sesuatu. Tanya apa?” ingat Tias.“Ehm , apa ya? Nggak jadi ah,” goda Ilham.“Eh, kenapa? Bikin penasaran deh.”“ya, memang nggak jadi. Nggak penting juga.”“Harus jadi, ih.” Tias memanyunkan mulutnya. Dia sebal sama lelaki itu. Tias penasaran yang akan dikatakan oleh lelaki itu.
Terbesit untuk menerima kebaikan Ilham. Akan tetapi, pikirannya kembali memberontak. Ilham belum pernah mengatakan bahwa perasaannya ingin memiliki Tias seutuhnya. Bimbang kembali merajai relung terdalamnya. Bagaimana kalau kebaikan Ilham hanya sebagai sahabat saja? Dia akan kecewa dua kali.Suara kokok ayam menandakan fajar menyingsing. Tias sama sekali belum terpejam. Dia bangkit kemudian mengambil air wudhu. Akan tetapi, wanita itu lupa bahwa dirinya tidak membawa perlengkapan sholat. Dia tdak jadi melakukan sholat malam. Akan tetapi sebagai gantinya berdzikir untuk meminta pencerahan dari rasa ragunya. Dia menghadap ke kiblat kemudian mulai mengalunkan ayat-ayat Tuhan untuk menyejukan jiwanya yang dilanda kemunafikan.Ilham melirik, ketika Tias duduk termangu menghadap ke kiblat. Lelaki itu menerka-nerka apa yang dilakukan wanita itu. Saat diam dan serius seperti itu, wanita itu terasa makin memepesaona. Ada sebuah kutub besar yang menar
“Aku tidak tahu ... aku tidak tahu. Aku melihat semuanya, semuanya. Seorang wanita di lucuti pakaiannya oleh dua orang pria, kemudian ... kemudian wanita itu, wanita itu ... darah, ada darah ... aku takut. Gelap ... seluruhnya gelap,”Ilham memeluk erat wanita itu. Wanita yang kini menghuni seluruh aliran darahnya, menjadi bunga yang menyejukan hari-harinya. Kini berada di pelukannya, walau belum menjadi siapapun. Ilham mengelus-elus puncak kepalanya. Dia memberikan kenyamanan pada wanita itu. Ada apa sebenarnya dengan Tias? Apa yang terjadi?“Tidak apa-apa. Sekarang, coba berwudu. Bukankah kamu sering melakukan sholat? Lakukan sekarang.”“Maafkan aku, Yas. Aku tidak bisa membimbingmu, karena aku juga belum begitu mahir. Akan tetapi aku janji, untuk menjadi seorang imam yang baik, akan belajar,” batin Ilham.Tias merenggangkan pelukannya. Kemudian melepaskannya, di