`“Tias ...”
Hening
“Tias ...”
Hening. Lelaki itu mengetuk pintunya
“Tias ... aku masuk ya?”
Galih masuk ke kamar itu, kemudian membelalkan matanya tajam. Dia tidak menemukan istrinya. Dia melihat ke arah lemari, koper wanita itu telah hilang. Lelaki itu luruh ke lantai. Bukan, bukan seperti ini yang dia harapakan. Dia ingin memperbaiki semua yang sudah terjadi, bukan memperburuk. Dia sungguh menyesal sudah menyia-nyiakan wanita itu. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya.
Entahlah, apa yang dia pikirkan selalu gagal dilakuakan, sedangkan yang di lakukan selalu tidak ada dalam pikiran. Galih mencengkaram rambutnya. Dia akan menyusul Tias, akan tetapi nyalinya menciut. Dia takut akan kesalahannya yang sudah menganak laut. Kesalahannya sudah sangat fatal, tidak mungkin dapat di maafkan. Kasar, penghianatan, semua sud
“Anak muda, siapa namamu?” tanya ayah Tias. Ayah Tias seorang keturunan Jawa bernama Yoga Wijaya. Sedangkan ibunya Gayatri Wijaya menyandang gelar Wijaya setelah menikah dengan sang ayah. Untuk Tias sendiri, nama belakangnya juga Wijaya akan tetapi, dia lebih nyaman tidak menyandang gelar itu. “S-saya Galih, Pak,”gugup Galih. “Oh, baiklah. Ada perlu apa ingin ketemu saya?” Dadanya terasa meledak di tanya seperti itu. Kumis tebal dengan perawakan tinggi putih menjadikan karisma ayah Tias itu keluar. Tubuh tinggi dan suara bariton yang mengintimidasi membuat nyali galih menciut. Akan tetapi, dia sudah menunggu sejak kelas dua SMA. Tidak mungkin mundur hanya gara-gara digertak ayahnya. “Saya menyukai anak, Om. Saya ingin menikahinya,” tukas Galih. Dia meremas jemarinya sehingga dapat menguatkan jiwanya mengahadapi orang tua Tias. Entah kekuatan apa yang mendasarinya, lelak
Anak muda, jadi kapan keluargamu akan berkunjung kemari? Saya tidak percaya dengan pemuda seperti kamu. Bawa keluargamu ke mari, kamu boleh memiliki anakku.” Darah Galih bagai membeku. Dia kaku mendengar pernyataan ayahnya Tias tersebut. “Anak muda, masih haram hukumnya untuk kamu memandang anakku seperti itu. Tundukkan pandanganmu,” tegas pak Yoga. Tias gelagapan, demikian juga dengan Galih. Rasanya, bagai mendapat bogem mentah menimpa dadanya, sesak dan penuh malu. Mengapa dia tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak memandang kekasihnya itu. Rasanya, bibir ranum itu sudah menjadi miliknya. Galih berusaha menepis pikiran joroknya, ketika kembali tergagap dengan suara bariton yang kharismatik milik calon mertuanya menyambangi telinganya. “Anak muda, jadi kapan keluargamu akan berkunjung kemari? Saya tidak percaya dengan pemuda seperti kamu. Bawa keluargamu ke mari, kamu boleh memiliki anakku.” &nb
Yoga manggut-manggut mendengar pernyataan Tias. Sedangkan Gayatri memeluk anaknya tersebut. Rupanya, putri kecilnya sudah menjadi dewasa sekarang. Tias berusia dua puluh dua tahun sekarang ini. Usia yang muda untuk menikah, namun sudah pantas untuk menikah. Wanita itu masih manja, karena anak tunggal. Namun, Gayatri dan Yoga yakin, jika anaknya sudah mampu menjadi ratu rumah tangga dalam keluarganya. “Ya sudah kalau demikian. Sekarang tidur, jangan kebanyakan chatingan saja. Hemat tenagamu. Besok harus mengajar ‘kan?” Tias memang sudah mengajar di TK. Saat itu, dia masih kuliah namun di sambi mengajar di sebuah TK di desa, tempat dia tinggal. TK itu baru saja buka, sehingga masih di butuhkan banyak tenaga pendidik untuk memberi edukasi sama orang-orang. Hidup di desa memang tidak bisa acuh, tantangannya juga karena mereka belum melek pendidikan, sehingga harus ekstra sabar. Tias masuk ke kamarnya. Dia terus mengembangkan senyumnya, namun
“Selamat tinggal masa lalu. Kau akan selalu terkubur di dasar hatiku. Maafkan aku, karena aku akan move on, sehingga kau tidak boleh lagi tinggal di kamarku,” lirih Tias. Dia meletakkan kardus itu di dalam gudang itu, kemudian keluar dan menguncinya. Dia menengok kembali ke arah gudang itu, entah mengapa rasanya sangat sayang dengan barang-barang itu.“Tidak, aku harus move on!”Hari pernikahan tiba. Semuanya terlihat indah dan megah. Pernikahan ala Jawa di padu dengan adat Batak terkesan sangat mewah. Keduanya di padukan karena masing-masing orang tua menginginkan mengadakan pernikahan adat masing-masing. Orang tua Tias dengan adat jawa, sedangkan orang tua Galih dengan adat Bataknya. Kakek Galih dari ibu memang orang Jawa, maka dari itu ayah Galih tidak suka adat Jawa, karena menututnya sangat ribet.Suara gamelan mengalun saat seorang berbaju putih borkat dengan ekor yang menjulang panjang berj
Saat Galih merasa merana, lain dengan Tias. Di rumah orang tuanya, dia merasa sangat bahagia. Betemu dengan ibu dan bapaknya, serta beberapa tetangga. Dia merasa bahagia saat klumpul bersama kelaurganya. Semua orang tidak ada yang merendahkannya, tidak ada yang membandingkannya dengan orang lain dan di sini, mereka menerima Tias dengan sangat baik. Keluarga, ya mereka tempatnya kembali.“Mbak Tias, di Bogor itu enak ya? Banyak gedung tinggi, banyak mobil mewah. Di tipi itu, kok orang pada kaya, ya? Mbak Tias kaya juga nggak?” tanya salah satu ponakannya.“Hahaha, Rafi, di tipi itu ‘kan pura-pura. Kalau aslinya sama saja. Yang di tipi itu Jakarta. Mbak Tias ada di Bogor. Jadi, berbeda. Kalau di Bogor adanya Kebun Raya Bogor,” tukas Tias.“Oh, gitu ya? Mbak Tias kok ndak bareng sama mas Galih?” tanya Rafi kemudian.Gleg ... harus jawab apa? Nyatanya, dia sedang
“Kalian ini kenapa? Apa aku tidak boleh pulang? Apa harus ada masalah dulu baru boleh pulang?” Emosi Tias terpanggil, untuk menutupi segala yang terjadi. Mereka menganga. Belum pernah Tias bicara sesarkas itu. Dia selalu bisa menahan emosi, terlebih di depan keluarganya. Dengan emosinya itu, timbul spekulasi-spekulasi yang mengitari diri keluarganya. Rangga dan Gayatri saling pandang, melihat gelagat Tias. Setelah mengatakan itu, Tias berlari ke kamarnya, bahkan tanpa pamit kepada mereka.Deswita mengerutkan keningnya melihat Tias yang lari. Dia berjalan kedepan untuk bergabung dengan yang lain. “Tias kenapa?”Rangga yang ditanyai mengangkat bahu santai. Setelah tanya pada suaminya tidak mendapatkan jawaban, dia bertanya pada ibunya Gayatri. Ibunya menjelaskan apa yang terjadi pada adik ipar Deswita itu. Sedangkan ayah Tias Yoga, dari tadi hanya diam dan menyeruput kopinya saja, melihat adegan-adegan itu. 
“Yas, kakak tidak akan memaksamu untuk bercerita. Tapi, silakan cerita saat hati kamu sudah siap,” tandas Deswita.Wanita itu bangkit kemudian menghirup nafas sangat kuat dan mendalam. Dia memejamkan matanya, kemudian membuka dan mulai bercerita akan deritanya. Deswita mulai mendengarkan dengan seksama.“Kak, aku tidak tahu mulainya kapan. Tapi, aku mulai merasakan keanehan pada sikap mas Galih. Dia mulai sering marah-marah nggak jelas dan semua selalu serba salah. Semua yang ku lakukan selalu salah. Ujung-ujungnya, dia tidak pulang dan akan pulang esok pagi, dengan bau minuman yang sangat menyengat. Aku maafkan semua kesalahannya. Tapi ...” Suara Tias tercekat. Dia tidak mampu menyelesaikan kalimatnya. Semua tercekat hanya sampai di tenggorokannya saja.“Tapi apa?” decit Deswita.“Beberapa hari yang lalu, dia bersama seorang wanita dan ...” tangis wani
Hah ... hati Tias terasa menghangat. Demikian yang selalu dia dapatkan ketika pulang ke rumah. Selalu mendapatkan solusi dari seluruh masalahnya. Keluarganya selalu bisa memberikan pandangan setiap permasalahannya. Bukan malah memanas-manasi Tias agar menyulut api kemarahan. Akan tetapi, nasehat bijak selalu didapatkan. Tias tersenyum mendapatkan pencerahan dari kaka iparnya tersebut.Pagi mulai menyingsing, dengan kokok ayam sebagai tanda. Tias mengulat mendengarkannya. Kokoknya terdengar merdu di telinga, dengan suara yang saling bersautan. Dia melihat jam bundar yang ada di dinding, terlihat pukul tiga dini hari. Mumpung terjaga sepertiga malam, dia sempatkan untuk sholat dan meminta ampun pada sang pencipta. Wanita itu memuntahkan segala keluh kesah kepada Tuhan-Nya, agar diberikan kemudahan jalan untuk rumah tangganya. Tangis itu tumpah saat mengingat apa yang terjadi pada rumah tangganya. Dia memohon agar dapat kuat melaluinya.S
“Sepertinya, sudah waktunya.”“Oh, Galih maaf, aku harus membawanya.” Ilham menggendong sang istri untuk keluar dari pesta itu dia sangat panik. Sedangkan orang-orang juga memandang ke arah kepergian mereka. Ada bisik-bisik doa dari mereka, semoga baik-baik saja.***Meyyis_GN***Ilham langsung memasukkan tubuh sang istri ke dalam mobilnya. Keringatnya bercucuran, karena merasa tegang. “Huff … aduhhh ….”“Tahan, Sayang. Kamu kesakitan begitu. Ya Allah, semoga ….”“Mas, konsen nyetir … hufff ….” Tias menarik napas dan mengembuskan dengan berlahan lewat muluah.“Ahh … sabar, Sayang. Papa sedang berusaha, kita ke rumah sakit, ya?” Tias mengelus perutnya dan menahan rasa sakit yang teramat hebat. Dia menggigit bibir bawahnya. Ahirnya, lelaki itu
“Kamu tidak perlu mengajariku, kamu tahu … Mas Galih tidak akan pernah menyukai gaya itu lagi. Aku akan selalu membuatnya puas, sehingga tidak akan ada waktu lagi untuk memikirkan hal lain selain diriku. Apalagi, memikirkan masa lalu yang menjijikkan.” Mira sepertinya bukan lawan yang sangat tanggung bagi Milea. Dia tersenyum dan mulai berbalik turun. Kepala Milea sudah panas dan berasap. Ingin dia meledak sekarang, tapi tunggu nanti, hingga seluruh orang fokus pada makanannya, itu akan lebih mudah.Milea turun. Dia mengambil gelas dan sendok dan menabuhnya. Mereka semua melihat ke arah Milea. “Mohon perhatiannya, permisi!” Galih sudah tidak tahan lagi, tapi Mira mencegahnya.“Jangan, Mas. Biarkan dia berbuat semaunya. Nanti dia sendiri yang akan malu.” Galih mengangguk.“Kalian tahu, kedua mempelai? Mereka adalah pembatu dan suamiku, ups aku lupa … tepatnya mantan.
“Sudahlah, aku siap mendengarmu kapan saja. Tapi tidak sekarang, pengantin priamu sudah menunggu.” Mira bangkit dibantu oleh Tias. Mereka keluar menuju pelaminan. Karpet merah yang membentang menambah suasana dramatis, bagai ratu sejagad. Tias membantu memegang gaunnya, dengan anggun Mira melewati sejegkal demi sejengkal karpet merah itu. Kelopak mawar ditabur dari kanan dan kiri. Di ujung sebelum mencapai puncak Galih sudah siap menyambut pengantinnya dengan stelan jas tuxedo.***Meyyis_GN***Jangan lupa musik pengiring yang membuat suasana semakin sakral. Seluruh pasang mata berpusat ke arah kedatangan pengantin. Bisik-bisik terdengar, sehingga membuat suasana hati Milea semakin panas.“Kalian nora, pengantin ya cantik, tapi tidak alami.” Yang ada di sebelah Milea tersenyum sinis.“Kau iri? Makanya jangan berulah.” Milea yang sedang marah rasanya ingin meledak da
“Tidak ada, hanya sedikit merasa menekan perut.” Ilham menggangguk.“Mau makan apa? Biar aku ambilkan, sebelum pengantin wanita keluar dan kita akan sibuk memandangnya.” Tias mencubit pinggang suaminya.***Meyyis_GN***“Sepertinya aku mau sate saja. Tapi tolong lepaskan dari tusuknya, ya? Kata mama tidak boleh orang hamil makan langsung dari tusuknya.” Ilham tersenyum. Dia meninggalkan sang istri duduk sendiri dan mengambilkan makanannya yang sudah dipesan istrinya. Lelaki itu dengan elegan menuju ke tempat prasmanan.“Oh, mantan istrinya Mas Galih diundang semua ternyata?” Milea mendekati Tias. Tias tersenyum.“Sebagai mantan istri, tentu masih berkewajiban menjaga tali silaturahmi ‘kan? Bagaimana pun, pernah tidur satu ranjang, jadi tidak ada salahnya kalau berbaik hati mengucapkan selamat pada wanita yang menggantikan menemaninya t
“Satu minggu terasa sangat lama. Sabar ya, Sayang. Kamu akan puas setelah ijab-kabul.” Galih menunjuk miliknya dan tersenyum setelah tatanan rambut selesai. Siang ini, dia akan bermanja-manja dengan Mira. Dia memiliki energi baru untuk memulai sebuah kehidupan. Senyumnya merekah membuai siang yang terasa terik, namun baginya berbalut dengan kesejukan. Dia sduah merindukan sentuhan wanita, menyata kulitnya yang begitu sensitif dengan rangsangan.Galih mempersiapkan pernikahan ini dengan sangat baik. Dia menyewa jasa wedding organizer terbaik untuk mempersiapkan pernikahan ini. Di gedung hotel ternama, sudah disusun acara dengan sangat baik. Galih mengenakan stelan jan warna hitam, karena memang konsepnya internasional. Dia mengenakan tuxedo itu dan memandang penampilannya sendiri di depan cermin. “Ini untuk yang ke tiga kalinya aku mengucapkan ijab kabul. Semoga ini yang terakhir.” Galih berdoa salam hati. Dia membetulkan dasi kupu-k
“Aku ingin lihat! Pertontonkan saja!” Galih mengatakannya tanpa menoleh, dia melenggang pergi. Milea terasa meledak. Dia mengumpat sejadi-jadinya dan membuang benda apa saja ke arah kepergian Galih. Galih merasa lega setelah ancaman kepada Milea tersebut terlaksana. Dia menjadi geli sendiri, pernah tergila-gila pada wanita sejenis itu. Galih menyetir mobilnya dengan cepat menuju ke rumah, harus memastikan kekasihnya baik-baik saja.Galih langsung berlari menuju ke dalam rumah. Dia melihat kekasihnya sedang menggendong putranya, membuat dirinya lega. “Ada apa? Ada yang tertinggal?” Galih menggeleng. Dia memeluk sang istri dari belakang.“Aku mengkhawatirkanmu.” Mira mengerutkan keningya.“Mengkhawatirkanku? Kenapa?” Karena Gibran sudah tenang, maka dia menurunkan anak itu ke lantai yang dilapisi karpet tebal.“Milea tadi datang ‘kan?” M
Mira luruh ke kursi. Dia menyadari, bahwa serangan dari Milea itu normal. Namun dia berpikir lagi, apakah yang dikatakan oleh Milea itu benar? Bahwa dirinya merebut Galih dari tangan Milea? Mira mengingat kembali, kapan mulai saling jatuh cinta dan menyesap indahnya ciuman nikmat.Milea pergi dari rumah Galih dengan tersenyum smirk. Dia yakin pasti Mira merasa tertekan. Dia mengenal Mira selama beberapa tahun, wanita itu berhati baik. Dia pasti akan merasa bersalah dengan tekanan yang diberikan oleh Mira.Sementara itu, Galih menyaksikan aksi manatan istrinya lewat CCTV yang memang sengaja dia pasang. Galih pernah menjadi manusia paling brengsek di muka bumi ini, jadi dia sangat hafal dengan trik brengsek yang dimainkan oleh Milea. Dia menarik napas untuk menenangkan syarafnya. Galih menyuruh ajudannya untuk menyiapkan mobil pribadinya. Dia akan mencari MIlea untuk memberinya pelajaran yang akan wanita itu sesali seumur hidupnya.
“Aku mencintaimu, apa pun yang kau inginkan akan aku lakukan. Apalagi hanya menemani tidur,” bisik Ilham. Lelaki itu tidak berapa lama kemudian terlelap ke alam mimpi menyusul sang istri. Terkadang memang bumil akan sedikit manja.***Meyyis_GN***Milea tidak terima dengan penolakan dari Galih. Dia mencari tahu penyebabnya, bahkan menyelidiki. Dia menemukan Mira sebagai pengasuh dari putranya yang dicintai Galih. Dia menunggu Galih pergi kerja. Pagi itu, terlihat Galih sedang berpamitan dengan Mira. Lelaki itu mencium kening Mira. Semakin terbakar hati Milea.“Kamu lihat nanti! Kalian terlalu enak menikmati masa pacaran, hingga lupa dengan aku yang sakit hati.” Milea menggenggam tanggannya dengan erat, hingga kukunya menancap ke telapak tangannya.“Sayang, jangan lupa kunci rumah. Jangan biarkan siapa pun masuk. Kecuali aku meneleponmu dan memperbolehkan dia masuk.
“Kan bisa mengingatkan baik-baik, kenapa harus teriak, sih?” protes Tias.“Aku nggak teriak, Sayang. Maaf, ih jangan nangis, dong!” Tias sudah hampir nangis karena ucapan Ilham yang agak bernada tinggi. Dasar bumil!Ilham meraih tubuh sang istri yang hampir bergoyang karena menangis. “Ah, seperti inikah orang hamil? Kenapa selalu saja sensitif,” batin Ilham.“Aku akan menggendongmu,” ucap Ilham. Lelaki itu memang sangat memanjakan sang istri. Walau Tias begitu sedikit ceroboh dan jorok, namun lelaki itu tidak masalah untuk membereskn kekacauan yang dibuat oleh istrinya. Terkadang, memang kekurangan pasangan kita yang menjadi dasar pemicu pertengkaran. Tapi tidak dengan Ilham. Dia menjadikan kekurang sang istri sebagai semangat. Terkadang, sepulang kerja dia harus rela membereskan beberapa kekacauan istrinya.Sebenarnya, kadang Tias sudah h