Saat Galih merasa merana, lain dengan Tias. Di rumah orang tuanya, dia merasa sangat bahagia. Betemu dengan ibu dan bapaknya, serta beberapa tetangga. Dia merasa bahagia saat klumpul bersama kelaurganya. Semua orang tidak ada yang merendahkannya, tidak ada yang membandingkannya dengan orang lain dan di sini, mereka menerima Tias dengan sangat baik. Keluarga, ya mereka tempatnya kembali.
“Mbak Tias, di Bogor itu enak ya? Banyak gedung tinggi, banyak mobil mewah. Di tipi itu, kok orang pada kaya, ya? Mbak Tias kaya juga nggak?” tanya salah satu ponakannya.
“Hahaha, Rafi, di tipi itu ‘kan pura-pura. Kalau aslinya sama saja. Yang di tipi itu Jakarta. Mbak Tias ada di Bogor. Jadi, berbeda. Kalau di Bogor adanya Kebun Raya Bogor,” tukas Tias.
“Oh, gitu ya? Mbak Tias kok ndak bareng sama mas Galih?” tanya Rafi kemudian.
Gleg ... harus jawab apa? Nyatanya, dia sedang
“Kalian ini kenapa? Apa aku tidak boleh pulang? Apa harus ada masalah dulu baru boleh pulang?” Emosi Tias terpanggil, untuk menutupi segala yang terjadi. Mereka menganga. Belum pernah Tias bicara sesarkas itu. Dia selalu bisa menahan emosi, terlebih di depan keluarganya. Dengan emosinya itu, timbul spekulasi-spekulasi yang mengitari diri keluarganya. Rangga dan Gayatri saling pandang, melihat gelagat Tias. Setelah mengatakan itu, Tias berlari ke kamarnya, bahkan tanpa pamit kepada mereka.Deswita mengerutkan keningnya melihat Tias yang lari. Dia berjalan kedepan untuk bergabung dengan yang lain. “Tias kenapa?”Rangga yang ditanyai mengangkat bahu santai. Setelah tanya pada suaminya tidak mendapatkan jawaban, dia bertanya pada ibunya Gayatri. Ibunya menjelaskan apa yang terjadi pada adik ipar Deswita itu. Sedangkan ayah Tias Yoga, dari tadi hanya diam dan menyeruput kopinya saja, melihat adegan-adegan itu. 
“Yas, kakak tidak akan memaksamu untuk bercerita. Tapi, silakan cerita saat hati kamu sudah siap,” tandas Deswita.Wanita itu bangkit kemudian menghirup nafas sangat kuat dan mendalam. Dia memejamkan matanya, kemudian membuka dan mulai bercerita akan deritanya. Deswita mulai mendengarkan dengan seksama.“Kak, aku tidak tahu mulainya kapan. Tapi, aku mulai merasakan keanehan pada sikap mas Galih. Dia mulai sering marah-marah nggak jelas dan semua selalu serba salah. Semua yang ku lakukan selalu salah. Ujung-ujungnya, dia tidak pulang dan akan pulang esok pagi, dengan bau minuman yang sangat menyengat. Aku maafkan semua kesalahannya. Tapi ...” Suara Tias tercekat. Dia tidak mampu menyelesaikan kalimatnya. Semua tercekat hanya sampai di tenggorokannya saja.“Tapi apa?” decit Deswita.“Beberapa hari yang lalu, dia bersama seorang wanita dan ...” tangis wani
Hah ... hati Tias terasa menghangat. Demikian yang selalu dia dapatkan ketika pulang ke rumah. Selalu mendapatkan solusi dari seluruh masalahnya. Keluarganya selalu bisa memberikan pandangan setiap permasalahannya. Bukan malah memanas-manasi Tias agar menyulut api kemarahan. Akan tetapi, nasehat bijak selalu didapatkan. Tias tersenyum mendapatkan pencerahan dari kaka iparnya tersebut.Pagi mulai menyingsing, dengan kokok ayam sebagai tanda. Tias mengulat mendengarkannya. Kokoknya terdengar merdu di telinga, dengan suara yang saling bersautan. Dia melihat jam bundar yang ada di dinding, terlihat pukul tiga dini hari. Mumpung terjaga sepertiga malam, dia sempatkan untuk sholat dan meminta ampun pada sang pencipta. Wanita itu memuntahkan segala keluh kesah kepada Tuhan-Nya, agar diberikan kemudahan jalan untuk rumah tangganya. Tangis itu tumpah saat mengingat apa yang terjadi pada rumah tangganya. Dia memohon agar dapat kuat melaluinya.S
Mamanya hanya tersenyum untuk membesarkan hati lelaki kecil iitu. Mereka makan bersama pagi itu. Seandainya, di sampingnya tidak kosong, hati Tias akan terisi dengan kebahagiaan. Wanita itu menoleh ke arah kursi kosong yang ada di sampingnya. Kursi itu memang di peruntukkan untuk suaminya, sehingga saat liburan kemari, posisi Galih selalu berada di sana. Tapi, sekarang kursi itu kosong.“Kenapa, Yas?” Cecar Rangga sang kakak melihat adiknya melamun dan tidak jua menyuapkan makanannya.“Ah, Tidak,” gagap Tias. Mereka menyelesaikan makan pagi, dengan nasi goreng yang sudah tandas di piring masing-masing. Kecuali Rafi, yang akhirnya di suapi oleh sang mama.“Kamu bareng aku, nanti tak anter sampai di terminal,” tawar Galih.Tias mengangguk. Setelah berpamitan dengan kedua orang tuanya, Tias masuk ke dalam mobil-nya Rangga. Tias mengenakan maskernya, untuk menjag
“Yas, aku merindukanmu.” Tias terpaku. Dia tidak tahu harus bagaimana? Dia membelalakan matanya, ketika menyadari hal itu menjadi bahan tontonan. Kenapa sebenarnya Ilham? Ada apa? Lelaki itu seperti tidak ketemu dengan dirinya sudah bertahun-tahun, padahal hanya dua hari. Ah, ini pasti akan jadi gosip murahan. Tias tidak menampik, tidak juga membalas pelukan Ilham.“Pak, Pak Ilham ...” Ilham tidak menggubris.“Mas, lepaskan! Kamu lihat di sekitar? Mereka melihat kita. Apa kata mereka?” bisik Tias.Ilham melepaskan pelukannya. Akan tetapi, dia tidak melepaskan genggaman tangannya. Dia menarik Tias untuk masuk ke ruangannya. Lelaki itu tidak peduli walau Tias merengek meminta di lepaskan. Lelaki itu baru melepaskan-nya, ketika di dalam ruangan-nya.“Mas, apa yang kau lakukan? Kamu tahu, setelah ini pasti akan banyak gosip tentang kita di kantor ini,” peki
Kecewa, marah, benci. Itu tergambar jelas di wajah lelaki dua puluh sembilan tahun itu. Mengapa wanita itu berubah sekarang? Mengapa tidak ada kelembutan lagi untuknya? Beberapa hari lalu, Tias masih dengan lembut memperlakukannya. Mungkinkah dia berubah pikiran? Padahal, kemarin dia mengatakan sudah memaafkan. Tapi, kemyataannya perkataannya sangat pedas.“Yas, kamu kenapa?” tanya Ilham sambil kembali duduk di kursinya.“Tidak ada. Apa maksud Anda?” tanya Tias“Maksud saya? Kamu tahu maksud saya. Dari tadi, kenapa kamu marah-marah terus? Apa yang terjadi?” ucap Ilham.“Tidak ada apa-apa. Saya permisi,” pamit Tias.
Tias tertegun, kemudian beranjak pergi. Ada rasa yang hilang. Mengapa rasanya begitu sakit! Tapi, dia harus bisa. Dia sudah memilih kembali ke pelukan suaminya. Apapun yang dipikirkan Ilham, dia harus abaikan. Tias kembali menoleh sebelum keluar dari ruangan itu. Ilham masih saja, setia melihat ke jendela tanpa menolehnya. Saat mendengar pintu di buka, Ilham berlalik kemudian menarik Tias ke pelukannya. “Jangan tinggalkan aku lagi.” Ilham melepaskan pelukannya. Bibir itu saling bertemu. Ilham tidak kuasa menahan rasa lagi. Dia melumat habis bibir itu. Lelaki itu mulai berani. Tangannya meraih dua bola kembar yang ada di dada Tias dan meremasnya dengan lembut.Jujur, Tias menikmatinya. Sudah lama dia tidak mendapat sentuhan dari suaminya. Dia wanita normal. Bahkan untuk menyalurkan hasratnya, dia kadang mecolok sendiri miliknya sambil menonton film-film biru. Terkadang juga mengegsekkan ke sebuah benda agar mendapatkan klimaks.&nbs
Tias mengerutkan kening melihat ribut-ribut yang ada yang ada si depan ruangan Ketua Dinas itu. Seorang lelaki yang dia kenal sedang beradu jotos sama kedua satpam itu. Dia begitu terlihat sangat emosi. Tias berlari menuju ke arah ketiga orang yang sedang berantem itu.“Stop! Saya mohon stop!” teriak Tias.Mendengar Tias berteriak, Ilham kelauar dari ruangannya. Dia mengerutkan keningnya, ketika melihat seorang lelaki di pegangi oleh dua satpam. Darah lelaki yang di pegangi satpam itu mendidih. Rasanya, dia ingin melempar pria di depannya itu dari gedung lantai lima ini.“Oh, bagus! Sudah jelas sekarang! Kamu tidak pulang, karena bersama lelaki ini? Murahan!” cibir Galih.“Lepaskan gue!” teriak Galih pada satpam itu.Tangan Ilham sudah mulai mengepal. Rasanya, dia ingin mencabik-cabik mulut tajam lelaki itu. Galih, kata orang berp