“Body guard pada kemana, Sayang? Kok jam segini belum datang?” tanya Ilham sambil melihat jam yang melingkar pada pergelangan tangannya. Ilham baru ingat apa yang ingin dia tanyakan semalam.
“Semalam itu juga yang ingin kutanyakan. Kemana mereka? Polisi juga kemana?” tanya Ilham sambil menghadapkan wajahnya ke arah Tias.
Tias nyengir menerima serangan pertanyaan dari Ilham. Sebab, dia yang menyuruh polisi dan juga body guard itu pulang.
“Kusuruh pulang. Kasihan dia sudah berjaga dua hari. Istri dan anaknya pasti sudah rindu padanya. Jadi, aku suruh pulang. Jangan marah sama mereka. Mas gantengnya ilang kalau marah-marah. Senyum, dong?” bujuk Tias.
Ilham membetulkan anakan rambut milik Tias. Dia akan pergi setelah body guard dan polisi itu datang. Dia tidak mau mengambil resiko. Tias belum pulih, jika harus bertarung lagi, pasti jahitannya akan ber
Tias meraih ponselnya. Dia mengerutkan keningnya. Sudah lama rasanya dia tidak menengok benda itu. Yang pertama di bukanya, aplikasi yang berwarna hijau. Wanita itu, membukanya. Ada keheranan yang menyambangi dirinya. Mengapa semua grup hilang dari aplikasi itu. Kecurigaannya semakin menjadi, ketika nomor Galih juga tidak ada. Hanya ada nomor Ilham dan juga Lita yang ada.Tias membuka profilnya, kemudian melihat nomor yang tertera. Ternyata, memang benar, Ilham mengganti nomor teleponnya. Tias menggeleng-gelengkan kepalanya. Sementara itu, Galih yang ada di rumah mengamuk dengan anak buahnya karena kegagalan tersebut.“Kalian memeng goblok! Nggak profesional sama sekali. Kok bisa begitu saja tidak becus! Kerja kalian cuma ongkang-ongkang saja. Saya tidak mau tahu, cari istriku sekarang!!!.” Kemarahan Galih memuncak, ketika salah seorang klining service, memberikan surat dari pengadilan agama. Sebenarnya, surat itu di
“Duh, sayang banget kamu harus musnah hanya karena emosi manusia itu. Hufff, siapa sebenarnya dia. Kenapa bisa buang-buang uang seperti ini. Tenang, Nak. Kau akan mendapatkan papa yang super kaya seperti ini. Milea berdiri dan membalik tubuh rampingnya, walau kandungannya kini genap tiga bulan.Hufff ... dia mengembuskan nafasnya sangat keras. Kemudian,dia membangunkan lelaki itu, karena siang ini akan dia ajak mengambil surat keputusan perceraian.“Sayang, ya Tuhan. Kenapa bisa tidur di mari? Bangun gih, kita mandi dan seneng-seneng,”Galih terhenyak dari tidurnya. Dia melihat berantakan akibat ulahnya. Dia mengusak-usak rambutnya yang sudah berantakan. Kemudian bangkit dan masuk ke kamarnya. Milea memanggil cleaning service yang berada di depan sedang membersihkan rerumputan liar. Galih memang memakai jasa cleaning service saat Tias sudah tinggal bersamanya lagi. Clining service itu member
“Baby, lebih kencang, lebih kencang dan kencang lagi ....” Lelaki itu bahkan memegang kedua pinggang wanitanya itu dan menggoyangkannya sehingga membuat mereka saling mencapai kepuasan bersama.Kedua anak buah yang mengintip, pergi. Milea dan Galih mandi bersama sehingga mereka sekali lagi kalap dan saling melahap di bawah pancuran shower mandi.“Lama bener, ya? Kan sudah selesai?” tanya lelaki bertubuh besar itu.“Nambah kali. ‘Kan kita langsung pergi?” tukas lelaki berwajah kecoklatan itu.Setelah menunggu begitu lama, akhirnya Milea dan Galih bergandengan keluar dari kamar dengan rambut yang masih basah.“Bos, siang-siang basah aja. Berapa sesi? Hehehe ....” Tanya lelaki gondrong berwajah coklat itu.“Ada apa, cepat! Aku mau pergi.” Galih menyulut rokoknya, di bantu oleh Milea ya
Tidak usah berlebihan. Kamu akan terlihat lemah. Tegarlah!” tukas Milea secara sensual mengatakan ke telinga Ilham. Lelaki itu megepalkan tangannya, kemudian membuka seraya menajbat tangan sang pengacara. Mulai detik ini, akan terhapus Tias dari perasaannya. Hanya akan ada dendam yang berkobar di dalam jiwanya. Dia tidak memilikinya, siapapun tidak. Terlalu posesif untuk menjalani hidup.“Baiklah, katakan padanya tuan pengacara. Saya baik-baik saja. Tunggu sebuah kejutan yang akan saya berikan kepadanya, sebagai hadiah perceraian ini.” Sang pengacara menjabat tangan Galih dengan erat, seraya mengucapkan salam perpisahan.Galih memukul tembok dengan tinjunya. Hingga kepalan tangannya memar karena mengenai benda yang keras. Lelaki itu wajahnya memerah padam karena menahan marah. Galih terbiasa hidup dalam kekerasan, maka menjadi lelaki keras yang tidak tahu kata ampun dan kegagalan. Seluruh keinginannya harus terpenuhi
Ilham yang menyadari dari kaca spion akan kegabutan Galih, mempermainkannya. Dia melajukan mobilnya zig-zag juga, untuk dapat lolos. Namun, ketika dia berhasil loos, malah seolah menunggunya agar Galih mengejarnya. Tias menyadari perubahan cara mengemudia Ilham dia gataluntuk tidak bertanya.“Mas, ada apa?” tanya Tias.“Sepertinya, curut itu mengikuti kita.” Ilham terus saja memutar dan meliukkan stir bundarnya, sehingga mobil itu menari-nari di jalanan kota yang ramai lancar itu. Kemacetan sudah sedikit dapat terurai.“Curut? Curut siapa?” Tias masih juga belum mengerti bahasa Ilham. Lelkai itu memang sekarang jauh berubah dalam penggunaan gaya bahasa.“Mantan suamimu, Sayang.” Akhirnya Ilham memberikan alasannya mengebut.“Memang kenapa? Biarkan saja!” tukas Tias.“Kamu yakin tidak akan sakit
“Tau, ah. Aku ngambek.” Tias membuang mukanya ke jendela.“Gampang kalau ngambek. Tinggal ku cium saja,” tukas Ilham. Dia menghentikan mobilnya, di tempat parkir.“Kok ke sini, mau ngapain?” Tias heran melihat tempat yang mereka tuju.“Menurutmu?” Tias memutar bola matanya sangat malas. Terlihat butik Natasha terpampang di sana. Ilham membuka sabuk pengamannya, kemudian berlari memutar arah untuk membukakan pintu bagi sang permaisurinya. Rasanya sangat bahagia, sebentar lagi dirinya akan memiliki wanita itu seutuhnya. Perasaan itu sangat menyilaukan, sehingga dia merasa dunia sedang memihak padanya. Ini terlihat sangat mudah.“Silakan, Permaisuriku.” Ilham membungkuk seraya mempersilakan calon istrinya tersebut untuk melangkah. Tias menepuk pundak Ilham sehingga lelaki itu tertawa. Ilham memberikan lengannya untuk Tias gandeng, sehingga Tias
“Mang, sudah masak?” Ilham mmbukakan pintu untuk Tias masuk ke dalam mobil.“Belum, sih. Tapi, nanti masak yang gampang saja. Sepertinya ada udang. Kita bikin itu yang cepat,” tukas Tias.“Ah, tidak salah aku memilihmu.” Ilham memandang lekat mata wanitanya. Setelah itu, turun ke bibir. Ingin rasanya dia menenggelamkan bibir itu menjadi santapan siang ini sebelum makan siang. Tapi, tentu tidak boleh karena belum resmi menjadi istrinya.Bibir itu yang selalu menyuarakan kata-kata merdu pembangkit semangatnya, bibir itu yang selalu membuatnya hidup, bibir itu yang membuatnya tidak lupa untuk kembali ke Indonesia. Bibir itu pula yang mendorong dia untuk menerima jabatan sebagai pemangku kepala dinas, walau sejujurnya gajinya sangat jauh, dari pada menjadi pebisnis.“Ah, mari kita pulang.” Dia memotong sendiri pikiran mesumnya, untuk kemudian memakaikan sab
“Ah, biar aku saja, Mas. Silakan tunggu di meja makan.” Tias dengan canggung mendekati Ilham. Lelaki itu memberikan spatulanya, membiarkan Tias mengaduk bumbunya. Namun, jangan harap melepaskan tubuh sang kekasih. Dia memeluknya dari belakang, sambil sesekali ikut mengaduk.“Aku kesusahan bergerak, ih.” Tias menggerakkan tubuhnya agar dilepaskan oleh Ilham.“Kamu yang memintanya untuk di peluk,” bisik Ilham didekat telinga Tias. Wajah merah bersemu jingga menghiasi pipi Tias yang merona karena godaan dari Ilham tersebut.“Ih, siapa juga?” Akhirnya Tias mengalah untuk memberikan spatulanya kepada lelaki itu, sedangkan dirinya akan keluar dari dapur itu dan sebelum keluar melepas celemek dan di gantungkan kembali di gantungan. Setelah itu, Tias naik tangga menuju kamarnya. Ganti baju mungkin lebih baik. Mengenakan dres tidak cocok dengan gayanya. Namun, demi melihat perubahan