“Yas, aku di sini. Maafkan aku. Bukan aku bermaksud bersembunyi. Tapi ...” Ilham menjeda kata-katanya sendiri. Dia berbicara pada diri sendiri, saat Tias tertidur lelap.
“Ah ... tapi aku tidak bisa jujur padamu. Aku takut kamu marah. Aku tidak bermaksud menghilang. Aku ingin memberikan kamu hidup yang layak. Ternyata, aku terlambat.”
Ilham menunduk. Dia menghirup nafasnya dalam-dalam. Ada beban rasa yang menimpanya berpuluh-puluh ton beratnya. Sesak dada tidak mampu dia kendalikan, hingga sudut matanya meluncur air bening menetes di atas telapak tangan Tias, dan wanita itu menggenggamnya dengan reflek. Padahal dia dalam posisi terlelap.
Ilham terpaku. Dia seperti mendapat wangsit, bahwa ini bertanda bahwa Tias yang akan menghapus dukanya. Tias akan menjadi pelipur lara, ketika jiwanya merasa terguncang. Dia tempatnya kembali saat lelah dan butuh pelukan. Tias seolah telah mengakar dalam aliran darahn
“Yas, aku mau bicara ...”“Bicara? Bicara apa?” tanya Tias sambil memicingkan mata. Rasa penasaran menggelayuti relung di jiwanya. Lelaki itu sedikitbanyak sudah memasuki sudut hatinya kembali.“Tapi, janji dulu. Kamu jangan marah, ya?” pinta Ilham. Lelaki itu tersenyum manis sekali.Sampai rasanya hati Tias akan diabetes.“Iya, apa sih?” desak Tias. Sambil terus memelihara penasarannya.“Janji dulu,” tukas Ilham sambil menunjukan kelingkingnya.“Iya, ih ... bawel bururan. Kalau aku mati penasaran, mas dulu yang aku gentayangin,” manja Tias. Sungguh hati wanita sangat rapuh.Ilham merangkai kata dengan hati-hati, agar Tias tidak marah. Diasudah menyiapkan jurus kata indah yang akan digunakan sebagai trik untuk membela diri.“Masih ingat Ilham Mahard
“Ah, shit ... halo,ada apa?” tanya Ilham. Dia kesal dengan sang penelepon yang sudah berani mengganggunya.“Tuan, ada masalah. Pengiriman barang ke Vietnam dijagal sama gangster. Tapi, kami masih bisa mengatasi. Hanya saja, saya laporkan karena siapa tahu akan ada masalah susulan dengan polisi,” terang orang di seberang.“Iya, atasi segera. Laporkan jika sudah tuntas.”Ilham menutup gawainya untuk kembali fokus kepada sang kekasih. Wanita itu, wanita dengan sejuta pesona yang mampu meraba relung jiwanya, menjadikan hatinya tetap tinggal untuk memimpikannya. Pernah dia berusaha mengalihkan perhatian pada wanita lain, tapi hasilnya nihil. Tetap saja, seorang Tias wanita yang hadir dalam hidupnya sejak enam belas tahun yang lalu yang memenangkan hatinya.“Mas ...” Tias merenggangkan genggamannya.“Ada apa, Sayang?&r
Ilham mengangkat tubuh wanita yang dicintai itu, untuk diletakkan di kursi penumpang. Setelah itu, dia memutar untuk sampai di kursi penumpang. Mereka menuju ke rumah Tias. Cukup setengah jam sampai, tanpa hambatan yang berarti. Pintu gerbang bercat putih di buka oleh Tias, akan tetapi tawanya lenyap ketika suara bariton dengan sarkas menyambutnya.“Oh, jadi ini kelakuanmu, Tias?” Seorang lelaki bertubuh tegap sudah berdiri di depan pintu gerbang. Dia menyedakapkan tangannya di depan dada. Kemudian menajamkan matanya ke arah mereka berdua.“Mas, apa yang kau lihat, tak seperti yang kau pikirkan. Aku hanya ...” Kalimat Tias tercekat karena dipotong oleh Galih.“Hanya apa? Apa yang ku pikirkan? Seharusnya, bagaimana? Apakah seharusnya aku memergoki kalian di atas ranjang?” sarkas Galih.Plak ... sebuah tinju menerpa pipi kanan Galih. Tidak terima, dia bermaksud
Galih termangu. Balok yang semula dia pegang dengan sangat erat terlepas dari genggamannya. Rasanya sangat sakit melihat istrinya dibopong oleh lelaki lain di depan matanya. Beberapa tetangga bahkan menyaksikan adegan itu dan mereka berbisik-bisik. “Ah, biarin aja yuk, Bu. Lelaki macem Galih mah buang aja ke laut. Amit-amit jabang bayi.” kata wanita bertubuh kurus. “Iya, tahu tuh ... sudah di kasih istri cantik mana masih aja grepe-gerepe. Yuk ah, Bu.” Bukan, bukan itu yang membuat dirinya sesak nafas. Akan tetapi, harga dirinya terasa terinjak-injak karena melihat istrinya dibopong oleh lelaki lain dan itu karena kesalahannya. Akan tetapi, jiwa egoisnya juga bergejolak membenarkan tindakannya. Dia lantas lari menuju ke dalam rumah dimana Tias dibawa
meninggalkan Galih. Dadanya bergemuruh sesak rasanya. Darahnya mendidih. Andai bukan suaminya, tinju ini sudah menghujani wajahnya. Akan tetapi, dosa masih dia pegang jika melukai dan melawan makhluk yang bernama suami. Ingin rasanya dia meledak sejadi-jadinya mengamuk lelaki itu. Akan tetapi, ditahannya hanya di tenggorokan saja. Nyatanya, dia tidak mampu melawan lelaki itu, meskipun selalu teraniaya.“Berhenti! Tias ...” Tias langsung menutup pintu kamarnya dengan kencang. Sebenarnya lelaki apa yang dia nikahi.Sementara itu, Galih termangu di depan pintu. Hampir saja dia menabrakan tubuhnya dengan pintu yang baru di tutup oleh Tias.“Au ... Tias ...”Ah, bukan seperti ini yang ingin Galih lakukan. Dia ingin memperbaiki diri, memperbaiki hubungan mereka. Akan tetapi, mengapa ini yang terjadi? Selalu saja, apa yang dipikirkan tidak dia lakukan, sedangkan yang dilakukan tidak
“Mbak, masih lamakah?” tanya Tias.“Kalau tidak macet, lima belas menit lagi sampai, Mbak. Akan tetapi sepertinya sangat macet. ““Oh, baiklah.”Kemudian mereka saling diam kembali. Hanya deru mobil yang menelisik berisik menggaggu gendang telinga saja. Akan tetapi, Tias tidak mendengarnya. Hanya pikirannya saja yang memutar memori-memori indah tentang romantisme dirinya dan suaminya. Bulir bening tiba-tiba tanpa ampun menerobos kelopak matanya. Hingga sang supir taxi tergoda untuk bertanya.“Ada apa, Mbak? Ada masalah? Mbak bisa cerita. Setidaknya, bisa mengurangi beban,” ucap driver tersebut.“Iya, terima kasih. Hufff ... mbak, kalau menurutmu apakah perselingkuhan itu bisa di maafkan?” tanya Tias.“Maaf, Mbak. Orang beda-beda memandang kasus itu. Tapi, untuk saya sendiri. Tidak! Karena akan
`“Tias ...”Hening“Tias ...”Hening. Lelaki itu mengetuk pintunya“Tias ... aku masuk ya?”Galih masuk ke kamar itu, kemudian membelalkan matanya tajam. Dia tidak menemukan istrinya. Dia melihat ke arah lemari, koper wanita itu telah hilang. Lelaki itu luruh ke lantai. Bukan, bukan seperti ini yang dia harapakan. Dia ingin memperbaiki semua yang sudah terjadi, bukan memperburuk. Dia sungguh menyesal sudah menyia-nyiakan wanita itu. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya.Entahlah, apa yang dia pikirkan selalu gagal dilakuakan, sedangkan yang di lakukan selalu tidak ada dalam pikiran. Galih mencengkaram rambutnya. Dia akan menyusul Tias, akan tetapi nyalinya menciut. Dia takut akan kesalahannya yang sudah menganak laut. Kesalahannya sudah sangat fatal, tidak mungkin dapat di maafkan. Kasar, penghianatan, semua sud
“Anak muda, siapa namamu?” tanya ayah Tias. Ayah Tias seorang keturunan Jawa bernama Yoga Wijaya. Sedangkan ibunya Gayatri Wijaya menyandang gelar Wijaya setelah menikah dengan sang ayah. Untuk Tias sendiri, nama belakangnya juga Wijaya akan tetapi, dia lebih nyaman tidak menyandang gelar itu. “S-saya Galih, Pak,”gugup Galih. “Oh, baiklah. Ada perlu apa ingin ketemu saya?” Dadanya terasa meledak di tanya seperti itu. Kumis tebal dengan perawakan tinggi putih menjadikan karisma ayah Tias itu keluar. Tubuh tinggi dan suara bariton yang mengintimidasi membuat nyali galih menciut. Akan tetapi, dia sudah menunggu sejak kelas dua SMA. Tidak mungkin mundur hanya gara-gara digertak ayahnya. “Saya menyukai anak, Om. Saya ingin menikahinya,” tukas Galih. Dia meremas jemarinya sehingga dapat menguatkan jiwanya mengahadapi orang tua Tias. Entah kekuatan apa yang mendasarinya, lelak