“Dira.”Pagi-pagi sekali Fahri meluncur ke rumah sakit hanya untuk menemui Dira. Ia juga sudah izin sebelumnya pada Ervan untuk tidak masuk kerja hari ini. Ervan pun mengerti tujuan Fahri dan memberikan izin cuti selama dua hari. Itu sebabnya, Fahri ada di rumah sakit dan langsung menemui Dira, yang kebetulan baru saja keluar dari ruang rawat ayahnya.Dira menoleh saat namanya dipanggil. Alisnya tertaut samar, lalu seketika wajahnya berubah panik. Ia celingukan ke kanan dan kiri. Berusaha mengawasi antek-antek Wahyu yang sering berjaga di rumah sakit tersebut.Fahri mendekati Dira sambil tersenyum. Namun, belum sempat Fahri berbicara, Dira langsung menariknya untuk menjauh dari area rumah sakit. Dira tidak ingin orang-orang jahat itu melihat interaksinya dengan Fahri. Mereka tahu siapa Fahri dan bisa saja apa yang mereka lihat saat ini, langsung dilaporkan pada Wahyu.“Lo ngapain kesini?” tanya Dira sedikit kesal, setelah mereka berada di luar rumah sakit.Fahri mengernyit. “Gue cuma
Dua orang pria berjalan memasuki kantor kepolisian untuk menemui Wahyu. Mereka langsung menunggu kehadiran Wahyu di ruang tunggu. Hingga beberapa saat kemudian, Wahyu masuk ke ruangan tersebut dan duduk di seberang dua pria bertubuh kekar. Dapat dipastikan, dua pria itu adalah antek-antek Wahyu.Wahyu menumpukan kedua tangan yang diborgol ke atas meja. Ia menatap serius kedua pria di hadapannya itu. Sorot matanya tajam hingga membuat dua pria di depannya sedikit gugup.“Ada perkembangan?” tanya Wahyu dengan intonasi suara yang rendah dan terkesan menakutkan.“Belum, Bos.”Brak! Seketika Wahyu menggebrak meja. Membuat dua orang itu semakin menunduk ketakutan. Sudah dua minggu mereka mencari keberadaan Dira dan ayahnya Dira, namun tak kunjung ditemukan. Wahyu kesal dan memaki dua antek-anteknya itu.“Bangsat! Kalian gue gaji gede buat awasi dia! Kenapa bisa sampai kecolongan gini, hah?! Kerjaan kalian nggak ada yang becus! Bisa rugi gue!” ucapnya kesal namun tetap menjaga intonasi suara
“Apa?!”Lisda yang merupakan ibu dari Jelita terlihat syok setelah mendengarkan cerita Ervan tentang perilaku Wahyu. Kebetulan, saat ini Ervan tengah berkunjung ke Solo bersama Gea untuk menemui Lisda. Mereka hanya ingin melihat kondisi Lisda yang ternyata semakin sukses dengan usaha jualannya. Semua itu tentu tak lepas dari bantuan Ervan.“Jadi, Wahyu masih aja gangguin kamu, Nak Ervan?” tanya Lisda sekali lagi.Ervan mengangguk pelan. “Iya, Bu. Saya juga nggak habis pikir sama Wahyu. Kenapa dia sampai separah itu mau balas dendam? Sementara Bu Lisda juga udah maafin saya soal kematian Jelita.”“Nak Ervan, kamu itu nggak salah. Yang salah itu Wahyu. Memang, Wahyu itu sayang banget sama Jelita. Apapun bakal Wahyu lakuin buat Jelita. Tapi, Ibu juga nggak setuju dengan cara dia. Harusnya dia nggak bertindak berlebihan. Itu udah jadi masa lalu. Dengan dia balas dendam, Jelita juga nggak bakal hidup lagi,” ujar Lisda bijak.“Terus, saya harus gimana lagi supaya Wahyu itu berhenti ganggu k
‘Van, lo masih di Solo?’Saat ini, Ervan tengah melakukan panggilan telepon dengan Fahri. Ervan pun menjawab, “Iya. Kenapa?”‘Lo bener, Van. Bu Lisda lagi ada di Jakarta.’Ervan yang sedang terbaring di kasur pun langsung terduduk. Ekspresinya tampak terkejut mendengar berita dari Fahri. “Lo serius, Ri?”‘Iya gue serius. Tadi, gue sama Herman lagi ikutin pergerakan anak buahnya Wahyu di kantor polisi. Terus, waktu gue nunggu di mobil, Herman ngelihat Bu Lisda keluar dari kantor polisi itu.’“Terus?”‘Ya terus kita samperin aja, Van. Kita ajak ngopi bareng di kafe, biar lebih enak ngobrolnya. Bu Lisda bilang mau cari Mamanya si Wahyu. Gue sama Herman juga baru tahu, kalau usaha Mamanya si Wahyu itu sukses berkat bantuan Bu Lisda. Dia kasih ancaman ke Wahyu untuk berhenti gangguin lo. Kalau dia masih ganggu lo, Bu Lisda bakal hancurin lagi usaha Mamanya Wahyu.’Ervan menghela napas berat. Ia memijat pelipisnya untuk beberapa saat. Benar dugaan Gea. Lisda benar-benar nekad pergi ke Jakar
Sudah seminggu lebih Lisda tinggal di Jakarta, namun dirinya tak kunjung menemukan keberadaan ibunya Wahyu. Bahkan saat dirinya mendatangi tempat usaha ibunya Wahyu, tempat itu sudah dijual dan pemiliknya pindah entah kemana. Lisda juga berusaha menghubungi, namun nomornya diblokir. Jelas hal itu membuat Lisda kesal.“Kemana Mama kamu, Yu?!”Saat ini, Lisda sedang mengunjungi Wahyu di penjara. Ia hanya ingin mendesak pria itu agar mengatakan dimana ibunya sekarang. Akan tetapi, respon Wahyu justru menjengkelkan.Wahyu tertawa terbahak-bahak dan tidak peduli pada polisi yang berjaga di depan pintu ruang tunggu. Lisda yang geram lantas berkata, “Nggak usah ketawa kamu! Nggak ada yang lucu di sini!”“Bibi yang lucu.” Wahyu masih saja tertawa meskipun tatapan Lisda sudah sangat tajam. Hingga beberapa saat setelah terdiam, Wahyu menyeringai. Dia membalas tatapan Lisda. “Sampai kapanpun, Bibi nggak akan bisa ketemu Mama. Aku udah rencanain ini dari awal. Mending Bibi pulang aja ke Solo dan
Ervan melangkah tergesa menuju ruang kerja Fahri. Saat ini, emosinya sedang meluap dan sulit untuk dibendung. Beberapa hari terakhir, Ervan sudah mulai percaya pada Dira dan tulus membantu pengobatan ayahnya. Tapi apa balasan yang ia dapatkan? Dira justru menyerahkan surat perjanjian itu pada Bagus. Entah darimana dia mendapatkannya. Ervan juga tidak tahu.Sesampainya di depan ruangan Fahri, Ervan langsung masuk tanpa mengetuk terlebih dulu. Fahri yang melihat kedatangan Ervan pun sedikit terkejut. Apalagi wajah Ervan tampak tidak bersahabat sedikitpun.“Bangsat!”“Hah?” Fahri melongo. “Lo lagi ngatain gue bangsat?”Ervan mendengus sambil duduk di sofa. “Bukan lo. Tapi gebetan lo itu. Sialan tuh cewek. Ternyata dia musuh dalam selimut. Udah gue bantu, malah nusuk gue dari belakang.”“Hah?”Fahri masih tidak mengerti maksud Ervan. Ia pun ikut duduk di sofa, lalu bertanya, “Maksudnya gimana? Siapa yang nusuk lo dari belakang?”“Ck! Si Dira lah. Siapa lagi?” jawab Ervan kesal.“What? Dir
Plak! Dira menampar pipi Ervan cukup keras. Ucapan Ervan tadi benar-benar menyinggung perasaannya. Ia tidak suka direndahkan seperti itu. “Gue nggak suka ya sama omongan lo barusan. Lo pikir, gue cewek apaan?! Gue terpaksa ngelakuin ini karena diancam lagi sama Wahyu. Mereka udah tahu dimana tempat tinggal gue sekarang. Harusnya lo mikir dulu sebelum nyerocos!”Ervan mengusap pipinya sambil menatap Dira dengan tajam. Ia tidak percaya lagi pada wanita di hadapannya itu. Setiap kata yang dilontarkan Dira, semua itu hanya omong kosong belaka. Ervan tidak akan tertipu untuk kesekian kalinya.Ervan menyeringai. Sekilas ia melirik Fahri yang masih diam saja, sesuai dengan perintahnya.“Ri, lo tahu soal dia diancam lagi sama Wahyu?” tanya Ervan yang pandangannya sudah beralih pada Dira.“Gue nggak tahu, Van.” Lantas, Fahri pun menatap ke arah Dira. “Kenapa lo nggak cerita soal itu ke gue? Kan udah gue bilang, kalau ada apa-apa langsung kabari gue. Kalau kayak gini ceritanya, lo sama aja nyar
Lastri tampak terburu-buru menuju pintu karena mendengar suara ketukan dari luar. Tadi, ia sedang berada di dapur untuk memasak. Lastri membuka pintu setelah sebelumnya sempat mengintip dari jendela.Senyumnya terkembang ketika menyapa sang menantu yang sudah berdiri tegap di hadapannya. “Aduh ya ampun, menantu Mama yang paling cakep. Ayo masuk,” ucapnya mempersilahkan Ervan masuk.Ervan bersikap tenang dan sopan. Ia mencium tangan mertuanya itu lalu duduk di sofa ruang tamu. Saat ini, dirinya hanya datang seorang diri karena Fahri ditugaskan untuk terus mengawasi pergerakan Dira dan Wahyu.“Ada apa nih? Kok tumben datang ke rumah Mama sendiri. Biasanya juga ngajak si Gea,” ujar Lastri setelah kembali dari dapur untuk membuatkan minum.“Aku kesini ada urusan sama Mama. Ini penting, Ma.”Lastri mengernyit heran. Ia bertanya, “Soal apa ya, Van? Penting banget?”“Iya, Ma. Ini penting banget. Ada sangkut pautnya sama pernikahan aku dan Gea,” jawab Ervan serius.Lastri mulai cemas setelah
Delapan tahun kemudian....“Papa!”Iqbal berseru riang saat melihat sang ayah sudah menunggunya di parkiran mobil. Saat ini, Iqbal sudah bersekolah di Sekolah Dasar yang cukup terkenal dan bonafit di Semarang. Iqbal baru saja selesai ulangan matematika dan mendapatkan nilai terbaik. Ia tidak sabar ingin menunjukkan hasil ulangannya pada sang ayah.Iqbal berlari-lari kecil menghampiri ayahnya. Setelah hampir sampai, Iqbal tersandung batu dan hampir terjatuh. Untunglah sang ayah dengan sigap menangkap tubuhnya.“Astaga, Iqbal. Kamu tuh jangan suka lari-lari. Hampir aja jatuh kamunya. Kalau sampai ada yang luka, Papa yang dimarahi Mama,” ucap Ervan.Iqbal justru tertawa lalu meminta maaf pada Ervan. “Iya maaf ya, Pa. Soalnya aku semangat banget mau nunjukin hasil ulangan matematika aku ke Papa.”“Kamu ada ulangan matematika hari ini?” tanya Ervan.“Iya, Pa. Ini hasilnya.”Iqbal menyodorkan selembar kertas ulangan pada Ervan. Ervan pun dengan senang hati menerimanya dan memeriksa hasil ul
Dua tahun kemudian, Ervan tampak disibukkan dengan toko sembakonya yang semakin hari semakin ramai pembeli. Padahal ia sudah memiliki tiga orang pekerja, namun dirinya masih harus membantu jika sudah ramai pesanan. Belum lagi ada pesanan yang berasal dari beberapa toko kelontong yang harus diantar. Ervan benar-benar kewalahan, namun tetap bersyukur karena kios sembakonya selalu ramai pembeli.Hingga malam pun tiba, Ervan bergegas masuk ke kamar untuk tidur setelah menghitung keuntungan hari ini. Saat masuk ke kamar, ia melihat istrinya masih belum tidur. Sedangkan Iqbal sudah tidur di kamar satunya.“Sayang, kok belum tidur?” tanya Ervan sambil memeluk istrinya yang berdiri memandangi langit malam dari jendela kamar.“Aku belum bisa tidur, Mas. Tadi udah minum susu hangat, tapi belum ngantuk juga,” jawab Gea. “Oh iya, gimana keuntungan hari ini, Mas?”“Alhamdulillah makin meningkat, Sayang. Aku kayaknya butuh dua karyawan lagi deh, Yang. Soalnya setiap hari pembeli makin ramai. Kadang
Seminggu setelah kepergian Intan, Ervan dan Gea memutuskan untuk mengikhlaskan semuanya. Mulai dari permasalahan awal dengan Intan dan Irma, sampai merembet ke masalah Wahyu yang dendam karena kematian Jelita. Bahkan sampai menyeret beberapa orang, termasuk Restu. Mereka sudah mulai berdamai dengan masa lalu dan akan memulai kehidupan baru bersama-sama.Dan pagi ini, mereka berniat melihat kondisi terkini Irma dan juga Dira. Mereka berada di RSJ yang sama. Namun, mereka hanya bisa melihat dari kejauhan saja. Kondisi Irma dan Dira sangat buruk dan sulit untuk dikendalikan, terutama Irma yang terkadang berteriak bahwa dirinya adalah orang paling kaya di muka Bumi ini. Obsesinya menjadi orang kaya memang masih sangat melekat di pikirannya, sehingga membuatnya depresi ketika keinginan itu tak tercapai.Setelah selesai melihat kondisi Irma dan Dira, mereka memutuskan untuk berkunjung ke makam Wahyu dan Intan. Hanya sebentar karena mereka sekeluarga berencana untuk liburan ke tempat rekreas
Fahri berjalan memasuki kafe yang menjadi tempat pertemuannya dengan Ervan malam ini. Pagi tadi, ia ditugaskan Ervan untuk mengunjungi para pelaku yang sudah mengganggu kehidupan Ervan. Hanya sekadar mengetahui keadaan mereka masing-masing. Kalau Restu, Ervan sendiri sudah mempekerjakannya lagi mulai besok, dan itu atas permintaan Gea. Ervan juga sudah bisa memaafkan kesalahan Restu, mengingat kondisi Restu saat itu sedang terdesak.Ervan yang melihat keberadaan Fahri langsung melambaikan tangan. Posisi duduknya memang sedikit ke belakang area kafe karena lebih sepi dari bagian depan. Untung saja Fahri bisa menyadari lambaian tangannya dan bergegas menghampirinya.Fahri duduk di hadapan Ervan. Wajahnya tampak murung setelah mengunjungi Intan, Irma dan Dira. Ervan bisa merasakan aura tidak enak dari tatapan mata Fahri.“Ada apa, Ri?” tanya Ervan.Sebelum berbicara, Fahri menghela napas terlebih dulu. Helaan napasnya terdengar sangat berat sekali. Kemudian, Fahri berkata, “Van, gue puny
Gea melambaikan tangan ketika mobil Bagus sudah melaju meninggalkan rumahnya. Senyum bahagia Gea tak luntur sedetikpun. Hatinya sangat-sangat lega sekarang. Bagus kembali bersikap seperti biasanya dan justru menerima putranya sebagai cucu.Hingga tak lama kemudian, suara Ervan terdengar jelas di telinganya. Gea menoleh dan ternyata Ervan sudah berdiri di sampingnya.“Loh, ini kado dari siapa, Yang?” tanya Ervan sambil mengernyit heran.“Dari Papa, Mas.”Ervan melongo mendengar jawaban Gea. “Hah? Papa?”“Iya, Mas.”“Papa kesini?” tanya Ervan lagi.Gea mendengus dan hanya mengangguk. Sementara Ervan mencoba menepuk pipinya. Ia merasa sedang bermimpi. Namun hal itu justru membuatnya terlihat lucu di mata sang istri, sampai membuat istrinya tertawa.Ervan lantas menatap istrinya dengan alis yang tertaut samar. “Kok kamu ketawa, Yang?”“Ya soalnya kamu lucu,” jawab Gea apa adanya.“Lucu kenapa?”“Itu tadi, tepuk-tepuk pipi.” Gea menekan pipi Ervan yang tampak sedikit berisi. “Kamu itu lagi
“Ma, makasih banyak udah kasih pencerahan Gea. Berkat Mama, dia sekarang jauh lebih tenang dan nggak jadi pergi,” ucap Ervan lega.“Iya, Van. Mama ngelakuin ini demi kebahagiaan kalian. Jangan sampai kalian berpisah hanya karena ocehan dari tetangga. Memang pernikahan kalian terjadi atas dasar kesalahan. Tapi, bukan berarti mereka berhak menilai kalian seenaknya.”Saat ini, Ervan dan Lastri sedang duduk di ruang tamu. Sedangkan Gea dan Iqbal sudah tidur di kamar. Mereka masih mengobrol sambil menikmati segelas teh yang dibuat oleh Lastri.Ervan benar-benar lega sekali ketika hati Gea luluh oleh nasehat Lastri. Ia tidak menyangka, ucapan Lastri sangat berpengaruh pada keputusan Gea. Hingga akhirnya, Gea membatalkan keputusannya untuk pergi meninggalkan Ervan.“Ehm, atau kami pindah aja ya, Ma. Ke Semarang lagi. Soalnya tetangga di lingkungan sana baik-baik banget, terutama sama Gea. Beda sama tetangga di sini,” ujar Ervan.Lastri tersenyum dan berkata, “Van, mau kalian keliling dunia p
Semenjak Gea berkata seperti itu kemarin, Ervan terus memikirkan hal tersebut sepanjang hari. Bahkan ia tak fokus lagi membantu Nurma untuk menyiapkan acara syukuran. Fokusnya hanya tertuju pada Gea dan juga anaknya, Iqbal Zubayr Pratama. Bahkan Ervan sampai menghampiri para tetangga yang kemarin sudah menghujat istri dan anaknya. Abdi yang memberitahukan siapa saja tetangga itu.Ervan tidak segan membentak para tetangganya karena sudah berani mengusik ketenangan keluarganya. Karena ucapan mereka, Gea yang masih sangat sensitif pasca melahirkan pun memutuskan hal yang menyakitkan bagi Ervan.“Jadi orang itu jangan suka usik urusan orang lain! Kalian itu nggak tahu apa-apa tentang keluarga kami! Saya udah pernah kasih peringatan sama kalian. Siapapun yang menghina istri saya, kalian akan berurusan sama polisi! Tapi kalian nggak ada kapoknya! Gara-gara kalian, istri saya jadi stres!”Dan karena dilabrak langsung oleh Ervan, para ibu-ibu itu pun tampak ketakutan. Ditambah lagi suami-suam
Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Gea diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Rencananya, besok Ervan dan Gea akan mengadakan syukuran kecil-kecilan untuk menyambut kehadiran buah hati mereka.Ervan sendiri tampak semangat sekali mempersiapkan segala sesuatunya, dibantu oleh Fahri, Herman, Nurma dan Lastri. Sementara Gea hanya duduk di ayunan taman sambil menggendong bayinya yang sedang terlelap. Dipandanginya wajah sang anak yang telah ia kandung selama 9 bulan itu.Gea tersenyum bahagia. Bayi yang tadinya tak ia harapkan ternyata berhasil ia pertahankan sampai lahir ke dunia. “Wajah kamu mirip banget sama Papa, Nak,” ucapnya pelan.Saat sedang sibuk mengamati wajah anaknya, tiba-tiba dari arah gerbang rumah, para tetangga julid itu muncul lagi. Mereka melontarkan kalimat-kalimat menyakitkan yang ditujukan pada Gea.“Tuhkan ibu-ibu, bener dugaan kita. Pasti itu anak di luar nikah.”“Iya, Bu. Ya ampun, nggak nyangka ya. Mukanya polos, tapi kelakuannya memalukan.”“Percum
Menjelang kelahiran, Gea tiba-tiba mengalami serangan panik. Ia khawatir jika dirinya akan meninggal dunia setelah melahirkan. Itu semua karena Gea baru saja menonton sebuah video tentang seorang wanita yang meninggal dunia setelah melahirkan, di salah satu media sosialnya. Gea mulai memikirkan hal-hal buruk itu, sehingga membuatnya tidak nafsu makan.Ervan yang melihat perubahan sikap istrinya seketika bertanya, “Sayang, kamu kenapa?”“Nggak papa, Mas.”“Kalau nggak papa, kenapa nggak mau makan? Mukanya juga murung terus. Ada apa? Nggak mau cerita sama suami sendiri?” tanya Ervan dengan suara lembut.Gea menghela napas berat, dan menatap Ervan. Ia pun berkata, “Mas, aku takut.”Mendengar pernyataan Gea, dahi Ervan mengernyit heran. “Takut? Takut kenapa, Sayang? Masih takut soal Papa? Kan belakangan ini Papa udah nggak ganggu kita.”Memang benar yang dikatakan Ervan. Semenjak peristiwa pertengkaran dengan Lastri, Bagus sudah tidak pernah lagi mengganggu kehidupan Ervan dan Gea. Bahkan