Plak! Dira menampar pipi Ervan cukup keras. Ucapan Ervan tadi benar-benar menyinggung perasaannya. Ia tidak suka direndahkan seperti itu. “Gue nggak suka ya sama omongan lo barusan. Lo pikir, gue cewek apaan?! Gue terpaksa ngelakuin ini karena diancam lagi sama Wahyu. Mereka udah tahu dimana tempat tinggal gue sekarang. Harusnya lo mikir dulu sebelum nyerocos!”Ervan mengusap pipinya sambil menatap Dira dengan tajam. Ia tidak percaya lagi pada wanita di hadapannya itu. Setiap kata yang dilontarkan Dira, semua itu hanya omong kosong belaka. Ervan tidak akan tertipu untuk kesekian kalinya.Ervan menyeringai. Sekilas ia melirik Fahri yang masih diam saja, sesuai dengan perintahnya.“Ri, lo tahu soal dia diancam lagi sama Wahyu?” tanya Ervan yang pandangannya sudah beralih pada Dira.“Gue nggak tahu, Van.” Lantas, Fahri pun menatap ke arah Dira. “Kenapa lo nggak cerita soal itu ke gue? Kan udah gue bilang, kalau ada apa-apa langsung kabari gue. Kalau kayak gini ceritanya, lo sama aja nyar
Lastri tampak terburu-buru menuju pintu karena mendengar suara ketukan dari luar. Tadi, ia sedang berada di dapur untuk memasak. Lastri membuka pintu setelah sebelumnya sempat mengintip dari jendela.Senyumnya terkembang ketika menyapa sang menantu yang sudah berdiri tegap di hadapannya. “Aduh ya ampun, menantu Mama yang paling cakep. Ayo masuk,” ucapnya mempersilahkan Ervan masuk.Ervan bersikap tenang dan sopan. Ia mencium tangan mertuanya itu lalu duduk di sofa ruang tamu. Saat ini, dirinya hanya datang seorang diri karena Fahri ditugaskan untuk terus mengawasi pergerakan Dira dan Wahyu.“Ada apa nih? Kok tumben datang ke rumah Mama sendiri. Biasanya juga ngajak si Gea,” ujar Lastri setelah kembali dari dapur untuk membuatkan minum.“Aku kesini ada urusan sama Mama. Ini penting, Ma.”Lastri mengernyit heran. Ia bertanya, “Soal apa ya, Van? Penting banget?”“Iya, Ma. Ini penting banget. Ada sangkut pautnya sama pernikahan aku dan Gea,” jawab Ervan serius.Lastri mulai cemas setelah
Setelah tiba di kantor, Ervan berjalan cepat melewati beberapa karyawan yang menyapanya di lobi. Bahkan Ervan tidak sempat menjawab sapaan mereka karena terlalu penasaran dengan apa yang ingin Sherly sampaikan padanya.Ervan pun sampai di depan ruangan Fahri. Ia masuk tanpa mengetuk pintu, membuat Fahri dan Sherly kompak berdiri karena terkejut. Belum sempat mereka duduk kembali, Ervan sudah menghujani Sherly dengan berbagai pertanyaan.“Ada apa, Ly? Ada berita penting apa? Apa ini ada kaitannya dengan masalah rumah tangga aku sama Gea? Atau ada hal lain?”Sherly yang dihujani pertanyaan seperti itu pun mendadak bingung. Sedangkan Fahri yang memahami kondisi Ervan saat ini pun, berusaha menenangkannya. Fahri tahu, Ervan sedang panik dan gelisah karena memikirkan masalahnya dengan Wahyu yang tak kunjung selesai. Selalu saja ada drama lain yang terkadang membuat Fahri ikutan pusing memikirkannya.“Van, tenang dulu,” ucap Fahri.Ervan menghela napas panjang. Ia pun mulai mengontrol dirin
“Dimana Restu?”Ervan yang baru tiba di pintu gerbang pun langsung bertanya pada Abdi. Ekspresi wajah Ervan menunjukkan sorot kemarahan, sehingga mampu ditebak oleh Abdi.“Restu lagi di toilet, Pak,” jawab Abdi jujur.Tanpa basa-basi, Ervan bergegas menuju toilet khusus untuk Restu dan Abdi yang letaknya tak jauh dari lokasi penjagaan. Ervan langsung mendobrak pintu toilet, hingga membuat Restu terkejut setengah mati. Ponsel yang ada di tangannya pun hampir terjadi ke closet.Ervan yang sudah terlanjur emosi, langsung menarik paksa Restu untuk keluar dari toilet. Sementara Abdi yang melihat keributan itu hanya bisa diam di tempat. Jika ia berani mendekat, maka riwayatnya juga akan tamat. Abdi sudah mengerti, jika Ervan bersikap seperti itu, tandanya Restu membuat kesalahan yang fatal. Itu sebabnya, Abdi tidak berusaha untuk membela Restu.“Kurang ajar kamu ya!”Bugh! Ervan melayangkan pukulan ke wajah Restu, sampai Restu hampir tersungkur.“Pak, ada apa ini?” tanya Restu.“Sialan! Pak
Beberapa hari yang lalu, Dira mendatangi kediaman Ervan secara diam-diam. Kebetulan, Abdi dan Restu baru tiba di pos penjagaan. Abdi izin ke toilet sebentar, sementara Restu yang berjaga di pos. Momen itulah yang dimanfaatkan oleh Dira untuk menghasut Restu agar mau bekerjasama dengannya.Restu tampak melamun di pos penjagaan sambil menunggu Abdi kembali dari toilet. Hingga beberapa detik kemudian, lamunan Restu buyar karena ada seseorang yang melemparkan kertas ke arahnya. Restu membuka kertas berisi tulisan tangan seseorang.‘Temui gue di ujung gang. Gue mau kasih pekerjaan bagus buat lo dan pendapatannya sangat menggiurkan. Lo bakal nyesel kalau nolak ajakan gue. Btw, gue cewek dan sekarang gue lagi nunggu lo di ujung gang. Gue pakai topi warna hitam dan kemeja hitam. Buruan datang sebelum penawaran berakhir.’Setelah selesai membaca surat tersebut, Restu celingukan, menatap ke arah luar gerbang. Namun si pemilik surat itu sudah tidak ada di sana. Restu menatap surat itu dengan per
Ervan menatap alat penyadap itu. Ternyata alat itu Restu sembunyikan di bawah meja ruang tamu. Pantas saja ia tidak mengetahuinya. Selain itu, Restu juga mengaku telah menghapus beberapa rekaman cctv yang memperlihatkan dirinya sedang masuk ke dalam rumah untuk memasang alat tersebut.“Jadi, setelah kamu dengar percakapan istri aku sama Mamanya, langsung kamu kasih tahu sama Dira?” tanya Ervan sarkas sambil menatap Restu yang berdiri tertunduk di hadapannya.Restu mengangguk pelan. Kedua tangannya sudah diikat oleh Abdi, sesuai dengan perintah Ervan. Abdi juga berdiri di samping kanan Restu sambil memegangi lengan temannya itu. Abdi juga tidak menyangka Restu akan berkhianat seperti itu, hanya demi uang.“Demi uang, kamu rela berkhianat dari aku. Padahal selama ini, aku selalu kasih kamu uang lebih. Apapun kesusahan keluargamu, pasti aku bantu. Tapi, ini balasan yang aku dapatkan dari kamu,” lanjut Ervan dengan nada rendah namun terdengar menakutkan di telinga Restu. “Aku udah bilang
Ervan dan Gea saling pandang dalam diam, setelah beberapa saat yang lalu, Ervan menceritakan semua yang terjadi pada Gea. Tentang Dira, sampai pengkhianatan Restu yang mengakibatkan rumah tangga mereka ikut terancam. Ervan juga mengatakan tindakan Bagus ketika mengetahui surat perjanjian itu. Sampai membuat Gea tak mampu berkata-kata.Ervan mengalihkan pandangan sesaat ke arah tangan Gea, lalu mengelusnya dengan lembut. Ia kembali menatap Gea sambil mengulas sebuah senyum, sebagai obat penenang untuk istrinya itu.“Sayang, kamu tenang aja ya. Sampai kapanpun, aku nggak akan pernah tinggalin kamu. Walaupun aku harus kehilangan kerja karena memilih bertahan sama kamu, aku siap. Aku ikhlas. Kebahagiaanku cuma kamu sama anak kita. Uang masih bisa dicari, tapi kebahagiaan, sulit untuk didapat. Aku nggak mau kehilangan kebahagiaan itu,” ucap Ervan.Gea tersentuh mendengar ungkapan Ervan. Air matanya menetes dengan sendirinya. Ia tidak tahu harus memberi respon seperti apa, selain menangis h
“Papa dengar, sidangnya Wahyu ditunda sampai minggu depan.”“Iya, Pa.”Saat ini, Ervan sedang bersama Bagus menuju sebuah restoran untuk bertemu salah satu klien. Ervan duduk di kursi belakang, tepat di sebelah kanan Bagus. Sedangkan di bagian depan hanya ada sang sopir pribadi.Bagus menoleh ke arah kanan. Ternyata Ervan sedang menatap ke arah jendela mobil. Bagus menghela napas berat. Ia paham bagaimana lelahnya Ervan dalam menghadapi kasus ini.“Van,” Bagus memanggil.Ervan menoleh ke kiri. “Iya, Pa?”“Papa bisa bantu kamu jatuhkan si Wahyu saat di persidangan. Tapi, ada syarat yang harus kamu penuhi.”Ervan mendecak kesal. Selalu saja ada syarat yang diajukan. Entah sampai kapan hidupnya akan dikelilingi oleh syarat-syarat yang membuat kepalanya pusing.Ia pun kembali menatap ke arah kanan. Lebih baik memandang ke arah luar daripada memandang Bagus. Hatinya kesal jika harus mendengar syarat yang diajukan ayahnya itu. Sudah pasti, syarat itu ada hubungannya dengan pernikahannya dan