Fahri berdeham untuk mendapatkan perhatian dari Dira yang sedang melamun sambil memandangi gedung-gedung tinggi dari jendela. Usaha Fahri berhasil. Dira menoleh ke belakang lalu terkejut melihat Fahri sudah berdiri tepat di belakangnya. Dira sedikit menunduk dan mundur ke belakang.Fahri memperhatikan wajah Dira dengan seksama. Memang benar yang dikatakan Salma. Ada raut kecemasan di wajah cantik itu. Fahri bisa merasakan Dira sedang ketakutan akan sesuatu.“Bisa bicara sebentar?” Fahri mulai bersuara.Dengan takut-takut, Dira mendongak untuk menatap Fahri. Ia justru bertanya balik, “Mau bicara apalagi? Gue udah ditanya sama Bu Salma. Sekarang lo mau tekan gue lagi?”“Ehm, nggak ditekan sih. Gue cuma mau bantu lo aja,” ujar Fahri lalu duduk di kursi sambil bersandar. “Menurut pengamatan Bu Salma, lo lagi dalam tekanan seseorang. Setiap Bu Salma nyebut nama Wahyu, lo langsung nunjukkin ekspresi takut. Jadi bener dugaan gue, kan? Lo ada hubungannya sama Wahyu.”Dira kembali menunduk. Ia
Fahri duduk termenung di ruangannya sambil menatap lurus ke arah meja kerjanya. Sejak tadi, Fahri memikirkan setiap kalimat yang Dira lontarkan mengenai keluarganya. Dira mengatakan bahwa ayahnya mengalami stroke berat sampai tidak bisa berjalan dan sekarang hanya bisa terbaring lemah di rumah sakit. Wahyu memanfaatkan kelemahan Dira demi memenuhi hasrat balas dendamnya terhadap Ervan yang tak kunjung selesai.Dira juga mengatakan bahwa dua adiknya yang masih berusia remaja telah tewas dan baru dikuburkan tiga hari yang lalu. Kehidupan Dira saat ini selalu dibayangi oleh kehadiran Wahyu. Itu sebabnya Dira merasa tertekan dan hampir putus asa. Bahkan Dira sempat mengaku dirinya hampir melakukan percobaan bunuh diri, namun niat buruk itu tak terwujud karena Dira masih memikirkan ayahnya. Tak mungkin dirinya meninggalkan sang ayah sendirian di dunia ini.Fahri menghela napas panjang. Dira sudah ia antar ke rumah sakit sekitar 30 menit yang lalu dan semua perkataan wanita itu benar. Ayah
“Dira.”Pagi-pagi sekali Fahri meluncur ke rumah sakit hanya untuk menemui Dira. Ia juga sudah izin sebelumnya pada Ervan untuk tidak masuk kerja hari ini. Ervan pun mengerti tujuan Fahri dan memberikan izin cuti selama dua hari. Itu sebabnya, Fahri ada di rumah sakit dan langsung menemui Dira, yang kebetulan baru saja keluar dari ruang rawat ayahnya.Dira menoleh saat namanya dipanggil. Alisnya tertaut samar, lalu seketika wajahnya berubah panik. Ia celingukan ke kanan dan kiri. Berusaha mengawasi antek-antek Wahyu yang sering berjaga di rumah sakit tersebut.Fahri mendekati Dira sambil tersenyum. Namun, belum sempat Fahri berbicara, Dira langsung menariknya untuk menjauh dari area rumah sakit. Dira tidak ingin orang-orang jahat itu melihat interaksinya dengan Fahri. Mereka tahu siapa Fahri dan bisa saja apa yang mereka lihat saat ini, langsung dilaporkan pada Wahyu.“Lo ngapain kesini?” tanya Dira sedikit kesal, setelah mereka berada di luar rumah sakit.Fahri mengernyit. “Gue cuma
Dua orang pria berjalan memasuki kantor kepolisian untuk menemui Wahyu. Mereka langsung menunggu kehadiran Wahyu di ruang tunggu. Hingga beberapa saat kemudian, Wahyu masuk ke ruangan tersebut dan duduk di seberang dua pria bertubuh kekar. Dapat dipastikan, dua pria itu adalah antek-antek Wahyu.Wahyu menumpukan kedua tangan yang diborgol ke atas meja. Ia menatap serius kedua pria di hadapannya itu. Sorot matanya tajam hingga membuat dua pria di depannya sedikit gugup.“Ada perkembangan?” tanya Wahyu dengan intonasi suara yang rendah dan terkesan menakutkan.“Belum, Bos.”Brak! Seketika Wahyu menggebrak meja. Membuat dua orang itu semakin menunduk ketakutan. Sudah dua minggu mereka mencari keberadaan Dira dan ayahnya Dira, namun tak kunjung ditemukan. Wahyu kesal dan memaki dua antek-anteknya itu.“Bangsat! Kalian gue gaji gede buat awasi dia! Kenapa bisa sampai kecolongan gini, hah?! Kerjaan kalian nggak ada yang becus! Bisa rugi gue!” ucapnya kesal namun tetap menjaga intonasi suara
“Apa?!”Lisda yang merupakan ibu dari Jelita terlihat syok setelah mendengarkan cerita Ervan tentang perilaku Wahyu. Kebetulan, saat ini Ervan tengah berkunjung ke Solo bersama Gea untuk menemui Lisda. Mereka hanya ingin melihat kondisi Lisda yang ternyata semakin sukses dengan usaha jualannya. Semua itu tentu tak lepas dari bantuan Ervan.“Jadi, Wahyu masih aja gangguin kamu, Nak Ervan?” tanya Lisda sekali lagi.Ervan mengangguk pelan. “Iya, Bu. Saya juga nggak habis pikir sama Wahyu. Kenapa dia sampai separah itu mau balas dendam? Sementara Bu Lisda juga udah maafin saya soal kematian Jelita.”“Nak Ervan, kamu itu nggak salah. Yang salah itu Wahyu. Memang, Wahyu itu sayang banget sama Jelita. Apapun bakal Wahyu lakuin buat Jelita. Tapi, Ibu juga nggak setuju dengan cara dia. Harusnya dia nggak bertindak berlebihan. Itu udah jadi masa lalu. Dengan dia balas dendam, Jelita juga nggak bakal hidup lagi,” ujar Lisda bijak.“Terus, saya harus gimana lagi supaya Wahyu itu berhenti ganggu k
‘Van, lo masih di Solo?’Saat ini, Ervan tengah melakukan panggilan telepon dengan Fahri. Ervan pun menjawab, “Iya. Kenapa?”‘Lo bener, Van. Bu Lisda lagi ada di Jakarta.’Ervan yang sedang terbaring di kasur pun langsung terduduk. Ekspresinya tampak terkejut mendengar berita dari Fahri. “Lo serius, Ri?”‘Iya gue serius. Tadi, gue sama Herman lagi ikutin pergerakan anak buahnya Wahyu di kantor polisi. Terus, waktu gue nunggu di mobil, Herman ngelihat Bu Lisda keluar dari kantor polisi itu.’“Terus?”‘Ya terus kita samperin aja, Van. Kita ajak ngopi bareng di kafe, biar lebih enak ngobrolnya. Bu Lisda bilang mau cari Mamanya si Wahyu. Gue sama Herman juga baru tahu, kalau usaha Mamanya si Wahyu itu sukses berkat bantuan Bu Lisda. Dia kasih ancaman ke Wahyu untuk berhenti gangguin lo. Kalau dia masih ganggu lo, Bu Lisda bakal hancurin lagi usaha Mamanya Wahyu.’Ervan menghela napas berat. Ia memijat pelipisnya untuk beberapa saat. Benar dugaan Gea. Lisda benar-benar nekad pergi ke Jakar
Sudah seminggu lebih Lisda tinggal di Jakarta, namun dirinya tak kunjung menemukan keberadaan ibunya Wahyu. Bahkan saat dirinya mendatangi tempat usaha ibunya Wahyu, tempat itu sudah dijual dan pemiliknya pindah entah kemana. Lisda juga berusaha menghubungi, namun nomornya diblokir. Jelas hal itu membuat Lisda kesal.“Kemana Mama kamu, Yu?!”Saat ini, Lisda sedang mengunjungi Wahyu di penjara. Ia hanya ingin mendesak pria itu agar mengatakan dimana ibunya sekarang. Akan tetapi, respon Wahyu justru menjengkelkan.Wahyu tertawa terbahak-bahak dan tidak peduli pada polisi yang berjaga di depan pintu ruang tunggu. Lisda yang geram lantas berkata, “Nggak usah ketawa kamu! Nggak ada yang lucu di sini!”“Bibi yang lucu.” Wahyu masih saja tertawa meskipun tatapan Lisda sudah sangat tajam. Hingga beberapa saat setelah terdiam, Wahyu menyeringai. Dia membalas tatapan Lisda. “Sampai kapanpun, Bibi nggak akan bisa ketemu Mama. Aku udah rencanain ini dari awal. Mending Bibi pulang aja ke Solo dan
Ervan melangkah tergesa menuju ruang kerja Fahri. Saat ini, emosinya sedang meluap dan sulit untuk dibendung. Beberapa hari terakhir, Ervan sudah mulai percaya pada Dira dan tulus membantu pengobatan ayahnya. Tapi apa balasan yang ia dapatkan? Dira justru menyerahkan surat perjanjian itu pada Bagus. Entah darimana dia mendapatkannya. Ervan juga tidak tahu.Sesampainya di depan ruangan Fahri, Ervan langsung masuk tanpa mengetuk terlebih dulu. Fahri yang melihat kedatangan Ervan pun sedikit terkejut. Apalagi wajah Ervan tampak tidak bersahabat sedikitpun.“Bangsat!”“Hah?” Fahri melongo. “Lo lagi ngatain gue bangsat?”Ervan mendengus sambil duduk di sofa. “Bukan lo. Tapi gebetan lo itu. Sialan tuh cewek. Ternyata dia musuh dalam selimut. Udah gue bantu, malah nusuk gue dari belakang.”“Hah?”Fahri masih tidak mengerti maksud Ervan. Ia pun ikut duduk di sofa, lalu bertanya, “Maksudnya gimana? Siapa yang nusuk lo dari belakang?”“Ck! Si Dira lah. Siapa lagi?” jawab Ervan kesal.“What? Dir