Waktu terus bergulir, tak terasa sudah hampir tiga bulan Karin tak lagi mendengar kabar berita tentang Pasha, hati nya kini jauh lebih kuat dari yang ia duga, perasaanya pada cowok itu nyaris memudar meski belum sepenuh nya. Entah kenapa, ada setitik perasaan yang membuat Karin benar-benar rela menghilangkan nama itu dalam hati nya, apakah ini cinta?
Entahlah, Karin tak pernah yakin akan hal itu, yang Karin tahu, dirinya dan Pasha jauh sangat berbeda, perbedaan kasta di antara keduanya bagai langit dan bumi, dan itu selalu menghalangi Karin untuk menerima perasaan yang sebenar nya, bayangan kekecewaan lebih dulu menghantuinya sebelum kata cinta itu terucap, Karin tidak tahu, harus berapa lama lagi dia memendam semua nya sendirian, meski kadang Pasha sudah berulang kali meyakinkan cinta nya terhadap nya, tapi bagi Karin semua itu tidak lah cukup untuk membunuh semua keraguan nya, rasa takut akan kekecewaan lebih besar menguasai diri nya.
Sebenar nya ketakuta
Karin selalu antusias ketika menonton film dari sutradara idolanya. Dia adalah salah satu gadis di antaran milyaran gadis di muka bumi ini yang sangat menyukai film romance. Entah sejak kapan kecintaanya itu bermula. Bahkan ia selalu membayangkan suatu hari kelak ia dapat mewujudkan impiannya menjadi seorang sutradara film.Karin tahu, tidak akan ada seorang pun yang akan mempercayai tentang mimpinya itu. Karin tidak percaya diri, dia tidak kuliah dan hidupnya penuh dengan keterbatasan. Namun dia bukanlah tipe gadis yang mudah menyerah, apalagi mengeluh.Karin tidak malu, meskipun dia hanyalah seorang anak penjual kue. Dari kedai kecil peninggalan orang tuanya itu, dia bertahan hidup. Dia selalu bersyukur dengan apa yang sudah di berikan Tuhan padanya.Di bangunan berlantai dua yang tidak terlalu luas itu, di sanalah Karin tinggal. Bagian Atas ruko di jadikan rumah, atau lebih tepatnya hanya berisi tempat tidur dan ruang untuk bersantai. Sedangkan di lantai bawa
Sudah tiga hari sejak hari itu, Pasha melakukan aksi merajuk, ia berusaha untuk tidak menghubungi Karin. Berharap gadis itu sadar dan tidak selalu bertindak keras kepala atau bahkan egois. Di mana gadis itu akan berlari jika merasa kesepian jika tak ada dirinya? Begitu pikir Pasha.Tapi sialnya, batin Pasha yang seolah malah tersiksa karena menahan rindu pada gadis itu. Semua teman wanita yang dekat dengannya tak ada satupun yang bisa mengalihkan pikirannya dari Karin. Senyum Karin, canda Karin. Pasha menginginkannya. Semua yang ada pada Karin seolah sudah menjadi candu baginya. Gadis itu benar-benar telah mengusik hatinya."Sial."Umpat Pasha kesal sendiri saat menilik layar ponselnya dan belum ada satu pesan pun dari Karin. Gadis itu benar-benar seperti es, dingin. Kadang, Pasha yang terpaksa harus mencari cara untuk berbaikan. Meskipun harus mengalahkan egonya sendiri.Lama Pasha berpikir, akhirnya ia tak tahan d
Hari sudah mulai menjelang sore, Karin terlihat sedang bersiap menutup roling dor toko nya yang hanya berukuran 3,5 meter itu.Grek...Hanya dengan satu kali tarikan, roling dor tertutup dengan sempurna. Karin pun segera menguncinya."Mau pergi kemana neng? Malam mingguan ya?" Karin menoleh dan melihat Tante Ria sedang menyiram bunga, Karin yang sudah tampak rapih berdandan, berjalan ke arah rumah tetangganya itu."Iya nih Tante, Tante rajin banget, pagi dan sore pasti nyiram bunga...," Cuping hidung Karin bergerak, seperti mengendus sesuatu. "Masak gulai ya? Baunya sampe sini.""Iya, gulai kambing. Kamu mau?""Wah, kapan sih aku bisa nolak masakan, Tante.""Yaudah nanti Tante sisain.""Makasih Tante." Karin memeluk Tante Ria. Baginya Tante Ria sudah seperti ibunya sendiri. "Sisil udah pulang kuliah belum?"&nb
Malam dengan titik-titik air gerimis yang mulai menempel di kaca jendela mobil membuat udara jadi terasa semakin dingin. Karin mengusap pundaknya demi mengurangi rasa dingin yang kian menyergap.Pasha melirik sekilas ke arah gadis itu. Tak lama ia beringsut menepikan mobilnya. "Pakai ini!" Pria itu melepas jaket yang di kenakannya dan meyerahkannya pada Karin.Gadis di sisinya itu tak langsung menerima dan malah menatapnya tanpa tanya. "Udah pake aja, apa nunggu aku pakaian?" Godanya yang membuat Karin akhirnya terhenyak dan tersadar."Eh... enggak usah, aku enggak apa-apa kok." Tolak Karin sedikit gugup. Wajahnya buru-buru ia palingan menghindari mata Pasha yang terus menatap ke arahnya."Haacuuh... hacuuhh...." Karin bersin dua kali. Pasha tersenyum dan segera menyelimuti Karin dengan jaketnya."Bersin kayak gitu masih bilang enggak apa-apa. Aku tau kamu enggak tahan udara dingin. Jangan sok kuat." Tangan Pasha masih terlihat sibuk membenark
"Ini maksudnya apa?" Sergah Karin kalap saat Pasha baru saja kembali dari luar.Langkah Pasha seketika terhenti di ambang pintu. Matanya terlihat panik saat menatapi lembaran kertas yang di acungkan Karin di udara. "Jangan marah dulu, aku bisa jelasin.""Ini pasti ada hubungannya sama kemarin aku tiba-tiba dapet notif dari penyelenggara event kalo skript aku masuk nominasi 20 besar kan?" Karin berkata dengan menahan setengah amarahnya. "Oh... aku tahu, ternyata ini semua kerjaan kamu kan?" Bahkan matanya sudah mulai berkaca-kaca sekarang.Pasha berjalan mendekat. "Kamu salah paham, aku bisa jelasin." Mencoba menyentuh pipi Karin tapi gadis itu segera menepis dan mundur satu langkah."Kamu mau jelasin apa lagi? Udah jelas ini semua pasti ada hubungannya sama kamu!" Karin berteriak. Pasha segera berbalik menatap ke arah luar ruangan kerjanya. Takut perbincangannya di dengar oleh beberapa karyawan yang sedang lembur malam ini. Ia pun segera mengambil remot
Karin tidak tahu ada di mana. Dia hanya berjalan mengelilingi kota Jakarta, dengan menaiki satu busway ke busway lainnya. Hanya untuk meredakan hatinya yang seolah remuk redam. Ponselnya sengaja ia matikan sejak keluar dari kantor Pasha tadi. Entah sudah berapa orang melihatnya, mungkin mereka berpikir bahwa Karin terlihat seperti orang yang menyedihkan dan mengenaskan. Tepat hampir jam 11 malam, dan merasa sangat kelelahan, Karin akhirnya kembali pulang ke rukonya. Terduduk lemas di lantai dua. Dan baru tersadar kalo seharian ia belum sempat makan apa-apa, hanya sepotong kue dan secangkir teh tadi pagi. Karin melepaskan jaket Pasha yang masih melekat di tubuhnya.Tubuhnya kembali menggigil kedinginan karena sepertinya hujan di luar kembali mengguyur. Ia menatap ke sekeliling rumahnya dengan muram. Cat tembok yang sudah mulai kusam dan mengelupas, tetesan air hujan membuatnya mendongak, atapnya pun sudah mulai bocor. Karin segera beranjak dari duduknya dan mengambil seb
"Aku udah janji buat nganter kamu ke pemakaman orang tua kamu minggu ini." Karin tidak menyangka Pasha masih ingat tentang janjinya itu, dan dirinya sendiri bisa-bisanya malah lupa."Enggak usah, aku masih bisa sendiri." Sahut Karin yang masih belum ingin menurunkan ego-nya."Enggak bisa gitu dong. Kamu sendiri yang bilang minta di temenin. Aku udah terlanjur kosongin semua jadwal ku hari ini." Karin terdiam, dia tahu dia tak mungkin menang berdebat dengan Pasha jika harus menyangkut soal prinsip. Sadar bahwa akan terasa percuma beradu argument dengan pria itu. Akhirnya Karin terpaksa menurut.***Sudah hampir setengah jam Pasha menunggu Karin di ruang tengah. Dia kikuk tidak tahu harus melakukan apa. Biasanya jika Karin terlalu lama di kamar, dia akan menghampiri gadis itu dan mencoba untuk memperingatkan agar melakukan segala hal dengan cepat. Karena waktu setiap detiknya adalah hal yang berharga. Namun kali ini tidak, ada suatu hal yang menghalan
Bukannya melajukan mobilnya ke jalan pulang. Pasha malah mengarahkan kendaraanya ke daerah setu babakan. Karin yang sejak tadi diam, sontak bertanya. "Ngapain kesini? Katanya kamu tadi buru-buru karena ada meeting dadakan.""Aku mau ngajak kamu makan disini. Biarin lah, kan aku bos-nya." Karin seketika memutar bola mata malas ketika Pasha bicara demikian sambil cengengesan."Aku pingin makan di rumah aja.""Udah terlanjur kesini, ya harus temenin aku makan lah.""Idih ... pasti maksa.""Biarin, kamu sebenernya suka, kan?"Pasha tersenyum karena merasa menang dan membuat Karin mau menuruti keinginannya lagi.Pasha memarkirkan kendaraan dan segera turun. Dengan sangat terpaksa Karin turut mengekor di belakangnya. Sebenarnya Karin benci tempat ini. Karena itu akan mengingatkannya pada seseorang. Cowok dari masa lalu yang membuat tikaman te
Waktu terus bergulir, tak terasa sudah hampir tiga bulan Karin tak lagi mendengar kabar berita tentang Pasha, hati nya kini jauh lebih kuat dari yang ia duga, perasaanya pada cowok itu nyaris memudar meski belum sepenuh nya. Entah kenapa, ada setitik perasaan yang membuat Karin benar-benar rela menghilangkan nama itu dalam hati nya, apakah ini cinta?Entahlah, Karin tak pernah yakin akan hal itu, yang Karin tahu, dirinya dan Pasha jauh sangat berbeda, perbedaan kasta di antara keduanya bagai langit dan bumi, dan itu selalu menghalangi Karin untuk menerima perasaan yang sebenar nya, bayangan kekecewaan lebih dulu menghantuinya sebelum kata cinta itu terucap, Karin tidak tahu, harus berapa lama lagi dia memendam semua nya sendirian, meski kadang Pasha sudah berulang kali meyakinkan cinta nya terhadap nya, tapi bagi Karin semua itu tidak lah cukup untuk membunuh semua keraguan nya, rasa takut akan kekecewaan lebih besar menguasai diri nya.Sebenar nya ketakuta
Karin memandangi ponsel nya, dua hari yang lalu dia mencoba untuk pindah plat form kepenulisan, sudah beberapa bulan terakhir ini dia tidak mendapatkan kontrak eksklusif dimanapun. Entah apa yang terjadi, rasa nya Karin ingin menyerah saja, namun jika melihat kembali tekad nya, mimpi-mimpi nya, tentang keinginan untuk bisa berdiri sendiri di atas kaki nya, Karin tentu saja belum ingin menyerah. Di sisa semangat nya, Karin mencoba menulis lagi di plat form lain, berharap ada titik terang. Ting! Terdengar satu pesan masuk dari WA nya. Karin buru-buru pindah ke aplikasi tersebut untuk menilik siapa si pengirim pesan. "Kak Marvel?" Pekik nya lirih. Ya... Dia adalah editor baru Karin, dan kebetulan dia juga editor baru, sebelum nya Karin di bawah asuhan Kak Siska, namun karena anak asuh kak Siska sudah overload, naskah synopsis yang sudah Karin kirim di pindah alih pada Kak Marvel. "Oh iya, Karin, coba deh kamu cek email kamu, saya sudah coba k
Begitu sampai di apartement nya, Pasha sudah di sambut dengan kehadiran Andrea yang tiba-tiba sudah muncul di depan pintu apartement nya. Entah sudah beberapa lama wanita itu berdiri di sana, yang jelas saat ini sudah hampir lewat tengah malam. Pasha paham betul diapa Andrea, orang yang suka nekad. Sudah beberapa hari ini Pasha sengaja menghindari wanita itu. Dan ini puncak nya, saat pria itu terasa tak bisa di hubungi, Andrea akan nekad mendatangi nya.Pasha mengalihkan pandangan nya ke segala arah, tadi nya ingin pergi menghindar saja, namun mata Andrea sudah mengunci nya, sekarang ia terpaksa harus menghadapi wanita itu."Kamu kemana aja?" Andrea menyilang kan tangan nya ke dada, menarik napas, mencoba menahan emosi nya."Sibuk.""Sibuk apa? Sibuk sama cewek kampung itu?" Tuduh Andrea yang kini tak bisa menahan kemarahan yang sudah berusaha ia redam beberapa hari ini."Kalau iya, kamu mau apa?" Pasha paling tidak suka dengan orang yang bicara dengan
Berbagi cerita dengan ibu nya setiap malam, adalah hal yang paling Karin tunggu, dia sangat merindukan ibu nya, berharap, saat ia bangun pagi, dia mencium aroma masakan dan menemukan ibu nya ada di dapur, namun kenyataan perih seakan menghantam nya. Dia tidak akan menemui saat-saat seperti itu lagi, semua hanya tinggal kenangan, dan yang tersisa hanya kesedihan. Karin sedih, ia merasa sangat sendirian.Demi melegakan hati nya yang tiba-tiba terasa sesak, ia berjalan ke arah jendela, membukanya dan sengaja membiarkan angin malam membelai wajah nya. Kini, tatapannya sendu menatap langit tanpa bintang. Selama ini, Karin sudah cukup menahan rasa sakit dan kesepian, kadang ia tak ingin memikirkannya, namun saat malam tiba, seperti malam-malam sebelum nya, semua kenangan indah bersama kedua orang tua nya, diam-diam menyusup ke dalam ruang hati nya yang hampa, dan di saat seperti itu lah, Karin baru menyadari, betapa kesepian dan menyedih kan nya hidup nya.Suara mo
Alunan musik memenuhi ruang kantor Pasha. Cowok itu duduk bersandar di singgasananya dengan mata terpejam, mencoba menikmati setiap alunan musik yang mengalun merdu di telinga nya. Ia sedang butuh inspirasi untuk fitur baru sosial media nya. Sekarang ia sedang mendengarkan musik anime, musik kesukaan Karin. Entah kenapa, gadis itu seolah terus saja memenuhi kepalanya, juga ruang di hati nya. Dulu, ia enggan jika harus mengikuti hobi orang lain, tapi Karin, sedikit demi sedikit bisa mempengaruhinya, bahkan dia sampai mau mendengarkan musik yang menurutnya sama sekali bukan seleranya. Ternyata lagu anime yang ia dengarkan, sungguh enak di dengar. Mengingat kan semua kenangannya saat bersama Karin."Tumben banget si bos setel musik lagu jepang." Celetuk Indah yang baru saja keluar dari ruangan Pasha sehabis mengantar laporan."Masa' sih? Tumben, biasanya kan si bos paling anti lagu-lagu selain indonesia, dia pokok nya paling anti kalau bukan yang berbau Indone
"Aku enggak apa-apa kok," kata nya dengan suara parau."Jangan bohong deh, kak. Jrlas-jelas Lo nangis, cerita aja, ada apa?"Mendengar Sisil bicara demikian, Karin merasa tidak tahan dan akhir nya tangis nya pun pecah. Sisil pun segera menarik nya dalam pelukan nya. "Pasti gara-gara kak Pasha lagi, ya? Sabar ya, kak? Kan Lo udah putusin buat move on, jadi Lo enggak boleh lemah dong!" Bujuk Sisi lagi sembari mengusap rambut Karin lembut.Karin hanya mengangguk dan terus terisak, "bukan salah dia kok, Sisil, kayak nya emang aku nya aja yang bodoh, aku nya yang enggak ngaca dan enggak tahu diri. Harus nya aku tahu diri dari awal, dia siapa, aku siapa. Aku jelas enggak pantas buat dia, terbukti kan, dia balikan lagi sama mantan nya yang menurut dia sepadan sama dia."Sisil melepas pelukannya, dan mengusap air mata Karin yang masih bercucuran, "hush... Kakak enggak boleh ngomong gitu, kakak enggak boleh ngerendahin diri kakak sendiri. Kita sama-sama manu
Pasha kembali ke kantor dengan mood nyaris berantakan. Apa yang baru saja ia katakan pada Andrea? Sesaat ia merasa menyesali keputusannya. Menurutnya ia terlalu tergesa-gesa dalam memutuskan sesuatu, bagaiman ini? Bukannya mengurangi beban masalah, dadanya seolah bertambah sesak karena menambah masalah baru. Salah sendiri kenapa mengambil keputusan dalam keadaan hati yang kacau.Bunyi ponsel yang berdering membuyarkan lamunannya saat hendak memasuki ruang kerjanya. Pasha segera meraih benda kotak pipih tersebut dari saku kemeja hitamnya. Satu panggilan tak terjawab dari sahabatnya-Hisyam terpampang di layar. Pasha mendengus, tiba-tiba dadanya terasa bergemuruh, bukan karena tak sempat mengangkat teleponnya. Namun karena ada foto Karin yang sedang tersenyum menghiasi layar. Padahal sudah dua bulan berlalu, tapi Pasha belum ingin mengganti foto itu. Entahlah.Tak lama ponselnya kembali berdering."Halo...." Sapa nya pada orang di seberang sana setelah berhasil
Aroma kopi memenuhi Indra penciuman Pasha ketika ia memasuki kedai kopi langganannya yang letaknya tak jauh dari gedung kantor. Biasanya ia meminta Indah yang memesan, tapi kali ini Pasha ingin pergi keluar, menghirup udara segar. "Mas, ekspresso satu.""Eskpresso? Pasti anda seorang pekerja keras."Pasha tersenyum, tidak menggubris barista yang mencoba mengajaknya bicara, ia lebih memilih duduk di salah satu kursi. Dia pernah membaca sebuah artikel jika karakter seseorang bisa di lihat dari jenis kopi kesukaannya. Misalnya orang yang menyukai capucinno adalah orang yang suka bersosialisasi, penggemar kopi latte adalah orang yang suka memberi perhatian, atau ekspresso yang identik dengan seorang pekerja keras karena memiliki rasa yang pahit dan tajam, sehingga membuat tubuh bisa terjaga instan."Hai, Pasha?" Sebuah suara membuat Pasha mendongak, seorang wanita dengan rambut lurus sebahu menarik kursi dan duduk di hadapannya sebelum sempat di persi
Waktu adalah hal terkejam, kadang bisa menyerupai iblis yang tak memiliki belas kasihan. Berlalu begitu saja tanpa peduli pada orang-orang yang memintanya untuk berhenti bergerak. Dia bisa mengambil semua orang tersayang tanpa memberi peringatan, tanpa firasat, hingga satu-satunya yang tersisa hanyalah kenangan. Namun, waktu juga bisa menjadi perawat luka yang bisa menyembuhkan. Membantu berpijak, sedikit demi sedikit, hingga mampu kembali berdiri tegak. Seperti hal nya Karin, ia sedang berusaha menata hidupnya kembali.Ternyata, kehilangan Pasha bukan hal sepele dalam hidupnya. Bayangan pria itu seolah masih saja mengikutinya kemanapun ia pergi. Menghilangkan kebiasaan lama bukanlah perkara mudah. Kadang Karin masih sering terbangun di tengah malam, hanya untuk mengecek ponsel, berharap ada telepon masuk, atau hanya sekedar pesan chat untuk berbagi cerita. Dia juga kadang masih ingin mengirim pesan, hanya untuk mengingatkan makan siang. Karena Pasha adalah tipe wo