Karin tidak tahu ada di mana. Dia hanya berjalan mengelilingi kota Jakarta, dengan menaiki satu busway ke busway lainnya. Hanya untuk meredakan hatinya yang seolah remuk redam. Ponselnya sengaja ia matikan sejak keluar dari kantor Pasha tadi. Entah sudah berapa orang melihatnya, mungkin mereka berpikir bahwa Karin terlihat seperti orang yang menyedihkan dan mengenaskan. Tepat hampir jam 11 malam, dan merasa sangat kelelahan, Karin akhirnya kembali pulang ke rukonya. Terduduk lemas di lantai dua. Dan baru tersadar kalo seharian ia belum sempat makan apa-apa, hanya sepotong kue dan secangkir teh tadi pagi. Karin melepaskan jaket Pasha yang masih melekat di tubuhnya.
Tubuhnya kembali menggigil kedinginan karena sepertinya hujan di luar kembali mengguyur. Ia menatap ke sekeliling rumahnya dengan muram. Cat tembok yang sudah mulai kusam dan mengelupas, tetesan air hujan membuatnya mendongak, atapnya pun sudah mulai bocor. Karin segera beranjak dari duduknya dan mengambil sebuah ember untuk di letakkan di bawah bagian yang bocor. Kemudian ia kembali duduk di sofa tua warna coklat yang sudah mulai robek sana sini. Bunyi tikus berdencit dari balik lemari pakaiannya yang kacanya sudah retak. Lima tahun lalu setidaknya kehidupannya masih baik-baik saja. Ia masih memiliki orang tua dan hidupnya tidak seberat sekarang ini. Namu. takdir seolah menjungkir balikan keadaanya tanpa persiapan. Orang tuanya mengalami kecelakaan maut lima tahun lagi yang menyebabkan kedua orang tuanya meninggal dunia. Dan hanya Karin sendiri yang selamat pada kecelakaan saat itu.
Tanpa terasa air mata Karin jatuh luruh, selama ini ia sudah berusaha tegar dan menerima semua apa yang terjadi. Namun pertahanannya kembali runtuh hari ini. Kata-kata Pasha mengambil alih seluruh isi kepalanya, membuat file-file luka lama yang tersimpan rapih di sana kini kembali terbuka. Biasanya Karin sangat kuat, dengan topeng kepura-puraanya yang selalu ia tunjukkan selama ini. Tapi kali ini semuanya luntur, ia seolah menjadi jujur di hadapan tembok, lemari dan sofa-nya sendiri. Benar kata Pasha, dunia ini memang kejam. Semua orang hanya memikirkan dirinya sendiri. Hanya dua yang bisa di percaya dari lahir hingga kita tiada. Yaitu Tuhan dan diri sendiri.
Katanya, uang bukanlah segalanya. Itu bagi orang-orang yang benar-benar kaya raya. Akan terasa mudah untuk mengucapkannya. Tapi bagi Karin, dulu saat orang tua nya masih ada, meskipun mereka tidak terlalu kaya. Semuanya terasa mudah bagi Karin. Karin tidak perlu merasakan lelahnya bekerja dan memutar otaknya sendiri demi memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Bahkan cicilan ruko yang sebenarnya belum lunas. Karin bukannya tidak mau meminta bantuan pada orang lain. Tapi harga dirinya terlalu tinggi jika harus di kasihani oleh orang lain. Dia hanya punya impian sebagai harga dirinya. Dia masih berharap bisa mewujudkan cita-citanya sendiri dengan kemampuan yang ia punya. Tapi seseorang dengan mudahnya menggampangkan semuanya dan membuatnya kian merasa terhina.
Karin menatap kembali seisi rumahnya dengan tatapan muram. Lagi-lagi ia membenarkan perkataan Pasha dalam kepalanya. Pasha benar, selama ini dia terlalu naif, ia memiliki mimpi tapi tidak percaya diri dalam mewujudkannya. Tidak heran ia masih terperangkap di tempat ini, hidupnya seolah berjalan di tempat, tidak memiliki perubahan.
Karin menghidupkan ponselnya kembali. Terdapat begitu banyak panggilan dari Pasha. Juga ada pesan what sapp dari pria itu. Karin segera membukanya.
"Aku tuh ngerasa nyaman sama kamu, aku harap kita enggak berantem kayak gini."
Dada Karin seolah bergemuruh saat membaca pesan tersebut. Air matanya kembali mengalir deras. Di raihnya jaket Pasha yang tergeletak di dekatnya, kemudian ia peluk dan mengendus aromanya dalam-dalam. Berharap bisa merasakan kehadiran Pasha di dekatnya.
***Suara bel yang berkali-kali akhirnya membuat Karin menggeliat dan terbangun dari tidurnya. Ia bangkit duduk sambil mengumpulkan seluruh nyawanya. Bel masih terdengar berbunyi. Ia melirik jam Beker di nakas dekat tempat tidurnya.
08.00
Mata Karin seketika membelalak. Bagaimana bisa ia bangun sesiang ini. Ia pun segera menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya dan bergegas turun ke lantai bawah.
Tante Ria sudah berdiri di balik pintu begitu membuka pintu rolling dornya.
"Pagi neng, tumben baru bangun. Ini Tante bawain kamu gulai kambing, semalem Tante tungguin kamu enggak pulang-pulang." Ujar Tante Ria sembari menyerahkan semangkuk gulai dan sepiring nasi yang masih tampak mengepul. Aroma nya benar-benar menggugah selera. "Kamu enggak jualan hari ini?"
"Enggak dulu kayaknya, Tan. Aku lagi capek." Karin memaksa tersenyum.
"Kamu capek nyari duit?" Karin Tahu Tante Ria hanya bermaksud bercanda.
"Istirahat sekali-kali boleh kan, Tan?"
"Iya boleh-boleh aja, sih. Kenapa kamu enggak nikah aja, kan enak tuh ada yang nafkahin."
Karin menggeleng. "Aku enggak kepikiran nikah dulu, Tan. Aku enggak mau hidup bergantung sama cowok, aku pingin bebas, aku pingin punya kebebasan finansial. Biar cowok enggak semena-mena sama aku." Karin terkekeh kecil.
"Ya ... kamu itu aneh-aneh aja, kalo suami kamu sayang sama kamu dia juga enggak bakalan sia-sia in kamu, lah, kamu yang terlalu berpikir berlebihan. Eh ... tapi bener juga sih, buktinya Tante cerai sama papa nya Sisil. Iya kan?" Tante Ria seolah menyadari satu hal. Karin hanya tersenyum dan tak ingin menanggapi lebih lanjut.
Tante Ria menyingsingkan rambut Karin ke telinga. "Mata kamu sembab, kamu abis nangis, ya?"
"Permisi ...," mereka berdua pun langsung menoleh ke asal suara. Seorang cowok dengan balutan kemeja hitam dengan lengan di gulung hingga ke siku berdiri di belakang mereka. Karin mengeriyit melihat kemunculan Pasha.
"Ngapain kesini?"
"Oiya... Tante baru ingat, kalo di rumah lagi goreng pisang. Tante pulang dulu, ya, Neng."
Tante Ria buru-buru berlalu meninggalkan Karin dan Pasha yang masih setia berdiri di halaman.
Karin membawa masuk sepiring nasi dan semangkuk gulai pemberian Tante Ria. Kali ini rasa laparnya bertubi-tubi. Ia langsung melahap makanan pemberian Tante Ria itu. Pasha melangkah masuk. Menarik sebuah kursi dan meletakkan satu kotak coklat dan sekotak susu segar di meja. "Ada yang bilang, kalo kita makan coklat bisa menambah zat seretonin ke otak. Dengan begitu perasaan kita akan lebih bahagia."
Karin seolah tak peduli. "Aku udah bilang kan enggak suka coklat apalagi susu. Kamu ngapain kesini?"
"Aku mau minta maaf."
"Tumben minta maaf, biasanya juga enggak pernah. Udah deh. Enggak usah merasa bersalah gitu. Lagian bukan salah kamu, yang kamu omongin kemarin itu bener semuanya. Aku ini emang payah. Lagian kita itu cuma temen. Jadi santai aja." Karin bicara tanpa menatap mata Pasha. Ia tidak ingin pertahanannya runtuh.
"Ponsel kamu enggak aktif semaleman, aku takut kamu kenapa-napa."
"Udah deh, enggak usah lebay. Kalo pun aku mati, bukan urusan kamu, kok. Kalo pun aku jadi arwah, aku juga enggak bakal gentayangin kamu, kok. Jadi tenang aja."
"Karin..." Pasha melembutkan suaranya, "yang kemarin itu jangan di anggap serius, kita cuma sedang kebawa emosi. Aku sadar kata-kata aku mungkin nyakitin buat kamu. Dan udah sewajarnya kamu marah."
Karin menyuap nasi gulainya dengan nikmat. Pura-pura tidak peduli, padahal kedatangan Pasha cukup mengusiknya. Dia harus menahan diri mati-matian untuk menghambur ke pelukan cowok itu, atau mendaratkan kecupan di pipinya sebagai tanda kangen. "Aduh, Tante Ria pinter banget deh masaknya. Kamu mau cobain enggak? Eh .. tapi jangan deh, ini kan makanan kalangan orang bawah. Kamu kan kalangan atas, makannya steak. Nanti sakit perut, enggak cocok sama lidah dan perut kamu."Mendengar Karin bicara begitu. Pasha malah mengambil sendok dan menyendok gulai kambing. Kemudian menelannya bulat-bulat. Karin menatapnya heran.
"Itu gulai kambing, loh."
"Ya, terus kenapa?"
"Aduhh... Nanti kalo sakit perut gimana? Nanti orang tua kamu nyalah-nyalahin aku lagi. Anak kesayangan aku makan apa sih? Pasti gara-gara temenan sama cewek kampungan itu."
"Karin, kamu itu kenapa sih?"
"Kenapa apanya? Aku cuma berusaha sadar dengan siapa diri aku sebenernya!"
"Aku kemarin ngomong gitu, bukan bermaksud meremehkan kamu atau ngerendahin kamu, aku cuma pingin kamu sadar sama mimpi kamu."
"Ya, ya, ya, Terima kasih atas kata-katanya tuan Pasha yang terhormat. Kamu enggak usah repot-repot nyadarin aku. Karena sekarang aku udah seratus persen sadar. Sekarang kamu boleh pergi dari sini. Karena aku enggak mau punya hubungan sama kamu lagi. Ngerti." Karin mengatakan semua itu dengan penuh emosi. Meskipun di lubuk hatinya dia sedang membohongi dirinya sendiri. Pasha adalah penyemangat beberapa bulan terakhir ini. Hidupnya seolah kembali bewarna karena kehadiran pria itu. Putus hubungan dengannya bearti Karin harus kembali menjalani hari-harinya yang kelabu. Namun begitulah hidup. Selalu penuh dengan kejutan. Kitalah sebagai manusia yang di tuntut untuk beradaptasi dengan segala perubahan yang terjadi. Karena Dunia tidak akan senantiasa melembut hanya karena seseorang bersedih atau sedang mengasihani diri sendiri.
"Enggak, aku udah terlanjur janji sama kamu.""Janji apa?"
BERSAMBUNG."Aku udah janji buat nganter kamu ke pemakaman orang tua kamu minggu ini." Karin tidak menyangka Pasha masih ingat tentang janjinya itu, dan dirinya sendiri bisa-bisanya malah lupa."Enggak usah, aku masih bisa sendiri." Sahut Karin yang masih belum ingin menurunkan ego-nya."Enggak bisa gitu dong. Kamu sendiri yang bilang minta di temenin. Aku udah terlanjur kosongin semua jadwal ku hari ini." Karin terdiam, dia tahu dia tak mungkin menang berdebat dengan Pasha jika harus menyangkut soal prinsip. Sadar bahwa akan terasa percuma beradu argument dengan pria itu. Akhirnya Karin terpaksa menurut.***Sudah hampir setengah jam Pasha menunggu Karin di ruang tengah. Dia kikuk tidak tahu harus melakukan apa. Biasanya jika Karin terlalu lama di kamar, dia akan menghampiri gadis itu dan mencoba untuk memperingatkan agar melakukan segala hal dengan cepat. Karena waktu setiap detiknya adalah hal yang berharga. Namun kali ini tidak, ada suatu hal yang menghalan
Bukannya melajukan mobilnya ke jalan pulang. Pasha malah mengarahkan kendaraanya ke daerah setu babakan. Karin yang sejak tadi diam, sontak bertanya. "Ngapain kesini? Katanya kamu tadi buru-buru karena ada meeting dadakan.""Aku mau ngajak kamu makan disini. Biarin lah, kan aku bos-nya." Karin seketika memutar bola mata malas ketika Pasha bicara demikian sambil cengengesan."Aku pingin makan di rumah aja.""Udah terlanjur kesini, ya harus temenin aku makan lah.""Idih ... pasti maksa.""Biarin, kamu sebenernya suka, kan?"Pasha tersenyum karena merasa menang dan membuat Karin mau menuruti keinginannya lagi.Pasha memarkirkan kendaraan dan segera turun. Dengan sangat terpaksa Karin turut mengekor di belakangnya. Sebenarnya Karin benci tempat ini. Karena itu akan mengingatkannya pada seseorang. Cowok dari masa lalu yang membuat tikaman te
Karin membuka pesan di ponselnya sesampainya di rumah. Seperti ada yang kurang. Tak ada satupun notif pesan dari Pasha. Bahkan bekas chat dirinya dan Pasha sudah bersih semua. Dan lebih parahnya lagi. Pria itu memblokir semua akun sosial medianya. Dan hanya ada satu pesan tersisa di What sapp. Sepertinya itu pesan terakhir sebelum akun-nya benar-benar di block."Aku seorang yang kejam soal perasaan. Aku pikir selama lima bulan ini cukup untuk aku bersabar. Menghadapi sikap egois kamu, moody-an kamu. Tapi kali ini tidak lagi. Terserah kalo kamu enggak bisa percaya sama aku lagi. Terserah kalo mau anggep aku cowok playboy atau apalah. Aku udah enggak peduli. Aku cuma mau bilang sama kamu. Kalo cara kamu kayak gitu terus. Selamanya kamu akan tetap sendirian. Udah, itu aja. Nanti kalo pun kita enggak sengaja ketemu di jalan. Aku juga akan pura-pura enggak kenal sama kamu. Dan jangan salahin aku kalo aku beneran lupain kamu, mungkin saat itu aku udah sama yang lain. Sel
Raut wajah muram Pasha, cukup membuat ketegangan di kantor First Tama Group sejak tiga hari berturut-turut. Para karyawan terlihat saling berbisik satu sama lain, saling bertanya, apa yang membuat wajah bos-nya itu kusut seperti baju belum di setrika. "Mungkin aja, dia baru putus dari pacarnya," tebak salah satu karyawannya, Indah. "Tahu kan cewek yang pernah di ajak ke kantor malem-malem waktu itu?" Ucapnya lagi berusaha mengumpulkan teka-teki."Yang mana? Mbak Andrea?"Sahut Yeni makin kepo. Andrea adalah wanita yang bisa di bilang paling dekat dengan Pasha beberapa tahun terakhir ini. Tapi tidak ada yang tahu kejelasan status mereka itu sebenarnya apa.Bobi tiba-tiba muncul dari arah belakang Yeni dan memukul puncak kepala wanita itu menggunakan gulungan kertas. "Awh!""Gosip mulu pagi-pagi. Udah sono lanjut kerja.""Ih, apaan sih, dasar tukang nguping," dengus Yeni."Gue enggak nguping, tapi suara Lo udah kayak toak sampe kedengeran
Pasha baru saja tiba di apartement-nya setelah lelah seharian bekerja. Sembari membuka kancing teratas kemejanya ia membanting tubuhnya sendiri di atas sofa biru bergaya scandinovian. Nafasnya sedikit tersengal, kemudian ia mengambil posisi rebahan sambil menyalakan ponselnya. Di layar awal langsung terpampang foto Karin yang sedang tersenyum. Sudah sejak sebulan yang lalu foto wanita itu menjadi wallpaper HP-nya. Karin adalah wanita pertama yang membuat Pasha mau melakukan itu tanpa di dominasi dari siapapun. Tidak juga Andrea."Pasha sayang, lagi apa?""Kamu udah makan belum?""Eh, iya deh yang bos... Sok sibuk, Huh....""Wait, ya, sayang, biasalah aku lagi kerja, lagi ngecoding. Kamu kangen ya?"Sudut-sudut bibir Pasha tertarik ke atas saat membaca ulang chat dari Karin dan dirinya yang sudah sempat ia screen shot sebelum sempat menghapus semuanya.Sudah h
Waktu adalah hal terkejam, kadang bisa menyerupai iblis yang tak memiliki belas kasihan. Berlalu begitu saja tanpa peduli pada orang-orang yang memintanya untuk berhenti bergerak. Dia bisa mengambil semua orang tersayang tanpa memberi peringatan, tanpa firasat, hingga satu-satunya yang tersisa hanyalah kenangan. Namun, waktu juga bisa menjadi perawat luka yang bisa menyembuhkan. Membantu berpijak, sedikit demi sedikit, hingga mampu kembali berdiri tegak. Seperti hal nya Karin, ia sedang berusaha menata hidupnya kembali.Ternyata, kehilangan Pasha bukan hal sepele dalam hidupnya. Bayangan pria itu seolah masih saja mengikutinya kemanapun ia pergi. Menghilangkan kebiasaan lama bukanlah perkara mudah. Kadang Karin masih sering terbangun di tengah malam, hanya untuk mengecek ponsel, berharap ada telepon masuk, atau hanya sekedar pesan chat untuk berbagi cerita. Dia juga kadang masih ingin mengirim pesan, hanya untuk mengingatkan makan siang. Karena Pasha adalah tipe wo
Aroma kopi memenuhi Indra penciuman Pasha ketika ia memasuki kedai kopi langganannya yang letaknya tak jauh dari gedung kantor. Biasanya ia meminta Indah yang memesan, tapi kali ini Pasha ingin pergi keluar, menghirup udara segar. "Mas, ekspresso satu.""Eskpresso? Pasti anda seorang pekerja keras."Pasha tersenyum, tidak menggubris barista yang mencoba mengajaknya bicara, ia lebih memilih duduk di salah satu kursi. Dia pernah membaca sebuah artikel jika karakter seseorang bisa di lihat dari jenis kopi kesukaannya. Misalnya orang yang menyukai capucinno adalah orang yang suka bersosialisasi, penggemar kopi latte adalah orang yang suka memberi perhatian, atau ekspresso yang identik dengan seorang pekerja keras karena memiliki rasa yang pahit dan tajam, sehingga membuat tubuh bisa terjaga instan."Hai, Pasha?" Sebuah suara membuat Pasha mendongak, seorang wanita dengan rambut lurus sebahu menarik kursi dan duduk di hadapannya sebelum sempat di persi
Pasha kembali ke kantor dengan mood nyaris berantakan. Apa yang baru saja ia katakan pada Andrea? Sesaat ia merasa menyesali keputusannya. Menurutnya ia terlalu tergesa-gesa dalam memutuskan sesuatu, bagaiman ini? Bukannya mengurangi beban masalah, dadanya seolah bertambah sesak karena menambah masalah baru. Salah sendiri kenapa mengambil keputusan dalam keadaan hati yang kacau.Bunyi ponsel yang berdering membuyarkan lamunannya saat hendak memasuki ruang kerjanya. Pasha segera meraih benda kotak pipih tersebut dari saku kemeja hitamnya. Satu panggilan tak terjawab dari sahabatnya-Hisyam terpampang di layar. Pasha mendengus, tiba-tiba dadanya terasa bergemuruh, bukan karena tak sempat mengangkat teleponnya. Namun karena ada foto Karin yang sedang tersenyum menghiasi layar. Padahal sudah dua bulan berlalu, tapi Pasha belum ingin mengganti foto itu. Entahlah.Tak lama ponselnya kembali berdering."Halo...." Sapa nya pada orang di seberang sana setelah berhasil
Waktu terus bergulir, tak terasa sudah hampir tiga bulan Karin tak lagi mendengar kabar berita tentang Pasha, hati nya kini jauh lebih kuat dari yang ia duga, perasaanya pada cowok itu nyaris memudar meski belum sepenuh nya. Entah kenapa, ada setitik perasaan yang membuat Karin benar-benar rela menghilangkan nama itu dalam hati nya, apakah ini cinta?Entahlah, Karin tak pernah yakin akan hal itu, yang Karin tahu, dirinya dan Pasha jauh sangat berbeda, perbedaan kasta di antara keduanya bagai langit dan bumi, dan itu selalu menghalangi Karin untuk menerima perasaan yang sebenar nya, bayangan kekecewaan lebih dulu menghantuinya sebelum kata cinta itu terucap, Karin tidak tahu, harus berapa lama lagi dia memendam semua nya sendirian, meski kadang Pasha sudah berulang kali meyakinkan cinta nya terhadap nya, tapi bagi Karin semua itu tidak lah cukup untuk membunuh semua keraguan nya, rasa takut akan kekecewaan lebih besar menguasai diri nya.Sebenar nya ketakuta
Karin memandangi ponsel nya, dua hari yang lalu dia mencoba untuk pindah plat form kepenulisan, sudah beberapa bulan terakhir ini dia tidak mendapatkan kontrak eksklusif dimanapun. Entah apa yang terjadi, rasa nya Karin ingin menyerah saja, namun jika melihat kembali tekad nya, mimpi-mimpi nya, tentang keinginan untuk bisa berdiri sendiri di atas kaki nya, Karin tentu saja belum ingin menyerah. Di sisa semangat nya, Karin mencoba menulis lagi di plat form lain, berharap ada titik terang. Ting! Terdengar satu pesan masuk dari WA nya. Karin buru-buru pindah ke aplikasi tersebut untuk menilik siapa si pengirim pesan. "Kak Marvel?" Pekik nya lirih. Ya... Dia adalah editor baru Karin, dan kebetulan dia juga editor baru, sebelum nya Karin di bawah asuhan Kak Siska, namun karena anak asuh kak Siska sudah overload, naskah synopsis yang sudah Karin kirim di pindah alih pada Kak Marvel. "Oh iya, Karin, coba deh kamu cek email kamu, saya sudah coba k
Begitu sampai di apartement nya, Pasha sudah di sambut dengan kehadiran Andrea yang tiba-tiba sudah muncul di depan pintu apartement nya. Entah sudah beberapa lama wanita itu berdiri di sana, yang jelas saat ini sudah hampir lewat tengah malam. Pasha paham betul diapa Andrea, orang yang suka nekad. Sudah beberapa hari ini Pasha sengaja menghindari wanita itu. Dan ini puncak nya, saat pria itu terasa tak bisa di hubungi, Andrea akan nekad mendatangi nya.Pasha mengalihkan pandangan nya ke segala arah, tadi nya ingin pergi menghindar saja, namun mata Andrea sudah mengunci nya, sekarang ia terpaksa harus menghadapi wanita itu."Kamu kemana aja?" Andrea menyilang kan tangan nya ke dada, menarik napas, mencoba menahan emosi nya."Sibuk.""Sibuk apa? Sibuk sama cewek kampung itu?" Tuduh Andrea yang kini tak bisa menahan kemarahan yang sudah berusaha ia redam beberapa hari ini."Kalau iya, kamu mau apa?" Pasha paling tidak suka dengan orang yang bicara dengan
Berbagi cerita dengan ibu nya setiap malam, adalah hal yang paling Karin tunggu, dia sangat merindukan ibu nya, berharap, saat ia bangun pagi, dia mencium aroma masakan dan menemukan ibu nya ada di dapur, namun kenyataan perih seakan menghantam nya. Dia tidak akan menemui saat-saat seperti itu lagi, semua hanya tinggal kenangan, dan yang tersisa hanya kesedihan. Karin sedih, ia merasa sangat sendirian.Demi melegakan hati nya yang tiba-tiba terasa sesak, ia berjalan ke arah jendela, membukanya dan sengaja membiarkan angin malam membelai wajah nya. Kini, tatapannya sendu menatap langit tanpa bintang. Selama ini, Karin sudah cukup menahan rasa sakit dan kesepian, kadang ia tak ingin memikirkannya, namun saat malam tiba, seperti malam-malam sebelum nya, semua kenangan indah bersama kedua orang tua nya, diam-diam menyusup ke dalam ruang hati nya yang hampa, dan di saat seperti itu lah, Karin baru menyadari, betapa kesepian dan menyedih kan nya hidup nya.Suara mo
Alunan musik memenuhi ruang kantor Pasha. Cowok itu duduk bersandar di singgasananya dengan mata terpejam, mencoba menikmati setiap alunan musik yang mengalun merdu di telinga nya. Ia sedang butuh inspirasi untuk fitur baru sosial media nya. Sekarang ia sedang mendengarkan musik anime, musik kesukaan Karin. Entah kenapa, gadis itu seolah terus saja memenuhi kepalanya, juga ruang di hati nya. Dulu, ia enggan jika harus mengikuti hobi orang lain, tapi Karin, sedikit demi sedikit bisa mempengaruhinya, bahkan dia sampai mau mendengarkan musik yang menurutnya sama sekali bukan seleranya. Ternyata lagu anime yang ia dengarkan, sungguh enak di dengar. Mengingat kan semua kenangannya saat bersama Karin."Tumben banget si bos setel musik lagu jepang." Celetuk Indah yang baru saja keluar dari ruangan Pasha sehabis mengantar laporan."Masa' sih? Tumben, biasanya kan si bos paling anti lagu-lagu selain indonesia, dia pokok nya paling anti kalau bukan yang berbau Indone
"Aku enggak apa-apa kok," kata nya dengan suara parau."Jangan bohong deh, kak. Jrlas-jelas Lo nangis, cerita aja, ada apa?"Mendengar Sisil bicara demikian, Karin merasa tidak tahan dan akhir nya tangis nya pun pecah. Sisil pun segera menarik nya dalam pelukan nya. "Pasti gara-gara kak Pasha lagi, ya? Sabar ya, kak? Kan Lo udah putusin buat move on, jadi Lo enggak boleh lemah dong!" Bujuk Sisi lagi sembari mengusap rambut Karin lembut.Karin hanya mengangguk dan terus terisak, "bukan salah dia kok, Sisil, kayak nya emang aku nya aja yang bodoh, aku nya yang enggak ngaca dan enggak tahu diri. Harus nya aku tahu diri dari awal, dia siapa, aku siapa. Aku jelas enggak pantas buat dia, terbukti kan, dia balikan lagi sama mantan nya yang menurut dia sepadan sama dia."Sisil melepas pelukannya, dan mengusap air mata Karin yang masih bercucuran, "hush... Kakak enggak boleh ngomong gitu, kakak enggak boleh ngerendahin diri kakak sendiri. Kita sama-sama manu
Pasha kembali ke kantor dengan mood nyaris berantakan. Apa yang baru saja ia katakan pada Andrea? Sesaat ia merasa menyesali keputusannya. Menurutnya ia terlalu tergesa-gesa dalam memutuskan sesuatu, bagaiman ini? Bukannya mengurangi beban masalah, dadanya seolah bertambah sesak karena menambah masalah baru. Salah sendiri kenapa mengambil keputusan dalam keadaan hati yang kacau.Bunyi ponsel yang berdering membuyarkan lamunannya saat hendak memasuki ruang kerjanya. Pasha segera meraih benda kotak pipih tersebut dari saku kemeja hitamnya. Satu panggilan tak terjawab dari sahabatnya-Hisyam terpampang di layar. Pasha mendengus, tiba-tiba dadanya terasa bergemuruh, bukan karena tak sempat mengangkat teleponnya. Namun karena ada foto Karin yang sedang tersenyum menghiasi layar. Padahal sudah dua bulan berlalu, tapi Pasha belum ingin mengganti foto itu. Entahlah.Tak lama ponselnya kembali berdering."Halo...." Sapa nya pada orang di seberang sana setelah berhasil
Aroma kopi memenuhi Indra penciuman Pasha ketika ia memasuki kedai kopi langganannya yang letaknya tak jauh dari gedung kantor. Biasanya ia meminta Indah yang memesan, tapi kali ini Pasha ingin pergi keluar, menghirup udara segar. "Mas, ekspresso satu.""Eskpresso? Pasti anda seorang pekerja keras."Pasha tersenyum, tidak menggubris barista yang mencoba mengajaknya bicara, ia lebih memilih duduk di salah satu kursi. Dia pernah membaca sebuah artikel jika karakter seseorang bisa di lihat dari jenis kopi kesukaannya. Misalnya orang yang menyukai capucinno adalah orang yang suka bersosialisasi, penggemar kopi latte adalah orang yang suka memberi perhatian, atau ekspresso yang identik dengan seorang pekerja keras karena memiliki rasa yang pahit dan tajam, sehingga membuat tubuh bisa terjaga instan."Hai, Pasha?" Sebuah suara membuat Pasha mendongak, seorang wanita dengan rambut lurus sebahu menarik kursi dan duduk di hadapannya sebelum sempat di persi
Waktu adalah hal terkejam, kadang bisa menyerupai iblis yang tak memiliki belas kasihan. Berlalu begitu saja tanpa peduli pada orang-orang yang memintanya untuk berhenti bergerak. Dia bisa mengambil semua orang tersayang tanpa memberi peringatan, tanpa firasat, hingga satu-satunya yang tersisa hanyalah kenangan. Namun, waktu juga bisa menjadi perawat luka yang bisa menyembuhkan. Membantu berpijak, sedikit demi sedikit, hingga mampu kembali berdiri tegak. Seperti hal nya Karin, ia sedang berusaha menata hidupnya kembali.Ternyata, kehilangan Pasha bukan hal sepele dalam hidupnya. Bayangan pria itu seolah masih saja mengikutinya kemanapun ia pergi. Menghilangkan kebiasaan lama bukanlah perkara mudah. Kadang Karin masih sering terbangun di tengah malam, hanya untuk mengecek ponsel, berharap ada telepon masuk, atau hanya sekedar pesan chat untuk berbagi cerita. Dia juga kadang masih ingin mengirim pesan, hanya untuk mengingatkan makan siang. Karena Pasha adalah tipe wo