Sudah tiga hari sejak hari itu, Pasha melakukan aksi merajuk, ia berusaha untuk tidak menghubungi Karin. Berharap gadis itu sadar dan tidak selalu bertindak keras kepala atau bahkan egois. Di mana gadis itu akan berlari jika merasa kesepian jika tak ada dirinya? Begitu pikir Pasha.
Tapi sialnya, batin Pasha yang seolah malah tersiksa karena menahan rindu pada gadis itu. Semua teman wanita yang dekat dengannya tak ada satupun yang bisa mengalihkan pikirannya dari Karin. Senyum Karin, canda Karin. Pasha menginginkannya. Semua yang ada pada Karin seolah sudah menjadi candu baginya. Gadis itu benar-benar telah mengusik hatinya.
"Sial."
Umpat Pasha kesal sendiri saat menilik layar ponselnya dan belum ada satu pesan pun dari Karin. Gadis itu benar-benar seperti es, dingin. Kadang, Pasha yang terpaksa harus mencari cara untuk berbaikan. Meskipun harus mengalahkan egonya sendiri.
Lama Pasha berpikir, akhirnya ia tak tahan dan memencet tombol panggilan di layar ponselnya menelpon Karin.
Tak butuh waktu lama. Panggilan teleponnya pun tersambung.
"Halo..." Sapa suara di ujung telepone.
"Kamu kemana aja?" Pertanyaan yang sudah sering di ucapkan tiap kali mereka bertengkar.
"Aku enggak kemana-mana, aku di toko. Kamu nya yang kemana aja, kenapa tiba-tiba enggak mampir kesini lagi?"
Pasha menghela nafas panjang. Rupanya Gadis yang sedang berbicara dengannya di seberang sana benar-benar tidak peka dengan semua yang di lakukannya. Atau mungkin gadis itu sedang pura-pura tidak peka. Karin sangat pandai dalam menyembunyikan perasaan.
"Emang kamu enggak kangen gitu sama aku? Kamu enggak nyariin aku?" Tanya Pasha akhirnya karena sudah tidak tahan jika harus menggunakan bahasa kode. Emosinya hampir meluap, namun sebisa mungkin dia tahan. Karena image nya selama ini sebagai cowok yang cool dan nyaris tanpa emosi akan hancur jikad dia menunjukkan emosinya.
"Lah... kan kamu kemarin yang bilang kesel dan enggak mau nemuin aku lagi? Kamu lupa?"
Tenggorokan Pasha mendadak terasa kering, seperti ada sesuatu yang membuatnya tercekat. Memang benar Pasha sendiri yang bicara demikian, tapi dia tidak benar-benar mengatakannya dari hati. Dia hanya ingin tahu, apakah gadis itu peduli dan mau menahan kepergiannya. Tapi tidak di sangka gadis itu malah mengacuhkannya berhari-hari.
Pasha tak ingin bertengkar, akhirnya dia hanya mengatakan. "Yaudah lupain aja yang kemarin Yach? Kita baikan."
"Oh gitu, yaudah lupain aja enggak apa-apa. Tapi bisa kan, kemarin itu marahnya enggak kayak gitu?"
"Ya... maaf, namanya juga emosi. Kamu nya bikin emosi sih."
Karin menarik sudut bibirnya tersenyum. "Kamu lagi apa?" Ucap Karin mengalihkan pembicaraan. Dia sebenarnya peka dengan semua maksud yang di tunjukkan Pasha padanya. Hanya saja dia tidak ingin menunjukkanya.
Karin hanya tidak ingin memberi harapan lebih pada pria itu, dan harapan lebih pada dirinya sendiri.
"Aku lagi kayang, haha...." Terdengar suara Pasha yang mencoba berseloroh.
Dahi Karin berkerut, Pasha kadang suka berkata-kata absurd. "Oh... bagus dong ada kemajuan." Sahutnya sambil lalu menata kue-kue di dalam estalase.
"Kadang malah sambil salto." Ucap Pasha lagi. Pria itu menahan senyum sambil memutar singgasana kerjanya. Menunggu reaksi Karin yang selanjutnya.
"Eh... kamu beneran kayak gitu?"
"Hahaha.. ya enggak lah, cuma becanda."
"Hemm... Enggak jelas, dasar absurd."
"Biarin, lagian kamu percaya aja."
Tawa Pasha masih terdengar berderai, hanya dengan Karin dia bisa tertawa selepas itu.
"Terus ... aku enggak boleh percaya gitu?" Sungut Karin yang sudah tampak selesai dengan pekerjaanya.
"Aku kan cuma bercanda."
"Iya deh iya."
Karin malas meladeni lebih lanjut lagi. Dia tahu, Pasha hanya sengaja ingin membuatnya marah. Seperti biasa, pria itu sedikit pendendam. Jika ada rasa tidak puas di hatinya, dia akan membalas dan bukannya mengatakannya dengan terus terang dan bicara baik-baik.
***
Sebuah gedung tingkat tiga bergaya minimalis di pusat kota Jakarta dengan logo First Tama Group itu seolah terlihat tak pernah berhenti bekerja sejak tadi malam. Jika mendengar tentang First Tama Group pasti orang-orang akan familiar dengan Start up berbasis aplikasi literasi yang tengah naik daun saat ini.
Tentu saja Pasha tak langsung bisa berada di titik yang tengah yang ia rasakan saat ini. Ia membangun bisnis start up nya mulai dari nol. Pasha sangat mencintai dunia tekhnologi. Idenya bermula saat dia masih kuliah. Saat itu, ia mencoba mengap-load scan cerita komik di micro-bloging miliknya.
Ternyata banyak yang menyukai konten yang di buatnya di micro-bloging tersebut. Dan dari sanalah, Pasha semakin termotivasi untuk mengubah website-nya menjadi konsep yang lebih meluas. Dan baru satu tahun belakangan ini Website-nya telah resmi beralih menjadi jejaring media sosial.
Untuk membangun perusahaannya itu. Pasha tidak sendiri, ada lima temannya yang turut membantu mengembangkan bisnisnya. Dan mereka bekerja hampir tidak ada waktu untuk tidur. Benar apa kata orang, orang yang sukses kadang hanya memiliki sedikit waktu tidur. Namun usaha memang tak pernah menghianati hasil. Pasha berhasil dengan semua usahanya. Meskipun kuliahnya nyaris terbengkalai.
Sekarang Pasha tinggal menikmati hasilnya, menjadi bos dari perusahaannya sendiri. Dia tidak pernah menyangka, kalo respon dari para pengguna aplikasinya sangat positif. Dan kini perusahaanya juga banyak mendapat tawaran kerja sama dari para investor yang terus berdatangan. Sungguh Pasha sedang berada di puncak kejayaannya.
Bahkan sekarang Pasha telah memiliki kurang lebih 60 karyawan dengan berbagai keahlian di bidang progammer yang lantas di pecah lagi menjadi berbagai devisi. Ada tim progammer yang bertanggung jawab di bidang intellegence, yaitu bidang keamanan server. Progammer bidang engine. Juga team kurator yang tugasnya menyeleksi cerita yang akan di upload di platform miliknya tersebut. Karena selain Aplikasi berbasis media sosial, Aplikasi milik Pasha juga di lengkapi fiture literasi atau kepenulisan.
Pasha pun tak hanya berhenti di situ, banyaknya tawaran dari berbagai investor, membuat perusahaannya semakin ingin mengepakkan sayap. Kini ia pun menjalin kerja sama dengan berbagai PH (porduction house) dalam dunia perfilman. Ada proyek besar yang sedang di kerjakan tim nya saat ini. Yaitu menjadi mediator atau wadah untuk mencari para penulis berbakat yang akhirnya nanti naskah yang mereka buat dapat di pilih dan di film kan oleh penyelenggara event yang bersangkutan. Pasha bersiap beranjak dari duduknya karena lima menit lagi meeting akan segera di mulai.
Dan sekarang Pasha tengah berada di sebuah ruangan khusus untuk meeting bersama seluruh karyawannya. "Sejauh ini kerja kalian sangat loyal dan bagus, saya menghargai itu." Pasha tampak memulai pidatonya di hadapan semua karyawan yang tengah menatap ke arahnya saat ini.
"Tapi jangan puas dulu, karena masih banyak proyek lainnya yang sedang menanti, dan kita harus lebih memberikan banyak effort lagi untuk tim kita ini."
Di hadapan para Karyawannya, Pasha terlihat menjadi sosok yang tegas dan berwibawa. Walaupun sebagian dari karyawannya kebanyakan berasal dari teman kampusnya sendiri saat masih kuliah. Tapi ia tak pernah pandang bulu dalam memberikan teguran maupun perintah. Pria itu juga merupakan pria yang sangat ambisius. Prinsip hidupnya adalah, bekerja atau mati. Itu lah yang selalu dia tekan kan dalam hidupnya dalam mengejar impiannya. Harapannya ia bisa melihat dunia seperti apa yang ingin ia lihat.
Ruangan luas dengan puluhan komputer tipis di atas meja itu mendadak riuh dengan tepuk tangan. Pasha mengakhiri pidatonya dan berjalan kembali ke mejanya untuk meneguk air mineral yang sudah tersedia. Bicara selama kurang lebih satu jam membuat tenggorokannya terasa kering dan haus.
Seorang karyawan wanita terlihat mendatanginya. "Maaf pak, saya mau memberikan laporan perekrutan penambahan pegawai bulan ini."
"Yaudah, kamu langsung taruh di meja kerja saya aja, ya. Nanti biar saya bisa cek langsung."
Karyawan wanita itu pun mengangguk paham dan segera berlalu.
Ruangan rapat juga sudah tampak sepi, para karyawan sudah kembali ke meja kerjanya masing-masing.
Di waktu penatnya yang sudah tampak berlalu. Pasha mencoba meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja di ruang rapat. Ada sebuah pesan chat masuk yang membuatnya tak pernah gagal untuk tersenyum.
"Siang, kamu lagi apa? Sudah makan siang belum? Yang semangat Yach kerjanya!"
Padahal hanya sebuah pesan singkat, namun entah mengapa itu sudah mampu membuat hati Pasha gembira. Ia pun segera mengetikkan pesan balasan dengan senyum yang belum lepas dari bibirnya.
"Siang juga sayang, aku lagi pingin ngemil aja nih. Aku selalu semangat kok kalo ada kamu." Di belakangnya di disisipkan emoticon kecupan.
Tak lama terdengar ponselnya kembali bergetar, balasan dari Karin lagi.
"Tumben, ternyata kamu bisa juga jadi alay? wkwkwk. Mau ngemil apa?Aku tadi bikin pisang goreng kesukaan kamu, kamu mau enggak?"
"Mau dong, suapin, aaa..."
"Aaaa... enak enggak?"
"Enak dong...".
"Kalo batu baru enggak enak ya kan? Hihi..."
Karin sengaja menyindir Pasha, ada percakapan mereka yang pernah menyinggung soal batu.
Tawa Pasha sontak meledak. Dengan santai kembali mengetik pesan balasan. "Enak kalo batu di kecapin." Emoticon tertawa di belakangnya.
"Astaga... udahlah, males kalo debat sama kamu, anda sudah pasti pemenangnya." Pasha lagi-lagi terkekeh melihat pesan itu.
"Nanti sore aku mampir, ya, kesana, kangen." Walaupun cuma ketikan, tapi itu seolah terdengar manja dan membuat Karin tersenyum saat membacanya.
"Kapan sih kamu pernah enggak kangen sama aku?"
BERSAMBUNG.
Hari sudah mulai menjelang sore, Karin terlihat sedang bersiap menutup roling dor toko nya yang hanya berukuran 3,5 meter itu.Grek...Hanya dengan satu kali tarikan, roling dor tertutup dengan sempurna. Karin pun segera menguncinya."Mau pergi kemana neng? Malam mingguan ya?" Karin menoleh dan melihat Tante Ria sedang menyiram bunga, Karin yang sudah tampak rapih berdandan, berjalan ke arah rumah tetangganya itu."Iya nih Tante, Tante rajin banget, pagi dan sore pasti nyiram bunga...," Cuping hidung Karin bergerak, seperti mengendus sesuatu. "Masak gulai ya? Baunya sampe sini.""Iya, gulai kambing. Kamu mau?""Wah, kapan sih aku bisa nolak masakan, Tante.""Yaudah nanti Tante sisain.""Makasih Tante." Karin memeluk Tante Ria. Baginya Tante Ria sudah seperti ibunya sendiri. "Sisil udah pulang kuliah belum?"&nb
Malam dengan titik-titik air gerimis yang mulai menempel di kaca jendela mobil membuat udara jadi terasa semakin dingin. Karin mengusap pundaknya demi mengurangi rasa dingin yang kian menyergap.Pasha melirik sekilas ke arah gadis itu. Tak lama ia beringsut menepikan mobilnya. "Pakai ini!" Pria itu melepas jaket yang di kenakannya dan meyerahkannya pada Karin.Gadis di sisinya itu tak langsung menerima dan malah menatapnya tanpa tanya. "Udah pake aja, apa nunggu aku pakaian?" Godanya yang membuat Karin akhirnya terhenyak dan tersadar."Eh... enggak usah, aku enggak apa-apa kok." Tolak Karin sedikit gugup. Wajahnya buru-buru ia palingan menghindari mata Pasha yang terus menatap ke arahnya."Haacuuh... hacuuhh...." Karin bersin dua kali. Pasha tersenyum dan segera menyelimuti Karin dengan jaketnya."Bersin kayak gitu masih bilang enggak apa-apa. Aku tau kamu enggak tahan udara dingin. Jangan sok kuat." Tangan Pasha masih terlihat sibuk membenark
"Ini maksudnya apa?" Sergah Karin kalap saat Pasha baru saja kembali dari luar.Langkah Pasha seketika terhenti di ambang pintu. Matanya terlihat panik saat menatapi lembaran kertas yang di acungkan Karin di udara. "Jangan marah dulu, aku bisa jelasin.""Ini pasti ada hubungannya sama kemarin aku tiba-tiba dapet notif dari penyelenggara event kalo skript aku masuk nominasi 20 besar kan?" Karin berkata dengan menahan setengah amarahnya. "Oh... aku tahu, ternyata ini semua kerjaan kamu kan?" Bahkan matanya sudah mulai berkaca-kaca sekarang.Pasha berjalan mendekat. "Kamu salah paham, aku bisa jelasin." Mencoba menyentuh pipi Karin tapi gadis itu segera menepis dan mundur satu langkah."Kamu mau jelasin apa lagi? Udah jelas ini semua pasti ada hubungannya sama kamu!" Karin berteriak. Pasha segera berbalik menatap ke arah luar ruangan kerjanya. Takut perbincangannya di dengar oleh beberapa karyawan yang sedang lembur malam ini. Ia pun segera mengambil remot
Karin tidak tahu ada di mana. Dia hanya berjalan mengelilingi kota Jakarta, dengan menaiki satu busway ke busway lainnya. Hanya untuk meredakan hatinya yang seolah remuk redam. Ponselnya sengaja ia matikan sejak keluar dari kantor Pasha tadi. Entah sudah berapa orang melihatnya, mungkin mereka berpikir bahwa Karin terlihat seperti orang yang menyedihkan dan mengenaskan. Tepat hampir jam 11 malam, dan merasa sangat kelelahan, Karin akhirnya kembali pulang ke rukonya. Terduduk lemas di lantai dua. Dan baru tersadar kalo seharian ia belum sempat makan apa-apa, hanya sepotong kue dan secangkir teh tadi pagi. Karin melepaskan jaket Pasha yang masih melekat di tubuhnya.Tubuhnya kembali menggigil kedinginan karena sepertinya hujan di luar kembali mengguyur. Ia menatap ke sekeliling rumahnya dengan muram. Cat tembok yang sudah mulai kusam dan mengelupas, tetesan air hujan membuatnya mendongak, atapnya pun sudah mulai bocor. Karin segera beranjak dari duduknya dan mengambil seb
"Aku udah janji buat nganter kamu ke pemakaman orang tua kamu minggu ini." Karin tidak menyangka Pasha masih ingat tentang janjinya itu, dan dirinya sendiri bisa-bisanya malah lupa."Enggak usah, aku masih bisa sendiri." Sahut Karin yang masih belum ingin menurunkan ego-nya."Enggak bisa gitu dong. Kamu sendiri yang bilang minta di temenin. Aku udah terlanjur kosongin semua jadwal ku hari ini." Karin terdiam, dia tahu dia tak mungkin menang berdebat dengan Pasha jika harus menyangkut soal prinsip. Sadar bahwa akan terasa percuma beradu argument dengan pria itu. Akhirnya Karin terpaksa menurut.***Sudah hampir setengah jam Pasha menunggu Karin di ruang tengah. Dia kikuk tidak tahu harus melakukan apa. Biasanya jika Karin terlalu lama di kamar, dia akan menghampiri gadis itu dan mencoba untuk memperingatkan agar melakukan segala hal dengan cepat. Karena waktu setiap detiknya adalah hal yang berharga. Namun kali ini tidak, ada suatu hal yang menghalan
Bukannya melajukan mobilnya ke jalan pulang. Pasha malah mengarahkan kendaraanya ke daerah setu babakan. Karin yang sejak tadi diam, sontak bertanya. "Ngapain kesini? Katanya kamu tadi buru-buru karena ada meeting dadakan.""Aku mau ngajak kamu makan disini. Biarin lah, kan aku bos-nya." Karin seketika memutar bola mata malas ketika Pasha bicara demikian sambil cengengesan."Aku pingin makan di rumah aja.""Udah terlanjur kesini, ya harus temenin aku makan lah.""Idih ... pasti maksa.""Biarin, kamu sebenernya suka, kan?"Pasha tersenyum karena merasa menang dan membuat Karin mau menuruti keinginannya lagi.Pasha memarkirkan kendaraan dan segera turun. Dengan sangat terpaksa Karin turut mengekor di belakangnya. Sebenarnya Karin benci tempat ini. Karena itu akan mengingatkannya pada seseorang. Cowok dari masa lalu yang membuat tikaman te
Karin membuka pesan di ponselnya sesampainya di rumah. Seperti ada yang kurang. Tak ada satupun notif pesan dari Pasha. Bahkan bekas chat dirinya dan Pasha sudah bersih semua. Dan lebih parahnya lagi. Pria itu memblokir semua akun sosial medianya. Dan hanya ada satu pesan tersisa di What sapp. Sepertinya itu pesan terakhir sebelum akun-nya benar-benar di block."Aku seorang yang kejam soal perasaan. Aku pikir selama lima bulan ini cukup untuk aku bersabar. Menghadapi sikap egois kamu, moody-an kamu. Tapi kali ini tidak lagi. Terserah kalo kamu enggak bisa percaya sama aku lagi. Terserah kalo mau anggep aku cowok playboy atau apalah. Aku udah enggak peduli. Aku cuma mau bilang sama kamu. Kalo cara kamu kayak gitu terus. Selamanya kamu akan tetap sendirian. Udah, itu aja. Nanti kalo pun kita enggak sengaja ketemu di jalan. Aku juga akan pura-pura enggak kenal sama kamu. Dan jangan salahin aku kalo aku beneran lupain kamu, mungkin saat itu aku udah sama yang lain. Sel
Raut wajah muram Pasha, cukup membuat ketegangan di kantor First Tama Group sejak tiga hari berturut-turut. Para karyawan terlihat saling berbisik satu sama lain, saling bertanya, apa yang membuat wajah bos-nya itu kusut seperti baju belum di setrika. "Mungkin aja, dia baru putus dari pacarnya," tebak salah satu karyawannya, Indah. "Tahu kan cewek yang pernah di ajak ke kantor malem-malem waktu itu?" Ucapnya lagi berusaha mengumpulkan teka-teki."Yang mana? Mbak Andrea?"Sahut Yeni makin kepo. Andrea adalah wanita yang bisa di bilang paling dekat dengan Pasha beberapa tahun terakhir ini. Tapi tidak ada yang tahu kejelasan status mereka itu sebenarnya apa.Bobi tiba-tiba muncul dari arah belakang Yeni dan memukul puncak kepala wanita itu menggunakan gulungan kertas. "Awh!""Gosip mulu pagi-pagi. Udah sono lanjut kerja.""Ih, apaan sih, dasar tukang nguping," dengus Yeni."Gue enggak nguping, tapi suara Lo udah kayak toak sampe kedengeran
Waktu terus bergulir, tak terasa sudah hampir tiga bulan Karin tak lagi mendengar kabar berita tentang Pasha, hati nya kini jauh lebih kuat dari yang ia duga, perasaanya pada cowok itu nyaris memudar meski belum sepenuh nya. Entah kenapa, ada setitik perasaan yang membuat Karin benar-benar rela menghilangkan nama itu dalam hati nya, apakah ini cinta?Entahlah, Karin tak pernah yakin akan hal itu, yang Karin tahu, dirinya dan Pasha jauh sangat berbeda, perbedaan kasta di antara keduanya bagai langit dan bumi, dan itu selalu menghalangi Karin untuk menerima perasaan yang sebenar nya, bayangan kekecewaan lebih dulu menghantuinya sebelum kata cinta itu terucap, Karin tidak tahu, harus berapa lama lagi dia memendam semua nya sendirian, meski kadang Pasha sudah berulang kali meyakinkan cinta nya terhadap nya, tapi bagi Karin semua itu tidak lah cukup untuk membunuh semua keraguan nya, rasa takut akan kekecewaan lebih besar menguasai diri nya.Sebenar nya ketakuta
Karin memandangi ponsel nya, dua hari yang lalu dia mencoba untuk pindah plat form kepenulisan, sudah beberapa bulan terakhir ini dia tidak mendapatkan kontrak eksklusif dimanapun. Entah apa yang terjadi, rasa nya Karin ingin menyerah saja, namun jika melihat kembali tekad nya, mimpi-mimpi nya, tentang keinginan untuk bisa berdiri sendiri di atas kaki nya, Karin tentu saja belum ingin menyerah. Di sisa semangat nya, Karin mencoba menulis lagi di plat form lain, berharap ada titik terang. Ting! Terdengar satu pesan masuk dari WA nya. Karin buru-buru pindah ke aplikasi tersebut untuk menilik siapa si pengirim pesan. "Kak Marvel?" Pekik nya lirih. Ya... Dia adalah editor baru Karin, dan kebetulan dia juga editor baru, sebelum nya Karin di bawah asuhan Kak Siska, namun karena anak asuh kak Siska sudah overload, naskah synopsis yang sudah Karin kirim di pindah alih pada Kak Marvel. "Oh iya, Karin, coba deh kamu cek email kamu, saya sudah coba k
Begitu sampai di apartement nya, Pasha sudah di sambut dengan kehadiran Andrea yang tiba-tiba sudah muncul di depan pintu apartement nya. Entah sudah beberapa lama wanita itu berdiri di sana, yang jelas saat ini sudah hampir lewat tengah malam. Pasha paham betul diapa Andrea, orang yang suka nekad. Sudah beberapa hari ini Pasha sengaja menghindari wanita itu. Dan ini puncak nya, saat pria itu terasa tak bisa di hubungi, Andrea akan nekad mendatangi nya.Pasha mengalihkan pandangan nya ke segala arah, tadi nya ingin pergi menghindar saja, namun mata Andrea sudah mengunci nya, sekarang ia terpaksa harus menghadapi wanita itu."Kamu kemana aja?" Andrea menyilang kan tangan nya ke dada, menarik napas, mencoba menahan emosi nya."Sibuk.""Sibuk apa? Sibuk sama cewek kampung itu?" Tuduh Andrea yang kini tak bisa menahan kemarahan yang sudah berusaha ia redam beberapa hari ini."Kalau iya, kamu mau apa?" Pasha paling tidak suka dengan orang yang bicara dengan
Berbagi cerita dengan ibu nya setiap malam, adalah hal yang paling Karin tunggu, dia sangat merindukan ibu nya, berharap, saat ia bangun pagi, dia mencium aroma masakan dan menemukan ibu nya ada di dapur, namun kenyataan perih seakan menghantam nya. Dia tidak akan menemui saat-saat seperti itu lagi, semua hanya tinggal kenangan, dan yang tersisa hanya kesedihan. Karin sedih, ia merasa sangat sendirian.Demi melegakan hati nya yang tiba-tiba terasa sesak, ia berjalan ke arah jendela, membukanya dan sengaja membiarkan angin malam membelai wajah nya. Kini, tatapannya sendu menatap langit tanpa bintang. Selama ini, Karin sudah cukup menahan rasa sakit dan kesepian, kadang ia tak ingin memikirkannya, namun saat malam tiba, seperti malam-malam sebelum nya, semua kenangan indah bersama kedua orang tua nya, diam-diam menyusup ke dalam ruang hati nya yang hampa, dan di saat seperti itu lah, Karin baru menyadari, betapa kesepian dan menyedih kan nya hidup nya.Suara mo
Alunan musik memenuhi ruang kantor Pasha. Cowok itu duduk bersandar di singgasananya dengan mata terpejam, mencoba menikmati setiap alunan musik yang mengalun merdu di telinga nya. Ia sedang butuh inspirasi untuk fitur baru sosial media nya. Sekarang ia sedang mendengarkan musik anime, musik kesukaan Karin. Entah kenapa, gadis itu seolah terus saja memenuhi kepalanya, juga ruang di hati nya. Dulu, ia enggan jika harus mengikuti hobi orang lain, tapi Karin, sedikit demi sedikit bisa mempengaruhinya, bahkan dia sampai mau mendengarkan musik yang menurutnya sama sekali bukan seleranya. Ternyata lagu anime yang ia dengarkan, sungguh enak di dengar. Mengingat kan semua kenangannya saat bersama Karin."Tumben banget si bos setel musik lagu jepang." Celetuk Indah yang baru saja keluar dari ruangan Pasha sehabis mengantar laporan."Masa' sih? Tumben, biasanya kan si bos paling anti lagu-lagu selain indonesia, dia pokok nya paling anti kalau bukan yang berbau Indone
"Aku enggak apa-apa kok," kata nya dengan suara parau."Jangan bohong deh, kak. Jrlas-jelas Lo nangis, cerita aja, ada apa?"Mendengar Sisil bicara demikian, Karin merasa tidak tahan dan akhir nya tangis nya pun pecah. Sisil pun segera menarik nya dalam pelukan nya. "Pasti gara-gara kak Pasha lagi, ya? Sabar ya, kak? Kan Lo udah putusin buat move on, jadi Lo enggak boleh lemah dong!" Bujuk Sisi lagi sembari mengusap rambut Karin lembut.Karin hanya mengangguk dan terus terisak, "bukan salah dia kok, Sisil, kayak nya emang aku nya aja yang bodoh, aku nya yang enggak ngaca dan enggak tahu diri. Harus nya aku tahu diri dari awal, dia siapa, aku siapa. Aku jelas enggak pantas buat dia, terbukti kan, dia balikan lagi sama mantan nya yang menurut dia sepadan sama dia."Sisil melepas pelukannya, dan mengusap air mata Karin yang masih bercucuran, "hush... Kakak enggak boleh ngomong gitu, kakak enggak boleh ngerendahin diri kakak sendiri. Kita sama-sama manu
Pasha kembali ke kantor dengan mood nyaris berantakan. Apa yang baru saja ia katakan pada Andrea? Sesaat ia merasa menyesali keputusannya. Menurutnya ia terlalu tergesa-gesa dalam memutuskan sesuatu, bagaiman ini? Bukannya mengurangi beban masalah, dadanya seolah bertambah sesak karena menambah masalah baru. Salah sendiri kenapa mengambil keputusan dalam keadaan hati yang kacau.Bunyi ponsel yang berdering membuyarkan lamunannya saat hendak memasuki ruang kerjanya. Pasha segera meraih benda kotak pipih tersebut dari saku kemeja hitamnya. Satu panggilan tak terjawab dari sahabatnya-Hisyam terpampang di layar. Pasha mendengus, tiba-tiba dadanya terasa bergemuruh, bukan karena tak sempat mengangkat teleponnya. Namun karena ada foto Karin yang sedang tersenyum menghiasi layar. Padahal sudah dua bulan berlalu, tapi Pasha belum ingin mengganti foto itu. Entahlah.Tak lama ponselnya kembali berdering."Halo...." Sapa nya pada orang di seberang sana setelah berhasil
Aroma kopi memenuhi Indra penciuman Pasha ketika ia memasuki kedai kopi langganannya yang letaknya tak jauh dari gedung kantor. Biasanya ia meminta Indah yang memesan, tapi kali ini Pasha ingin pergi keluar, menghirup udara segar. "Mas, ekspresso satu.""Eskpresso? Pasti anda seorang pekerja keras."Pasha tersenyum, tidak menggubris barista yang mencoba mengajaknya bicara, ia lebih memilih duduk di salah satu kursi. Dia pernah membaca sebuah artikel jika karakter seseorang bisa di lihat dari jenis kopi kesukaannya. Misalnya orang yang menyukai capucinno adalah orang yang suka bersosialisasi, penggemar kopi latte adalah orang yang suka memberi perhatian, atau ekspresso yang identik dengan seorang pekerja keras karena memiliki rasa yang pahit dan tajam, sehingga membuat tubuh bisa terjaga instan."Hai, Pasha?" Sebuah suara membuat Pasha mendongak, seorang wanita dengan rambut lurus sebahu menarik kursi dan duduk di hadapannya sebelum sempat di persi
Waktu adalah hal terkejam, kadang bisa menyerupai iblis yang tak memiliki belas kasihan. Berlalu begitu saja tanpa peduli pada orang-orang yang memintanya untuk berhenti bergerak. Dia bisa mengambil semua orang tersayang tanpa memberi peringatan, tanpa firasat, hingga satu-satunya yang tersisa hanyalah kenangan. Namun, waktu juga bisa menjadi perawat luka yang bisa menyembuhkan. Membantu berpijak, sedikit demi sedikit, hingga mampu kembali berdiri tegak. Seperti hal nya Karin, ia sedang berusaha menata hidupnya kembali.Ternyata, kehilangan Pasha bukan hal sepele dalam hidupnya. Bayangan pria itu seolah masih saja mengikutinya kemanapun ia pergi. Menghilangkan kebiasaan lama bukanlah perkara mudah. Kadang Karin masih sering terbangun di tengah malam, hanya untuk mengecek ponsel, berharap ada telepon masuk, atau hanya sekedar pesan chat untuk berbagi cerita. Dia juga kadang masih ingin mengirim pesan, hanya untuk mengingatkan makan siang. Karena Pasha adalah tipe wo