Keesokan harinya, Valerie bangun dari kasurnya dan langsung menuju cermin. Dia memperhatikan lehernya dan memastikan tidak ada tanda aneh di sana.
“Untunglah bisa hilang dengan cepat,” ujar Valerie.Semalam setelah kejadian itu, Valerie mencoba untuk membersihkan lehernya dengan menggunakan segala skincare yang dia miliki. Untung saja usahanya tidak sia-sia.Pagi itu Valerie tidak ingin lagi berlama-lama. Setelah dia siap dengan pakaian kantornya, Valerie langsung bergegas menuju dapur. Dia sengaja turun lebih awal untuk menyiapkan sarapannya.“Apa nyonya membutuhkan sesuatu? Bibi akan membuatnya,” ucap Bibi yang melihat Valerie sudah berada di dapur.“Jangan Bi, saya masak sendiri saja,” balas Valerie.Ketika Sean keluar dari kamarnya, dia menatap ke arah jalan menuju kamar Valerie. Sean tidak mungkin menyapa lagi pagi ini.“Apa dia sudah berangkat?” ujar SeaKetika Putra masih sibuk di meja kerjanya, tiba-tiba saat itu Sean berjalan keluar. Melihat hal itu Putra lantas bangun dari posisinya.“Ada apa, bos?” tanya Putra.“Tinjau lokasi. Bukankah sudah waktunya?” ucap Sean.Putra memeriksa arloji yang sedang dia kenakan dan menyadari bahwa ucapan Sean memang benar. Mereka memiliki jadwal untuk memeriksa sebuah tempat hari ini.Tetapi tanpa menunggu Putra bersiap, Sean langsung pergi begitu saja. Akhirnya Putra bergegas dan segera mengikuti pria itu.Di sisi lain, saat itu Valerie sedang berada di mal bersama dengan Clara dan Aldo. Mereka sengaja datang untuk memeriksa produk yang sedang dipasarkan, sembari memantau penjualannya.“Snack ini enak. Aku sudah menduga ini akan laku di pasaran,” ujar Clara.“Aishh gayamu,” balas Valerie yang ternyata sedang berada di dekat Clara saat itu.Menyadari bahwa Valeri
Begitu mereka selesai berbelanja, Aldo langsung mendorong troli itu ke arah parkiran. Siang tadi mereka bertiga berangkat bersama dari kantor dengan menggunakan mobil Valerie, karena Aldo dan Clara yang kompak tidak membawa mobil hari ini. “Lihat dia. Sudah seperti bapak-bapak saja,” ucap Clara yang melihat Aldo begitu telaten mengatur semua barang belanjaan mereka tadi di bagasi. Mendengar itu, Valerie lantas mengangguk setuju. “Dia masih sangat muda, tapi sudah mengerti tanggung jawab,” kata Valerie. Valerie tidak mengerti alasan mengapa Sean memiliki hubungan yang buruk dengan sepupunya itu. Padahal sejauh yang Valerie ketahui, Aldo adalah sosok pemuda yang baik. Dia selalu menanyakan kabar orang tuanya, dan tidak lupa menyapa orang tua Sean ketika berada di kantor. Tanpa sadar, saat itu Aldo sudah selesai dengan kegiatannya. Dia memberikan troli itu kepada petugas dan tidak lupa mengucapkan terimakasih. Mereka sudah berencana untuk makan di restoran yang ada di dekat pusat pe
Saat dimana Valerie sedang duduk berdua bersama dengan Aldo sembari tertawa lepas, saat itu Sean juga berada di tempat yang sama. Sean dan Putra baru saja tiba dan akan singgah untuk makan sebentar, sebelum Putra melihat bahwa ada Valerie dan Aldo yang sedang berduaan di sana. Melihat hal itu, Putra lantas mengunci pintu mobil mereka. Dia tidak mungkin membiarkan Sean turun sekarang. Tidak disaat seperti ini. “Apa ini?” ucap Sean dengan nada yang terlewat datar ketika dia menyadari bahwa pintu mobil itu masih belum dibuka kuncinya. Sean tidak memiliki banyak kesabaran, dan dia tidak punya waktu untuk bercanda. Waktunya benar-benar berharga. Tetapi meski tahu bahwa dia sudah membuat Sean kesal, Putra tetap saja tidak bergerak. Dia sedang mencari cara agar Sean mau merubah tempat makan mereka. “Bagaimana jika makan di tempat lain?” ujar Putra mengusulkan. Mendengar itu, Sean sama sekali tidak memberikan respon apapun. Dia hanya menghela napas kesal sembari menatap Putra dengan taj
Keesokan harinya, Sean turun lebih cepat dari biasanya. Dia sudah menanyakan tentang keberadaan Valerie, dan pelayan mengatakan bahwa Valerie sudah berada di meja makan saat ini. Jika tebakan Sean benar, maka Valerie akan memasak untuk dirinya sendiri sama seperti hari kemarin. Dia seolah tidak ingin berbagi makanan yang sama dengan Sean. Begitu Sean sampai di ruang makan, dia mendapati Valerie yang baru saja datang dengan membawa secangkir minuman dari arah dapur. Sean menatap Valerie meski wanita itu tidak balas menatapnya. “Kamu masih tidak ingin berbicara?” ujar Sean. Sean terus saja berdiri sejak tadi meskipun pelayan sudah menarik kursi untuk dia duduki. Sean hanya memberikan perintah dengan tangannya dan pelayan langsung undur diri dari sana. Valerie sekali tidak peduli dengan pria itu dan semua perkataannya. Dia hanya memotong roti lapis miliknya dan menyantapnya dengan perlahan. Melihat Semua itu, Sean akhir duduk sejenak. Dia berusaha untuk menahan diri sejak tadi, kar
Kini Putra dan Sean sedang berada di parkiran, tetapi mobil mereka belum juga berangkat sejak tadi. Padahal Putra sudah bersiap untuk pergi dan hanya menunggu perintah Sean saja. “Apa ada sesuatu yang tertinggal?” tanya Putra perlahan. Di bagian bangku penumpang, Putra bisa melihat Sean yang sedang duduk seraya memijat pelipisnya perlahan. Dia seperti seseorang yang sedang memiliki banyak beban pikiran, hingga kesulitan untuk berpikir. Karena melihat gelagat Sean yang seperti itu, Putra kembali terdiam dan tidak lagi melanjutkan kalimatnya. Melihatnya saja sudah membuat Putra pening, apalagi jika dia mengalami semuanya sendiri. Ketika Putra masih menunggu dengan diam, saat itu Sean akhirnya mulai membuka suara, “Kamu punya nomor telepon Valerie?” tanya Sean. Putra yang kaget karena tidak menduga bahwa Sean akan berbicara saat itupun lantas berbalik dan menatap ke arah bangku penumpang. “Aku punya,” balas Putra. Awalnya Sean tampak ragu, tetapi kali ini dia kembali meneruskan kali
Karena hubungan Sean dan Valerie tidak kunjung membaik, akhirnya semua itu sangat membebani Sean. Beberapa hari terakhir ini, dia tidak lagi menyantap makanan apapun dan tempramennya menjadi semakin buruk. Seperti hari ini ketika Sean tiba di kantor, tatapan menjadi sangat dingin sehingga setiap karyawan yang hendak menyapa hanya bisa membungkuk dengan sopan. Sama sekali tidak ada yang berani untuk mengeluarkan suara. Ketika Sean tiba di depan meja resepsionis, dia hanya mendapatkan seorang karyawan di sana. Melihat hal itu, Sean lantas berhenti. “Di mana karyawan lain?” ujar Sean. Resepsionis yang awalnya membungkuk itupun lantas melihat Sean sejenak, tetapi tidak sanggup menatap wajahya. “Mohon maaf pak, sepertinya masih dalam perjalanan,” jawab resepsionis itu. Hilang sudah ketentraman pagi itu. Sean benar-benar menunjukkan aura gelap yang membuat semua orang ketakutan. Mereka tidak berani bergerak sedikitpun. “Katakan padanya tidak perlu datang hari ini,” kata Sean. Putra
“Silahkan,” ucap Sean lagi. Pria itu menyodorkan tangannya seolah menunggu Valerie untuk memasangkan cincin itu di jarinya. Karena sudah mengerti dan tidak ingin lagi menanyakan apapun, Valerie langsung mengeluarkan cincin itu dari kotaknya, dan memasangnya di jari manis Sean. “Sudah,” ujar Valerie singkat. Karena Valerie sudah melakukan tugasnya sesuai keinginan Sean, dia menduga bahwa Sean akan melepaskan dirinya dan membiarkannya pergi setelah itu. Jadi tanpa menunggu lagi, Valerie lantas hendak beranjak. “Masih belum selesai,” kata Sean. Mendengar hal itu, Valerie hanya bisa menatapnya dengan tatapan seolah bertanya. “Ada apa lagi?” tanya Valerie. Tetapi bukannya menjawab, Sean malah kembali menggenggam tangan Valerie dan mengajaknya pergi lagi. Kali ini, mereka pergi menuju kamar tidur Valerie. “Apa yang akan kamu lakukan?” tanya Valerie begitu Sean membuka pintu kamar tidurnya. Karena memerlukan bantuan Valerie, Sean lantas menjawab, “Kamu juga harus memakai cincin milik
Beberapa hari kemudian setelah kejadian cincin pernikahan waktu itu, sejak itu Sean menjadi semakin sibuk di kantor. Jika sebelumnya Valerie yang pulang larut kerena disibukan dengan urusan pekerjaan, maka kali ini giliran Sean.Jika Sean pulang selepas waktu makan malam, dia juga akan terus bekerja di ruangan kerjanya yang berada di rumah. Dia tampaknya sudah kembali menjadi Sean yang gila kerja sekarang. Dia juga tidak lagi mengganggu Valerie, dan sepertinya itulah yang Valerie inginkan.Pagi itu ketika Sean berangkat ke kantor, dia merasa ada yang salah dengan tubuhnya. Entah mengapa dia merasa lemas hari ini. Ketika mobilnya sampai di parkiran, bertepatan dengan itu Putra juga baru saja tiba.Melihat Sean yang baru saja turun dari mobilnya, Putra lantas bergegas untuk menyapa, “Selamat pagi, bos!” sapa Putra dengan bersemangat.Tetapi begitu Putra memperhatikan wajah Sean, dia menjadi kebingungan. Masalahnya, Sean tampak se