Karena Nana yang tidak kunjung datang, Valerie akhirnya menjadi penasaran. Dia tidak berpikir bahwa Nana sedang melakukan pembahasan bisnis melalui ponselnya.
“Apa yang sedang dilakukan Nana?” ujar Valerie.Setelah menunggu selama beberapa saat dan dia sudah semakin merasa penasaran, Valerie akhirnya memutuskan untuk menelpon asistennya itu, “Kenapa tidak diangkat?” ucap Valerie.Ketika Valerie menatap sekeliling dan mencoba mencari keberadaan Nana, saat itu tatapannya tanpa sengaja menemukan sesuatu.“Ahh, dia membuatku kaget saja,” batin Valerie.Saat itu, dia menyadari bahwa tidak jauh dari tempat duduknya, di sana terdapat Sean dengan tatapan tajam yang menatapnya tanpa berkedip sama sekali. Valerie juga bisa melihat keberadaan Putra yang kini mencoba melambaikan tangan ke arahnya.Akhirnya Valerie beranjak dari duduknya, dan di saat yang sama Nana menjawab panggilan teleponnya.Malam itu, Valerie kembali dari kantor tepat waktu dan menyempatkan untuk membeli beberapa barang di supermarket terdekat. Dia berencana untuk memasak makan malam dan sudah menanyai Bi Tina terlebih dulu. “Santan sudah, jeruk..” Valerie memperhatikan bahan makanan yang telah dia ambil seraya mencari bahan lain yang dia perlukan. Sebenarnya dia bisa saja membiarkan para asisten rumah Sean untuk menyiapkan makan malam, itulah yang selalu mereka lakukan. Hanya saja dia merasa harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga meskipun ada yang membantunya. Alasan lainnya karena dia sudah terbiasa mengerjakan semuanya seorang diri. Dia jadi tidak bisa jika hanya berdiam diri di rumah. “Baiklah, sekarang bagian seafood,” ujar Valerie. Setelah menyelesaikan belanjaan miliknya, Valerie segera bergegas kembali ke rumah. Dia juga akan memerlukan waktu untuk menyiapkan makan malam. Ketika Valerie dalam perjalanan kembali itupun, dia mulai memikirkan sesuatu. Dia tidak tahu apakah Sean akan beranjak
Sean sudah menunggu di kamarnya sejak tadi, dan dia bahkan belum mengganti pakaiannya. Dia hanya melepaskan jasnya dan menggulung lengan kemeja yang dia kenakan hingga siku. Pria itu hanya ingin melihat apakah Valerie datang menemui dirinya atau tidak. “Bagaimana jika dia tidak datang?” ujar Sean. Pria itu berjalan ke sana kemari seraya berkacak pinggang. Dia mulai berfikir andai saja dia mengatakan dengan jelas tadi bahwa dia ingin Valerie menemui dirinya. Anggap saja Sean menyesali perkataannya yang tidak bisa bersikap jujur barusan. “Tidak, dia pasti akan senang jika tahu aku memanggilnya,” kata Sean. Sepertinya pria itu sedang frustasi sekarang. Dia ingin melihat wajah Valerie tetapi tidak ingin mengatakan bahwa dia mencarinya. Bukankah seorang istri seharusnya mendatangi suaminya ketika dia pulang kerja tanpa harus diminta? Itulah yang sedang Sean pikirkan. Masalahnya, dia menyadari bahwa semua itu hanya bisa dilakukan oleh pasangan suami istri yang saling mencintai. Dia da
Keesokan harinya, Valerie kembali menjalani rutinitasnya seperti biasa. Dia hanya perlu berangkat ke kantor sehingga tidak akan berdiam diri di rumah pada waktu kerja. Dia memeriksa tas tangannya dan memastikan tidak ada barang yang dia lupakan. “Dompet sudah, ponsel juga sudah, apa lagi yang kurang?” ujar Valerie. Baru saja dia selesai mengatakan itu, kini sebuah kartu secara tiba-tiba terulur di depannya. Tampaknya itu adalah kartu kredit. “Itu bukan punyaku,” ucap Valerie. Hanya itu yang Valerie katakan, sehingga dia langsung berjalan kembali tanpa menunggu lebih lama. Tetapi baru dua langkah dia berjalan, Sean sudah kembali menghentikannya. “Ini untukmu,” kata Sean. Pria itu kembali mengulurkan kartu yang kini Valerie sadari tidak hanya satu, tapi tiga. Valerie tidak mengatakan apapun dan hanya menatap Sean seolah berkata bahwa dia harus segera berangkat ke kantor, jadi dia tidak ingin dihadang lebih lama lagi. “Ambilah, ini bukan seperti saya menyuapmu,” kata Sean lagi. Se
Ternyata masalah Sean tidak hanya berakhir di kantor. Sepulangnya pria itu dari kantor, dia langsung mencari keberadaan Valerie. Tetapi harapannya untuk bertemu dengan Istrinya itu kembali pupus, karena Sean sama sekali tidak mendapati mobil Valerie yang terparkir di halaman. “Di mana Istri saya?” tanya Sean. Entah sopir pribadinya yang salah mendengar, atau Sean memang menyebut nyonya rumah mereka sebagai istrinya hari ini. Tampaknya itu adalah kemajuan yang besar. “Maaf, Tuan. Nyonya masih belum kembali,” jawab sopirnya. Sean kembali menghela napas kasar untuk kesekian kalinya hari ini. Dia sama sekali tidak bisa mengendalikan moodnya. Karena Valerie masih belum berada di rumah, Sean jadi tidak bisa melakukan apapun lagi. Dia akhirnya bergegas masuk dan langsung menuju kamar tidurnya yang berada di lantai dua. “Argghh, saya seharusnya minta maaf,” teriak Sean. Kamar dengan pendingin ruangan yang menyala itupun terasa begitu panas ketika Sean memasukinya. Padahal sebelumnya su
Dua hari berlalu tetapi hubungan Sean dan Valerie masih datar seperti hari kemarin. Mereka masih tidak saling berbincang satu sama lain. Bahkan dua hari terakhir ini, Sean sama sekali tidak mendapati Valerie ketika dia hendak berangkat ke kantor. Satu waktu Valerie akan berangkat lebih cepat, atau dia akan menyempatkan diri untuk sarapan. Jika sudah menyangkut sarapan, maka bisa ditebak bahwa Sean tidak akan dengan mudah ikut serta. Sebenarnya bukan Valerie yang tidak ingin menyapa. Wanita itu hanya berpikir bahwa Sean memang tidak ingin diganggu olehnya. Mereka juga seharusnya tidak mencampuri urusan satu sama lain. Jadi bersikap tidak peduli adalah keputusan yang tepat. Siang itu, Valerie sedang berada di sebuah restoran bersama dengan asisten pribadinya. Mereka juga tidak hanya berdua di sana, karena ada klien yang juga bersama mereka. Hari-hari Valerie akan sibuk dengan melakukan pertemuan seperti itu. “Bagaimana jika ditambahkan beberapa hal seperti..” ujar klien mereka yang
Sean duduk dengan tidak tenang dan terus saja menatap ke arah meja di seberang. Di sana, Valerie sedang bersama dengan asistennya dan seorang klien. Mereka tampaknya melakukan banyak perbincangan. Sejak tadi, Sean masih tidak tenang dan sama sekali tidak menyentuh minumannya. Padahal saat itu, Putra sudah selesai dengan makan siangnya. Melihat atasannya yang tidak bisa tenang sejak tadi, membuat Putra akhirnya bertanya sekali lagi. “Apa anda sudah ingin makan?” tanya Putra dengan bahasa yang formal. “Bukankah anda ingin udang saus pedas?” tanya Putra lagi ketika Sean sama sekali tidak memberikan jawaban atas pertanyaan yang dia ajukan. Mendengar menu udang saus pedas, Sean menjadi semakin kesal. “Bisakah kamu berhenti dengan udang saus pedas?” ucap Sean. “Saya tidak ingin makan siang,” sambungnya lagi. Sudah Putra tebak jika ada sesuatu yang salah dengan menu itu. Tetapi dia masih tidak mengerti apa yang salah dengan menu seenak itu. Jika saja tadi Valerie melanjutkan kalimatnya
Begitu Sean selesai dengan pekerjaan kantornya, dia lantas bergegas kembali ke rumah. Sudah cukup dia menahan dirinya sejak tadi. Dia sadar bahwa tidak ada gunanya memendam sesuatu, karena akhirnya hanya dia yang akan menyesal.Jika biasanya dia akan membiarkan Putra menyetir, maka kali ini tidak lagi. Dia sendiri yang mengemudikan mobilnya kali ini.“Hati-hati, boss,” ucap Putra begitu Sean mengambil alih mobilnya.Satu hal yang Putra ketahui saat itu, bahwa Sean sedang berusaha agar dia bisa menjelaskan semuanya pada Valerie secepat mungkin.“Entah kapan aku akan menjadi posesif seperti itu,” batin Putra.Sebenarnya kisah cinta Putra dan Sean tidak jauh berbeda. Hanya saja, Sean sudah lebih dulu menemukan sosok pendamping hidup dibanding Putra. Bahkan hingga saat ini, Putra masih belum bertemu dengan jodohnya.Jika di satu sisi Sean sedang menuju ke rumah mereka, maka di sisi lain ada Valerie
Begitu Valerie tiba di rumah Sean, dia tidak lantas bergegas masuk. Dia mematikan mobilnya dan duduk sebentar di sana. Pemandangan rumah Sean sangatlah mewah, dengan banyak lampu yang membuatnya semakin bercahaya.Tetapi siapa yang bisa menduga bahwa rumah seindah itu ternyata tidak seindah kehidupan pemiliknya. Rasanya begitu datar dan nyaris tidak ada yang berbeda bahkan setelah mereka menikah. Mungkin itulah yang selama ini Sean rasakan, kesepian.“Kenapa aku malah merasa kasihan?” ujar Valerie.Bukan, Valerie bukannya merasa kasihan pada Sean. Dia justru merasa kasihan pada rumah itu dan semua orang yang tidak merasa bahagia karena hidup di dalamnya. Dia tahu bahwa mereka seharusnya bisa memiliki kehidupan yang lebih berharga dibanding hanya melayani Sean dengan segala kebutuhannya.“Oh ayolah. Rumah ini tidak akan menjadi tempatku selamanya,” kata Valerie.Sebenarnya dia hanya ingin mengamati kehidup