Keesokan harinya, Valerie kembali menjalani rutinitasnya seperti biasa. Dia hanya perlu berangkat ke kantor sehingga tidak akan berdiam diri di rumah pada waktu kerja. Dia memeriksa tas tangannya dan memastikan tidak ada barang yang dia lupakan. “Dompet sudah, ponsel juga sudah, apa lagi yang kurang?” ujar Valerie. Baru saja dia selesai mengatakan itu, kini sebuah kartu secara tiba-tiba terulur di depannya. Tampaknya itu adalah kartu kredit. “Itu bukan punyaku,” ucap Valerie. Hanya itu yang Valerie katakan, sehingga dia langsung berjalan kembali tanpa menunggu lebih lama. Tetapi baru dua langkah dia berjalan, Sean sudah kembali menghentikannya. “Ini untukmu,” kata Sean. Pria itu kembali mengulurkan kartu yang kini Valerie sadari tidak hanya satu, tapi tiga. Valerie tidak mengatakan apapun dan hanya menatap Sean seolah berkata bahwa dia harus segera berangkat ke kantor, jadi dia tidak ingin dihadang lebih lama lagi. “Ambilah, ini bukan seperti saya menyuapmu,” kata Sean lagi. Se
Ternyata masalah Sean tidak hanya berakhir di kantor. Sepulangnya pria itu dari kantor, dia langsung mencari keberadaan Valerie. Tetapi harapannya untuk bertemu dengan Istrinya itu kembali pupus, karena Sean sama sekali tidak mendapati mobil Valerie yang terparkir di halaman. “Di mana Istri saya?” tanya Sean. Entah sopir pribadinya yang salah mendengar, atau Sean memang menyebut nyonya rumah mereka sebagai istrinya hari ini. Tampaknya itu adalah kemajuan yang besar. “Maaf, Tuan. Nyonya masih belum kembali,” jawab sopirnya. Sean kembali menghela napas kasar untuk kesekian kalinya hari ini. Dia sama sekali tidak bisa mengendalikan moodnya. Karena Valerie masih belum berada di rumah, Sean jadi tidak bisa melakukan apapun lagi. Dia akhirnya bergegas masuk dan langsung menuju kamar tidurnya yang berada di lantai dua. “Argghh, saya seharusnya minta maaf,” teriak Sean. Kamar dengan pendingin ruangan yang menyala itupun terasa begitu panas ketika Sean memasukinya. Padahal sebelumnya su
Dua hari berlalu tetapi hubungan Sean dan Valerie masih datar seperti hari kemarin. Mereka masih tidak saling berbincang satu sama lain. Bahkan dua hari terakhir ini, Sean sama sekali tidak mendapati Valerie ketika dia hendak berangkat ke kantor. Satu waktu Valerie akan berangkat lebih cepat, atau dia akan menyempatkan diri untuk sarapan. Jika sudah menyangkut sarapan, maka bisa ditebak bahwa Sean tidak akan dengan mudah ikut serta. Sebenarnya bukan Valerie yang tidak ingin menyapa. Wanita itu hanya berpikir bahwa Sean memang tidak ingin diganggu olehnya. Mereka juga seharusnya tidak mencampuri urusan satu sama lain. Jadi bersikap tidak peduli adalah keputusan yang tepat. Siang itu, Valerie sedang berada di sebuah restoran bersama dengan asisten pribadinya. Mereka juga tidak hanya berdua di sana, karena ada klien yang juga bersama mereka. Hari-hari Valerie akan sibuk dengan melakukan pertemuan seperti itu. “Bagaimana jika ditambahkan beberapa hal seperti..” ujar klien mereka yang
Sean duduk dengan tidak tenang dan terus saja menatap ke arah meja di seberang. Di sana, Valerie sedang bersama dengan asistennya dan seorang klien. Mereka tampaknya melakukan banyak perbincangan. Sejak tadi, Sean masih tidak tenang dan sama sekali tidak menyentuh minumannya. Padahal saat itu, Putra sudah selesai dengan makan siangnya. Melihat atasannya yang tidak bisa tenang sejak tadi, membuat Putra akhirnya bertanya sekali lagi. “Apa anda sudah ingin makan?” tanya Putra dengan bahasa yang formal. “Bukankah anda ingin udang saus pedas?” tanya Putra lagi ketika Sean sama sekali tidak memberikan jawaban atas pertanyaan yang dia ajukan. Mendengar menu udang saus pedas, Sean menjadi semakin kesal. “Bisakah kamu berhenti dengan udang saus pedas?” ucap Sean. “Saya tidak ingin makan siang,” sambungnya lagi. Sudah Putra tebak jika ada sesuatu yang salah dengan menu itu. Tetapi dia masih tidak mengerti apa yang salah dengan menu seenak itu. Jika saja tadi Valerie melanjutkan kalimatnya
Begitu Sean selesai dengan pekerjaan kantornya, dia lantas bergegas kembali ke rumah. Sudah cukup dia menahan dirinya sejak tadi. Dia sadar bahwa tidak ada gunanya memendam sesuatu, karena akhirnya hanya dia yang akan menyesal.Jika biasanya dia akan membiarkan Putra menyetir, maka kali ini tidak lagi. Dia sendiri yang mengemudikan mobilnya kali ini.“Hati-hati, boss,” ucap Putra begitu Sean mengambil alih mobilnya.Satu hal yang Putra ketahui saat itu, bahwa Sean sedang berusaha agar dia bisa menjelaskan semuanya pada Valerie secepat mungkin.“Entah kapan aku akan menjadi posesif seperti itu,” batin Putra.Sebenarnya kisah cinta Putra dan Sean tidak jauh berbeda. Hanya saja, Sean sudah lebih dulu menemukan sosok pendamping hidup dibanding Putra. Bahkan hingga saat ini, Putra masih belum bertemu dengan jodohnya.Jika di satu sisi Sean sedang menuju ke rumah mereka, maka di sisi lain ada Valerie
Begitu Valerie tiba di rumah Sean, dia tidak lantas bergegas masuk. Dia mematikan mobilnya dan duduk sebentar di sana. Pemandangan rumah Sean sangatlah mewah, dengan banyak lampu yang membuatnya semakin bercahaya.Tetapi siapa yang bisa menduga bahwa rumah seindah itu ternyata tidak seindah kehidupan pemiliknya. Rasanya begitu datar dan nyaris tidak ada yang berbeda bahkan setelah mereka menikah. Mungkin itulah yang selama ini Sean rasakan, kesepian.“Kenapa aku malah merasa kasihan?” ujar Valerie.Bukan, Valerie bukannya merasa kasihan pada Sean. Dia justru merasa kasihan pada rumah itu dan semua orang yang tidak merasa bahagia karena hidup di dalamnya. Dia tahu bahwa mereka seharusnya bisa memiliki kehidupan yang lebih berharga dibanding hanya melayani Sean dengan segala kebutuhannya.“Oh ayolah. Rumah ini tidak akan menjadi tempatku selamanya,” kata Valerie.Sebenarnya dia hanya ingin mengamati kehidup
“Ambilah,” ujar Valerie seraya menyodorkan nampan itu ke arah Sean.Sean yang tidak tahu harus bereaksi seperti apa itupun, hanya bisa terdiam. Melihat hal itu, Valerie menjadi kesal sendiri.“Begini, kamu belum makan sejak tadi, jadi aku membawakan makan malam untukmu,” ucap Valerie. “Ah, atau kamu membutuhkan hal yang lain?” lanjut Valerie.Sean yang sudah bisa mengontrol dirinya itupun juga merutuki dirinya sendiri. Dia seharusnya tidak membiarkan Valerie melakukan semuanya seorang diri.“Tidak,” balas Sean singkat sembari mengambil alih nampan yang masih dipegang oleh Valerie sejak tadi.Karena pria itu sudah mengambilnya, kini tugas Valerie sudah selesai. “Baiklah, selamat makan,” ucap Valerie.Baru saja dia hendak menjauh, Sean sudah lebih dulu mengatakan sesuatu sehingga Valerie menghentikan langkahnya.“Maksud saya,” ucap Sean y
“Wah, sebentar,” ucap Valerie yang kembali berusaha untuk mencerna semua perkataan Sean yang dia katakan barusan.Anggap saja bahwa Sean tidak sedang memikirkan apapun lagi, dan hanya ingin mencoba mengatakan pada Valerie bahwa keadaannya tidak baik-baik saja di rumah itu.“Jadi biar aku pastikan sebentar,” ucap Valerie yang kini mulai mengambil alih obrolan mereka. “Kamu tidak mau sarapan beberapa hari ini karena aku tidak ingin berbicara denganmu, dan aku juga berangkat ke kantor lebih awal?” lanjut Valerie.“Hmm,” balas Sean.Valerie sebisa mungkin mencoba untuk menahan tawanya saat itu. Dia masih belum menyelesaikan pertanyaannya, tetapi dia juga tidak bisa menahan diri ketika mendengar semua pengakuan itu.“Lihat, kamu malah tertawa sekarang,” ucap Sean.Tentu saja dia akan tertawa. Dia tidak pernah menyangka bahwa alasan Sean akan menjadi seaneh itu.