"Kalau begitu kami pamit dulu," kata Thasia."Baiklah, aku harap lain kali kita bisa bertemu lagi," kata Gita.Jeremy melihat ke arah anak-anak, sebelum pergi dia tidak lupa bertanya, "Ingat nggak panggil kami apa?""Kakak!" jawab anak-anak dengan serempak.Mereka sangat sopan.Jeremy berkata lagi, "Kalau nggak mau memanggil kakak, harus memanggil apa?""Paman dan bibi!" Anak-anak terlihat sangat pintar.Dia mengajarkan mereka panggilan ini sudah lebih dari sepuluh kali.Jadi mereka mengingatnya.Thasia menatap Jeremy, perkataan anak-anak itu sepertinya sangat memengaruhi suasana hatinya, wajah pria itu bahkan terlihat tersenyum."Paman, Bibi, kalian harus bahagia, ya!" kata anak-anak dengan serempak lagi.Thasia merasa terkejut, lalu menatap mereka. "Maksud kalian?""Tadi Paman itu bilang kalau kalian sudah menikah, jadi nama panggilannya harus sesuai. Kalau nggak mau memanggil kakak, maka harus memanggil paman dan bibi, nggak boleh satu paman yang satunya kakak," jelas anak-anak pada
Jeremy bersandar pada jendela, matanya terus menatap keluar sambil menjelaskan, "Area ini cukup terpencil, kalau kamu turun, kamu harus berjalan beberapa kilo baru sampai di kota. Jangan bertindak mengikuti emosi, kamu nggak cocok bertindak seperti itu!"Thasia melihat ke arah jalan, di sini memang cukup terpencil, mungkin dia harus berjalan selama beberapa jam jika turun di sini.Sekarang sudah hampir tengah malam.Mungkin saja ada binatang buas yang muncul nanti.Demi keselamatannya, dia pun tidak jadi turun.Terkadang kita harus bertindak sesuai dengan situasi.Mobil berhenti di pintu stasiun TV, Jeremy melihat plang nama di sana, lalu berkata, "Baru-baru ini stasiun TV kalian ingin mewawancaraiku.""Benarkah?" jawab Thasia.Sorot mata gelap Jeremy menatap Thasia. "Kenapa bukan kamu yang mewawancaraiku?"Thasia tidak bilang dirinya menolak tugas itu. "Tugas mewawancaraimu nggak mungkin diberikan padaku, aku baru saja kerja di sana nggak sampai sepuluh hari, kerjaanku hanya mengetik
Jason seketika tidak tahu harus menjawab apa.Thasia dengan terkejut menatap Jeremy.Kenapa pria itu membawa buku nikah ke mana-mana?Jeremy sungguh aneh!Jeremy menerima paket itu lalu membukanya, terlihat buku berwarna merah di sana.Jeremy ingin menunjukkannya pada Jason, dia mengangkatnya dan berkata, "Ini buku nikahku dan Thasia. Pak Jason, sudah lihat, bukan?"Jason terdiam, sorot matanya menjadi lebih gelap.Sorot mata Jeremy terlihat senang dan bangga.Seakan-akan dia sangat senang bahwa buku nikahnya dengan Thasia masih ada.Namun, kalau mereka menikah secara diam-diam, bukankah mereka seharusnya ingin cepat-cepat bercerai?Awalnya Jason mengira Jeremy bertindak seperti ini hanya karena gengsinya sebagai pria saja, dia selalu ingin menang, apalagi selama bertahun-tahun mereka menikah, Jeremy tidak pernah mengakui Thasia sebagai istrinya.Sekarang dia juga merasa Jeremy kekanak-kanakan.Siapa yang akan membungkus buku nikah dengan begitu rapat, bahkan memamerkannya di depan ora
Jason mengambil minuman di samping.Dia selalu bertindak dengan akal sehat.Selalu berada di belakang Thasia dan selalu menjaga jarak sebagai temannya dengan akal sehat.Bahkan saat menyatakan rasa sukanya pada Thasia, Jason sempat minum bir dulu, baru dia berani memberi tahu wanita itu isi hatinya.Namun, Jason sudah tidak bisa melangkah maju lagi.Dia tahu Thasia menyukai Jeremy.Jason tidak ingin membuat Thasia terbebani, juga ingin menghargai semua keputusan wanita itu.Dia tidak bisa bertindak begitu memaksa seperti Jeremy.Mungkin orang yang dicintai memang merasa tidak takut, dia sangat iri pada Jeremy bisa memiliki cintanya Thasia.Jason tersenyum pahit, menuangkan bir untuknya, lalu meminumnya dalam sekali tegukan.Ponsel yang berada di tangan kirinya terus bergetar.Jason meliriknya, setelahnya menoleh lagi, dia tidak terlihat ingin mengangkat panggilan itu, dia hanya terus meminum birnya.Setelah keluar dari restoran Thasia hendak memanggil taksi untuk pulang.Namun, di deka
Jeremy melihat ke sekeliling sebentar, ukuran ruangan itu tidak sebesar kamar mereka. Saat dia berjalan masuk, di dalamnya hanya ada barang Thasia.Thasia memang orang yang rapi, jadi rumah ini cukup rapi dan bersih.Melihat di dekat pintu ada sandal rumah yang bergambar kelinci dan sangat lucu, Jeremy merasa sangat terkejut.Dia melirik lagi ke arah Thasia.Thasia merasa tidak enak, dia pun menyimpan sandalnya. "Sudah selesai melihatnya?"Jeremy melihat ke arah sofa yang hanya bisa diduduki oleh dua orang. "Kamu betah tinggal di sini?""Kurang lebih.""Apartemen ini kecil sekali, peralatan rumahnya juga nggak lengkap, lebih baik di rumah kita, di sana juga ada mbak, aku rasa kamu nggak betah tinggal di sini." Jeremy memikirkannya. "Apalagi kita nggak jadi cerai, menurutku sebaiknya kamu pulang saja.""Sebenarnya kamu tahu nggak kalau aku ini ingin bercerai denganmu? Aku bukannya bertengkar denganmu dan kabur dari rumah!" Thasia berharap pria itu bisa mengerti, bukannya berpikir setela
Sekarang Thasia merasa semua perkataan Jeremy tidak masuk akal, Thasia berkata lagi, "Barangmu nggak muat di sini."Jeremy melihat ke sekeliling, lalu dia membuka lemari, dia melihat ada ruang kecil di sana, jadi dia berkata, "Letakkan di sini saja, aku nggak keberatan!"Dia langsung berkata, "Tony!""Baik!"Tony segera menggantung baju Jeremy.Gerakan mereka sangat cepat, seakan-akan hanya dalam semenit, ruangan itu menjadi bukan hanya milik Thasia seorang.Thasia merasa hubungan mereka sepertinya tidak berubah, mereka masih belum bercerai, dia juga masih tidak bisa memutuskan hubungannya dengan Jeremy.Sebaliknya, Jeremy malah semakin ikut campur dalam kehidupannya.Tidak begitu lama kemudian Tony sudah membereskan semua barangnya.Jeremy melihat Thasia hanya diam saja, dia pun berkata dengan penuh perhatian, "Tadi kamu nggak makan apa-apa, apakah kamu merasa lapar? Apakah kamu ingin makan sesuatu?"Thasia merasa sangat kesal, mana mungkin dia kepikiran untuk makan. "Aku nggak lapar.
Thasia tidak ingin memperhatikan Jeremy lagi, dia ingin berjalan pergi, kebetulan saat itu Jeremy menoleh, begitu melihat Thasia dia berkata, "Sebentar lagi akan matang, kamu sudah lapar, ya?"Langkah kaki Thasia berhenti, dia melihat ke arah Jeremy lagi. "Aku hanya sedang berpikir kapan kamu akan pergi."Jeremy malah berkata, "Sepuluh menit lagi sudah bisa makan."Thasia melihat punggungnya, pria itu fokus memasak, sepertinya perkataannya tadi diabaikan.Setelah sepuluh menit berlalu, Jeremy membawa sepanci sup ayam keluar.Dia langsung meletakkannya di meja makan, menggunakan kain lap untuk menyeka tangannya, lalu berkata pada Thasia, "Sini, makanannya sudah jadi."Thasia melihat sup ayam yang sudah dimasak oleh Jeremy dengan sungguh-sungguh selama dua jam, itu makanan khusus ibu hamil, Thasia hampir saja salah paham berpikir kalau Jeremy sudah menerima anak di perutnya ini.Thasia berjalan mendekat dalam diam, lalu duduk di depannya.Jeremy membuka tutup panci, uap panas mengepul ke
Jeremy mengerutkan alisnya, dia berkata dengan nada dingin, "Jangan menyeret orang lain ke dalam masalah kita."Thasia tertawa. "Saat kamu bersama Lisa, memangnya kamu berpikir dia itu orang lain? Jeremy, aku nggak mengerti cara berpikirmu, aku padahal sudah merestui kalian, kamu mau apa lagi?""Maksudmu dengan dua tiket ini?" Jeremy mengeluarkan dua tiket yang Thasia berikan padanya.Padahal Thasia bilang ingin pergi ke Negara Firlanda dengan Jeremy, tapi wanita ini malah memesan tiket untuk dirinya dan Lisa.Hebat juga dia, menyuruh suaminya pergi berlibur dengan wanita lain.Thasia meliriknya. "Kamu nggak pergi?"Jeremy merobek tiket itu di depan Thasia, lalu meletakkannya di atas meja, menatap wanita itu dengan lekat dan dingin. "Kamu merestui kami pasti karena kamu ingin kabur dengan anakmu itu, bukan? Bisa dibilang kamu merestuiku demi kepentinganmu sendiri."Jeremy melihat ke sekeliling, melihat ke arah rumah yang begitu kecil tapi kata Thasia cukup nyaman, dia pun berkata denga