Thasia tidak ingin memperhatikan Jeremy lagi, dia ingin berjalan pergi, kebetulan saat itu Jeremy menoleh, begitu melihat Thasia dia berkata, "Sebentar lagi akan matang, kamu sudah lapar, ya?"Langkah kaki Thasia berhenti, dia melihat ke arah Jeremy lagi. "Aku hanya sedang berpikir kapan kamu akan pergi."Jeremy malah berkata, "Sepuluh menit lagi sudah bisa makan."Thasia melihat punggungnya, pria itu fokus memasak, sepertinya perkataannya tadi diabaikan.Setelah sepuluh menit berlalu, Jeremy membawa sepanci sup ayam keluar.Dia langsung meletakkannya di meja makan, menggunakan kain lap untuk menyeka tangannya, lalu berkata pada Thasia, "Sini, makanannya sudah jadi."Thasia melihat sup ayam yang sudah dimasak oleh Jeremy dengan sungguh-sungguh selama dua jam, itu makanan khusus ibu hamil, Thasia hampir saja salah paham berpikir kalau Jeremy sudah menerima anak di perutnya ini.Thasia berjalan mendekat dalam diam, lalu duduk di depannya.Jeremy membuka tutup panci, uap panas mengepul ke
Jeremy mengerutkan alisnya, dia berkata dengan nada dingin, "Jangan menyeret orang lain ke dalam masalah kita."Thasia tertawa. "Saat kamu bersama Lisa, memangnya kamu berpikir dia itu orang lain? Jeremy, aku nggak mengerti cara berpikirmu, aku padahal sudah merestui kalian, kamu mau apa lagi?""Maksudmu dengan dua tiket ini?" Jeremy mengeluarkan dua tiket yang Thasia berikan padanya.Padahal Thasia bilang ingin pergi ke Negara Firlanda dengan Jeremy, tapi wanita ini malah memesan tiket untuk dirinya dan Lisa.Hebat juga dia, menyuruh suaminya pergi berlibur dengan wanita lain.Thasia meliriknya. "Kamu nggak pergi?"Jeremy merobek tiket itu di depan Thasia, lalu meletakkannya di atas meja, menatap wanita itu dengan lekat dan dingin. "Kamu merestui kami pasti karena kamu ingin kabur dengan anakmu itu, bukan? Bisa dibilang kamu merestuiku demi kepentinganmu sendiri."Jeremy melihat ke sekeliling, melihat ke arah rumah yang begitu kecil tapi kata Thasia cukup nyaman, dia pun berkata denga
Setelah mengatakannya, Thasia segera berjalan ke kamar, menutup pintu, berusaha menutupi semua suara dari luar.Saat ini keadaan di ruang tamu sangat hening, Jeremy duduk diam di bangkunya tanpa bereaksi.Jeremy masih tidak mengerti kenapa Thasia ingin melahirkan anak itu.Sebenarnya apa yang Thasia sukai dari pria itu!Pria itu tidak tahu Thasia hamil, tidak tahu wanita itu tinggal di apartemen sekecil ini, juga tidak pernah peduli padanya.Pada saat yang sama Jeremy juga merasa menjadi pria yang gagal.Tidak peduli apa yang dirinya lakukan, Thasia tidak akan pernah merasa senang.Jeremy sudah susah-susah memasak untuknya, Thasia malah curiga dirinya memasukkan obat dan tidak ingin memakannya.Saat melihat tangannya yang memerah karena memegang tutup panci tadi, Jeremy merasa dirinya yang cari masalah sendiri.Dia malah berusaha menyenangkan seorang wanita yang tidak punya hati.Wajah Jeremy terlihat dingin, dia berdiri dan berjalan ke arah luar.Tony sedang menunggu di luar, melihat
Pria itu terkadang suka melawan isi hatinya, dia akan merasa tidak tertarik pada hal yang dipilihkan oleh orang lain.Sekarang Jeremy punya cara pandang yang berbeda.Jeremy sangat peduli pada Thasia!"Nggak mungkin kemungkinan yang kedua," kata Jeremy dengan dingin. "Dia suka pada pria lain, bahkan punya anak dengannya!"Setelah mendengar ini Eric langsung tertegun.Ada anak dengan pria lain?Tidak mungkin."Kamu yakin?" tanya Eric sekali lagi."Kalau nggak yakin mungkinkah aku mengatakannya padamu?" kata Jeremy dengan datar.Eric terdiam lagi, lalu bertanya, "Kamu yakin anak itu bukan punyamu?"Eric tidak pernah mendengar Thasia memiliki hubungan dengan pria lain."Aku nggak pernah tidur dengan Thasia!" kata Jeremy dengan kesal."Aku salut padamu!" Eric menyimpulkan, "Punya istri yang begitu cantik di sisimu, tapi kamu bisa menahan diri, heran aku kalau kamu nggak diselingkuhi."Wajah Jeremy terlihat kesal. "Diam!"Dia langsung menutup telepon.Sehingga dirinya tidak semakin mengamuk
Saat Thasia terbangun, kamarnya sudah kosong.Hanya saja matanya terasa basah.Dia teringat dirinya semalam bertengkar dengan Jeremy, dia meraba-raba sisi kasurnya, tidak ada jejak ada orang tidur di sana.Sepertinya kemarin Jeremy langsung pergi.Thasia bangkit dari ranjang, segera melihat ke arah lemari, dia menyadari baju pria itu masih ada, berarti Jeremy tetap akan mengikutinya.Hatinya yang tadi berharap merasa kecewa lagi.Thasia segera mandi, lalu siap-siap berangkat kerja,Setelah sampai di stasiun TV, dia mendengar Diana berkata dengan keras, "Jangan halangi jalanku, memangnya kerjaanmu lebih penting daripada kerjaanku?"Diana hari ini seperti telah memakan bom saja."Diana, hari ini kamu kenapa? Meski suasana hatimu sedang buruk, nggak sepatutnya kamu melampiaskannya pada orang lain," kata rekan kerja lainnya, suasana hatinya pasti sedang buruk.Diana selalu begitu, kalau suasana hatinya sedang jelek, siapa pun selalu terlihat menyebalkan baginya, dia menatap rekan kerja itu
Diana melihat ke arah Thasia, dia merasa sedikit kesal, tugas mewawancarai Jeremy ini harus Thasia juga yang turun tangan baru berhasil.Apalagi kalau tugas mewawancarai Jeremy selesai, dia baru bisa mengembalikan gengsinya yang sempat diinjak-injak waktu itu.Setelah Dhita pergi, Diana berjalan ke tempat duduk Thasia, kali ini nada bicaranya menjadi lebih ramah. "Thasia, apakah kamu sudah memikirkan masalah yang kemarin aku bicarakan denganmu?""Bukannya kemarin aku sudah memberitahumu?" Thasia tidak menoleh padanya.Diana merasa ingin memarahinya, tapi dia menahan diri, di sini kalau ada yang tidak menghormatinya, dia juga tidak akan menghormati orang itu.Thasia berbeda, setelah Diana menyelesaikan tugas wawancara Jeremy, dia pasti akan memberinya pelajaran.Diana lanjut berkata, "Kalau nggak begini saja, kita pergi bareng, kalau tugas ini berhasil, kami akan mengingat jasamu ini. Kamu juga seharusnya nggak ingin terus mengurusi akun kantor saja, 'kan? Siapa yang nggak mau naik pang
"Kak Diana, sebenarnya siapa itu Thasia? Beraninya dia bersikap begitu sombong padamu, benar-benar nggak tahu diri.""Dia nggak menghormatimu, bahkan mempermalukanmu di depan teman-teman kantor. Pokoknya kamu harus memberinya pelajaran!"Pengikut Diana berbisik di sampingnya."Aku nggak akan membiarkannya begitu saja!" Diana akan mengingat dendam ini, tatapan matanya menjadi mengerikan. "Aku akan membuatnya membantuku dalam tugas ini dengan patuh, bahkan dia akan memohon padaku untuk membiarkannya membantuku!"Thasia kali ini pergi menggunakan mobil kantor.Veren merasa senang, dia berkata, "Kak Thasia, berani sekali kamu melawan perkataan Diana, di kantor selain Bu Dhita, nggak ada lagi yang berani macam-macam padanya."Thasia sedang mengendarai mobil ke jalan. "Aku nggak melawannya, aku hanya mengatakan kenyataan. Aku nggak menyinggungnya.""Tapi kamu sudah menyinggungnya." Veren berkata, "Nanti dia pasti akan terus mencari masalah denganmu."Veren tahu seperti apa sifatnya Diana, ja
Gita mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Mereka bilang kamu telah mengambil milik orang, jadi dia juga akan mengambil milikmu, ke depannya kamu nggak boleh ke sini lagi, kalau masih ke sini, kami akan terkena masalah. Nona Thasia, aku juga nggak ingin mengusirmu, tapi aku nggak ingin anak-anak terluka.""Sungguh keterlaluan!" Veren berkata, "Bagaimanapun dia nggak boleh memukul anak-anak, dasar nggak punya hati nurani!""Bu Gita, aku minta maaf, aku yang membuat kalian seperti ini." Thasia juga tidak menyangka pihak lawan akan berbuat seperti ini, teganya dia menyerang panti asuhan."Bukan salahmu, malahan aku merasa sangat berterima kasih padamu. Kalau bukan karenamu, mereka nggak akan secepat ini bisa memakan daging." Gita tetap merasa berterima kasih pada Thasia. "Hanya saja entah siapa yang bermasalah denganmu, sehingga mereka menutup jalanmu, aku tahu Nona Thasia bekerja di stasiun TV. Kalau orang itu menutup jalanmu, berarti dia ingin membuatmu nggak bisa bertahan di sana, bukan?"