Gita mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Mereka bilang kamu telah mengambil milik orang, jadi dia juga akan mengambil milikmu, ke depannya kamu nggak boleh ke sini lagi, kalau masih ke sini, kami akan terkena masalah. Nona Thasia, aku juga nggak ingin mengusirmu, tapi aku nggak ingin anak-anak terluka.""Sungguh keterlaluan!" Veren berkata, "Bagaimanapun dia nggak boleh memukul anak-anak, dasar nggak punya hati nurani!""Bu Gita, aku minta maaf, aku yang membuat kalian seperti ini." Thasia juga tidak menyangka pihak lawan akan berbuat seperti ini, teganya dia menyerang panti asuhan."Bukan salahmu, malahan aku merasa sangat berterima kasih padamu. Kalau bukan karenamu, mereka nggak akan secepat ini bisa memakan daging." Gita tetap merasa berterima kasih pada Thasia. "Hanya saja entah siapa yang bermasalah denganmu, sehingga mereka menutup jalanmu, aku tahu Nona Thasia bekerja di stasiun TV. Kalau orang itu menutup jalanmu, berarti dia ingin membuatmu nggak bisa bertahan di sana, bukan?"
Setelah mendengar ini, Diana melirik Thasia sebentar, melihatnya dari atas kepala sampai ke kaki, lalu baru tertawa. "Kamu istrinya Jeremy? Thasia, kalau kamu merasa nggak bisa mengatasiku, kamu juga nggak boleh berkata seperti ini, memangnya kamu kira aku akan percaya?"Sorot matanya terlihat meremehkan, sama sekali tidak percaya pada kata-kata Thasia. "Kalau kamu itu istrinya, kamu pasti bisa langsung mengatasi masalah panti asuhan, untuk apa kamu datang mencariku, kamu ini sudah nggak ada jalan keluar lagi baru datang mencariku. Seharusnya kamu mengatakan sesuatu untuk memenangkan hatiku, bukannya malah membual yang nggak-nggak, mana mungkin aku percaya!"Thasia berpikir dirinya juga belum bercerai dengan Jeremy, jadi dia masih merupakan istri sahnya pria itu.Jadi tidak masalah kalau dia memberi tahu Diana.Hal ini merupakan cara paling mudah yang bisa Thasia pikirkan.Namun, Diana tidak percaya."Kalau aku membantumu, apakah kamu tetap akan ikut campur dalam masalah panti asuhan?"
"Tetap saja kamu nggak sepantasnya diperlakukan seperti itu." Veren merasa tidak adil. "Tapi nggak ada cara lain, Diana memang hebat, dia memiliki banyak cara dalam mengatasi masalah. Hanya saja kenapa dia nggak mencari orang lain untuk menghubungi Jeremy? Kenapa harus kamu?"Thasia berkata, "Dia ingin menekanku, agar aku tahu di kantor nggak ada yang bisa melawannya!"Veren bertanya lagi, "Thasia, tadi kamu bilang kamu ini istrinya Jeremy, apakah hal itu benar?"Veren sedikit memercayai perkataan Thasia.Thasia terdiam sebentar, lalu menutup ponselnya sambil menjawab, "Ya, tapi sebentar lagi sudah bukan.""Ayo pergi, kita harus kembali ke kantor."Saat Veren tercengang, Thasia segera mengambil tasnya dan berjalan keluar.Dia harus memikirkan dua cara yang bagus.Veren tidak mengerti maksudnya, jawabannya terdengar seperti ya, tapi juga sepertinya tidak, dia tidak mengerti.Thasia tidak berbicara lagi, Veren juga tidak bertanya.Mereka kembali ke kantor.Diana dan para kacungnya sudah
"Siang ada waktu?"Thasia langsung mengiriminya sebuah alamat.Lalu dia mengirimi Diana pesan, "Siang jam 12."Diana melihat balasan Thasia, dia tersenyum.Diana sudah membuat persiapan.--Di sisi lain, suasana hati Jeremy kelihatannya tidak buruk.Thasia mengajaknya keluar.Sepertinya Thasia tidak pernah mengajaknya keluar selama ini.Thasia sudah sadar?Thasia tidak ingin bercerai lagi? Wanita itu ingin kembali dengannya?Jeremy merasa hanya ada satu kemungkinan. Hal ini merupakan awal yang bagus Thasia bisa mengajaknya pergi keluar.Thasia sudah terbiasa menjalani kehidupan menjadi istri orang kaya, mana mungkin dia betah tinggal di apartemen kecil begitu.Jeremy berpikir saat bertemu Thasia nanti apakah dia harus jual mahal dulu, membuatnya sadar kalau cerai itu mudah, tapi kalau baikan itu sulit.Membuat Thasia tahu di dunia ini tidak ada pria yang sebaik dirinya.Jadi ke depannya Thasia tidak akan pernah minta bercerai lagi.Tony berjalan masuk, melihat Jeremy terdiam sambil ber
Sekarang ada satu orang lagi yang mengatakan hal ini.Pada akhirnya dirinya yang salah?"Bawa mobil ke sini." Jeremy berkata, "Kita segera berangkat."--Thasia duduk di dalam mobil, mobilnya berhenti di depan sebuah restoran.Diana mendekat dan mengetuk jendelanya. "Di sini?""Ya." Thasia berkata, "Jam 12 Jeremy akan datang ke sini.""Oke." Diana menoleh ke arah Thasia, lalu tersenyum sambil berkata, "Tenang saja, aku akan mengingat kebaikanmu ini, kalau nanti aku jadi kepala editor, aku nggak akan membiarkanmu selamanya hanya mengetik saja.""Sebaiknya kamu segera masuk." Thasia memberi tahu wanita itu nomor ruang VIP-nya.Diana berjalan ke arah restoran.Ponsel Thasia berbunyi, dia membukanya, setelah melihatnya dia tersenyum.Masalah di panti asuhan akhirnya beres.Dia melihat ke arah Diana pergi, dia juga tidak ingin membuat kekacauan.Thasia segera berjalan ke arah panti asuhan.20 menit kemudian Jeremy sudah sampai di pintu restoran.Dia melihat ke arah kaca spion yang mengarah
Suara keras itu mengejutkan Diana. "Pak Jeremy."Jeremy menatap Diana dengan dingin. "Aku tanya sekali lagi, di mana Thasia?"Diana melihat ke arah gelas yang pecah di lantai, lalu menatap ke arah Jeremy lagi, rasa mabuknya menghilang.Tidak disangka Jeremy begitu emosi, sekali tidak senang langsung membanting gelas.Melihat Jeremy berdiri dengan ekspresi mengerikan, Diana segera berkata, "Thasia nggak ada di sini, hanya ada kita."Sorot mata Jeremy menjadi lebih mengerikan, dia berkata dengan dingin, "Dia mengirimiku pesan untuk janjian ketemu demi dirimu?""Ya." Diana bingung kenapa Jeremy begitu marah, jadi dia berkata, "Thasia dulu pernah bekerja di PT Okson, aku nggak bisa mengajakmu keluar, jadi aku menyuruh Thasia memikirkan cara. Kalau dia berhasil mengajakmu keluar, maka aku bisa membicarakan kerja sama denganmu, sebenarnya aku dan Thasia ....""Pergi!" kata Jeremy dengan keras, semakin lama dia semakin marah.Diana terkejut hingga wajahnya memucat. "Pak Jeremy, aku nggak berb
Thasia sudah membahas hal ini dengan Dhita, wanita itu merasa idenya tidak buruk.Dhita sudah berkata padanya, dia harus merekam keadaan di panti asuhan lalu dijadikan sebuah acara di TV.Kalau berhasil mendapat dukungan penonton, lalu mendapat investasi, maka ini bisa dijadikan acara TV yang mendidik.Tujuan awal Thasia sebenarnya untuk mencari rumah baru bagi para anak di panti asuhan itu.Meski kemampuan Thasia terbatas, juga tidak bisa membuat semua anak di dunia ini untuk hidup serba berkecukupan, hanya saja selama dia bisa membantu, dia akan membantu dengan semaksimal mungkin."Terima kasih," kata Thasia dengan sungkan. "Saat aku meminta bantuan, kamu langsung setuju membantuku, aku nggak tahu harus berterima kasih padamu dengan cara apa.""Kamu ini berbicara apa, kamu juga membantuku, aku juga merasa berterima kasih padamu." Mark membawa Thasia berjalan masuk. "Tenang saja, serahkan masalah ini padaku, masalah anak-anak di panti ini pasti akan teratasi."Thasia berjalan masuk, b
Thasia ingin menahannya, dia kira tidak akan masalah.Namun, penciumannya terlalu tajam, dia langsung ingin muntah.Mark sedang berbicara dengannya, melihat reaksi Thasia ini, dia bertanya dengan penuh perhatian, "Thasia, kamu nggak apa-apa, 'kan?"Thasia tidak tahan lagi, dia menutup mulutnya sambil berjalan ke toilet.Mark, yang melihat keadaannya langsung mengerti, hanya orang hamil yang akan bereaksi seperti ini.Ekspresi Mark pun berubah, pada akhirnya dia juga ikut berjalan ke toilet.Thasia muntah beberapa saat.Reaksi dari kehamilannya jadi semakin parah.Setelah muntah Thasia membersihkan wajahnya, baru dia berjalan keluar.Mark segera memberinya tisu.Thasia menerimanya. "Terima kasih."Mark berkata, "Kamu muntah cukup parah, apakah kamu hamil?""Ya, kamu sadar?" Thasia tidak menutupinya.Mark merasa sangat terkejut, dia baru bertemu Thasia tidak begitu lama, tapi wanita itu sudah hamil. "Selamat. Nggak disangka setelah lama nggak bertemu, sekarang kamu sudah mau menjadi ibu.