Thasia ingin menahannya, dia kira tidak akan masalah.Namun, penciumannya terlalu tajam, dia langsung ingin muntah.Mark sedang berbicara dengannya, melihat reaksi Thasia ini, dia bertanya dengan penuh perhatian, "Thasia, kamu nggak apa-apa, 'kan?"Thasia tidak tahan lagi, dia menutup mulutnya sambil berjalan ke toilet.Mark, yang melihat keadaannya langsung mengerti, hanya orang hamil yang akan bereaksi seperti ini.Ekspresi Mark pun berubah, pada akhirnya dia juga ikut berjalan ke toilet.Thasia muntah beberapa saat.Reaksi dari kehamilannya jadi semakin parah.Setelah muntah Thasia membersihkan wajahnya, baru dia berjalan keluar.Mark segera memberinya tisu.Thasia menerimanya. "Terima kasih."Mark berkata, "Kamu muntah cukup parah, apakah kamu hamil?""Ya, kamu sadar?" Thasia tidak menutupinya.Mark merasa sangat terkejut, dia baru bertemu Thasia tidak begitu lama, tapi wanita itu sudah hamil. "Selamat. Nggak disangka setelah lama nggak bertemu, sekarang kamu sudah mau menjadi ibu.
"Lepaskan dia!" teriak Thasia, dia melihat di sudut bibir Mark terdapat darah.Thasia melindungi Mark, hal ini membuat Jeremy makin marah, dia tersenyum sinis. "Kamu begitu peduli padanya, lihat saja aku akan memukulnya!"Jeremy langsung menendang Mark.Sebelum Mark selesai berbicara, tubuhnya sudah ditendang.Thasia terkejut, dia segera menopang tubuh Mark.Jeremy menarik tangan Thasia, lalu berkata dengan kencang, "Kamu berani bersikap peduli padanya!"Thasia melihat ke arah Jeremy, dia menepis tangan pria itu dengan marah. "Dasar gila, Mark itu rekan kerja samaku yang baru!""Kamu pikir aku percaya?" Jeremy berkata dengan sinis, "Dia tadi menopang tubuhmu, bahkan begitu peduli padamu sampai menyiapkan barang-barang kebutuhan ibu hamil, kalau dia bukan Leo maka siapa lagi? Kalau orang lain mungkinkah dia bisa begitu peduli padamu? Kamu nggak perlu membohongiku!""Kapan aku membohongimu?""Kamu nggak membohongiku?" Jeremy merasa semakin marah, "Orang yang mengajakku keluar itu kamu, s
Tidak ada yang berani ikut campur dalam pertengkaran mereka.Kedua mata Jeremy memerah dan dingin, dia merasa sangat marah terhadap Thasia sehingga tidak bisa berpikir dengan jernih.Namun, perkataannya membuat Thasia terdiam.Kedua tangan Thasia terkepal, hatinya seketika merasa sedih.Thasia memang ingin mereka bercerai, tapi jika harus bercerai dengan cara seperti ini dia juga merasa sedih.Mungkin dia tidak menyangka Jeremy akan semarah ini padanya.Mungkin hal yang terjadi hari ini terlalu banyak, Thasia merasa tidak bisa mencernanya, suasana hatinya juga sedang buruk, jadi pertengkaran mereka malah semakin sengit.Jeremy masih melihatnya, seakan-akan sedang menunggu jawab Thasia.Thasia terdiam cukup lama, baru berkata, "Baiklah, kita bertemu di Kantor Biro Urusan Sipil!"Jelas-jelas tahu hubungan mereka akan berakhir seperti ini, tapi hatinya Thasia tetap merasa sakit, seakan-akan dia masih mengharapkan sesuatu. Jeremy tersenyum sinis. "Oke!"Jeremy segera berbalik dan berjalan
"Nggak perlu," kata Thasia. "Aku bawa mobil, kamu urusi saja pekerjaanmu, lain kali aku akan mencarimu lagi untuk meminta maaf."Mark berkata, "Nggak perlu, aku juga nggak dipukul dengan sia-sia, aku percaya dengan kemampuanmu, kamu akan memberikanku banyak keuntungan!"Selesai mengurusi lukanya, Mark berbicara sebentar dengan Thasia, lalu dia pergi duluan.Hanya saja saat Mark di mobil, dia mengirimi Jason pesan. "Apakah kamu tahu Thasia hamil?"Jason sedang berada di rumah.Rambutnya sangat berantakan, bajunya juga terlihat santai, saat menerima pesan itu, tangannya sedikit bergetar."Nggak tahu."Mark merasa terkejut mendapat jawaban ini. "Kalau begitu rencanamu akan sulit ke depannya, Thasia memiliki anak dengan orang lain, sepertinya dia menyukai pria lain, bagaimana bisa kamu menikahinya?"Ekspresi Jason sedikit berubah, pada akhirnya dia hanya bisa merelakannya. "Kalau dia merasa bahagia, aku akan mendoakannya ...."Jason menambahkan lagi. "Selama dia bahagia, maka aku baru bisa
Esther sampai mengangkat mangkuknya, mengarahkan sendok ke mulut Jason.Melihat ini Jason ingin menjaga jarak dengannya, dia berkata, "Baiklah, aku akan makan sendiri.""Makan dengan perlahan, mungkin masih sedikit panas." Esther tidak memaksa ingin menyuapinya, dia terus memperhatikan Jason dari samping.Jason mengambil sendoknya, lalu memakan bubur itu."Bagaimana rasanya?" tanya Esther dengan penasaran.Jason menatapnya, lalu tersenyum dengan sopan. "Lumayan."Esther dengan senang berkata, "Kamu masih belum mencicipi masakanku. Makanan buatanku sangat enak, semua orang yang mencobanya selalu bilang enak. Aku memang paling pandai memasak, lain kali aku akan memasaknya untukmu, aku sudah bertanya pada orang tuamu, aku tahu kamu suka makan apa, bagaimana kalau lain kali aku datang ke sini dan memasaknya untukmu?""Nggak perlu!" Jason menolaknya. "Aku sibuk bekerja jadi jarang di rumah.""Nanti saja kalau sedang luang."Jason melihat Esther yang begitu ramah, lalu dia memikirkan sebuah
Thasia menoleh.Thasia melihat Diana berjalan mendekat dengan emosi, tanpa berkata apa pun dia hendak menatap Thasia.Untungnya Thasia bereaksi dengan cepat, dia tahu apa yang ingin wanita itu lakukan, dia segera menangkap tangannya.Diana ingin melawan, dia berkata dengan marah, "Dasar wanita sialan, kamu menjebakku! Saat aku sedang lengah, kamu mencari seorang pendukung. Kamu nggak hanya mencari penyumbang, bahkan membuat tugasmu itu menarik perhatian Bu Dhita. Atas dasar apa kamu mengambil semua kesuksesan itu?"Kalau saat ini Diana masih mencelakai panti asuhan itu, maka dirinya sendiri yang akan repot.Kalau orang-orang di kantor tahu, maka dirinya akan dipecat.Sedangkan Thasia juga memiliki seorang pelindung, kalau Diana membuat orang itu marah, maka kariernya tidak akan bisa bertahan.Jadi saat ini dia tidak bisa memberi Thasia pelajaran lagi.Diana merasa kesal, sedangkan Thasia hanya melihatnya dengan dingin, lalu menepis tangannya. "Memangnya hanya kamu yang boleh menjebakku
Thasia menunduk, dia baru sadar di celananya ada darah.Ekspresinya pun berubah.Kemarin perutnya memang sudah terasa tidak nyaman, tapi karena sedang sibuk dia pun tidak terlalu memikirkannya, dia juga tidak berpengalaman. Karena hanya merasa sedikit tidak nyaman, dia langsung mengabaikannya.Saat ini perutnya terasa sangat sakit.Tanpa sadar Thasia menutupi perutnya, dia membungkukkan badan, wajahnya sangat pucat, keringat dingin terus keluar.Saat Jeremy melihatnya pendarahan, ekspresinya langsung berubah, dia segera menarik tubuh Thasia. "Thasia!"Thasia merasa sangat sakit sehingga rasanya ingin pingsan, reaksi ini baru dia rasakan setelahnya, rasa sakitnya sepertinya meningkat berkali-kali lipat, dia memegangi tangan Jeremy. "Anaknya ...."Jeremy langsung menggendong Thasia. "Nggak apa-apa, aku akan membawamu ke rumah sakit!""Tony, cepat nyalakan mobilnya!"Tony merasa sangat terkejut, dia baru pertama kali mengalami kejadian seperti ini, dia segera menyalakan mobilnya.Jeremy m
Jeremy ikut sampai ke depan ruang operasi, dia melihat Thasia dibawa ke dalam, dia hanya bisa berdiri di depan pintu dengan sangat cemas, seakan-akan dunianya runtuh saat ini. Tiba-tiba Jeremy teringat sesuatu, dia berkata, "Kamu harus menyelamatkannya, juga anak yang ada di perutnya!"Thasia sudah dibawa masuk ke dalam.Pintu tertutup, seketika dunia Jeremy pun terasa gelap.Dia berdiri di depan ruang operasi, napasnya terengah-engah, wajahnya penuh dengan keringat, dadanya bergerak naik turun cukup lama.Dia merasa di dadanya seperti ada banyak jarum yang menusuk, membuatnya tidak bisa bernapas dengan baik.Jeremy merasa takut.Dia takut Thasia sampai kenapa-napa.Juga takut kalau sampai anak Thasia kenapa-napa, maka setelah siuman wanita itu akan membencinya.Saat ini Jeremy berpikir, meski dia tidak suka pada anak itu, dia lebih takut lagi kehilangan Thasia.Jeremy tetap terdiam, dia tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya duduk di bangku samping sambil menundukkan kepala, wajahnya te