Sekarang ada satu orang lagi yang mengatakan hal ini.Pada akhirnya dirinya yang salah?"Bawa mobil ke sini." Jeremy berkata, "Kita segera berangkat."--Thasia duduk di dalam mobil, mobilnya berhenti di depan sebuah restoran.Diana mendekat dan mengetuk jendelanya. "Di sini?""Ya." Thasia berkata, "Jam 12 Jeremy akan datang ke sini.""Oke." Diana menoleh ke arah Thasia, lalu tersenyum sambil berkata, "Tenang saja, aku akan mengingat kebaikanmu ini, kalau nanti aku jadi kepala editor, aku nggak akan membiarkanmu selamanya hanya mengetik saja.""Sebaiknya kamu segera masuk." Thasia memberi tahu wanita itu nomor ruang VIP-nya.Diana berjalan ke arah restoran.Ponsel Thasia berbunyi, dia membukanya, setelah melihatnya dia tersenyum.Masalah di panti asuhan akhirnya beres.Dia melihat ke arah Diana pergi, dia juga tidak ingin membuat kekacauan.Thasia segera berjalan ke arah panti asuhan.20 menit kemudian Jeremy sudah sampai di pintu restoran.Dia melihat ke arah kaca spion yang mengarah
Suara keras itu mengejutkan Diana. "Pak Jeremy."Jeremy menatap Diana dengan dingin. "Aku tanya sekali lagi, di mana Thasia?"Diana melihat ke arah gelas yang pecah di lantai, lalu menatap ke arah Jeremy lagi, rasa mabuknya menghilang.Tidak disangka Jeremy begitu emosi, sekali tidak senang langsung membanting gelas.Melihat Jeremy berdiri dengan ekspresi mengerikan, Diana segera berkata, "Thasia nggak ada di sini, hanya ada kita."Sorot mata Jeremy menjadi lebih mengerikan, dia berkata dengan dingin, "Dia mengirimiku pesan untuk janjian ketemu demi dirimu?""Ya." Diana bingung kenapa Jeremy begitu marah, jadi dia berkata, "Thasia dulu pernah bekerja di PT Okson, aku nggak bisa mengajakmu keluar, jadi aku menyuruh Thasia memikirkan cara. Kalau dia berhasil mengajakmu keluar, maka aku bisa membicarakan kerja sama denganmu, sebenarnya aku dan Thasia ....""Pergi!" kata Jeremy dengan keras, semakin lama dia semakin marah.Diana terkejut hingga wajahnya memucat. "Pak Jeremy, aku nggak berb
Thasia sudah membahas hal ini dengan Dhita, wanita itu merasa idenya tidak buruk.Dhita sudah berkata padanya, dia harus merekam keadaan di panti asuhan lalu dijadikan sebuah acara di TV.Kalau berhasil mendapat dukungan penonton, lalu mendapat investasi, maka ini bisa dijadikan acara TV yang mendidik.Tujuan awal Thasia sebenarnya untuk mencari rumah baru bagi para anak di panti asuhan itu.Meski kemampuan Thasia terbatas, juga tidak bisa membuat semua anak di dunia ini untuk hidup serba berkecukupan, hanya saja selama dia bisa membantu, dia akan membantu dengan semaksimal mungkin."Terima kasih," kata Thasia dengan sungkan. "Saat aku meminta bantuan, kamu langsung setuju membantuku, aku nggak tahu harus berterima kasih padamu dengan cara apa.""Kamu ini berbicara apa, kamu juga membantuku, aku juga merasa berterima kasih padamu." Mark membawa Thasia berjalan masuk. "Tenang saja, serahkan masalah ini padaku, masalah anak-anak di panti ini pasti akan teratasi."Thasia berjalan masuk, b
Thasia ingin menahannya, dia kira tidak akan masalah.Namun, penciumannya terlalu tajam, dia langsung ingin muntah.Mark sedang berbicara dengannya, melihat reaksi Thasia ini, dia bertanya dengan penuh perhatian, "Thasia, kamu nggak apa-apa, 'kan?"Thasia tidak tahan lagi, dia menutup mulutnya sambil berjalan ke toilet.Mark, yang melihat keadaannya langsung mengerti, hanya orang hamil yang akan bereaksi seperti ini.Ekspresi Mark pun berubah, pada akhirnya dia juga ikut berjalan ke toilet.Thasia muntah beberapa saat.Reaksi dari kehamilannya jadi semakin parah.Setelah muntah Thasia membersihkan wajahnya, baru dia berjalan keluar.Mark segera memberinya tisu.Thasia menerimanya. "Terima kasih."Mark berkata, "Kamu muntah cukup parah, apakah kamu hamil?""Ya, kamu sadar?" Thasia tidak menutupinya.Mark merasa sangat terkejut, dia baru bertemu Thasia tidak begitu lama, tapi wanita itu sudah hamil. "Selamat. Nggak disangka setelah lama nggak bertemu, sekarang kamu sudah mau menjadi ibu.
"Lepaskan dia!" teriak Thasia, dia melihat di sudut bibir Mark terdapat darah.Thasia melindungi Mark, hal ini membuat Jeremy makin marah, dia tersenyum sinis. "Kamu begitu peduli padanya, lihat saja aku akan memukulnya!"Jeremy langsung menendang Mark.Sebelum Mark selesai berbicara, tubuhnya sudah ditendang.Thasia terkejut, dia segera menopang tubuh Mark.Jeremy menarik tangan Thasia, lalu berkata dengan kencang, "Kamu berani bersikap peduli padanya!"Thasia melihat ke arah Jeremy, dia menepis tangan pria itu dengan marah. "Dasar gila, Mark itu rekan kerja samaku yang baru!""Kamu pikir aku percaya?" Jeremy berkata dengan sinis, "Dia tadi menopang tubuhmu, bahkan begitu peduli padamu sampai menyiapkan barang-barang kebutuhan ibu hamil, kalau dia bukan Leo maka siapa lagi? Kalau orang lain mungkinkah dia bisa begitu peduli padamu? Kamu nggak perlu membohongiku!""Kapan aku membohongimu?""Kamu nggak membohongiku?" Jeremy merasa semakin marah, "Orang yang mengajakku keluar itu kamu, s
Tidak ada yang berani ikut campur dalam pertengkaran mereka.Kedua mata Jeremy memerah dan dingin, dia merasa sangat marah terhadap Thasia sehingga tidak bisa berpikir dengan jernih.Namun, perkataannya membuat Thasia terdiam.Kedua tangan Thasia terkepal, hatinya seketika merasa sedih.Thasia memang ingin mereka bercerai, tapi jika harus bercerai dengan cara seperti ini dia juga merasa sedih.Mungkin dia tidak menyangka Jeremy akan semarah ini padanya.Mungkin hal yang terjadi hari ini terlalu banyak, Thasia merasa tidak bisa mencernanya, suasana hatinya juga sedang buruk, jadi pertengkaran mereka malah semakin sengit.Jeremy masih melihatnya, seakan-akan sedang menunggu jawab Thasia.Thasia terdiam cukup lama, baru berkata, "Baiklah, kita bertemu di Kantor Biro Urusan Sipil!"Jelas-jelas tahu hubungan mereka akan berakhir seperti ini, tapi hatinya Thasia tetap merasa sakit, seakan-akan dia masih mengharapkan sesuatu. Jeremy tersenyum sinis. "Oke!"Jeremy segera berbalik dan berjalan
"Nggak perlu," kata Thasia. "Aku bawa mobil, kamu urusi saja pekerjaanmu, lain kali aku akan mencarimu lagi untuk meminta maaf."Mark berkata, "Nggak perlu, aku juga nggak dipukul dengan sia-sia, aku percaya dengan kemampuanmu, kamu akan memberikanku banyak keuntungan!"Selesai mengurusi lukanya, Mark berbicara sebentar dengan Thasia, lalu dia pergi duluan.Hanya saja saat Mark di mobil, dia mengirimi Jason pesan. "Apakah kamu tahu Thasia hamil?"Jason sedang berada di rumah.Rambutnya sangat berantakan, bajunya juga terlihat santai, saat menerima pesan itu, tangannya sedikit bergetar."Nggak tahu."Mark merasa terkejut mendapat jawaban ini. "Kalau begitu rencanamu akan sulit ke depannya, Thasia memiliki anak dengan orang lain, sepertinya dia menyukai pria lain, bagaimana bisa kamu menikahinya?"Ekspresi Jason sedikit berubah, pada akhirnya dia hanya bisa merelakannya. "Kalau dia merasa bahagia, aku akan mendoakannya ...."Jason menambahkan lagi. "Selama dia bahagia, maka aku baru bisa
Esther sampai mengangkat mangkuknya, mengarahkan sendok ke mulut Jason.Melihat ini Jason ingin menjaga jarak dengannya, dia berkata, "Baiklah, aku akan makan sendiri.""Makan dengan perlahan, mungkin masih sedikit panas." Esther tidak memaksa ingin menyuapinya, dia terus memperhatikan Jason dari samping.Jason mengambil sendoknya, lalu memakan bubur itu."Bagaimana rasanya?" tanya Esther dengan penasaran.Jason menatapnya, lalu tersenyum dengan sopan. "Lumayan."Esther dengan senang berkata, "Kamu masih belum mencicipi masakanku. Makanan buatanku sangat enak, semua orang yang mencobanya selalu bilang enak. Aku memang paling pandai memasak, lain kali aku akan memasaknya untukmu, aku sudah bertanya pada orang tuamu, aku tahu kamu suka makan apa, bagaimana kalau lain kali aku datang ke sini dan memasaknya untukmu?""Nggak perlu!" Jason menolaknya. "Aku sibuk bekerja jadi jarang di rumah.""Nanti saja kalau sedang luang."Jason melihat Esther yang begitu ramah, lalu dia memikirkan sebuah
"Oke."Tatapan Kent mengikuti sosok Thasia yang berlalu.Thasia mengendarai sepedanya keluar, dia menuju ke pusat kota.Jaraknya tidak terlalu jauh.Jeremy telah memberinya sebuah vila dengan harga yang sangat mahal.Saat ini jalanan cukup ramai, dia sedang menunggu di lampu merah.Setelah lampu berwarna hijau, dia mendorong sepedanya, tiba-tiba ada orang berkata, "Biar aku bantu."Thasia menoleh ke belakang, dia melihat seorang pria muda sedang mendorong belakang sepedanya.Sepertinya pria itu menyadari Thasia sedang hamil, jadi kesulitan mengendarai sepeda.Hari ini Thasia berpakaian dengan santai. Rambutnya dikepang, memakai sebuah topi dan gaun yang lebar, perutnya sedikit menonjol.Selain ibu hamil yang akan berpakaian seperti ini, yang lainnya tidak mungkin.Thasia merasa dirinya tidak selemah itu, tapi dia juga tidak ingin menolak kebaikannya, jadi dia berkata, "Terima kasih."Dia segera sampai ke seberang, orang itu berjalan ke arah yang berlawanan dengannya.Thasia lanjut meng
Sabrina kira dirinya sedang bermimpi, dia merasa kesal, padahal sebelumnya dia melihat mereka saling mencintai, kenapa sekarang malah bercerai. "Apa yang terjadi? Jeremy itu, dasar pria berengsek, dia cepat sekali berubahnya. Nggak bisa, pokoknya aku harus memberinya pelajaran!"Thasia sudah menerima kenyataan ini. "Nggak perlu, ada baiknya kami bercerai, sekarang aku sudah punya rumah dan uang, aku sudah menjadi janda kaya, meski aku nggak bekerja seumur hidup, aku nggak akan mati kelaparan, kamu seharusnya mengucapkan selama padaku.""Keenakan wanita murahan itu!" Sabrina memosisikan dirinya seperti Thasia, mana mungkin dia terima."Biarkan saja." Thasia berkata, "Kamu nggak perlu mengurusi masalah ini, semua sudah berlalu.""Aku mengerti, hanya saja aku khawatir kamu akan merasa sedih, aku ingin bertanya apakah perlu aku temani, tapi kamu nggak menjawab panggilanku, aku juga nggak tahu kamu ada di mana. Membuatku khawatir saja." Sabrina benar-benar khawatir padanya, tapi juga tahu s
Matanya menatap ke arah Kent lagi, pria itu menatapnya dengan tatapan seperti biasa.Bagi Kent hal itu sudah biasa.Thasia akhirnya mengerti, pria ini tumbuh besar di lingkungan yang kejam dan selalu bersembunyi.Seperti katanya, Kent memang hidup di dunia yang gelap, tanpa adanya cahaya.Meski begitu Thasia tetap merasa terkejut, dia tidak mengerti padahal sama-sama manusia, kenapa mereka bisa hidup dengan cara yang sangat berbeda."Kenapa kamu memberikan darahmu padaku?" Thasia ingin menolak. "Aku nanti juga akan siuman kalau pingsan, kamu nggak perlu melukai dirimu, nggak baik bagi tubuhmu, aku nggak mau kamu bertindak seperti ini."Kent tersenyum santai, mungkin hal ini hal paling santai yang pernah dia lakukan. "Nggak masalah, hanya mengeluarkan sedikit darah saja, nggak akan mengancam nyawa.""Nggak boleh bilang begitu, lain kali nggak boleh lagi!" Thasia menentangnya dengan tegas. "Saat kamu bersamaku maka kamu juga harus dihargai, bukan barang untuk dikorbankan, kamu juga nggak
Kent ingin menghindari, jelas dia tidak ingin Thasia menyentuhnya.Saat ini Thasia merasa lebih curiga, dia bertanya, "Kenapa kamu berdarah?"Padahal Kent sudah terluka cukup lama, meski luka di tubuhnya masih belum sembuh total, tidak seharusnya masih meneteskan darah.Kecuali lukanya bertambah lagi.Kent menarik lengan bajunya, tapi beberapa tetes darah itu tidak bisa ditutupi dengan mudah.Pria itu tersenyum, lalu mencari alasan. "Tadi saat memasak nggak sengaja terluka, bukan masalah besar."Alasan itu tidak bisa mengelabui Thasia."Kamu sudah terbiasa melakukan pembedahan, mana mungkin bisa terluka saat memasak. Kamu nggak akan bisa membohongiku!" Thasia mengerutkan keningnya, dia sama sekali tidak percaya pada penjelasannya ini. "Luka ini sepertinya bukan muncul saat kamu memasak tadi, kenapa kamu bisa terluka?"Kent terdiam.Pria itu tidak mau bilang, Thasia tetap punya mata untuk melihat, dia menarik tangan Kent, ternyata di pergelangan tangannya ada luka yang diperban dengan k
"Ini pertama kalinya aku masak."Thasia mengangkat alisnya. "Nggak masalah, aku ingin mencicipi masakanmu, mungkin saja kamu berbakat."Setengah jam kemudian Kent baru berjalan keluar dari dapur.Tidak ada aroma gosong, berarti Kent tidak membuat dapurnya terbakar.Namun, ketika Kent meletakkan masakannya di atas meja, Thasia merasa sangat terkejut.Thasia menatap Kent dengan tatapan ketakutan.Kent pikir Thasia tidak tahu masakan apa ini, jadi dia menjelaskan dengan tenang, "Ini hati ayam, ini ampela ayam ... kedua hal itu termasuk organ dalamnya, ini badan ayam, ini bagian pahanya, ada banyak daging tapi nggak eneg ...."Setelah mendengar penjelasan Kent, dia seakan-akan mendengarkan penjelasan bagian tubuh.Bisa dibayangkan saat Kent memasak, dia membedah ayam itu, begitu melihatnya selera makan Thasia pun menghilang.Sebaliknya malah membuatnya ingin muntah.Melihat Thasia masih belum mulai makan, Kent bertanya, "Kenapa? Kelihatannya nggak enak? Padahal aku sudah berusaha membuatny
Tatapan Kent menjadi rumit, kalau Thasia tahu apa yang telah dirinya lakukan, wanita ini pasti tidak akan berkata seperti itu.Kent saja tidak berani menyentuh tangan Thasia, apalagi melakukan hal jahat padanya.Kent tidak menolak lagi, dia membiarkan Thasia menyentuh tangannya.Mereka berdua terdiam cukup lama, warna darah di gelang mutiara yang dipakai Thasia menjadi lebih pekat, hal ini terlihat oleh wanita itu, dia pun bertanya, "Apakah mutiara di gelang ini bisa berubah warna?"Tatapan Kent menjadi lebih gelap. "Benarkah?"Thasia memosisikan gelang itu di bawah sinar matahari, memang benar warna merahnya jadi lebih pekat. "Aku kira karena ini gelang lama, jadi warnanya bisa lebih gelap, tapi sekarang warna merahnya jadi lebih pekat. Gelang ini biasanya kamu yang pakai, 'kan? Kamu nggak sadar?"Kent tanpa sadar mengelus pergelangan tangannya, tertawa sambil berkata, "Mungkin ini barang palsu, aku nggak tahu, aku nggak pernah tes."Thasia menatap Kent. "Kalau palsu mungkinkah kamu m
Bisa dibilang hidupnya cukup beruntung.Lahir di keluarga yang harmonis, banyak orang yang baik padanya.Hanya dalam percintaan saja dia tidak beruntung.Mungkin hidupnya terlalu datar, agar hidupnya lebih berkreasi, dia harus mengalami perasaan kecewa ini.Perkataannya membuat Kent tertawa.Dia duduk di samping Thasia, menjaganya, matanya yang berwarna coklat terlihat sangat lembut."Kamu nggak pernah berkorban untukmu, tapi kamu memberiku kehidupan." Kent tidak menyembunyikan hal ini, ada hal yang harus dihadapi. "Tunggu ingatanmu pulih kamu juga akan tahu."Kent telah beberapa kali menolongnya, Thasia percaya pria ini tidak akan mencelakainya.Meski Kent bukan orang biasa.Sekarang orang yang menemaninya adalah Kent.Thasia tanpa sadar bertanya, "Kamu punya teman?""Nggak punya."Thasia bertanya lagi, "Kamu nggak ada teman?"Kent malah berkata, "Aku nggak perlu teman.""Orang tuamu di mana?""Aku nggak tahu siapa orang tuaku.""Kalau begitu kamu pasti kesepian, nggak ada keluarga da
Bagi Lisa, dia hanya punya pilihan ini.--Thasia tidak tahu bagaimana dirinya melewati malam ini, waktu terasa sangat lama.Dia terus terjaga di sofa sepanjang malam.Setelah dia merasa lebih sadar, matahari sudah mulai terbit.Rasanya lelah.Sangat lelah.Thasia menyeret tubuhnya yang lelah ke kamar mandi, dia mencuci muka, saat melihat wajahnya di kaca dia merasa terkejut.Dia kira dirinya melihat hantu.Matanya memerah, wajahnya sangat pucat, tidak ada rona darah sama sekali, dia terlihat seperti wanita sakit parah.Thasia mengelus wajahnya, dia tidak percaya dirinya menjadi seperti ini.Setelah hatinya dilukai apakah dirinya semenyedihkan ini?Tanpa Jeremy, apakah dirinya tidak bisa hidup lagi?Jawabannya tidak.Bukannya dia sempat berpikir putus hubungan dengan pria itu dan ingin bercerai?Bedanya kali ini pria itu yang meminta pisah.Thasia masih bisa hidup, dia bahkan bisa hidup dengan jauh lebih baik.Thasia sudah memutuskan, sudah cukup dia merasa sedih semalaman, hari-hari s
Lisa sudah membayangkan.Pernikahannya dan Jeremy akan semeriah apa.Dia akan menjadi pengantin paling bahagia di dunia ini.Pada saat ini, Lisa mendengar suara langkah kaki, dia kira pembantu di rumahnya, jadi dia berkata, "Kamu nggak perlu melayaniku, kamu istirahat saja."Namun, suara langkahnya tidak berhenti.Lisa mengerutkan keningnya, dia merasa sedikit kesal, jadi dia melepas maskernya sambil berkata, "Sudah aku bilang ...."Begitu dia menoleh dan melihat dengan lebih jelas siapa yang datang, dia merasa terkejut, dia membuang maskernya dan berkata dengan hormat, "Ayah ....""Lisa." Pria itu menatap Lisa, lalu berkata sambil tersenyum, "Lama nggak bertemu, ternyata kamu sudah besar."Lisa segera berdiri, dia memeluk pria itu. "Ayah, akhirnya kamu dibebaskan, aku sangat rindu padamu!"Pria yang berusia sekitar 50 tahun itu lebih tinggi sedikit dari Lisa, meski sudah tua tubuhnya cukup tegap, dia mengelus kepala Lisa dengan lembut. "Maaf membuatmu sendirian."Lisa berkata, "Nggak