Setelah mengatakannya, Thasia segera berjalan ke kamar, menutup pintu, berusaha menutupi semua suara dari luar.Saat ini keadaan di ruang tamu sangat hening, Jeremy duduk diam di bangkunya tanpa bereaksi.Jeremy masih tidak mengerti kenapa Thasia ingin melahirkan anak itu.Sebenarnya apa yang Thasia sukai dari pria itu!Pria itu tidak tahu Thasia hamil, tidak tahu wanita itu tinggal di apartemen sekecil ini, juga tidak pernah peduli padanya.Pada saat yang sama Jeremy juga merasa menjadi pria yang gagal.Tidak peduli apa yang dirinya lakukan, Thasia tidak akan pernah merasa senang.Jeremy sudah susah-susah memasak untuknya, Thasia malah curiga dirinya memasukkan obat dan tidak ingin memakannya.Saat melihat tangannya yang memerah karena memegang tutup panci tadi, Jeremy merasa dirinya yang cari masalah sendiri.Dia malah berusaha menyenangkan seorang wanita yang tidak punya hati.Wajah Jeremy terlihat dingin, dia berdiri dan berjalan ke arah luar.Tony sedang menunggu di luar, melihat
Pria itu terkadang suka melawan isi hatinya, dia akan merasa tidak tertarik pada hal yang dipilihkan oleh orang lain.Sekarang Jeremy punya cara pandang yang berbeda.Jeremy sangat peduli pada Thasia!"Nggak mungkin kemungkinan yang kedua," kata Jeremy dengan dingin. "Dia suka pada pria lain, bahkan punya anak dengannya!"Setelah mendengar ini Eric langsung tertegun.Ada anak dengan pria lain?Tidak mungkin."Kamu yakin?" tanya Eric sekali lagi."Kalau nggak yakin mungkinkah aku mengatakannya padamu?" kata Jeremy dengan datar.Eric terdiam lagi, lalu bertanya, "Kamu yakin anak itu bukan punyamu?"Eric tidak pernah mendengar Thasia memiliki hubungan dengan pria lain."Aku nggak pernah tidur dengan Thasia!" kata Jeremy dengan kesal."Aku salut padamu!" Eric menyimpulkan, "Punya istri yang begitu cantik di sisimu, tapi kamu bisa menahan diri, heran aku kalau kamu nggak diselingkuhi."Wajah Jeremy terlihat kesal. "Diam!"Dia langsung menutup telepon.Sehingga dirinya tidak semakin mengamuk
Saat Thasia terbangun, kamarnya sudah kosong.Hanya saja matanya terasa basah.Dia teringat dirinya semalam bertengkar dengan Jeremy, dia meraba-raba sisi kasurnya, tidak ada jejak ada orang tidur di sana.Sepertinya kemarin Jeremy langsung pergi.Thasia bangkit dari ranjang, segera melihat ke arah lemari, dia menyadari baju pria itu masih ada, berarti Jeremy tetap akan mengikutinya.Hatinya yang tadi berharap merasa kecewa lagi.Thasia segera mandi, lalu siap-siap berangkat kerja,Setelah sampai di stasiun TV, dia mendengar Diana berkata dengan keras, "Jangan halangi jalanku, memangnya kerjaanmu lebih penting daripada kerjaanku?"Diana hari ini seperti telah memakan bom saja."Diana, hari ini kamu kenapa? Meski suasana hatimu sedang buruk, nggak sepatutnya kamu melampiaskannya pada orang lain," kata rekan kerja lainnya, suasana hatinya pasti sedang buruk.Diana selalu begitu, kalau suasana hatinya sedang jelek, siapa pun selalu terlihat menyebalkan baginya, dia menatap rekan kerja itu
Diana melihat ke arah Thasia, dia merasa sedikit kesal, tugas mewawancarai Jeremy ini harus Thasia juga yang turun tangan baru berhasil.Apalagi kalau tugas mewawancarai Jeremy selesai, dia baru bisa mengembalikan gengsinya yang sempat diinjak-injak waktu itu.Setelah Dhita pergi, Diana berjalan ke tempat duduk Thasia, kali ini nada bicaranya menjadi lebih ramah. "Thasia, apakah kamu sudah memikirkan masalah yang kemarin aku bicarakan denganmu?""Bukannya kemarin aku sudah memberitahumu?" Thasia tidak menoleh padanya.Diana merasa ingin memarahinya, tapi dia menahan diri, di sini kalau ada yang tidak menghormatinya, dia juga tidak akan menghormati orang itu.Thasia berbeda, setelah Diana menyelesaikan tugas wawancara Jeremy, dia pasti akan memberinya pelajaran.Diana lanjut berkata, "Kalau nggak begini saja, kita pergi bareng, kalau tugas ini berhasil, kami akan mengingat jasamu ini. Kamu juga seharusnya nggak ingin terus mengurusi akun kantor saja, 'kan? Siapa yang nggak mau naik pang
"Kak Diana, sebenarnya siapa itu Thasia? Beraninya dia bersikap begitu sombong padamu, benar-benar nggak tahu diri.""Dia nggak menghormatimu, bahkan mempermalukanmu di depan teman-teman kantor. Pokoknya kamu harus memberinya pelajaran!"Pengikut Diana berbisik di sampingnya."Aku nggak akan membiarkannya begitu saja!" Diana akan mengingat dendam ini, tatapan matanya menjadi mengerikan. "Aku akan membuatnya membantuku dalam tugas ini dengan patuh, bahkan dia akan memohon padaku untuk membiarkannya membantuku!"Thasia kali ini pergi menggunakan mobil kantor.Veren merasa senang, dia berkata, "Kak Thasia, berani sekali kamu melawan perkataan Diana, di kantor selain Bu Dhita, nggak ada lagi yang berani macam-macam padanya."Thasia sedang mengendarai mobil ke jalan. "Aku nggak melawannya, aku hanya mengatakan kenyataan. Aku nggak menyinggungnya.""Tapi kamu sudah menyinggungnya." Veren berkata, "Nanti dia pasti akan terus mencari masalah denganmu."Veren tahu seperti apa sifatnya Diana, ja
Gita mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Mereka bilang kamu telah mengambil milik orang, jadi dia juga akan mengambil milikmu, ke depannya kamu nggak boleh ke sini lagi, kalau masih ke sini, kami akan terkena masalah. Nona Thasia, aku juga nggak ingin mengusirmu, tapi aku nggak ingin anak-anak terluka.""Sungguh keterlaluan!" Veren berkata, "Bagaimanapun dia nggak boleh memukul anak-anak, dasar nggak punya hati nurani!""Bu Gita, aku minta maaf, aku yang membuat kalian seperti ini." Thasia juga tidak menyangka pihak lawan akan berbuat seperti ini, teganya dia menyerang panti asuhan."Bukan salahmu, malahan aku merasa sangat berterima kasih padamu. Kalau bukan karenamu, mereka nggak akan secepat ini bisa memakan daging." Gita tetap merasa berterima kasih pada Thasia. "Hanya saja entah siapa yang bermasalah denganmu, sehingga mereka menutup jalanmu, aku tahu Nona Thasia bekerja di stasiun TV. Kalau orang itu menutup jalanmu, berarti dia ingin membuatmu nggak bisa bertahan di sana, bukan?"
Setelah mendengar ini, Diana melirik Thasia sebentar, melihatnya dari atas kepala sampai ke kaki, lalu baru tertawa. "Kamu istrinya Jeremy? Thasia, kalau kamu merasa nggak bisa mengatasiku, kamu juga nggak boleh berkata seperti ini, memangnya kamu kira aku akan percaya?"Sorot matanya terlihat meremehkan, sama sekali tidak percaya pada kata-kata Thasia. "Kalau kamu itu istrinya, kamu pasti bisa langsung mengatasi masalah panti asuhan, untuk apa kamu datang mencariku, kamu ini sudah nggak ada jalan keluar lagi baru datang mencariku. Seharusnya kamu mengatakan sesuatu untuk memenangkan hatiku, bukannya malah membual yang nggak-nggak, mana mungkin aku percaya!"Thasia berpikir dirinya juga belum bercerai dengan Jeremy, jadi dia masih merupakan istri sahnya pria itu.Jadi tidak masalah kalau dia memberi tahu Diana.Hal ini merupakan cara paling mudah yang bisa Thasia pikirkan.Namun, Diana tidak percaya."Kalau aku membantumu, apakah kamu tetap akan ikut campur dalam masalah panti asuhan?"
"Tetap saja kamu nggak sepantasnya diperlakukan seperti itu." Veren merasa tidak adil. "Tapi nggak ada cara lain, Diana memang hebat, dia memiliki banyak cara dalam mengatasi masalah. Hanya saja kenapa dia nggak mencari orang lain untuk menghubungi Jeremy? Kenapa harus kamu?"Thasia berkata, "Dia ingin menekanku, agar aku tahu di kantor nggak ada yang bisa melawannya!"Veren bertanya lagi, "Thasia, tadi kamu bilang kamu ini istrinya Jeremy, apakah hal itu benar?"Veren sedikit memercayai perkataan Thasia.Thasia terdiam sebentar, lalu menutup ponselnya sambil menjawab, "Ya, tapi sebentar lagi sudah bukan.""Ayo pergi, kita harus kembali ke kantor."Saat Veren tercengang, Thasia segera mengambil tasnya dan berjalan keluar.Dia harus memikirkan dua cara yang bagus.Veren tidak mengerti maksudnya, jawabannya terdengar seperti ya, tapi juga sepertinya tidak, dia tidak mengerti.Thasia tidak berbicara lagi, Veren juga tidak bertanya.Mereka kembali ke kantor.Diana dan para kacungnya sudah
"Oke."Tatapan Kent mengikuti sosok Thasia yang berlalu.Thasia mengendarai sepedanya keluar, dia menuju ke pusat kota.Jaraknya tidak terlalu jauh.Jeremy telah memberinya sebuah vila dengan harga yang sangat mahal.Saat ini jalanan cukup ramai, dia sedang menunggu di lampu merah.Setelah lampu berwarna hijau, dia mendorong sepedanya, tiba-tiba ada orang berkata, "Biar aku bantu."Thasia menoleh ke belakang, dia melihat seorang pria muda sedang mendorong belakang sepedanya.Sepertinya pria itu menyadari Thasia sedang hamil, jadi kesulitan mengendarai sepeda.Hari ini Thasia berpakaian dengan santai. Rambutnya dikepang, memakai sebuah topi dan gaun yang lebar, perutnya sedikit menonjol.Selain ibu hamil yang akan berpakaian seperti ini, yang lainnya tidak mungkin.Thasia merasa dirinya tidak selemah itu, tapi dia juga tidak ingin menolak kebaikannya, jadi dia berkata, "Terima kasih."Dia segera sampai ke seberang, orang itu berjalan ke arah yang berlawanan dengannya.Thasia lanjut meng
Sabrina kira dirinya sedang bermimpi, dia merasa kesal, padahal sebelumnya dia melihat mereka saling mencintai, kenapa sekarang malah bercerai. "Apa yang terjadi? Jeremy itu, dasar pria berengsek, dia cepat sekali berubahnya. Nggak bisa, pokoknya aku harus memberinya pelajaran!"Thasia sudah menerima kenyataan ini. "Nggak perlu, ada baiknya kami bercerai, sekarang aku sudah punya rumah dan uang, aku sudah menjadi janda kaya, meski aku nggak bekerja seumur hidup, aku nggak akan mati kelaparan, kamu seharusnya mengucapkan selama padaku.""Keenakan wanita murahan itu!" Sabrina memosisikan dirinya seperti Thasia, mana mungkin dia terima."Biarkan saja." Thasia berkata, "Kamu nggak perlu mengurusi masalah ini, semua sudah berlalu.""Aku mengerti, hanya saja aku khawatir kamu akan merasa sedih, aku ingin bertanya apakah perlu aku temani, tapi kamu nggak menjawab panggilanku, aku juga nggak tahu kamu ada di mana. Membuatku khawatir saja." Sabrina benar-benar khawatir padanya, tapi juga tahu s
Matanya menatap ke arah Kent lagi, pria itu menatapnya dengan tatapan seperti biasa.Bagi Kent hal itu sudah biasa.Thasia akhirnya mengerti, pria ini tumbuh besar di lingkungan yang kejam dan selalu bersembunyi.Seperti katanya, Kent memang hidup di dunia yang gelap, tanpa adanya cahaya.Meski begitu Thasia tetap merasa terkejut, dia tidak mengerti padahal sama-sama manusia, kenapa mereka bisa hidup dengan cara yang sangat berbeda."Kenapa kamu memberikan darahmu padaku?" Thasia ingin menolak. "Aku nanti juga akan siuman kalau pingsan, kamu nggak perlu melukai dirimu, nggak baik bagi tubuhmu, aku nggak mau kamu bertindak seperti ini."Kent tersenyum santai, mungkin hal ini hal paling santai yang pernah dia lakukan. "Nggak masalah, hanya mengeluarkan sedikit darah saja, nggak akan mengancam nyawa.""Nggak boleh bilang begitu, lain kali nggak boleh lagi!" Thasia menentangnya dengan tegas. "Saat kamu bersamaku maka kamu juga harus dihargai, bukan barang untuk dikorbankan, kamu juga nggak
Kent ingin menghindari, jelas dia tidak ingin Thasia menyentuhnya.Saat ini Thasia merasa lebih curiga, dia bertanya, "Kenapa kamu berdarah?"Padahal Kent sudah terluka cukup lama, meski luka di tubuhnya masih belum sembuh total, tidak seharusnya masih meneteskan darah.Kecuali lukanya bertambah lagi.Kent menarik lengan bajunya, tapi beberapa tetes darah itu tidak bisa ditutupi dengan mudah.Pria itu tersenyum, lalu mencari alasan. "Tadi saat memasak nggak sengaja terluka, bukan masalah besar."Alasan itu tidak bisa mengelabui Thasia."Kamu sudah terbiasa melakukan pembedahan, mana mungkin bisa terluka saat memasak. Kamu nggak akan bisa membohongiku!" Thasia mengerutkan keningnya, dia sama sekali tidak percaya pada penjelasannya ini. "Luka ini sepertinya bukan muncul saat kamu memasak tadi, kenapa kamu bisa terluka?"Kent terdiam.Pria itu tidak mau bilang, Thasia tetap punya mata untuk melihat, dia menarik tangan Kent, ternyata di pergelangan tangannya ada luka yang diperban dengan k
"Ini pertama kalinya aku masak."Thasia mengangkat alisnya. "Nggak masalah, aku ingin mencicipi masakanmu, mungkin saja kamu berbakat."Setengah jam kemudian Kent baru berjalan keluar dari dapur.Tidak ada aroma gosong, berarti Kent tidak membuat dapurnya terbakar.Namun, ketika Kent meletakkan masakannya di atas meja, Thasia merasa sangat terkejut.Thasia menatap Kent dengan tatapan ketakutan.Kent pikir Thasia tidak tahu masakan apa ini, jadi dia menjelaskan dengan tenang, "Ini hati ayam, ini ampela ayam ... kedua hal itu termasuk organ dalamnya, ini badan ayam, ini bagian pahanya, ada banyak daging tapi nggak eneg ...."Setelah mendengar penjelasan Kent, dia seakan-akan mendengarkan penjelasan bagian tubuh.Bisa dibayangkan saat Kent memasak, dia membedah ayam itu, begitu melihatnya selera makan Thasia pun menghilang.Sebaliknya malah membuatnya ingin muntah.Melihat Thasia masih belum mulai makan, Kent bertanya, "Kenapa? Kelihatannya nggak enak? Padahal aku sudah berusaha membuatny
Tatapan Kent menjadi rumit, kalau Thasia tahu apa yang telah dirinya lakukan, wanita ini pasti tidak akan berkata seperti itu.Kent saja tidak berani menyentuh tangan Thasia, apalagi melakukan hal jahat padanya.Kent tidak menolak lagi, dia membiarkan Thasia menyentuh tangannya.Mereka berdua terdiam cukup lama, warna darah di gelang mutiara yang dipakai Thasia menjadi lebih pekat, hal ini terlihat oleh wanita itu, dia pun bertanya, "Apakah mutiara di gelang ini bisa berubah warna?"Tatapan Kent menjadi lebih gelap. "Benarkah?"Thasia memosisikan gelang itu di bawah sinar matahari, memang benar warna merahnya jadi lebih pekat. "Aku kira karena ini gelang lama, jadi warnanya bisa lebih gelap, tapi sekarang warna merahnya jadi lebih pekat. Gelang ini biasanya kamu yang pakai, 'kan? Kamu nggak sadar?"Kent tanpa sadar mengelus pergelangan tangannya, tertawa sambil berkata, "Mungkin ini barang palsu, aku nggak tahu, aku nggak pernah tes."Thasia menatap Kent. "Kalau palsu mungkinkah kamu m
Bisa dibilang hidupnya cukup beruntung.Lahir di keluarga yang harmonis, banyak orang yang baik padanya.Hanya dalam percintaan saja dia tidak beruntung.Mungkin hidupnya terlalu datar, agar hidupnya lebih berkreasi, dia harus mengalami perasaan kecewa ini.Perkataannya membuat Kent tertawa.Dia duduk di samping Thasia, menjaganya, matanya yang berwarna coklat terlihat sangat lembut."Kamu nggak pernah berkorban untukmu, tapi kamu memberiku kehidupan." Kent tidak menyembunyikan hal ini, ada hal yang harus dihadapi. "Tunggu ingatanmu pulih kamu juga akan tahu."Kent telah beberapa kali menolongnya, Thasia percaya pria ini tidak akan mencelakainya.Meski Kent bukan orang biasa.Sekarang orang yang menemaninya adalah Kent.Thasia tanpa sadar bertanya, "Kamu punya teman?""Nggak punya."Thasia bertanya lagi, "Kamu nggak ada teman?"Kent malah berkata, "Aku nggak perlu teman.""Orang tuamu di mana?""Aku nggak tahu siapa orang tuaku.""Kalau begitu kamu pasti kesepian, nggak ada keluarga da
Bagi Lisa, dia hanya punya pilihan ini.--Thasia tidak tahu bagaimana dirinya melewati malam ini, waktu terasa sangat lama.Dia terus terjaga di sofa sepanjang malam.Setelah dia merasa lebih sadar, matahari sudah mulai terbit.Rasanya lelah.Sangat lelah.Thasia menyeret tubuhnya yang lelah ke kamar mandi, dia mencuci muka, saat melihat wajahnya di kaca dia merasa terkejut.Dia kira dirinya melihat hantu.Matanya memerah, wajahnya sangat pucat, tidak ada rona darah sama sekali, dia terlihat seperti wanita sakit parah.Thasia mengelus wajahnya, dia tidak percaya dirinya menjadi seperti ini.Setelah hatinya dilukai apakah dirinya semenyedihkan ini?Tanpa Jeremy, apakah dirinya tidak bisa hidup lagi?Jawabannya tidak.Bukannya dia sempat berpikir putus hubungan dengan pria itu dan ingin bercerai?Bedanya kali ini pria itu yang meminta pisah.Thasia masih bisa hidup, dia bahkan bisa hidup dengan jauh lebih baik.Thasia sudah memutuskan, sudah cukup dia merasa sedih semalaman, hari-hari s
Lisa sudah membayangkan.Pernikahannya dan Jeremy akan semeriah apa.Dia akan menjadi pengantin paling bahagia di dunia ini.Pada saat ini, Lisa mendengar suara langkah kaki, dia kira pembantu di rumahnya, jadi dia berkata, "Kamu nggak perlu melayaniku, kamu istirahat saja."Namun, suara langkahnya tidak berhenti.Lisa mengerutkan keningnya, dia merasa sedikit kesal, jadi dia melepas maskernya sambil berkata, "Sudah aku bilang ...."Begitu dia menoleh dan melihat dengan lebih jelas siapa yang datang, dia merasa terkejut, dia membuang maskernya dan berkata dengan hormat, "Ayah ....""Lisa." Pria itu menatap Lisa, lalu berkata sambil tersenyum, "Lama nggak bertemu, ternyata kamu sudah besar."Lisa segera berdiri, dia memeluk pria itu. "Ayah, akhirnya kamu dibebaskan, aku sangat rindu padamu!"Pria yang berusia sekitar 50 tahun itu lebih tinggi sedikit dari Lisa, meski sudah tua tubuhnya cukup tegap, dia mengelus kepala Lisa dengan lembut. "Maaf membuatmu sendirian."Lisa berkata, "Nggak