Evelyn merasa ragu cukup lama. Dia merasa dirinya tidak boleh membiarkan Suby mati dengan penasaran.Dia tidak bisa membiarkan suaminya mati tanpa penjelasan apa pun."Thasia, kami sudah menerima pembalasan atas tindakan Suby." Evelyn selama berhari-hari ini kelihatannya menjadi lebih tua, rambutnya pun memutih. "Selama beberapa hari ini aku telah berkata kasar padamu, aku minta maaf, memang aku yang nggak bisa berpikir dengan jernih. Saat ini selama bisa menangkap pelaku yang membunuh Suby, aku bersedia melakukan apa pun.""Bibi." Thasia berkata, "Semua itu sudah berlalu, aku juga nggak memasukkannya ke dalam hati. Kehidupan masih berlanjut, kita harus fokus pada masa depan, jangan terus memikirkan masa lalu. Untuk masalah magang Feni, aku akan memikirkan cara untuk membantunya, meski nggak bisa masuk ke PT Okson, dia tetap akan bisa magang."Hal ini merupakan hal yang baik untuk mereka.Koneksi Thasia lebih banyak dari mereka, jadi pihak lawan pasti bisa membantunya."Thasia, terima
Ternyata telepon dari Mami di klub malam.Mami sudah lama tidak menghubunginya, Ella baru saja berpikir untuk memberitahunya kabar baik.Saat menjawab telepon, dia pun berkata dengan senang, "Halo, Mami, sekarang hidupku sudah enak, anakku juga sehat. Aku telah tinggal di rumah yang besar, bahkan ada orang yang melayaniku, calon nenek anak ini juga baik padaku. Ke depannya kehidupanku pasti akan bahagia."Dari seberang telepon terdengar seseorang berkata dengan panik, "Ella, aku meneleponmu karena ingin memberitahumu sesuatu, polisi datang ke sini untuk mencarimu. Apakah kamu melakukan suatu kejahatan?"Mendengar ini, ekspresi Ella berubah. "Polisi sedang mencariku?""Ya, mereka sedang mencari tahu tentangmu, entah apa yang mereka ...."Sebelum kalimat Mami selesai diucapkan, Ella sudah menutup telepon.Semua orang tahu dia tinggal di Kediaman Keluarga Okson.Polisi pasti sebentar lagi akan datang ke sini.Ella tidak akan membiarkan dirinya ditangkap polisi, jadi dia harus meninggalkan
Auranya sudah seperti nona besar.Hanya para wanita kaya yang bisa memiliki aura seperti ini.Ella merasa iri padanya. Sungguh beruntung orang yang terlahir dari keluarga kaya.Sedangkan dirinya, walaupun memiliki wajah yang cantik, dia hanya bisa bekerja di klub malam.Lisa menatap Ella melalui kaca, dia tersenyum dan bertanya, "Untuk apa kamu datang mencariku?""Tolong aku, polisi sedang mencariku." Ella saat ini masih merasa panik, dia takut mendengar suara mobil polisi, dia merasa hanya Lisa yang bisa menolongnya sekarang."Siti, kamu keluar dulu. Aku ingin berbicara berduaan dengannya."Siti menjawab, "Baik."Kemudian dia pun berjalan pergi.Seketika di ruangan itu hanya tinggal mereka berdua, serta setumpuk gaun indah.Di sebelahnya ada sebuah balkon.Ella duduk di bangku yang berada di balkon, ada gelas teh yang sudah terisi. Dia memegang teh yang hangat untuk menenangkan hatinya, tapi dia tetap berkata dengan panik, "Aku sekarang sudah nggak punya jalan keluar lagi, aku nggak i
Ella menatap sorot mata Lisa yang sangat berbeda dengan saat pertama kali mereka bertemu.Ekspresinya pun berubah."Kamu memanfaatkanku!"Ella berkata, "Kamu sengaja berkata seperti itu padaku, sengaja membuatku melakukan semua ini, kemudian kamu akan lepas tangan dan nggak memedulikanku. Ternyata yang jahat itu kamu."Lisa sengaja mendekatinya, membelikan baju anak untuknya.Kemudian berkata seperti itu padanya, ingin menggunakannya untuk membasmi Thasia.Lisa ternyata berkata seperti itu bukan demi kebaikannya, wanita itu telah mendorongnya ke dalam jurang.Jika Ella berhasil mengatasi Thasia, lalu dirinya masuk penjara, maka Lisa bisa mengatasi dua masalah dalam sekaligus."Kamu sungguh pandai berakting!" Ella berkata dengan marah, "Kamu berpura-pura suka padaku, bersikap baik, ramah dan dermawan padaku."Lisa masih meminum tehnya dengan tenang. Semua perkataan Ella tadi terdengar seperti pujian baginya."Sekarang kamu bahkan ingin mencelakai anakku." Ella memegang perutnya sambil m
Walau sudah sekarat dia masih punya pemikiran seperti itu.Dia ingin menaikkan derajat hidupnya menggunakan anak ini.Selama ada anak ini, maka dia akan memiliki kedudukan.Dia bisa hidup enak dengan mengharapkan anak ini.Namun, pada akhirnya itu semua hanyalah sebuah khayalan.Setelah selesai berbicara, Ella berhenti bernapas, tapi matanya masih terbuka lebar.Dia mati tanpa menutup matanya.Saat polisi turun ke bawah Ella sudah mati.Mereka pun menutup tempat itu dengan garis polisi.Lisa dibawa turun oleh polisi, rambutnya berantakan, wajahnya terlihat pucat dan seluruh tubuhnya dipenuhi dengan darah. Dia menangis karena ketakutan, tangannya juga terus bergetar.Polisi sedang menenangkannya, menyuruhnya untuk tidak takut.Air mata Lisa pun perlahan-lahan berhenti mengalir, tapi dia masih terlihat ketakutan.Saat Siti mendekat, Lisa memeluk Siti sambil menangis.Saat mengetahui kabar ini, Thasia segera datang ke tempat kejadian, tidak disangka ternyata semuanya sudah terjadi.Dia ha
Pelaku yang membunuh pamannya sudah meninggal.Sekarang dia sudah tidak perlu memeriksanya dan mencari bukti lagi.Kasus pun segera ditutup."Nona Lisa, semua perkataanmu sudah kami catat, kamu sebaiknya segera mengurusi lukamu," saran polisi.Siti berkata, "Kak Lisa, kamu ini terlalu baik, dirimu saja terluka, bukannya pergi ke rumah sakit dulu, malah datang ke sini untuk membuat laporan dulu."Mata Lisa masih memerah, wajahnya juga terlihat lesu. "Nggak apa-apa, semuanya sudah beres, ayo kita ke rumah sakit."Siti segera menopang tubuh Lisa, dia terlihat sangat lemah dan berusaha untuk bertahan.Kebetulan mereka berjalan melewati Thasia.Lisa melihat ke arah Thasia, lalu berkata, "Kebetulan sekali, di kantor polisi saja masih bisa bertemu denganmu."Thasia menatap luka di tangan Lisa, baju pihak lawan penuh dengan darah. "Sudah terlalu sering terjadi kebetulan, kali ini saja kebetulan ada orang yang mati di tempatmu."Lisa tertegun sejenak, dia pun sengaja bertanya, "Maksudmu wanita
"Tony, bawa dia ke rumah sakit!""Baik, Pak Jeremy." Mendengar ini Tony langsung mengiakannya.Lisa menatap Jeremy. "Kamu nggak ikut?"Jeremy berkata, "Aku masih ada urusan di sini, setelahnya baru aku menyusul."Mendengar nanti Jeremy akan pergi menyusul, Lisa pun baru merasa tenang. "Baiklah, aku akan menunggumu, aku ke rumah sakit dulu."Setelah itu dia menatap ke arah Thasia lagi.Thasia hanya diam saja. Dia sudah sering melihat Jeremy begitu perhatian pada Lisa.Kali ini Lisa terluka dengan begitu parah, aneh jika pria itu tidak khawatir.Jadi Thasia hanya bisa melihatnya dalam diam."Kamu nggak kenapa-napa, 'kan?" tanya Jeremy dengan tiba-tiba pada Thasia.Thasia memasukkan kedua tangannya ke saku, dia berkata dengan datar, "Saat aku ke sana Ella sudah meninggal. Kata polisi kalau nggak ada tersangka lain lagi, maka kasus pamanku akan ditutup.""Jadi benar itu perbuatan Ella?"Thasia mengangguk. "Ya, tapi orangnya sudah mati, jadi sudah nggak bisa melakukan apa-apa lagi."Amarahn
"Di kantor masih ada kerjaan. Setelah mengurus masalah pamanmu, sebaiknya jangan menunda urusan pekerjaan terlalu lama."Perkataannya terdengar tegas.Thasia masih memiliki status lain, yaitu sekretarisnya Jeremy.Setelah menyelesaikan masalah kehidupan, dia masih harus bekerja.Bagi Thasia, dia juga tidak akan bekerja lama lagi, hari ini mungkin hari terakhirnya bekerja.Dia harus menyelesaikan pekerjaannya bulan ini dengan baik, bagaimanapun dia butuh uang.Jika dia tidak pergi bekerja, gajinya juga akan dipotong.Setelah pulang kampung selama beberapa hari, jatah cutinya pun sudah terpakai habis.Nanti setelah berhenti kerja dari PT Okson, dia akan memulai kehidupan baru di tempat kerja yang baru, dia harus membuat perencanaan dengan matang.Setelah ragu-ragu sejenak, Thasia pun mengiakannya."Baik, Pak Jeremy."Mendengar jawaban seperti yang diinginkannya, Jeremy pun menoleh ke depan.Thasia mengikutinya dari belakang.Hubungan mereka masih sama seperti dulu, terlepas dari hubungan
"Oke."Tatapan Kent mengikuti sosok Thasia yang berlalu.Thasia mengendarai sepedanya keluar, dia menuju ke pusat kota.Jaraknya tidak terlalu jauh.Jeremy telah memberinya sebuah vila dengan harga yang sangat mahal.Saat ini jalanan cukup ramai, dia sedang menunggu di lampu merah.Setelah lampu berwarna hijau, dia mendorong sepedanya, tiba-tiba ada orang berkata, "Biar aku bantu."Thasia menoleh ke belakang, dia melihat seorang pria muda sedang mendorong belakang sepedanya.Sepertinya pria itu menyadari Thasia sedang hamil, jadi kesulitan mengendarai sepeda.Hari ini Thasia berpakaian dengan santai. Rambutnya dikepang, memakai sebuah topi dan gaun yang lebar, perutnya sedikit menonjol.Selain ibu hamil yang akan berpakaian seperti ini, yang lainnya tidak mungkin.Thasia merasa dirinya tidak selemah itu, tapi dia juga tidak ingin menolak kebaikannya, jadi dia berkata, "Terima kasih."Dia segera sampai ke seberang, orang itu berjalan ke arah yang berlawanan dengannya.Thasia lanjut meng
Sabrina kira dirinya sedang bermimpi, dia merasa kesal, padahal sebelumnya dia melihat mereka saling mencintai, kenapa sekarang malah bercerai. "Apa yang terjadi? Jeremy itu, dasar pria berengsek, dia cepat sekali berubahnya. Nggak bisa, pokoknya aku harus memberinya pelajaran!"Thasia sudah menerima kenyataan ini. "Nggak perlu, ada baiknya kami bercerai, sekarang aku sudah punya rumah dan uang, aku sudah menjadi janda kaya, meski aku nggak bekerja seumur hidup, aku nggak akan mati kelaparan, kamu seharusnya mengucapkan selama padaku.""Keenakan wanita murahan itu!" Sabrina memosisikan dirinya seperti Thasia, mana mungkin dia terima."Biarkan saja." Thasia berkata, "Kamu nggak perlu mengurusi masalah ini, semua sudah berlalu.""Aku mengerti, hanya saja aku khawatir kamu akan merasa sedih, aku ingin bertanya apakah perlu aku temani, tapi kamu nggak menjawab panggilanku, aku juga nggak tahu kamu ada di mana. Membuatku khawatir saja." Sabrina benar-benar khawatir padanya, tapi juga tahu s
Matanya menatap ke arah Kent lagi, pria itu menatapnya dengan tatapan seperti biasa.Bagi Kent hal itu sudah biasa.Thasia akhirnya mengerti, pria ini tumbuh besar di lingkungan yang kejam dan selalu bersembunyi.Seperti katanya, Kent memang hidup di dunia yang gelap, tanpa adanya cahaya.Meski begitu Thasia tetap merasa terkejut, dia tidak mengerti padahal sama-sama manusia, kenapa mereka bisa hidup dengan cara yang sangat berbeda."Kenapa kamu memberikan darahmu padaku?" Thasia ingin menolak. "Aku nanti juga akan siuman kalau pingsan, kamu nggak perlu melukai dirimu, nggak baik bagi tubuhmu, aku nggak mau kamu bertindak seperti ini."Kent tersenyum santai, mungkin hal ini hal paling santai yang pernah dia lakukan. "Nggak masalah, hanya mengeluarkan sedikit darah saja, nggak akan mengancam nyawa.""Nggak boleh bilang begitu, lain kali nggak boleh lagi!" Thasia menentangnya dengan tegas. "Saat kamu bersamaku maka kamu juga harus dihargai, bukan barang untuk dikorbankan, kamu juga nggak
Kent ingin menghindari, jelas dia tidak ingin Thasia menyentuhnya.Saat ini Thasia merasa lebih curiga, dia bertanya, "Kenapa kamu berdarah?"Padahal Kent sudah terluka cukup lama, meski luka di tubuhnya masih belum sembuh total, tidak seharusnya masih meneteskan darah.Kecuali lukanya bertambah lagi.Kent menarik lengan bajunya, tapi beberapa tetes darah itu tidak bisa ditutupi dengan mudah.Pria itu tersenyum, lalu mencari alasan. "Tadi saat memasak nggak sengaja terluka, bukan masalah besar."Alasan itu tidak bisa mengelabui Thasia."Kamu sudah terbiasa melakukan pembedahan, mana mungkin bisa terluka saat memasak. Kamu nggak akan bisa membohongiku!" Thasia mengerutkan keningnya, dia sama sekali tidak percaya pada penjelasannya ini. "Luka ini sepertinya bukan muncul saat kamu memasak tadi, kenapa kamu bisa terluka?"Kent terdiam.Pria itu tidak mau bilang, Thasia tetap punya mata untuk melihat, dia menarik tangan Kent, ternyata di pergelangan tangannya ada luka yang diperban dengan k
"Ini pertama kalinya aku masak."Thasia mengangkat alisnya. "Nggak masalah, aku ingin mencicipi masakanmu, mungkin saja kamu berbakat."Setengah jam kemudian Kent baru berjalan keluar dari dapur.Tidak ada aroma gosong, berarti Kent tidak membuat dapurnya terbakar.Namun, ketika Kent meletakkan masakannya di atas meja, Thasia merasa sangat terkejut.Thasia menatap Kent dengan tatapan ketakutan.Kent pikir Thasia tidak tahu masakan apa ini, jadi dia menjelaskan dengan tenang, "Ini hati ayam, ini ampela ayam ... kedua hal itu termasuk organ dalamnya, ini badan ayam, ini bagian pahanya, ada banyak daging tapi nggak eneg ...."Setelah mendengar penjelasan Kent, dia seakan-akan mendengarkan penjelasan bagian tubuh.Bisa dibayangkan saat Kent memasak, dia membedah ayam itu, begitu melihatnya selera makan Thasia pun menghilang.Sebaliknya malah membuatnya ingin muntah.Melihat Thasia masih belum mulai makan, Kent bertanya, "Kenapa? Kelihatannya nggak enak? Padahal aku sudah berusaha membuatny
Tatapan Kent menjadi rumit, kalau Thasia tahu apa yang telah dirinya lakukan, wanita ini pasti tidak akan berkata seperti itu.Kent saja tidak berani menyentuh tangan Thasia, apalagi melakukan hal jahat padanya.Kent tidak menolak lagi, dia membiarkan Thasia menyentuh tangannya.Mereka berdua terdiam cukup lama, warna darah di gelang mutiara yang dipakai Thasia menjadi lebih pekat, hal ini terlihat oleh wanita itu, dia pun bertanya, "Apakah mutiara di gelang ini bisa berubah warna?"Tatapan Kent menjadi lebih gelap. "Benarkah?"Thasia memosisikan gelang itu di bawah sinar matahari, memang benar warna merahnya jadi lebih pekat. "Aku kira karena ini gelang lama, jadi warnanya bisa lebih gelap, tapi sekarang warna merahnya jadi lebih pekat. Gelang ini biasanya kamu yang pakai, 'kan? Kamu nggak sadar?"Kent tanpa sadar mengelus pergelangan tangannya, tertawa sambil berkata, "Mungkin ini barang palsu, aku nggak tahu, aku nggak pernah tes."Thasia menatap Kent. "Kalau palsu mungkinkah kamu m
Bisa dibilang hidupnya cukup beruntung.Lahir di keluarga yang harmonis, banyak orang yang baik padanya.Hanya dalam percintaan saja dia tidak beruntung.Mungkin hidupnya terlalu datar, agar hidupnya lebih berkreasi, dia harus mengalami perasaan kecewa ini.Perkataannya membuat Kent tertawa.Dia duduk di samping Thasia, menjaganya, matanya yang berwarna coklat terlihat sangat lembut."Kamu nggak pernah berkorban untukmu, tapi kamu memberiku kehidupan." Kent tidak menyembunyikan hal ini, ada hal yang harus dihadapi. "Tunggu ingatanmu pulih kamu juga akan tahu."Kent telah beberapa kali menolongnya, Thasia percaya pria ini tidak akan mencelakainya.Meski Kent bukan orang biasa.Sekarang orang yang menemaninya adalah Kent.Thasia tanpa sadar bertanya, "Kamu punya teman?""Nggak punya."Thasia bertanya lagi, "Kamu nggak ada teman?"Kent malah berkata, "Aku nggak perlu teman.""Orang tuamu di mana?""Aku nggak tahu siapa orang tuaku.""Kalau begitu kamu pasti kesepian, nggak ada keluarga da
Bagi Lisa, dia hanya punya pilihan ini.--Thasia tidak tahu bagaimana dirinya melewati malam ini, waktu terasa sangat lama.Dia terus terjaga di sofa sepanjang malam.Setelah dia merasa lebih sadar, matahari sudah mulai terbit.Rasanya lelah.Sangat lelah.Thasia menyeret tubuhnya yang lelah ke kamar mandi, dia mencuci muka, saat melihat wajahnya di kaca dia merasa terkejut.Dia kira dirinya melihat hantu.Matanya memerah, wajahnya sangat pucat, tidak ada rona darah sama sekali, dia terlihat seperti wanita sakit parah.Thasia mengelus wajahnya, dia tidak percaya dirinya menjadi seperti ini.Setelah hatinya dilukai apakah dirinya semenyedihkan ini?Tanpa Jeremy, apakah dirinya tidak bisa hidup lagi?Jawabannya tidak.Bukannya dia sempat berpikir putus hubungan dengan pria itu dan ingin bercerai?Bedanya kali ini pria itu yang meminta pisah.Thasia masih bisa hidup, dia bahkan bisa hidup dengan jauh lebih baik.Thasia sudah memutuskan, sudah cukup dia merasa sedih semalaman, hari-hari s
Lisa sudah membayangkan.Pernikahannya dan Jeremy akan semeriah apa.Dia akan menjadi pengantin paling bahagia di dunia ini.Pada saat ini, Lisa mendengar suara langkah kaki, dia kira pembantu di rumahnya, jadi dia berkata, "Kamu nggak perlu melayaniku, kamu istirahat saja."Namun, suara langkahnya tidak berhenti.Lisa mengerutkan keningnya, dia merasa sedikit kesal, jadi dia melepas maskernya sambil berkata, "Sudah aku bilang ...."Begitu dia menoleh dan melihat dengan lebih jelas siapa yang datang, dia merasa terkejut, dia membuang maskernya dan berkata dengan hormat, "Ayah ....""Lisa." Pria itu menatap Lisa, lalu berkata sambil tersenyum, "Lama nggak bertemu, ternyata kamu sudah besar."Lisa segera berdiri, dia memeluk pria itu. "Ayah, akhirnya kamu dibebaskan, aku sangat rindu padamu!"Pria yang berusia sekitar 50 tahun itu lebih tinggi sedikit dari Lisa, meski sudah tua tubuhnya cukup tegap, dia mengelus kepala Lisa dengan lembut. "Maaf membuatmu sendirian."Lisa berkata, "Nggak