"Oke, kalau begitu maaf mengganggu," kata Tony dengan sopan, dia menatap Jeremy. Ekspresi pria itu sedikit membaik, Tony pun menghela napas lega.Thasia awalnya ingin makan malam bersama orang tuanya.Namun, sekarang tidak jadi.Melihat Bianca membereskan tempat tidurnya, dia berjalan mendekat dan berkata, "Ibu, aku harus keluar sebentar, aku nggak bisa makan malam bersama kalian."Bianca menoleh padanya. "Ada apa?""Ada pekerjaan penting."Bianca menghampiri Thasia dan berkata, "Thasia, kalau kamu ingin pindah pekerjaan, pindah saja. Masih banyak pekerjaan di dunia ini."Bianca juga memikirkan nasib Thasia.Putrinya akan bercerai, tapi malah masih bekerja di perusahaan Jeremy, maka betapa memalukannya hal ini."Aku mengerti, Ibu."Thasia juga berpikir seperti itu. Setelah bercerai, dia tidak ingin berada di sisi Jeremy.Mereka akan benar-benar berpisah.Thasia segera kembali ke Kediaman Keluarga Okson.Ketika dia kembali, pembantu tetap memanggilnya "Bu Thasia" dengan hormat.Seakan-a
Thasia melihat tindakannya. Walau dirinya dan Jeremy akan bercerai, tetap saja dia yang tidur di ranjang ini sebelumnya. Dia tidak suka orang lain menyentuhnya, ketika Ella hendak menyentuhnya, dia meraih tangan wanita itu, "Kamu tahu sweater yang mana?"Ella berhenti sejenak dan berpikir, "Hanya mengambil sweater saja, aku juga bisa antarkan."Ella merasa apa yang bisa dilakukan Thasia, dirinya juga bisa melakukannya.Thasia berkata tanpa ekspresi, "Kalau kamu ingin menjadi istrinya, kamu harus bisa memenuhi syarat." Thasia melihat ke arah ranjang besar. "Jeremy itu orang yang suka pilih-pilih, seperti sweater, hari apa dia akan memakai warna putih atau hitam, kalau dia nggak menyukainya ... maka akan gawat.""Berhentilah menakut-nakutiku!" Ella tidak memercayainya. Thasia juga sempat memperingatinya saat di dapur, tapi pada akhirnya Thasia hanya ingin dirinya mundur. "Cuacanya semakin dingin. Kak Jeremy ingin memakai pakaian tebal agar tetap hangat. Mana mungkin dia sampai berpikir s
Thasia biasanya terlihat sangat tenang, tidak mau berdebat dan jarang marah.Tidak peduli bagaimana Ella bertingkah, hal itu bukan urusannya dan Thasia tidak pernah berpikir untuk ikut campur.Juga karena itu Thasia pun dipojokkan hingga keadaannya menjadi seperti ini, Ella semakin berani bersikap sombong.Ella bahkan merasa status Thasia di Keluarga Okson lebih rendah darinya, hal ini membuatnya cukup percaya diri dan berpikir untuk menindasnya.Namun, Thasia tiba-tiba mengamuk dan menamparnya.Ella merasa sedikit terkejut. Ada Jeremy di bangsal, dia tidak boleh bertengkar dengan Thasia, dia harus terlihat lemah. Jadi dia hanya bisa berkata dengan sedih dan mata memerah, "Aku ... nggak bermaksud begitu."Tentu saja Thasia memahami tipuan muslihatnya, wanita ini berpura-pura menunjukkannya sikap lemahnya pada orang lain.Thasia tidak ingin mengalah lagi. Lagi pula, dia sudah keterlaluan, pihak lawan kira dirinya takut sehingga bisa menekannya. "Kamu tadi nggak bersikap seperti ini. Kam
"Aku sudah bawa untukmu." Thasia mengeluarkannya dari tas. "Yang ini, 'kan?"Jeremy awalnya sudah merasa tidak senang, tapi ketika dia melihat Thasia tidak menyerahkan tugas ini kepada wanita lain, ekspresi kesalnya pun menghilang, lalu dia pun bertanya, "Lalu kenapa dia bisa datang?"Thasia memandang Ella. "Tanyakan saja padanya apakah dia yang bersikeras ke sini dan nggak mau mendengarkan saranku. Aku nggak mau disalahkan."Jeremy memandang Ella lagi.Awalnya Ella ingin menunjukkan sisi lemahnya dan membuat Jeremy mengasihaninya, tapi ketika dia melihat tatapan pria itu, dia pun tahu dirinya sedang dalam masalah. Dia berkata dengan hati-hati, "Aku ... aku khawatir padamu. Maafkan aku, aku memang bersalah, aku yang nggak mengerti. Lain kali aku nggak akan melakukannya lagi, aku pasti akan mendengarkan saran Kak Thasia."Sorot mata Jeremy menjadi dingin. "Pergi sana."Ini pertama kalinya Ella diperlakukan begitu dingin oleh Jeremy, pria ini sudah tidak seperti pria yang mengobrol denga
"Bagaimana mungkin aku nggak khawatir? Kamu dirawat di rumah sakit, aku pun sangat mengkhawatirkanmu, aku pikir sama seperti yang waktu itu!" Lisa berkata sambil menangis, "Aku nggak ingin melihatmu terbaring di ranjang rumah sakit lagi, kalau begini aku nggak akan bisa tidur dan makan dengan tenang, juga nggak bisa fokus syuting. Aku lebih baik berada di sisimu untuk menjagamu."Ketika Lisa mengatakan hal ini, Jeremy tiba-tiba teringat pada cedera parahnya dulu.Cedera itu hampir membunuhnya.Lisa yang menyelamatkannya.Sebagai tanggapan, Jeremy hanya menjawab, "Hal itu nggak akan terjadi lagi."Lisa tetap merasa khawatir dan menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Kamu sudah berjanji bahwa kamu nggak ingin melihatku sedih, kamu harus menjaga dirimu dengan baik agar nggak terluka lagi. Jangan gunakan tubuhmu untuk menghukumku!"Jeremy pernah hampir mati sebelumnya.Saat itu, Lisa menjaganya selama tujuh hari tujuh malam tanpa tidur nyenyak.Kemudian, setiap kali dia terluka, Lisa tidak
"Siti, berhenti bicara." Lisa menyelanya dan berkata kepada Jeremy, "Aku baik-baik saja."Jeremy melirik pergelangan kakinya, dia melihat pergelangan kaki Lisa sedikit memerah, jadi pria itu berkata, "Tony, bawa dia ke dokter.""Baik, Pak Jeremy." Tony segera mendekat.Lisa berkata, "Nggak perlu ke dokter, cukup pakai obat saja sudah cukup, hanya luka kecil saja. Aku juga sering terluka di lokasi syuting, bahkan jauh lebih parah dari ini. Tony, tolong bantu aku membelinya."Tony memandang Jeremy, menunggunya keputusannya.Jeremy berkata dengan tenang, "Kalau begitu, belikan obatnya.""Baik, Pak Jeremy." Tony berjalan keluar.Setelah lama tidak bertemu, Lisa cukup merindukan pria ini, tapi dia selalu menahan diri hanya demi kariernya, juga kesal karena pria ini sudah mempermalukannya karena Thasia.Namun, kali ini sepertinya tidak buruk, setidaknya Jeremy masih mengingatnya.Hal ini membuatnya merasa tenang.Lisa mengambil pisau dan mengupas apel untuknya. "Kamu nggak meneleponku saat t
Thasia mematikan mobil dan menunggu Lisa mendekat.Lisa mengangkat makanan yang dibawanya dan tersenyum dingin. "Kenapa kamu nggak masuk? Kamu pasti kesal melihatku bersama Jeremy mengobrol, bukan?""Ada apa?" Thasia menoleh dan menatap Lisa yang berjalan di depannya."Kamu belum menjawab pertanyaanku."Thasia mengalihkan pandangannya dan berkata dengan tenang, "Terkadang suka ada orang yang berpura-pura dirinya telah mendapatkan apa yang dia inginkan, semakin dia pamer, maka akan semakin sulit untuk mendapatkannya."Thasia tahu bahwa Lisa ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk mengejeknya.Semua untuk pamer di depannya.Ekspresi Lisa menjadi dingin, dia membencinya yang suka berpura-pura tenang. "Kenapa pasti hanya berpura-pura saja, tapi di hatimu kamu merasa sedih, bukan? Nggak peduli seberapa jauh diriku dari Jeremy, dia akan selalu memikirkanku.""Kamu juga tahu dia telah mendirikan perusahaan entertainment untukku. Aku ingin main film, dia langsung mengatur sebuah peran untukk
Jeremy menolak semua tamu.Tony menghalangi di pintu dan berkata dengan sopan, "Nona Lisa, Pak Jeremy sedang istirahat. Dia bilang Anda nggak perlu mengkhawatirkannya. Anda bisa kembali ke lokasi syuting."Lisa berkata, "Nggak masalah, aku sudah meminta izin, sutradara sudah mengizinkannya. Setelah kembali nanti aku bisa melanjutkan syutingnya."Tony merasa sedikit tertekan sekarang dan berkata dengan bijaksana, "Pak Jeremy perlu istirahat."Lisa melirik ke bangsal dan memahami arti kalimatnya. Dia tidak marah-marah, malah berkata, "Tolong berikan ini pada Jeremy. Aku akan kembali untuk membawakan masakan Bibi nanti.""Baiklah, Nona Lisa."Tony mengambil dokumen itu dan terkejut saat melihat judul dokumennya.Lisa mengucapkan selamat tinggal dan berjalan pergi.Asistennya berkata, "Kak Lisa, kenapa kamu nggak masuk? Kita akhirnya punya kesempatan.""Nggak perlu terburu-buru," Lisa berkata, "Masih banyak peluang di masa depan. Lebih baik kita pulang ke Kediaman Keluarga Okson dulu."Lis
"Oke."Tatapan Kent mengikuti sosok Thasia yang berlalu.Thasia mengendarai sepedanya keluar, dia menuju ke pusat kota.Jaraknya tidak terlalu jauh.Jeremy telah memberinya sebuah vila dengan harga yang sangat mahal.Saat ini jalanan cukup ramai, dia sedang menunggu di lampu merah.Setelah lampu berwarna hijau, dia mendorong sepedanya, tiba-tiba ada orang berkata, "Biar aku bantu."Thasia menoleh ke belakang, dia melihat seorang pria muda sedang mendorong belakang sepedanya.Sepertinya pria itu menyadari Thasia sedang hamil, jadi kesulitan mengendarai sepeda.Hari ini Thasia berpakaian dengan santai. Rambutnya dikepang, memakai sebuah topi dan gaun yang lebar, perutnya sedikit menonjol.Selain ibu hamil yang akan berpakaian seperti ini, yang lainnya tidak mungkin.Thasia merasa dirinya tidak selemah itu, tapi dia juga tidak ingin menolak kebaikannya, jadi dia berkata, "Terima kasih."Dia segera sampai ke seberang, orang itu berjalan ke arah yang berlawanan dengannya.Thasia lanjut meng
Sabrina kira dirinya sedang bermimpi, dia merasa kesal, padahal sebelumnya dia melihat mereka saling mencintai, kenapa sekarang malah bercerai. "Apa yang terjadi? Jeremy itu, dasar pria berengsek, dia cepat sekali berubahnya. Nggak bisa, pokoknya aku harus memberinya pelajaran!"Thasia sudah menerima kenyataan ini. "Nggak perlu, ada baiknya kami bercerai, sekarang aku sudah punya rumah dan uang, aku sudah menjadi janda kaya, meski aku nggak bekerja seumur hidup, aku nggak akan mati kelaparan, kamu seharusnya mengucapkan selama padaku.""Keenakan wanita murahan itu!" Sabrina memosisikan dirinya seperti Thasia, mana mungkin dia terima."Biarkan saja." Thasia berkata, "Kamu nggak perlu mengurusi masalah ini, semua sudah berlalu.""Aku mengerti, hanya saja aku khawatir kamu akan merasa sedih, aku ingin bertanya apakah perlu aku temani, tapi kamu nggak menjawab panggilanku, aku juga nggak tahu kamu ada di mana. Membuatku khawatir saja." Sabrina benar-benar khawatir padanya, tapi juga tahu s
Matanya menatap ke arah Kent lagi, pria itu menatapnya dengan tatapan seperti biasa.Bagi Kent hal itu sudah biasa.Thasia akhirnya mengerti, pria ini tumbuh besar di lingkungan yang kejam dan selalu bersembunyi.Seperti katanya, Kent memang hidup di dunia yang gelap, tanpa adanya cahaya.Meski begitu Thasia tetap merasa terkejut, dia tidak mengerti padahal sama-sama manusia, kenapa mereka bisa hidup dengan cara yang sangat berbeda."Kenapa kamu memberikan darahmu padaku?" Thasia ingin menolak. "Aku nanti juga akan siuman kalau pingsan, kamu nggak perlu melukai dirimu, nggak baik bagi tubuhmu, aku nggak mau kamu bertindak seperti ini."Kent tersenyum santai, mungkin hal ini hal paling santai yang pernah dia lakukan. "Nggak masalah, hanya mengeluarkan sedikit darah saja, nggak akan mengancam nyawa.""Nggak boleh bilang begitu, lain kali nggak boleh lagi!" Thasia menentangnya dengan tegas. "Saat kamu bersamaku maka kamu juga harus dihargai, bukan barang untuk dikorbankan, kamu juga nggak
Kent ingin menghindari, jelas dia tidak ingin Thasia menyentuhnya.Saat ini Thasia merasa lebih curiga, dia bertanya, "Kenapa kamu berdarah?"Padahal Kent sudah terluka cukup lama, meski luka di tubuhnya masih belum sembuh total, tidak seharusnya masih meneteskan darah.Kecuali lukanya bertambah lagi.Kent menarik lengan bajunya, tapi beberapa tetes darah itu tidak bisa ditutupi dengan mudah.Pria itu tersenyum, lalu mencari alasan. "Tadi saat memasak nggak sengaja terluka, bukan masalah besar."Alasan itu tidak bisa mengelabui Thasia."Kamu sudah terbiasa melakukan pembedahan, mana mungkin bisa terluka saat memasak. Kamu nggak akan bisa membohongiku!" Thasia mengerutkan keningnya, dia sama sekali tidak percaya pada penjelasannya ini. "Luka ini sepertinya bukan muncul saat kamu memasak tadi, kenapa kamu bisa terluka?"Kent terdiam.Pria itu tidak mau bilang, Thasia tetap punya mata untuk melihat, dia menarik tangan Kent, ternyata di pergelangan tangannya ada luka yang diperban dengan k
"Ini pertama kalinya aku masak."Thasia mengangkat alisnya. "Nggak masalah, aku ingin mencicipi masakanmu, mungkin saja kamu berbakat."Setengah jam kemudian Kent baru berjalan keluar dari dapur.Tidak ada aroma gosong, berarti Kent tidak membuat dapurnya terbakar.Namun, ketika Kent meletakkan masakannya di atas meja, Thasia merasa sangat terkejut.Thasia menatap Kent dengan tatapan ketakutan.Kent pikir Thasia tidak tahu masakan apa ini, jadi dia menjelaskan dengan tenang, "Ini hati ayam, ini ampela ayam ... kedua hal itu termasuk organ dalamnya, ini badan ayam, ini bagian pahanya, ada banyak daging tapi nggak eneg ...."Setelah mendengar penjelasan Kent, dia seakan-akan mendengarkan penjelasan bagian tubuh.Bisa dibayangkan saat Kent memasak, dia membedah ayam itu, begitu melihatnya selera makan Thasia pun menghilang.Sebaliknya malah membuatnya ingin muntah.Melihat Thasia masih belum mulai makan, Kent bertanya, "Kenapa? Kelihatannya nggak enak? Padahal aku sudah berusaha membuatny
Tatapan Kent menjadi rumit, kalau Thasia tahu apa yang telah dirinya lakukan, wanita ini pasti tidak akan berkata seperti itu.Kent saja tidak berani menyentuh tangan Thasia, apalagi melakukan hal jahat padanya.Kent tidak menolak lagi, dia membiarkan Thasia menyentuh tangannya.Mereka berdua terdiam cukup lama, warna darah di gelang mutiara yang dipakai Thasia menjadi lebih pekat, hal ini terlihat oleh wanita itu, dia pun bertanya, "Apakah mutiara di gelang ini bisa berubah warna?"Tatapan Kent menjadi lebih gelap. "Benarkah?"Thasia memosisikan gelang itu di bawah sinar matahari, memang benar warna merahnya jadi lebih pekat. "Aku kira karena ini gelang lama, jadi warnanya bisa lebih gelap, tapi sekarang warna merahnya jadi lebih pekat. Gelang ini biasanya kamu yang pakai, 'kan? Kamu nggak sadar?"Kent tanpa sadar mengelus pergelangan tangannya, tertawa sambil berkata, "Mungkin ini barang palsu, aku nggak tahu, aku nggak pernah tes."Thasia menatap Kent. "Kalau palsu mungkinkah kamu m
Bisa dibilang hidupnya cukup beruntung.Lahir di keluarga yang harmonis, banyak orang yang baik padanya.Hanya dalam percintaan saja dia tidak beruntung.Mungkin hidupnya terlalu datar, agar hidupnya lebih berkreasi, dia harus mengalami perasaan kecewa ini.Perkataannya membuat Kent tertawa.Dia duduk di samping Thasia, menjaganya, matanya yang berwarna coklat terlihat sangat lembut."Kamu nggak pernah berkorban untukmu, tapi kamu memberiku kehidupan." Kent tidak menyembunyikan hal ini, ada hal yang harus dihadapi. "Tunggu ingatanmu pulih kamu juga akan tahu."Kent telah beberapa kali menolongnya, Thasia percaya pria ini tidak akan mencelakainya.Meski Kent bukan orang biasa.Sekarang orang yang menemaninya adalah Kent.Thasia tanpa sadar bertanya, "Kamu punya teman?""Nggak punya."Thasia bertanya lagi, "Kamu nggak ada teman?"Kent malah berkata, "Aku nggak perlu teman.""Orang tuamu di mana?""Aku nggak tahu siapa orang tuaku.""Kalau begitu kamu pasti kesepian, nggak ada keluarga da
Bagi Lisa, dia hanya punya pilihan ini.--Thasia tidak tahu bagaimana dirinya melewati malam ini, waktu terasa sangat lama.Dia terus terjaga di sofa sepanjang malam.Setelah dia merasa lebih sadar, matahari sudah mulai terbit.Rasanya lelah.Sangat lelah.Thasia menyeret tubuhnya yang lelah ke kamar mandi, dia mencuci muka, saat melihat wajahnya di kaca dia merasa terkejut.Dia kira dirinya melihat hantu.Matanya memerah, wajahnya sangat pucat, tidak ada rona darah sama sekali, dia terlihat seperti wanita sakit parah.Thasia mengelus wajahnya, dia tidak percaya dirinya menjadi seperti ini.Setelah hatinya dilukai apakah dirinya semenyedihkan ini?Tanpa Jeremy, apakah dirinya tidak bisa hidup lagi?Jawabannya tidak.Bukannya dia sempat berpikir putus hubungan dengan pria itu dan ingin bercerai?Bedanya kali ini pria itu yang meminta pisah.Thasia masih bisa hidup, dia bahkan bisa hidup dengan jauh lebih baik.Thasia sudah memutuskan, sudah cukup dia merasa sedih semalaman, hari-hari s
Lisa sudah membayangkan.Pernikahannya dan Jeremy akan semeriah apa.Dia akan menjadi pengantin paling bahagia di dunia ini.Pada saat ini, Lisa mendengar suara langkah kaki, dia kira pembantu di rumahnya, jadi dia berkata, "Kamu nggak perlu melayaniku, kamu istirahat saja."Namun, suara langkahnya tidak berhenti.Lisa mengerutkan keningnya, dia merasa sedikit kesal, jadi dia melepas maskernya sambil berkata, "Sudah aku bilang ...."Begitu dia menoleh dan melihat dengan lebih jelas siapa yang datang, dia merasa terkejut, dia membuang maskernya dan berkata dengan hormat, "Ayah ....""Lisa." Pria itu menatap Lisa, lalu berkata sambil tersenyum, "Lama nggak bertemu, ternyata kamu sudah besar."Lisa segera berdiri, dia memeluk pria itu. "Ayah, akhirnya kamu dibebaskan, aku sangat rindu padamu!"Pria yang berusia sekitar 50 tahun itu lebih tinggi sedikit dari Lisa, meski sudah tua tubuhnya cukup tegap, dia mengelus kepala Lisa dengan lembut. "Maaf membuatmu sendirian."Lisa berkata, "Nggak