Hal Ini membuat Thasia terkejut.Tidak peduli dia dulu sesakit apa, pria ini tidak pernah peduli padanya.Bahkan karena urusan bekerja, pria itu selalu mengabaikan perasaan Thasia.Di saat Thasia tidak perlu ditemani, pria itu malah bersikeras menemaninya.Hal ini sedikit memusingkan.Jeremy melihat orang lain hendak memasuki lift. "Masuk dulu, kita bicarakan lagi nanti."Mereka berdiri di tengah-tengah lift cukup lama.Thasia setidaknya harus masuk ke lift bersamanya lagi.Thasia memasukkan tangannya ke dalam sakunya, memegang erat kertas nomornya, seketika dia merasa tangannya panas.Kenapa dirinya harus bertemu Jeremy hari ini.Jeremy berdiri di lift, dia menatap lurus ke depan, tapi karena mengkhawatirkan Thasia, dia pun bertanya, "Kamu sudah sarapan?"Thasia tidak menjawab, dia masih memikirkan cara untuk melarikan diri.Melihat wanita itu tidak menjawab, Jeremy pun menoleh pada Thasia yang sedang mengerutkan keningnya, wajahnya terlihat serius, seolah-olah sedang memikirkan sesua
Thasia merasa sedikit bingung dan dengan sopan berseru, "Halo, Pak Victor."Tatapan Pak Victor terlihat terkejut, dia belum pernah mendengar masalah ini, lalu dia tertawa dengan gembira. "Hebat juga kamu sudah menikah, kapan kamu menikah? Kamu dan kakekmu sama saja, masalah seperti ini bukannya memberitahuku, sampai-sampai sekarang aku baru bertemu istrimu."Pak Victor dan Kakek Okson adalah rekan seperjuangan ketika masih muda.Persahabatan mereka sangat erat.Mereka berjuang di medan perang, melakukan perbuatan baik, lalu meraih banyak prestasi.Namun, mereka melakukan pilihan yang berbeda untuk masa depan mereka.Pak Victor terjun dalam dunia politik dan Kakek Okson dalam dunia bisnis. Mereka mengambil jalan yang berbeda dan jarang berinteraksi satu sama lain.Pak Victor memandang Thasia dengan saksama, lalu mengangguk. "Dia kelihatannya wanita yang baik, Jeremy, hebat juga kamu memilih cewek."Jeremy berkata, "Pernikahan kami diadakan secara sederhana, kami juga nggak mengumumkanny
Sepertinya wanita itu tidak menyangka mereka ada di sana, tapi dia segera mendapatkan kembali ketenangannya, lalu tersenyum dan memanggil, "Kakek Victor, aku dan Ibu ke sini untuk melihatmu.""Pak Victor." Ibunya Rinesa memanggil Pak Victor.Thasia berpikir sejenak. Keluarga Winata juga kenal pria tua yang sangat dihormati oleh Jeremy ini, mereka juga sepertinya sedikit akrab.Pak Victor tersenyum dan berkata, "Kenapa kalian bisa ada di sini?""Kamu sedang sakit, tentu saja kami harus datang dan menjenguk."Rinesa memasukkan bunga yang dia bawa ke dalam vas dan menghampiri Pak Victor dengan penuh semangat. "Tapi Kakek Victor sepertinya punya tamu."Pak Victor menjelaskan, "Jeremy ini cucu rekan seperjuanganku, dia juga bisa dibilang cucuku.""Aku sempat bertemu dengannya." Rinesa kembali menatap Jeremy dengan percaya diri. "Halo, Pak Jeremy, kita bertemu lagi."Pak Victor bertanya, "Kamu sudah lama sekolah di luar negeri, aku juga belum pernah mendengar kamu mengenal Jeremy.""Beberapa
Rinesa tidak memanggilnya "Pak Jeremy" dengan sopan, tapi langsung memanggil namanya.Wanita itu berdiri di depannya, menghalangi jalan. Jeremy bertanya dengan wajah dingin, "Ada apa?"Rinesa memandangnya dengan sombong, dia tidak memercayai perkataan Jeremy tadi. "Yang barusan kamu katakan itu benar? Kamu benar-benar sudah menikah?"Rinesa belum pernah mendengar tentang kabar ini.Dia curiga pria ini hanya mencari alasan untuk menghindarinya.Wajah Jeremy tampak dingin. "Untuk apa aku berbohong?""Aku belum pernah mendengar kamu sudah menikah, bahkan orang-orang nggak tahu siapa istrimu. Aku curiga jangan-jangan kamu hanya membuat alasan saja.""Hal ini nggak ada hubungannya denganmu."Semakin Jeremy bersikap acuh tidak acuh, Rinesa semakin tertarik padanya, seolah-olah dia telah melihat mangsa, lalu dia memiliki keinginan untuk menaklukkannya.Dia suka pada orang yang sulit untuk didapatkan.Seketika wanita itu tersenyum, baik dalam tindakan maupun perkataan Rinesa sangat berani. Dia
Jeremy perhatian sekali sehingga tahu dirinya akan sakit perut ketika sedang menstruasi.Thasia tidak menyangka akan hal ini.Thasia dulu berpikir bahwa setelah menghabiskan seumur hidup bersama Jeremy, pria ini mungkin tidak akan tahu apa yang dirinya sukai atau bagaimana kondisi fisiknya.Bahkan saat meninggal karena sakit pun, pria ini akan menjadi orang terakhir yang mengetahuinya.Sekarang, setelah sekian lama, walau pria itu tidak mau mengingatnya, mau tidak mau tetap akan ingat.Thasia meniup air jahenya dan meminumnya dalam sekaligus."Istirahatlah." Jeremy dengan hati-hati menutupi tubuhnya dengan selimut.Thasia menatapnya dan bertanya, "Kamu mau ke mana nanti?""Di rumah, nggak ke mana-mana," jawab Jeremy.Thasia berpikir beberapa hari yang lalu Jeremy tidak pulang, mungkin saja hari ini pria itu juga pergi.Walau punya wanita lain di luar sana, tetap saja dia mesti pulang sesekali.Jeremy memperhatikan kekecewaan di wajah Thasia, detik berikutnya dia berbaring, masuk ke dal
Bianca masih memikirkan kondisi Santo, tapi dia malah mendengar orang itu berkata dengan keterlaluan, dia pun berkata dengan tidak senang, "Evelyn, kamu bisa mengatakan apa pun tentang Santo, tapi kamu nggak bisa bilang dia nggak peduli pada Suby! Selama bertahun-tahun ini, kami selalu menolongnya dan membereskan masalah yang dia timbulkan. Kalian nggak bisa kalau ada masalah pergi mencarinya, suruh dia selesaikan sendiri, kenapa malah mencari keluargaku?"Evelyn Lijanto berkata, "Justru karena aku sudah nggak ada jalan keluar lagi, kalau ada jalan keluar untuk apa aku datang mencari kalian?"Saat dia berkata seperti itu, dia mulai menangis."Ibu, jangan menangis, pasti akan ada jalan keluar," hibur Putrinya.Pihak lawan sudah menangis duluan sebelum Bianca menangis, hal ini membuatnya merasa kesal.Selama bertahun-tahun ini, keluarga mereka sudah sangat direpotkan oleh orang-orang ini. Setiap kali ada masalah, mereka selalu datang ke rumah, tapi jika sedang senang, mereka malah menghi
"Evelyn, tolong jaga ucapanmu. Sejak kapan aku menghasut suamiku? Suamiku sudah kalian buat sampai berbaring di rumah sakit seperti ini, apa lagi yang kamu inginkan?" Bianca pun tidak bisa menahan amarahnya."Baiklah, aku akan menanyakan satu hal di sini." Evelyn berkata dengan lantang, "Dulu bagaimana kamu bisa membayar utang 20 miliar itu? Kalian waktu itu juga bilang nggak punya uang, jadi kita bekerja sama untuk mencari solusi. Saat itu Suby mencoba segala cara untuk mengumpulkan uang, bahkan hampir menjual ginjalnya, tapi pada akhirnya semuanya terselesaikan, kalian bisa membayar utang 20 miliar itu tanpa bantuan dari kami."Orang tua Thasia bisa membayar kembali 20 miliar itu dengan sangat lancar, meskipun keluarga Suby tidak mengatakan apa pun, mereka tetap curiga.Mereka berpikir orang tua Thasia memiliki uang."Kak, dari mana kamu mendapatkan semua uang itu? Apakah kalian mengambil semua uang orang tua kita? Kamu mengambil semua uang itu untuk diri kalian sendiri!" ujar Evelyn
Thasia bertanya, "Kampusmu mendapat akreditasi apa?"Feni berkata, "Akreditasi A.""Perusahaan kami hanya menerima lulusan dari sekolah bergengsi, kamu masih jauh dari kriteria kami." Thasia menolaknya dengan tegas.Feni seketika terlihat tidak senang, tapi dia tetap memaksakan sebuah senyum dan berkata, "Bukankah ada Kakak di sini? Selama ada Kakak di sana, maka masalah sekolah jadi nggak masalah."Thasia berkata dengan nada dingin, "Perusahaan yang bagus itu harus mematuhi aturan. Kalau perusahaan sering menggunakan cara curang, sudah pasti hanya dalam beberapa tahun saja ia sudah bangkrut, mana mungkin kamu bisa masuk."Feni tidak senang setelah dikritik olehnya. "Kak, kamu pasti nggak mau membantuku, jadi kamu berkata seperti itu.""Baguslah kalau sadar, jangan bergantung pada orang lain terus, kalau nggak ada yang membantumu, mungkin keadaanmu akan lebih menyedihkan dari pengemis," ujar Thasia."Nggak masalah kalau kamu nggak mau membantuku, tapi kamu malah mengataiku! Ibu, coba d
"Oke."Tatapan Kent mengikuti sosok Thasia yang berlalu.Thasia mengendarai sepedanya keluar, dia menuju ke pusat kota.Jaraknya tidak terlalu jauh.Jeremy telah memberinya sebuah vila dengan harga yang sangat mahal.Saat ini jalanan cukup ramai, dia sedang menunggu di lampu merah.Setelah lampu berwarna hijau, dia mendorong sepedanya, tiba-tiba ada orang berkata, "Biar aku bantu."Thasia menoleh ke belakang, dia melihat seorang pria muda sedang mendorong belakang sepedanya.Sepertinya pria itu menyadari Thasia sedang hamil, jadi kesulitan mengendarai sepeda.Hari ini Thasia berpakaian dengan santai. Rambutnya dikepang, memakai sebuah topi dan gaun yang lebar, perutnya sedikit menonjol.Selain ibu hamil yang akan berpakaian seperti ini, yang lainnya tidak mungkin.Thasia merasa dirinya tidak selemah itu, tapi dia juga tidak ingin menolak kebaikannya, jadi dia berkata, "Terima kasih."Dia segera sampai ke seberang, orang itu berjalan ke arah yang berlawanan dengannya.Thasia lanjut meng
Sabrina kira dirinya sedang bermimpi, dia merasa kesal, padahal sebelumnya dia melihat mereka saling mencintai, kenapa sekarang malah bercerai. "Apa yang terjadi? Jeremy itu, dasar pria berengsek, dia cepat sekali berubahnya. Nggak bisa, pokoknya aku harus memberinya pelajaran!"Thasia sudah menerima kenyataan ini. "Nggak perlu, ada baiknya kami bercerai, sekarang aku sudah punya rumah dan uang, aku sudah menjadi janda kaya, meski aku nggak bekerja seumur hidup, aku nggak akan mati kelaparan, kamu seharusnya mengucapkan selama padaku.""Keenakan wanita murahan itu!" Sabrina memosisikan dirinya seperti Thasia, mana mungkin dia terima."Biarkan saja." Thasia berkata, "Kamu nggak perlu mengurusi masalah ini, semua sudah berlalu.""Aku mengerti, hanya saja aku khawatir kamu akan merasa sedih, aku ingin bertanya apakah perlu aku temani, tapi kamu nggak menjawab panggilanku, aku juga nggak tahu kamu ada di mana. Membuatku khawatir saja." Sabrina benar-benar khawatir padanya, tapi juga tahu s
Matanya menatap ke arah Kent lagi, pria itu menatapnya dengan tatapan seperti biasa.Bagi Kent hal itu sudah biasa.Thasia akhirnya mengerti, pria ini tumbuh besar di lingkungan yang kejam dan selalu bersembunyi.Seperti katanya, Kent memang hidup di dunia yang gelap, tanpa adanya cahaya.Meski begitu Thasia tetap merasa terkejut, dia tidak mengerti padahal sama-sama manusia, kenapa mereka bisa hidup dengan cara yang sangat berbeda."Kenapa kamu memberikan darahmu padaku?" Thasia ingin menolak. "Aku nanti juga akan siuman kalau pingsan, kamu nggak perlu melukai dirimu, nggak baik bagi tubuhmu, aku nggak mau kamu bertindak seperti ini."Kent tersenyum santai, mungkin hal ini hal paling santai yang pernah dia lakukan. "Nggak masalah, hanya mengeluarkan sedikit darah saja, nggak akan mengancam nyawa.""Nggak boleh bilang begitu, lain kali nggak boleh lagi!" Thasia menentangnya dengan tegas. "Saat kamu bersamaku maka kamu juga harus dihargai, bukan barang untuk dikorbankan, kamu juga nggak
Kent ingin menghindari, jelas dia tidak ingin Thasia menyentuhnya.Saat ini Thasia merasa lebih curiga, dia bertanya, "Kenapa kamu berdarah?"Padahal Kent sudah terluka cukup lama, meski luka di tubuhnya masih belum sembuh total, tidak seharusnya masih meneteskan darah.Kecuali lukanya bertambah lagi.Kent menarik lengan bajunya, tapi beberapa tetes darah itu tidak bisa ditutupi dengan mudah.Pria itu tersenyum, lalu mencari alasan. "Tadi saat memasak nggak sengaja terluka, bukan masalah besar."Alasan itu tidak bisa mengelabui Thasia."Kamu sudah terbiasa melakukan pembedahan, mana mungkin bisa terluka saat memasak. Kamu nggak akan bisa membohongiku!" Thasia mengerutkan keningnya, dia sama sekali tidak percaya pada penjelasannya ini. "Luka ini sepertinya bukan muncul saat kamu memasak tadi, kenapa kamu bisa terluka?"Kent terdiam.Pria itu tidak mau bilang, Thasia tetap punya mata untuk melihat, dia menarik tangan Kent, ternyata di pergelangan tangannya ada luka yang diperban dengan k
"Ini pertama kalinya aku masak."Thasia mengangkat alisnya. "Nggak masalah, aku ingin mencicipi masakanmu, mungkin saja kamu berbakat."Setengah jam kemudian Kent baru berjalan keluar dari dapur.Tidak ada aroma gosong, berarti Kent tidak membuat dapurnya terbakar.Namun, ketika Kent meletakkan masakannya di atas meja, Thasia merasa sangat terkejut.Thasia menatap Kent dengan tatapan ketakutan.Kent pikir Thasia tidak tahu masakan apa ini, jadi dia menjelaskan dengan tenang, "Ini hati ayam, ini ampela ayam ... kedua hal itu termasuk organ dalamnya, ini badan ayam, ini bagian pahanya, ada banyak daging tapi nggak eneg ...."Setelah mendengar penjelasan Kent, dia seakan-akan mendengarkan penjelasan bagian tubuh.Bisa dibayangkan saat Kent memasak, dia membedah ayam itu, begitu melihatnya selera makan Thasia pun menghilang.Sebaliknya malah membuatnya ingin muntah.Melihat Thasia masih belum mulai makan, Kent bertanya, "Kenapa? Kelihatannya nggak enak? Padahal aku sudah berusaha membuatny
Tatapan Kent menjadi rumit, kalau Thasia tahu apa yang telah dirinya lakukan, wanita ini pasti tidak akan berkata seperti itu.Kent saja tidak berani menyentuh tangan Thasia, apalagi melakukan hal jahat padanya.Kent tidak menolak lagi, dia membiarkan Thasia menyentuh tangannya.Mereka berdua terdiam cukup lama, warna darah di gelang mutiara yang dipakai Thasia menjadi lebih pekat, hal ini terlihat oleh wanita itu, dia pun bertanya, "Apakah mutiara di gelang ini bisa berubah warna?"Tatapan Kent menjadi lebih gelap. "Benarkah?"Thasia memosisikan gelang itu di bawah sinar matahari, memang benar warna merahnya jadi lebih pekat. "Aku kira karena ini gelang lama, jadi warnanya bisa lebih gelap, tapi sekarang warna merahnya jadi lebih pekat. Gelang ini biasanya kamu yang pakai, 'kan? Kamu nggak sadar?"Kent tanpa sadar mengelus pergelangan tangannya, tertawa sambil berkata, "Mungkin ini barang palsu, aku nggak tahu, aku nggak pernah tes."Thasia menatap Kent. "Kalau palsu mungkinkah kamu m
Bisa dibilang hidupnya cukup beruntung.Lahir di keluarga yang harmonis, banyak orang yang baik padanya.Hanya dalam percintaan saja dia tidak beruntung.Mungkin hidupnya terlalu datar, agar hidupnya lebih berkreasi, dia harus mengalami perasaan kecewa ini.Perkataannya membuat Kent tertawa.Dia duduk di samping Thasia, menjaganya, matanya yang berwarna coklat terlihat sangat lembut."Kamu nggak pernah berkorban untukmu, tapi kamu memberiku kehidupan." Kent tidak menyembunyikan hal ini, ada hal yang harus dihadapi. "Tunggu ingatanmu pulih kamu juga akan tahu."Kent telah beberapa kali menolongnya, Thasia percaya pria ini tidak akan mencelakainya.Meski Kent bukan orang biasa.Sekarang orang yang menemaninya adalah Kent.Thasia tanpa sadar bertanya, "Kamu punya teman?""Nggak punya."Thasia bertanya lagi, "Kamu nggak ada teman?"Kent malah berkata, "Aku nggak perlu teman.""Orang tuamu di mana?""Aku nggak tahu siapa orang tuaku.""Kalau begitu kamu pasti kesepian, nggak ada keluarga da
Bagi Lisa, dia hanya punya pilihan ini.--Thasia tidak tahu bagaimana dirinya melewati malam ini, waktu terasa sangat lama.Dia terus terjaga di sofa sepanjang malam.Setelah dia merasa lebih sadar, matahari sudah mulai terbit.Rasanya lelah.Sangat lelah.Thasia menyeret tubuhnya yang lelah ke kamar mandi, dia mencuci muka, saat melihat wajahnya di kaca dia merasa terkejut.Dia kira dirinya melihat hantu.Matanya memerah, wajahnya sangat pucat, tidak ada rona darah sama sekali, dia terlihat seperti wanita sakit parah.Thasia mengelus wajahnya, dia tidak percaya dirinya menjadi seperti ini.Setelah hatinya dilukai apakah dirinya semenyedihkan ini?Tanpa Jeremy, apakah dirinya tidak bisa hidup lagi?Jawabannya tidak.Bukannya dia sempat berpikir putus hubungan dengan pria itu dan ingin bercerai?Bedanya kali ini pria itu yang meminta pisah.Thasia masih bisa hidup, dia bahkan bisa hidup dengan jauh lebih baik.Thasia sudah memutuskan, sudah cukup dia merasa sedih semalaman, hari-hari s
Lisa sudah membayangkan.Pernikahannya dan Jeremy akan semeriah apa.Dia akan menjadi pengantin paling bahagia di dunia ini.Pada saat ini, Lisa mendengar suara langkah kaki, dia kira pembantu di rumahnya, jadi dia berkata, "Kamu nggak perlu melayaniku, kamu istirahat saja."Namun, suara langkahnya tidak berhenti.Lisa mengerutkan keningnya, dia merasa sedikit kesal, jadi dia melepas maskernya sambil berkata, "Sudah aku bilang ...."Begitu dia menoleh dan melihat dengan lebih jelas siapa yang datang, dia merasa terkejut, dia membuang maskernya dan berkata dengan hormat, "Ayah ....""Lisa." Pria itu menatap Lisa, lalu berkata sambil tersenyum, "Lama nggak bertemu, ternyata kamu sudah besar."Lisa segera berdiri, dia memeluk pria itu. "Ayah, akhirnya kamu dibebaskan, aku sangat rindu padamu!"Pria yang berusia sekitar 50 tahun itu lebih tinggi sedikit dari Lisa, meski sudah tua tubuhnya cukup tegap, dia mengelus kepala Lisa dengan lembut. "Maaf membuatmu sendirian."Lisa berkata, "Nggak