Seketika hening menyelimuti, seolah setiap orang terhipnotis oleh kehadiran pria yang tiba-tiba muncul di antara mereka. Posturnya tegap, jas hitam yang membalut tubuhnya tampak sempurna, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang gagah dan menawan. Rambutnya yang rapi dengan sedikit gelombang menambah kesan karismatik.Wajahnya memancarkan ketampanan yang hampir tidak masuk akal—rahang tegas, matanya yang tajam memancarkan ketenangan sekaligus ketegasan.Bibir pria itu terkatup rapat, menambah aura dingin tapi berwibawa.Para gadis yang sebelumnya panik mendadak terdiam, sebagian bahkan menahan napas, tidak mampu mengalihkan pandangan dari sosok pria itu. Seolah-olah, kemunculannya telah menyedot perhatian semua orang. Bahkan beberapa pria yang ada di sana merasa terintimidasi oleh pesona dan kewibawaannya.Tanpa mengatakan apa-apa, pria itu melangkah masuk dengan tenang namun penuh kepastian, kerumunan langsung memberi jalan seperti gelombang yang terbelah oleh batu besar. Pria itu, yang t
Mercedes Maybach S-Class berwarna hitam obsidian milik Bara meluncur dengan halus di jalanan kota, suasana kabin yang sunyi itu terasa lebih seperti ruang pribadi daripada sebuah kendaraan. Lampu kabin dengan nuansa lembut memberikan kesan kehangatan, memancarkan cahaya redup yang menambah ketenangan dalam ruang mewah itu. Di dalam, segala sesuatu terasa sempurna—bahan jok kulit premium yang lembut, lantai karpet tebal yang menyerap setiap suara, dan suasana yang hampir hening, kecuali suara mesin mobil yang menyala dengan lembut.Cheryl duduk di kursi belakang yang sangat nyaman, seolah tubuhnya tenggelam dalam pelukan kursi yang dirancang untuk kenyamanan maksimal. Jendela samping yang gelap memberikan privasi penuh, sementara layar infotainment yang terpasang di konsol tengah menampilkan gambaran tenang dari mobil yang melaju dengan anggun. “Cheryl.” Bara menegur karena gadis itu terus saja melamun dengan wajahnya yang tampak pucat. “Tenanglah. Aku sudah menangani bajingan itu.”
Mercedes-Maybach S-Class berwarna hitam obsidian itu berhenti perlahan di depan sebuah gerbang tinggi yang terbuat dari besi hitam dengan ukiran artistik yang rumit. Lampu-lampu kecil di sepanjang dinding pagar batu memberikan pencahayaan lembut, menciptakan bayangan indah pada malam yang tenang. Cheryl membuka matanya perlahan, dan apa yang dilihatnya membuatnya tercengang.Gerbang besar itu terbuka otomatis, memperlihatkan jalan masuk yang diapit oleh pepohonan rindang dengan daun-daunnya yang bergerak pelan ditiup angin. Lampu-lampu jalan kecil di sisi kanan dan kiri jalan memandu mereka menuju rumah besar di ujung jalur berkerikil putih.Rumah itu berdiri megah dengan arsitektur klasik modern. Pilar-pilar tinggi menopang balkon di lantai atas, sementara jendela-jendela besar dengan bingkai emas memancarkan kilauan hangat dari cahaya lampu dalam rumah. Taman depan yang luas dihiasi dengan bunga-bunga warna-warni dan air mancur berbentuk ikan, mengeluarkan suara gemericik menenang
Cheryl tak punya pilihan selain menerima untuk tinggal di sini. Buat apa menggembel di luar sana padahal punya suami tajir yang menawarkan perlindungan yang nyata untuknya di dalam rumah semewah ini? Ia tidak sebodoh itu.“Sudah larut malam, saatnya istirahat. Ayo," ujar Bara tanpa menunggu persetujuan Cheryl. Suaranya tegas namun tetap terdengar lembut di telinga, seolah memerintah tanpa memaksa.Tanpa menunggu, Bara melangkah dengan tenang menyusuri koridor panjang yang dihiasi panel kayu berukir halus dan lukisan-lukisan indah yang memikat mata. Lampu-lampu kecil yang menggantung dengan rapi di sepanjang lorong memancarkan cahaya hangat, menciptakan suasana yang menenangkan, hampir melupakan fakta bahwa ini adalah bagian dari sebuah rumah, bukan galeri seni pribadi.Cheryl, yang berada beberapa langkah di belakangnya, bergerak dengan hati-hati, tubuhnya tampak kaku. Matanya sibuk menelusuri setiap sudut ruangan, mencari hal-hal yang dapat mengalihkan pikirannya yang perlahan dipen
Di kamarnya, Cheryl mengagumi kemegahan yang tak pernah ia bayangkan. Tempat ini terasa seperti surga kecil yang disulap dari dalam mimpinya. Setiap sudut kamar terasa seperti keluar dari halaman majalah desain interior kelas dunia.“Ternyata begini ya rasanya tinggal di kamar yang mewah,” gumamnya pelan, seolah takut kenyataan ini hanya mimpi yang akan lenyap jika terlalu keras ia ungkapkan.Ia menyentuh bingkai meja rias dengan ukiran rumit, dingin dan halus di bawah jemarinya. Di atasnya, botol-botol parfum kristal berjajar rapi, memancarkan aroma mewah yang samar-samar menguar. Sebuah kursi kecil berlapis kain sutra melengkapi sudut itu, membuatnya terasa seperti tempat peraduan seorang putri. Di sudut ruangan, sebuah sofa empuk dengan meja kecil. Di atas meja itu, terletak set teko porselen dan cangkir-cangkir mungil dengan hiasan emas, seolah siap menemaninya jika ingin menikmati waktu santai.Cheryl menghela napas, matanya menyapu ruangan dengan takjub sekaligus perasaan ganji
Lampu utama di kamar Cheryl tiba-tiba mati, ruangan yang besar itu kini hanya diterangi oleh sinar lampu redup di sudut-sudutnya. Pintu kamar terdengar berderit pelan, seperti ada seseorang yang membukanya. Cheryl menoleh. Di sana, Bara berdiri dengan santai di dekat pintu. Wajahnya tampak tenang seperti biasanya, namun matanya terasa sedikit lebih gelap dari yang Cheryl ingat.Langkahnya pelan, hampir tak bersuara, namun setiap gerakannya membawa aura ancaman yang menggetarkan udara di sekitarnya.“Cheryl.” Suaranya rendah, seperti bisikan angin dingin di malam kelam. “Jangan senang dulu. Semua ini bukan untukmu.”Cheryl bangkit dari ranjang empuk, tubuhnya menegang. “Apa maksudmu, Bara?”“Kamu pikir… dengan menjadi istriku, lalu semua ini otomatis menjadi milikmu?” Bara terkekeh pelan, ada hinaan dalam nada tawanya itu. “Bapakmu licik sekali, atas nama balas budi… dia sengaja menjebakku untuk menikahi putrinya yang miskin dan merepotkan,” ketusnya penuh hinaan. “Heh! Jangan seenak
“Saudari… Cheryl Anindita. Kami dengan bangga mengumumkan bahwa Anda lulus dengan nilai A plus.”Cheryl terpaku, hampir tak percaya. Ia mendapatkan nilai A plus dari dosen penguji yang terkenal killer? "Terima kasih, Pak...," ucapnya pelan, suaranya nyaris bergetar.Nilai yang memuaskan ini bukan sekadar penghargaan untuk dirinya sendiri. Ini adalah persembahan terbesar yang bisa ia berikan untuk Bapak, sosok yang telah bekerja keras sepanjang hidupnya sehingga Cheryl bisa mencapai titik ini.Di titik pencapaiannya ini, Cheryl tak sabar ingin berbagi kebahagiaan dengan Bapak, seseorang yang selama ini menjadi pendorong terbesar bagi setiap langkahnya."Bapak pasti senang banget dengar kabar ini," gumam Cheryl seraya menempelkan ponsel ke telinganya, menunggu suara hangat bapak menyapa di ujung sambungan telepon. Akan tetapi, hanya nada dering panjang yang ia dapati. Padahal biasanya bapaknya cepat merespons. Apalagi bapaknya tahu hari ini Cheryl sedang menghadapi hari penting. "Kok
Setelah menemui bapaknya, Cheryl menundukkan kepala, termenung di ruang tunggu keluarga pasien. Permintaan bapaknya barusan menghantamnya dengan keras, seperti pukulan yang membuatnya kehilangan keseimbangan. Menikah? Dengan pria itu? Sosok asing yang dingin dan miskin simpati? Cheryl menggigit bibir, mencoba menahan gelombang emosi yang tak keruan. Bersamaan dengan itu, tatapan penuh harap Pak Bondan yang lemah tak henti-hentinya berkelebat di pikirannya. Pikiran Cheryl seketika terhenti saat langkah tegas terdengar mendekat. Dia mendongak, dan di sana pria itu berdiri. Berkemeja hitam lengan panjang dengan lengan yang sedikit digulung, celana chino hitam pas tubuh, serta sepatu kulit hitam polos. Serba hitam….‘Seperti malaikat pencabut nyawa,’ pikir Cheryl, tanpa secuil simpati di sorot matanya, apalagi belas kasih.Wajahnya memang tampan, baiklah… sangat tampan. Tapi dingin. Terlalu dingin. “Waktu bapakmu tidak banyak,” kata pria itu, datar. “Kita harus segera menikah, sebelum
Lampu utama di kamar Cheryl tiba-tiba mati, ruangan yang besar itu kini hanya diterangi oleh sinar lampu redup di sudut-sudutnya. Pintu kamar terdengar berderit pelan, seperti ada seseorang yang membukanya. Cheryl menoleh. Di sana, Bara berdiri dengan santai di dekat pintu. Wajahnya tampak tenang seperti biasanya, namun matanya terasa sedikit lebih gelap dari yang Cheryl ingat.Langkahnya pelan, hampir tak bersuara, namun setiap gerakannya membawa aura ancaman yang menggetarkan udara di sekitarnya.“Cheryl.” Suaranya rendah, seperti bisikan angin dingin di malam kelam. “Jangan senang dulu. Semua ini bukan untukmu.”Cheryl bangkit dari ranjang empuk, tubuhnya menegang. “Apa maksudmu, Bara?”“Kamu pikir… dengan menjadi istriku, lalu semua ini otomatis menjadi milikmu?” Bara terkekeh pelan, ada hinaan dalam nada tawanya itu. “Bapakmu licik sekali, atas nama balas budi… dia sengaja menjebakku untuk menikahi putrinya yang miskin dan merepotkan,” ketusnya penuh hinaan. “Heh! Jangan seenak
Di kamarnya, Cheryl mengagumi kemegahan yang tak pernah ia bayangkan. Tempat ini terasa seperti surga kecil yang disulap dari dalam mimpinya. Setiap sudut kamar terasa seperti keluar dari halaman majalah desain interior kelas dunia.“Ternyata begini ya rasanya tinggal di kamar yang mewah,” gumamnya pelan, seolah takut kenyataan ini hanya mimpi yang akan lenyap jika terlalu keras ia ungkapkan.Ia menyentuh bingkai meja rias dengan ukiran rumit, dingin dan halus di bawah jemarinya. Di atasnya, botol-botol parfum kristal berjajar rapi, memancarkan aroma mewah yang samar-samar menguar. Sebuah kursi kecil berlapis kain sutra melengkapi sudut itu, membuatnya terasa seperti tempat peraduan seorang putri. Di sudut ruangan, sebuah sofa empuk dengan meja kecil. Di atas meja itu, terletak set teko porselen dan cangkir-cangkir mungil dengan hiasan emas, seolah siap menemaninya jika ingin menikmati waktu santai.Cheryl menghela napas, matanya menyapu ruangan dengan takjub sekaligus perasaan ganji
Cheryl tak punya pilihan selain menerima untuk tinggal di sini. Buat apa menggembel di luar sana padahal punya suami tajir yang menawarkan perlindungan yang nyata untuknya di dalam rumah semewah ini? Ia tidak sebodoh itu.“Sudah larut malam, saatnya istirahat. Ayo," ujar Bara tanpa menunggu persetujuan Cheryl. Suaranya tegas namun tetap terdengar lembut di telinga, seolah memerintah tanpa memaksa.Tanpa menunggu, Bara melangkah dengan tenang menyusuri koridor panjang yang dihiasi panel kayu berukir halus dan lukisan-lukisan indah yang memikat mata. Lampu-lampu kecil yang menggantung dengan rapi di sepanjang lorong memancarkan cahaya hangat, menciptakan suasana yang menenangkan, hampir melupakan fakta bahwa ini adalah bagian dari sebuah rumah, bukan galeri seni pribadi.Cheryl, yang berada beberapa langkah di belakangnya, bergerak dengan hati-hati, tubuhnya tampak kaku. Matanya sibuk menelusuri setiap sudut ruangan, mencari hal-hal yang dapat mengalihkan pikirannya yang perlahan dipen
Mercedes-Maybach S-Class berwarna hitam obsidian itu berhenti perlahan di depan sebuah gerbang tinggi yang terbuat dari besi hitam dengan ukiran artistik yang rumit. Lampu-lampu kecil di sepanjang dinding pagar batu memberikan pencahayaan lembut, menciptakan bayangan indah pada malam yang tenang. Cheryl membuka matanya perlahan, dan apa yang dilihatnya membuatnya tercengang.Gerbang besar itu terbuka otomatis, memperlihatkan jalan masuk yang diapit oleh pepohonan rindang dengan daun-daunnya yang bergerak pelan ditiup angin. Lampu-lampu jalan kecil di sisi kanan dan kiri jalan memandu mereka menuju rumah besar di ujung jalur berkerikil putih.Rumah itu berdiri megah dengan arsitektur klasik modern. Pilar-pilar tinggi menopang balkon di lantai atas, sementara jendela-jendela besar dengan bingkai emas memancarkan kilauan hangat dari cahaya lampu dalam rumah. Taman depan yang luas dihiasi dengan bunga-bunga warna-warni dan air mancur berbentuk ikan, mengeluarkan suara gemericik menenang
Mercedes Maybach S-Class berwarna hitam obsidian milik Bara meluncur dengan halus di jalanan kota, suasana kabin yang sunyi itu terasa lebih seperti ruang pribadi daripada sebuah kendaraan. Lampu kabin dengan nuansa lembut memberikan kesan kehangatan, memancarkan cahaya redup yang menambah ketenangan dalam ruang mewah itu. Di dalam, segala sesuatu terasa sempurna—bahan jok kulit premium yang lembut, lantai karpet tebal yang menyerap setiap suara, dan suasana yang hampir hening, kecuali suara mesin mobil yang menyala dengan lembut.Cheryl duduk di kursi belakang yang sangat nyaman, seolah tubuhnya tenggelam dalam pelukan kursi yang dirancang untuk kenyamanan maksimal. Jendela samping yang gelap memberikan privasi penuh, sementara layar infotainment yang terpasang di konsol tengah menampilkan gambaran tenang dari mobil yang melaju dengan anggun. “Cheryl.” Bara menegur karena gadis itu terus saja melamun dengan wajahnya yang tampak pucat. “Tenanglah. Aku sudah menangani bajingan itu.”
Seketika hening menyelimuti, seolah setiap orang terhipnotis oleh kehadiran pria yang tiba-tiba muncul di antara mereka. Posturnya tegap, jas hitam yang membalut tubuhnya tampak sempurna, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang gagah dan menawan. Rambutnya yang rapi dengan sedikit gelombang menambah kesan karismatik.Wajahnya memancarkan ketampanan yang hampir tidak masuk akal—rahang tegas, matanya yang tajam memancarkan ketenangan sekaligus ketegasan.Bibir pria itu terkatup rapat, menambah aura dingin tapi berwibawa.Para gadis yang sebelumnya panik mendadak terdiam, sebagian bahkan menahan napas, tidak mampu mengalihkan pandangan dari sosok pria itu. Seolah-olah, kemunculannya telah menyedot perhatian semua orang. Bahkan beberapa pria yang ada di sana merasa terintimidasi oleh pesona dan kewibawaannya.Tanpa mengatakan apa-apa, pria itu melangkah masuk dengan tenang namun penuh kepastian, kerumunan langsung memberi jalan seperti gelombang yang terbelah oleh batu besar. Pria itu, yang t
Di kamar kosnya, Cheryl sedang berjuang mempertahankan kehormatannya.“Ayolah, jangan sok sulit,” gumam pria itu, suaranya serak dan mengancam, matanya penuh dengan kilatan nafsu. Tangannya yang besar dan kasar mencengkeram bahu Cheryl, menariknya dengan paksa. Sentuhan itu seperti cengkeraman besi, seolah tubuh Cheryl adalah miliknya yang bisa diperlakukan sesukanya.“Lepaskan aku!” Cheryl berteriak sekuat tenaga, suaranya menggema memecah keheningan malam yang mencekam. “Tolooong!”Tetapi, tak ada yang datang, seolah penghuni kosan ini menutup mata dan telinga mereka, tidak peduli dengan jeritannya.Plak!Pria itu menghentikan teriakan Cheryl dengan tamparan keras di wajahnya, membuat Cheryl pusing seketika. Air mata membanjiri pipinya, meluncur turun bersama ketakutannya. Di bawah himpitan tubuh pria brengsek itu, tangannya yang gemetar berusaha meraba-raba permukaan nakas di samping ranjang. Akhirnya, ia menemukan sesuatu yang dingin dan berat—laptopnya. Dengan jantung berdeba
Kebosanan mulai menyelimuti Bara. Percakapan di meja makan ini mulai kehilangan daya tariknya. Iapun memilih undur diri dengan sopan, meninggalkan pesta yang terasa terlalu panjang untuk hatinya yang sedang gelisah.“Sudah selesai, Pak?” Sofyan bertanya dengan sedikit bingung. Tak pernah-pernahnya Bara meninggalkan acara jamuan dari keluarga Wongso secepat ini. “Aku tak ada agenda lagi, kan?” jawab Bara tanpa menjawab pertanyaan asisten pribadinya.“Tidak ada, Pak.” Sofyan menjawab sambil mengimbangi langkah sang bos.“Oke. Kita langsung pulang.” Besok masih banyak agenda bisnis yang harus ia kerjakan. Ia harus pintar-pintar menggunakan waktu yang ada untuk beristirahat.Bara memasuki sedan mewahnya yang telah menjadi saksi bisu berbagai perjalanan pentingnya. Ia mengendurkan dasi dan membuka dua kancing atas kemejanya, mencoba menghirup napas panjang untuk melepaskan penat yang mulai menyelimuti pikirannya.Sofyan duduk di kursi depan, diam tak ingin mengganggu. Bara mengisyaratkan
Ruang perjamuan hotel berbintang lima itu memancarkan kemewahan di setiap sudutnya. Lampu gantung kristal yang megah tergantung di tengah ruangan, memantulkan cahaya yang hangat di atas meja-meja panjang yang dihias dengan bunga segar dan lilin aromaterapi. Karpet tebal berwarna krem melapisi lantai, tirai satin berwarna emas menghiasi jendela-jendela besar yang menampilkan pemandangan kota malam yang gemerlap.Di salah satu meja utama, orangtua Milena, yaitu Tuan Adiguna Wongso dan Nyonya Dania duduk berdampingan, dikelilingi keluarga dan tamu-tamu terhormat. Malam ini adalah perayaan ulang tahun pernikahan mereka yang ke-30, sebuah momen istimewa yang dirayakan dengan kemegahan.Para pelayan berlalu-lalang, membawa nampan berisi hidangan gourmet yang disajikan dengan artistik. Alunan musik jazz dari band live di sudut ruangan menciptakan suasana hangat dan elegan.Bara duduk di salah satu kursi di meja utama. Di hadapannya, Nyonya Dania tersenyum ramah, mengenakan gaun malam yang