Maaf ya manteman, belum bisa update banyak... lagi nggak fit. Semoga kalian semua sehat-sehat ya :)
Lampu utama di kamar Cheryl tiba-tiba mati, ruangan yang besar itu kini hanya diterangi oleh sinar lampu redup di sudut-sudutnya. Pintu kamar terdengar berderit pelan, seperti ada seseorang yang membukanya. Cheryl menoleh. Di sana, Bara berdiri dengan santai di dekat pintu. Wajahnya tampak tenang seperti biasanya, namun matanya terasa sedikit lebih gelap dari yang Cheryl ingat.Langkahnya pelan, hampir tak bersuara, namun setiap gerakannya membawa aura ancaman yang menggetarkan udara di sekitarnya.“Cheryl.” Suaranya rendah, seperti bisikan angin dingin di malam kelam. “Jangan senang dulu. Semua ini bukan untukmu.”Cheryl bangkit dari ranjang empuk, tubuhnya menegang. “Apa maksudmu, Bara?”“Kamu pikir… dengan menjadi istriku, lalu semua ini otomatis menjadi milikmu?” Bara terkekeh pelan, ada hinaan dalam nada tawanya itu. “Bapakmu licik sekali, atas nama balas budi… dia sengaja menjebakku untuk menikahi putrinya yang miskin dan merepotkan,” ketusnya penuh hinaan. “Heh! Jangan seenak
Cheryl mendengus pelan, memalingkan wajahnya dari Bara setelah berhasil menguasai perasaannya yang sempat kalut pasca mimpi buruk itu. Jemarinya yang masih sedikit gemetar bergerak mengusap wajah, seolah mencoba menghapus sisa-sisa ketakutan yang melekat di sana. "Hanya mimpi buruk," gumamnya lirih, meski suara itu nyaris tertelan oleh napasnya sendiri.Bara berdiri diam di tempatnya, mengamati setiap gerak Cheryl dengan sorot mata yang sulit ditebak. Ketegangan di wajahnya mulai memudar, berganti dengan ekspresi yang lebih lembut. "Kurasa kamu harus menemui psikolog," katanya kemudian, suaranya rendah tapi tegas.Cheryl langsung menggeleng. "Aku baik-baik saja," jawabnya, berusaha meyakinkan, meski nada suaranya terdengar goyah. Matanya yang masih basah beralih menatap Bara sekilas, sebelum kembali menghindar.Bara mengangkat alis, skeptis. Ia melipat tangan di depan dada. "Kamu menyebut jeritan yang hampir membuat jantungku copot itu 'baik-baik saja'?" ujarnya, dengan nada setengah
Sinar matahari menerobos lembut melalui tirai yang setengah terbuka. Cheryl menggeliat di ranjangnya, mengusir sisa kantuk yang masih menggantung di matanya. Ia mendengar suara langkah kaki, benda-benda yang bergeser, dan percakapan pelan di antara dengung mesin yang menyala.Suasana aneh itu seketika membuat matanya tiba-tiba terbuka lebar. Ia tersentak melihat kamarnya kini dipenuhi oleh beberapa pelayan yang sibuk membersihkan ruangan. Ada yang sedang menghisap debu di karpet, membuka jendela lebar-lebar, dan merapikan meja kecil di sudut kamar, seolah keberadaan Cheryl di kamar ini tak berarti apa-apa. Cheryl terduduk dengan rambut acak-acakan, menatap mereka dengan sorot bingung sekaligus kesal.“Kalian... kok bisa masuk? Dan kenapa masuk tanpa izin dariku dulu?” tegurnya dengan suara serak, khas orang yang baru bangun tidur. Kekesalan yang nyata memancar dari nada bicaranya, namun suaranya belum cukup keras untuk menghentikan kesibukan mereka. Seorang pelayan bernama Wati, ya
Bara bersedekap, tatapan tajamnya menusuk ke arah Cheryl, seolah-olah menguliti setiap lapisan yang melindungi dirinya. Mata pria itu bukan sekadar melihat, tapi menggali, membaca, dan menilai, membuat Cheryl merasa terpojok.Tubuh Cheryl menegang. Meski pria itu adalah suaminya, namun keberadaannya terasa seperti ancaman yang asing dan tidak diundang. Ia buru-buru menghindari sorotan itu dengan bergerak cepat menuju lemari. “Berhenti menatapku seperti itu!” bentaknya, berusaha menutupi getar dalam suaranya.“Aku hanya menggunakan mataku,” Bara menukas, suaranya rendah, nyaris seperti gumaman. Seolah kata-katanya adalah hal yang paling masuk akal di dunia.Wajah Cheryl memerah, entah karena marah atau tersipu—ia bahkan tak tahu. “Dan kamu cukup menarik untuk dilihat. Kenapa aku harus berhenti?”Panas menjalar ke seluruh tubuh Cheryl. Ia mencengkeram handuk yang membalut tubuhnya, menyadari betapa pendeknya kain itu hingga memperlihatkan pahanya yang jenjang. “Dasar kurang ajar,” de
"Aku? Me-apa katamu? Memasak?" Cheryl ternganga sejenak. "Tapi aku—" Ia menelan ludah, gugup. Memasak? Itu lebih mirip tantangan hidup daripada tugas sederhana baginya.Gagasan tentang dirinya berdiri di depan kompor, mencoba menciptakan sesuatu yang layak disebut "makanan," terasa seperti lelucon yang sangat buruk.Selama ini, dapur baginya hanyalah tempat untuk menyeduh teh dan kopi instan, atau membuat Indomie di tengah malam. Di rumahnya, memasak itu urusan mendiang ayahnya—yang sudah terbiasa mengurus semuanya sebagai orangtua tunggal. Cheryl bahkan tak pernah merasa perlu untuk menyentuh alat masak lebih dari sekadar membuka microwave.Namun kini ia justru diminta memasak oleh Bara—sosok pria yang memancarkan aura otoritas dari ujung rambut hingga sepatu kulit mahal yang membungkus kakinya. Dan Bara, alih-alih meralat perkataannya, justru menyambut kebingungan Cheryl dengan senyuman menantang yang sangat menyebalkan."Ada apa, Cheryl? Jangan bilang kamu nggak bisa masak."Cheryl
Bara bersandar pada meja marmer dengan gestur tenang, namun tatapannya tajam seperti bilah pisau yang siap mengiris lapisan pertahanan Cheryl. Ia menghela napas panjang, seolah sedang menghimpun kesabaran untuk menghadapi seseorang yang begitu jauh dari ekspektasinya.“Kupikir tadinya hanya putri bangsawan saja yang tidak bisa melakukan tugas sepele ini,” ujar Bara, suaranya terdengar lembut namun beracun, seperti beludru yang menutupi duri.Ia menatap Cheryl dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah menimbang-nimbang sosok di depannya yang tampak kecil dan lemah di matanya. “Tapi ternyata, gadis biasa-biasa saja bisa sama manjanya.”Tatapannya tak beranjak dari Cheryl, menusuk seperti sinar matahari yang tak memberi tempat untuk bersembunyi. Bara menggelengkan kepala pelan, senyumnya mengembang tipis tapi penuh ejekan. “Apa saja yang sudah kamu lakukan selama 22 tahun ini, Cheryl?” tanyanya, suaranya datar namun terasa begitu menguliti.Ia melipat tangan di depan dada, tubuhnya tega
Cheryl duduk termenung di dapur setelah Bara pergi, sisa-sisa perkataannya masih menggema di benaknya. Jemarinya meremas kain lap yang tergeletak di atas meja."Kalau hidup ini keras, maka aku juga harus lebih keras," gumam Cheryl pelan, mencoba menyemangati dirinya sendiri.Tanpa banyak berpikir, ia segera bertanya pada salah satu pelayan yang sedang berada di sekitar dapur. “Aku ingin bertemu dengan koki pribadinya Bara.” “Maaf, Tuan Bara tidak punya koki pribadi.”Cheryl mengerutkan kening. “Tidak punya? Bukankah orang-orang kaya biasanya punya koki pribadi?” pikirnya sedikit bingung.“Tuan Bara biasanya memasak sendiri.”“Hah?” Cheryl semakin tercengang. “Kok… bisa? Memangnya dia… sempat?” tanyanya dengan raut wajah yang semakin bingung.“Tuan Bara selalu sempat melakukan apa saja meskipun memiliki kesibukan segudang,” jelas si pelayan.Cheryl tercengang mendengar fakta itu. “Kenapa dia selalu berhasil membuatku merasa tak berguna?” pikirnya, antara rasa minder bercampur dengan k
"Mimi bilang Bapak belum sarapan," tegur Sofyan begitu Bara memasuki mobil yang sudah menunggunya. Bara yang baru saja memasuki pintu mobil melirik Sofyan yang mengikutinya masuk ke mobil, asistennya itu duduk di bagian depan di sebelah sopir. "Aku pikir Cheryl bisa memasak, tapi rupanya dia betul-betul parah," gerutu Bara pelan, tapi cukup terdengar oleh Sofyan. Sofyan menoleh sedikit, memandang Bara dari balik bahunya dengan alis terangkat. "Bapak melewatkan waktu sarapan karena gadis itu?" Bara menghela napas panjang, melepas kancing jasnya agar lebih nyaman. "Aku harus mendidiknya. Dia betul-betul gadis yang manja," jawabnya datar, seolah hal itu adalah fakta yang tak perlu diperdebatkan.Sofyan mengernyit, tampak sedikit bingung sekaligus skeptis. "Mendidiknya?” sahutnya dengan hati-hati. Suaranya yang rendah dan penuh pertimbangan seperti menantikan klarifikasi dari Bara.Bara mengalihkan pandangannya keluar jendela, memperhatikan lalu lintas yang mulai padat. "Itu amanat da
Cheryl melangkah perlahan mendekati Bara, diam-diam menyeka air matanya sendiri yang sejak tadi menggantung di pelupuk. Ia tak tahu bagaimana cara menyembuhkan luka-luka suaminya, luka yang bahkan tidak pernah diminta untuk dipahami, apalagi dijamah. Luka-luka yang selama ini berhasil disembunyikan dengan begitu rapi, hingga Bara tampak nyaris sempurna di mata siapa pun.Mungkin Bara juga ingin menyembunyikan kerapuhan itu darinya. Tapi Cheryl tak ingin berpura-pura tak melihatnya. Ia ingin perlahan membongkar benteng itu, ingin Bara bersedia membagi beban itu dengannya. Ia ingin menjadi satu-satunya tempat pulang yang teduh bagi suaminya, tempat di mana Bara bisa berhenti berpura-pura kuat.Cheryl melingkarkan kedua lengannya ke tubuh Bara, memeluknya dari samping. Hangat, lembut, namun penuh tekad. Dan perlahan, dada Bara yang semula naik turun dengan napas berat terlihat mulai tenang, meski matanya tetap menatap nanar ke kejauhan."Aku di sini," bisik Cheryl, suaranya pelan namun p
Bara masih membeku di tempat, seolah tubuhnya kehilangan kemampuan untuk bereaksi, seakan seluruh udara di ruangan telah disedot keluar. Matanya menatap Rini lekat-lekat. Pandangan itu menyimpan bara kebencian sekaligus luka yang begitu dalam, menganga, dan belum pernah benar-benar sembuh. Tak ada kata yang meluncur dari bibirnya, tapi pandangannya berbicara lantang: kau telah menghancurkan segalanya.Rini menahan napas. Ada getar getir yang menyelinap di dalam dadanya, dan untuk sesaat, ia tak kuasa menatap balik mata putra tirinya itu. Tapi ia tahu, ini saatnya menghadapi semuanya. Rini akhirnya bersuara, pelan namun jelas, dengan nada yang menyayat dan penuh penyesalan."Maafkan aku, Bara…," suaranya bergetar. "Aku menyesal telah menyakitimu, Sabira... dan terlebih lagi, mamamu." Ia menunduk, air mata mengalir di pipinya. "Cintaku pada papamu terlalu besar. Sampai-sampai aku tak melihat apa pun selain dia. Aku buta oleh cinta. Aku egois. Kau berhak membenciku. Karena aku tahu, maa
Bara memandang wajahnya begitu dekat, dan dunia Cheryl seakan berhenti berputar. Tak ada suara lain selain detak jantungnya sendiri yang berpacu liar. Mata lelaki itu menatapnya seolah ia adalah satu-satunya perempuan di muka bumi. Ketika tangan Bara menyentuh pipinya yang dingin karena AC, Cheryl tak bisa menyembunyikan getar di dadanya. “Kamu nggak tahu betapa aku nungguin momen ini,” bisik Bara. Suaranya rendah, serak, penuh gejolak yang selama ini terpendam.Cheryl tersenyum. “Aku juga... setiap hari.”Lalu bibir mereka saling menemukan, ciuman yang begitu lembut, pelan, seolah-olah menyulam kembali sesuatu yang nyaris hilang. Tapi semakin lama, ciuman itu berubah. Lebih dalam. Lebih menuntut. Membawa Cheryl hanyut dalam gelombang kerinduan yang begitu kuat, hingga tubuhnya bergetar.Bara menariknya ke dalam pelukan, lengan kokoh itu membalut pinggangnya, dan Cheryl membalas, mencengkeram kerah kemeja lelaki itu seolah jika ia melepaskan, ia akan tenggelam dalam badai yang dicipta
Cheryl duduk di tepi ranjang, menatap langit-langit dengan ekspresi bosan. Kamar rumah sakit ini terlalu steril, terlalu sunyi, terlalu jauh dari segala sesuatu yang membuatnya nyaman. Ia merindukan kamar bernuansa ungunya, merindukan standee Jungkook yang setia berdiri menyambutnya di sudut ruangan, dan terutama… ia merindukan pintu rahasia yang selama ini menjadi jalur kecil menuju satu-satunya tempat yang selalu membuatnya merasa aman: kamar utama Bara.Ah, Bara… apa kabar suaminya itu? Ia sangat merindukannya.Cheryl mendesah. Ia betul-betul gabut. Hari-hari berlalu dengan ritme yang lambat, menyiksanya dengan kebosanan yang tak tertahankan. "Kenapa sih dokter Joshua menyita hapeku segala?" gerutunya.Keheningan yang menyelimutinya terlalu menusuk, dan ia benci perasaan terisolasi ini.Matanya beralih ke telepon rumah sakit di nakas samping tempat tidur. Dengan cepat, ia meraih gagangnya dan menekan nomor ekstensi yang ia ingat. Butuh waktu lama sebelum akhirnya ia tersambung den
Cahaya matahari keemasan memantul di permukaan kanal yang tenang, sementara gondola-gondola mulai berlayar perlahan membawa wisatawan yang ingin menikmati keindahan kota air ini. Bara berdiri di balkon kamarnya, secangkir kopi hangat berada dalam genggamannya, mengepul tipis di udara pagi yang masih sejuk.Seperti biasa, ia membuka ponselnya dan mulai membaca berita. Kebiasaan yang tak pernah ia tinggalkan. Bagi seorang pebisnis, informasi adalah senjata. Apa pun yang terjadi di dunia bisnis, baik di Indonesia maupun luar negeri, harus selalu ia ketahui lebih dulu. Tangannya menggulir layar, menelusuri berbagai tajuk ekonomi, pergerakan saham, hingga analisa pasar global.Namun tiba-tiba, matanya terpaku pada sebuah judul yang mencolok. Jantungnya mencelos seketika.‘Pertunangan Antar Cucu Konglomerat: Bara Wardhana dan Milena Wongso, Bersatunya Dua Kekuatan Bisnis Besar di Indonesia.’Bara terpaku. Seketika, dunia di sekelilingnya terasa membeku. Rahangnya mengatup rapat. Tatapann
Matahari mulai condong ke barat, menyisakan semburat jingga yang membelah langit senja. Angin sore yang sejuk berembus lembut di rooftop VIP rumah sakit, membawa aroma samar dari taman bunga kecil yang terletak di sudut teras. Cheryl duduk santai menikmati suasana sambil menyeruput jus alpukat yang dingin dan lembut di mulutnya. "Cheryl? Loh. Kamu... bukannya sudah pulang?" Teguran seseorang mengejutkan Cheryl dari lamunannya. "Eh. Bu Rini?" Wanita itu tersenyum lembut. "Kok kamu masih di sini, Cheryl?" "Aku masih perlu menjalani perawatan." "Ooh. Kupikir kamu kemarin sudah betul-betul pulih." Rini lalu menarik kursi dan duduk di samping Cheryl. "Senja di sini memang indah, ya?” Ada sesuatu dalam cara Rini berbicara—halus, hangat, dan tampak tulus. Tak ada tanda-tanda niat buruk. Akan tetapi, bayangan tentang siapa Rini sebenarnya masih menggelayut di benaknya. Bagaimanapun, wanita ini adalah ibu tiri Bara, seseorang yang katanya... jahat. Seharusnya ia tetap waspada. Namu
Di ruang perawatan VIP Bintang Hospital, Cheryl memandang Valen dengan sorot kesal. "Astaga… Dokter betul-betul melapor ke Pak Bara?" protesnya.Valen hanya mengangkat bahunya dengan santai. "Aku bukan tipe orang yang asal mengancam tanpa tindakan." Cheryl mengembuskan napas kasar. "Dokter lebay!”Valen menautkan jemarinya di depan dada, memiringkan kepala sedikit sambil menatap Cheryl dengan sorot penuh kemenangan. "Bukankah kemarin sudah kuingatkan soal itu? Tapi kamu bandel." Ia mendekat sedikit, suaranya lebih dalam. "Jangan salahkan aku kalau akhirnya aku melapor langsung ke bosmu."Cheryl mengerang kesal. "Aku tidak percaya Dokter betul-betul melakukannya.""Kenapa tidak?" Valen mengangkat sebelah alisnya. "Aku dokter, tugas utamaku memastikan pasienku istirahat dengan benar. Dan jika pasienku keras kepala, aku harus mencari cara. Dan langsung bicara dengan bosmu, itu solusi. Kamu dapat cuti, kamu istirahat tenang, kamu cepat sembuh, dan tugasku sebagai doktermu selesai.”Chery
Bara melangkah masuk ke dalam kamar hotelnya dengan langkah berat. Pintu tertutup di belakangnya, menciptakan keheningan yang nyaris menyesakkan. Ia mematikan lampu utama, membiarkan cahaya lembut dari lampu tidur menguasai kamar. Tanpa mengganti pakaiannya, Bara langsung merebahkan diri di atas ranjang yang empuk. Namun, tidak ada kenyamanan yang bisa ia temukan di sana. Pikirannya tidak berada di ruangan ini, tidak di tengah kemewahan hotel bintang lima ini, bukan di Venesia, bukan dalam pertunangan yang baru saja mengikatnya pada kehidupan yang tidak ia inginkan.Bara menatap langit-langit dengan kosong, napasnya terasa berat. Dalam pikirannya, bayangan Cheryl melintas begitu nyata. Wajahnya, senyumnya, suara lembutnya yang memanggil namanya dengan nada penuh cinta.Dengan satu gerakan, ia membuka galeri fotonya di ponsel. Dan di sanalah semua memori manisnya tersimpan nyata. Foto-foto Cheryl yang tertawa dalam pelukannya. Cheryl yang mencium pipinya dengan manja. Cheryl yang mena
Tuan Sigit terkekeh mendengar jawaban Milena, demikian pula keluarganya. "Wah, aku tidak keberatan jika acara pertunangan ini langsung berubah menjadi pernikahan," ucapnya sambil mengangguk puas."Bagaimana, Adiguna?" tanyanya kemudian pada ayah Milena. "Apa kau sudah siap melepas putrimu malam ini untuk diboyong pulang oleh Bara sebagai istrinya?"Ayah Milena, Adiguna, menatap putrinya sejenak sebelum beralih pada Bara. Ada kilatan penuh perhitungan dalam sorot matanya, seolah ingin memastikan keputusan yang diambil benar-benar tepat. Akhirnya, dengan suara mantap, ia menjawab, "Kuserahkan pada Bara. Apakah dia siap menikahi putriku sekarang?"Bara merasa sebuah bom sedang dilempar kepadanya. Kini, tatapan puluhan pasang mata tertuju padanya. Sorot penasaran, harapan, bahkan kegembiraan dari sebagian besar orang di ruangan itu, seolah menciptakan tekanan yang halus namun nyata. Bara meletakkan gelas wine di tangannya ke atas meja, lalu menegakkan punggungnya. Ia menarik napas perl