Bara bersandar pada meja marmer dengan gestur tenang, namun tatapannya tajam seperti bilah pisau yang siap mengiris lapisan pertahanan Cheryl. Ia menghela napas panjang, seolah sedang menghimpun kesabaran untuk menghadapi seseorang yang begitu jauh dari ekspektasinya.“Kupikir tadinya hanya putri bangsawan saja yang tidak bisa melakukan tugas sepele ini,” ujar Bara, suaranya terdengar lembut namun beracun, seperti beludru yang menutupi duri.Ia menatap Cheryl dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah menimbang-nimbang sosok di depannya yang tampak kecil dan lemah di matanya. “Tapi ternyata, gadis biasa-biasa saja bisa sama manjanya.”Tatapannya tak beranjak dari Cheryl, menusuk seperti sinar matahari yang tak memberi tempat untuk bersembunyi. Bara menggelengkan kepala pelan, senyumnya mengembang tipis tapi penuh ejekan. “Apa saja yang sudah kamu lakukan selama 22 tahun ini, Cheryl?” tanyanya, suaranya datar namun terasa begitu menguliti.Ia melipat tangan di depan dada, tubuhnya tega
Cheryl duduk termenung di dapur setelah Bara pergi, sisa-sisa perkataannya masih menggema di benaknya. Jemarinya meremas kain lap yang tergeletak di atas meja."Kalau hidup ini keras, maka aku juga harus lebih keras," gumam Cheryl pelan, mencoba menyemangati dirinya sendiri.Tanpa banyak berpikir, ia segera bertanya pada salah satu pelayan yang sedang berada di sekitar dapur. “Aku ingin bertemu dengan koki pribadinya Bara.” “Maaf, Tuan Bara tidak punya koki pribadi.”Cheryl mengerutkan kening. “Tidak punya? Bukankah orang-orang kaya biasanya punya koki pribadi?” pikirnya sedikit bingung.“Tuan Bara biasanya memasak sendiri.”“Hah?” Cheryl semakin tercengang. “Kok… bisa? Memangnya dia… sempat?” tanyanya dengan raut wajah yang semakin bingung.“Tuan Bara selalu sempat melakukan apa saja meskipun memiliki kesibukan segudang,” jelas si pelayan.Cheryl tercengang mendengar fakta itu. “Kenapa dia selalu berhasil membuatku merasa tak berguna?” pikirnya, antara rasa minder bercampur dengan k
"Mimi bilang Bapak belum sarapan," tegur Sofyan begitu Bara memasuki mobil yang sudah menunggunya. Bara yang baru saja memasuki pintu mobil melirik Sofyan yang mengikutinya masuk ke mobil, asistennya itu duduk di bagian depan di sebelah sopir. "Aku pikir Cheryl bisa memasak, tapi rupanya dia betul-betul parah," gerutu Bara pelan, tapi cukup terdengar oleh Sofyan. Sofyan menoleh sedikit, memandang Bara dari balik bahunya dengan alis terangkat. "Bapak melewatkan waktu sarapan karena gadis itu?" Bara menghela napas panjang, melepas kancing jasnya agar lebih nyaman. "Aku harus mendidiknya. Dia betul-betul gadis yang manja," jawabnya datar, seolah hal itu adalah fakta yang tak perlu diperdebatkan.Sofyan mengernyit, tampak sedikit bingung sekaligus skeptis. "Mendidiknya?” sahutnya dengan hati-hati. Suaranya yang rendah dan penuh pertimbangan seperti menantikan klarifikasi dari Bara.Bara mengalihkan pandangannya keluar jendela, memperhatikan lalu lintas yang mulai padat. "Itu amanat da
Di dapur, Cheryl menatap bahan-bahan yang diletakkan Mimi di meja: ikan salmon segar, udang besar, beras khusus sushi, rumput laut, miso, dan sederet bahan lainnya.“Tuan Bara cenderung menyukai masakan western dan Jepang. Favoritnya adalah sushi, tempura udang, dan ramen dengan kuah miso buatan sendiri. Tapi bukan sembarang ramen, ya, Nona. Dia suka yang semua bahannya segar—kaldu dari tulang sapi yang direbus berjam-jam, topping ayam panggang, telur setengah matang, semuanya harus sempurna.”Cheryl menelan ludah. “Sepertinya ini bakal rumit,” gumamnya.Mimi tersenyum simpul. “Tuan Bara memang orang yang perfeksionis, Nona. Dia suka makanan yang dibuat dengan perhatian penuh. Kalau Nona mau membuatnya, harus sabar, ya.”Cheryl menarik napas panjang, mencoba menenangkan rasa gugupnya. “Aku akan mencobanya. Mimi, ajari aku mulai dari mana.”Rupanya, pekerjaan itu jauh lebih sulit dari yang Cheryl bayangkan. Ia harus mencuci beras hingga bersih, lalu memasaknya dengan takaran air yang pr
Cheryl berdiri di depan cermin besar di kamarnya, menatap bayangannya yang tengah sibuk memperbaiki lipatan pada blus putih gading yang kini membalut tubuhnya. Rok floral selutut yang ia kenakan melambai ringan ketika ia berbalik memeriksa penampilannya dari berbagai sudut. Rambutnya yang ia ikat dengan kucir kuda sederhana jatuh teratur, memberi kesan santai namun rapi. Ia menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya yang gugup. “Iya, ini yang kumau, semiformal yang tidak terlalu mencolok,” gumamnya. Cheryl bukan tipe wanita yang terbiasa memulas wajahnya dengan riasan tebal. Kali ini, seperti biasanya, ia hanya mengandalkan sapuan bedak tipis untuk meredam kilap di wajah dan lipstik warna nude yang membingkai senyumannya dengan lembut. Namun, ada hal yang tak ia sadari bahwa dari kesederhanaannya itu, ia terlihat cantik alami biarpun tanpa usaha yang berlebihan. Beranjak ke lemari tasnya, Cheryl berdiri mematung di depan deretan aksesori mewah yang memenuhi setiap rak.
Di dalam mobil mewah milik Bara, jantung Cheryl berdegup tak menentu. Jemarinya erat menggenggam kotak makan siang yang terletak di pangkuannya, seolah itu satu-satunya benda yang mampu menenangkan keresahan yang bergejolak dalam dirinya. Pandangannya menerawang keluar jendela, menyaksikan gedung-gedung tinggi yang berkelebat saat mobil melaju, membawa dirinya semakin dekat ke gedung Apex. Setiap kilometer yang terlampaui seolah mempercepat denyut jantungnya, mengaduk-aduk rasa gugup dalam benaknya.Hingga pada akhirnya mobil itu telah sampai dan berhenti di depan lobi gedung Apex, salah satu ikon kemewahan di kawasan perkantoran elit Jakarta. Cheryl menelan ludah, mencoba menenangkan debar jantungnya yang semakin liar. Ketika seorang petugas membukakan pintu mobil untuknya, ia mendapati dirinya sedikit canggung untuk melangkah keluar."Terima kasih," ucap Cheryl, suaranya nyaris tenggelam oleh hiruk pikuk aktivitas di sekitar lobi. Petugas itu hanya mengangguk sopan sebelum mengis
Bara duduk di belakang meja kerjanya yang besar dan berlapis kaca, dengan pemandangan kota yang membentang di balik dinding kaca ruangan kantornya. Langit siang menumpahkan semburat keemasan, tetapi cahaya itu seolah tak mampu melunakkan atmosfer dingin dalam ruangan.Ia menatap layar monitornya dengan penuh konsentrasi. Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, menganalisa laporan evaluasi risiko untuk proyek baru perusahaan. Proyek kemitraan dengan sebuah startup asing yang berambisi menghadirkan solusi pembayaran berbasis blockchain ke pasar Asia Tenggara.Dering pesawat telepon di mejanya terdengar nyaring, menginterupsi kesibukannya. Tak menunggu lama, Bara segera menerima panggilan itu.“Pak Bara,” sapa sekretarisnya di ujung sambungan telepon, “Ibu Michelle Wong, CFO dari BlueWave Capital, ingin berbicara dengan Bapak terkait klausul kontrak terbaru. Saya sambungkan sekarang?” Bara mengangkat pandangannya dari dokumen di tangannya, menatap monitor sejenak, dan berkata sing
Jantung Cheryl berpacu kencang, seolah ingin meledak begitu matanya menangkap pemandangan di hadapannya. Bara ternyata tidak sendirian. Di sebelahnya, seorang wanita cantik duduk terlalu dekat, dengan tangan yang masih menelusuri bibir Bara, membelainya lembut, seperti deklarasi kepemilikan di depan Cheryl.Cheryl cepat-cepat menunduk, menyembunyikan keterkejutannya yang bercampur dengan nyeri samar yang perlahan menjalar ke dadanya. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menenangkan dirinya yang mendadak gemetaran dalam situasi yang tak terduga ini.“M-maaf, sepertinya… s-saya terlambat mengantarkan makan siang ini.” Suaranya kini tak sekeras sebelumnya, ketika dengan penuh percaya diri ia memutuskan masuk tanpa mengetuk. Namun keberanian itu lenyap seketika, seperti diterbangkan angin.“Bisa nggak sih, ketuk pintu dan izin dulu sebelum masuk?” Teguran yang mengandung kejengkelan dari wanita cantik yang duduk di sebelah Bara itu memecah keheningan. Ia menyipitkan mata, menelisik Chery
Cheryl melangkah perlahan mendekati Bara, diam-diam menyeka air matanya sendiri yang sejak tadi menggantung di pelupuk. Ia tak tahu bagaimana cara menyembuhkan luka-luka suaminya, luka yang bahkan tidak pernah diminta untuk dipahami, apalagi dijamah. Luka-luka yang selama ini berhasil disembunyikan dengan begitu rapi, hingga Bara tampak nyaris sempurna di mata siapa pun.Mungkin Bara juga ingin menyembunyikan kerapuhan itu darinya. Tapi Cheryl tak ingin berpura-pura tak melihatnya. Ia ingin perlahan membongkar benteng itu, ingin Bara bersedia membagi beban itu dengannya. Ia ingin menjadi satu-satunya tempat pulang yang teduh bagi suaminya, tempat di mana Bara bisa berhenti berpura-pura kuat.Cheryl melingkarkan kedua lengannya ke tubuh Bara, memeluknya dari samping. Hangat, lembut, namun penuh tekad. Dan perlahan, dada Bara yang semula naik turun dengan napas berat terlihat mulai tenang, meski matanya tetap menatap nanar ke kejauhan."Aku di sini," bisik Cheryl, suaranya pelan namun p
Bara masih membeku di tempat, seolah tubuhnya kehilangan kemampuan untuk bereaksi, seakan seluruh udara di ruangan telah disedot keluar. Matanya menatap Rini lekat-lekat. Pandangan itu menyimpan bara kebencian sekaligus luka yang begitu dalam, menganga, dan belum pernah benar-benar sembuh. Tak ada kata yang meluncur dari bibirnya, tapi pandangannya berbicara lantang: kau telah menghancurkan segalanya.Rini menahan napas. Ada getar getir yang menyelinap di dalam dadanya, dan untuk sesaat, ia tak kuasa menatap balik mata putra tirinya itu. Tapi ia tahu, ini saatnya menghadapi semuanya. Rini akhirnya bersuara, pelan namun jelas, dengan nada yang menyayat dan penuh penyesalan."Maafkan aku, Bara…," suaranya bergetar. "Aku menyesal telah menyakitimu, Sabira... dan terlebih lagi, mamamu." Ia menunduk, air mata mengalir di pipinya. "Cintaku pada papamu terlalu besar. Sampai-sampai aku tak melihat apa pun selain dia. Aku buta oleh cinta. Aku egois. Kau berhak membenciku. Karena aku tahu, maa
Bara memandang wajahnya begitu dekat, dan dunia Cheryl seakan berhenti berputar. Tak ada suara lain selain detak jantungnya sendiri yang berpacu liar. Mata lelaki itu menatapnya seolah ia adalah satu-satunya perempuan di muka bumi. Ketika tangan Bara menyentuh pipinya yang dingin karena AC, Cheryl tak bisa menyembunyikan getar di dadanya. “Kamu nggak tahu betapa aku nungguin momen ini,” bisik Bara. Suaranya rendah, serak, penuh gejolak yang selama ini terpendam.Cheryl tersenyum. “Aku juga... setiap hari.”Lalu bibir mereka saling menemukan, ciuman yang begitu lembut, pelan, seolah-olah menyulam kembali sesuatu yang nyaris hilang. Tapi semakin lama, ciuman itu berubah. Lebih dalam. Lebih menuntut. Membawa Cheryl hanyut dalam gelombang kerinduan yang begitu kuat, hingga tubuhnya bergetar.Bara menariknya ke dalam pelukan, lengan kokoh itu membalut pinggangnya, dan Cheryl membalas, mencengkeram kerah kemeja lelaki itu seolah jika ia melepaskan, ia akan tenggelam dalam badai yang dicipta
Cheryl duduk di tepi ranjang, menatap langit-langit dengan ekspresi bosan. Kamar rumah sakit ini terlalu steril, terlalu sunyi, terlalu jauh dari segala sesuatu yang membuatnya nyaman. Ia merindukan kamar bernuansa ungunya, merindukan standee Jungkook yang setia berdiri menyambutnya di sudut ruangan, dan terutama… ia merindukan pintu rahasia yang selama ini menjadi jalur kecil menuju satu-satunya tempat yang selalu membuatnya merasa aman: kamar utama Bara.Ah, Bara… apa kabar suaminya itu? Ia sangat merindukannya.Cheryl mendesah. Ia betul-betul gabut. Hari-hari berlalu dengan ritme yang lambat, menyiksanya dengan kebosanan yang tak tertahankan. "Kenapa sih dokter Joshua menyita hapeku segala?" gerutunya.Keheningan yang menyelimutinya terlalu menusuk, dan ia benci perasaan terisolasi ini.Matanya beralih ke telepon rumah sakit di nakas samping tempat tidur. Dengan cepat, ia meraih gagangnya dan menekan nomor ekstensi yang ia ingat. Butuh waktu lama sebelum akhirnya ia tersambung den
Cahaya matahari keemasan memantul di permukaan kanal yang tenang, sementara gondola-gondola mulai berlayar perlahan membawa wisatawan yang ingin menikmati keindahan kota air ini. Bara berdiri di balkon kamarnya, secangkir kopi hangat berada dalam genggamannya, mengepul tipis di udara pagi yang masih sejuk.Seperti biasa, ia membuka ponselnya dan mulai membaca berita. Kebiasaan yang tak pernah ia tinggalkan. Bagi seorang pebisnis, informasi adalah senjata. Apa pun yang terjadi di dunia bisnis, baik di Indonesia maupun luar negeri, harus selalu ia ketahui lebih dulu. Tangannya menggulir layar, menelusuri berbagai tajuk ekonomi, pergerakan saham, hingga analisa pasar global.Namun tiba-tiba, matanya terpaku pada sebuah judul yang mencolok. Jantungnya mencelos seketika.‘Pertunangan Antar Cucu Konglomerat: Bara Wardhana dan Milena Wongso, Bersatunya Dua Kekuatan Bisnis Besar di Indonesia.’Bara terpaku. Seketika, dunia di sekelilingnya terasa membeku. Rahangnya mengatup rapat. Tatapann
Matahari mulai condong ke barat, menyisakan semburat jingga yang membelah langit senja. Angin sore yang sejuk berembus lembut di rooftop VIP rumah sakit, membawa aroma samar dari taman bunga kecil yang terletak di sudut teras. Cheryl duduk santai menikmati suasana sambil menyeruput jus alpukat yang dingin dan lembut di mulutnya. "Cheryl? Loh. Kamu... bukannya sudah pulang?" Teguran seseorang mengejutkan Cheryl dari lamunannya. "Eh. Bu Rini?" Wanita itu tersenyum lembut. "Kok kamu masih di sini, Cheryl?" "Aku masih perlu menjalani perawatan." "Ooh. Kupikir kamu kemarin sudah betul-betul pulih." Rini lalu menarik kursi dan duduk di samping Cheryl. "Senja di sini memang indah, ya?” Ada sesuatu dalam cara Rini berbicara—halus, hangat, dan tampak tulus. Tak ada tanda-tanda niat buruk. Akan tetapi, bayangan tentang siapa Rini sebenarnya masih menggelayut di benaknya. Bagaimanapun, wanita ini adalah ibu tiri Bara, seseorang yang katanya... jahat. Seharusnya ia tetap waspada. Namu
Di ruang perawatan VIP Bintang Hospital, Cheryl memandang Valen dengan sorot kesal. "Astaga… Dokter betul-betul melapor ke Pak Bara?" protesnya.Valen hanya mengangkat bahunya dengan santai. "Aku bukan tipe orang yang asal mengancam tanpa tindakan." Cheryl mengembuskan napas kasar. "Dokter lebay!”Valen menautkan jemarinya di depan dada, memiringkan kepala sedikit sambil menatap Cheryl dengan sorot penuh kemenangan. "Bukankah kemarin sudah kuingatkan soal itu? Tapi kamu bandel." Ia mendekat sedikit, suaranya lebih dalam. "Jangan salahkan aku kalau akhirnya aku melapor langsung ke bosmu."Cheryl mengerang kesal. "Aku tidak percaya Dokter betul-betul melakukannya.""Kenapa tidak?" Valen mengangkat sebelah alisnya. "Aku dokter, tugas utamaku memastikan pasienku istirahat dengan benar. Dan jika pasienku keras kepala, aku harus mencari cara. Dan langsung bicara dengan bosmu, itu solusi. Kamu dapat cuti, kamu istirahat tenang, kamu cepat sembuh, dan tugasku sebagai doktermu selesai.”Chery
Bara melangkah masuk ke dalam kamar hotelnya dengan langkah berat. Pintu tertutup di belakangnya, menciptakan keheningan yang nyaris menyesakkan. Ia mematikan lampu utama, membiarkan cahaya lembut dari lampu tidur menguasai kamar. Tanpa mengganti pakaiannya, Bara langsung merebahkan diri di atas ranjang yang empuk. Namun, tidak ada kenyamanan yang bisa ia temukan di sana. Pikirannya tidak berada di ruangan ini, tidak di tengah kemewahan hotel bintang lima ini, bukan di Venesia, bukan dalam pertunangan yang baru saja mengikatnya pada kehidupan yang tidak ia inginkan.Bara menatap langit-langit dengan kosong, napasnya terasa berat. Dalam pikirannya, bayangan Cheryl melintas begitu nyata. Wajahnya, senyumnya, suara lembutnya yang memanggil namanya dengan nada penuh cinta.Dengan satu gerakan, ia membuka galeri fotonya di ponsel. Dan di sanalah semua memori manisnya tersimpan nyata. Foto-foto Cheryl yang tertawa dalam pelukannya. Cheryl yang mencium pipinya dengan manja. Cheryl yang mena
Tuan Sigit terkekeh mendengar jawaban Milena, demikian pula keluarganya. "Wah, aku tidak keberatan jika acara pertunangan ini langsung berubah menjadi pernikahan," ucapnya sambil mengangguk puas."Bagaimana, Adiguna?" tanyanya kemudian pada ayah Milena. "Apa kau sudah siap melepas putrimu malam ini untuk diboyong pulang oleh Bara sebagai istrinya?"Ayah Milena, Adiguna, menatap putrinya sejenak sebelum beralih pada Bara. Ada kilatan penuh perhitungan dalam sorot matanya, seolah ingin memastikan keputusan yang diambil benar-benar tepat. Akhirnya, dengan suara mantap, ia menjawab, "Kuserahkan pada Bara. Apakah dia siap menikahi putriku sekarang?"Bara merasa sebuah bom sedang dilempar kepadanya. Kini, tatapan puluhan pasang mata tertuju padanya. Sorot penasaran, harapan, bahkan kegembiraan dari sebagian besar orang di ruangan itu, seolah menciptakan tekanan yang halus namun nyata. Bara meletakkan gelas wine di tangannya ke atas meja, lalu menegakkan punggungnya. Ia menarik napas perl