Di kamarnya, Cheryl mengagumi kemegahan yang tak pernah ia bayangkan. Tempat ini terasa seperti surga kecil yang disulap dari dalam mimpinya. Setiap sudut kamar terasa seperti keluar dari halaman majalah desain interior kelas dunia.“Ternyata begini ya rasanya tinggal di kamar yang mewah,” gumamnya pelan, seolah takut kenyataan ini hanya mimpi yang akan lenyap jika terlalu keras ia ungkapkan.Ia menyentuh bingkai meja rias dengan ukiran rumit, dingin dan halus di bawah jemarinya. Di atasnya, botol-botol parfum kristal berjajar rapi, memancarkan aroma mewah yang samar-samar menguar. Sebuah kursi kecil berlapis kain sutra melengkapi sudut itu, membuatnya terasa seperti tempat peraduan seorang putri. Di sudut ruangan, sebuah sofa empuk dengan meja kecil. Di atas meja itu, terletak set teko porselen dan cangkir-cangkir mungil dengan hiasan emas, seolah siap menemaninya jika ingin menikmati waktu santai.Cheryl menghela napas, matanya menyapu ruangan dengan takjub sekaligus perasaan ganji
Lampu utama di kamar Cheryl tiba-tiba mati, ruangan yang besar itu kini hanya diterangi oleh sinar lampu redup di sudut-sudutnya. Pintu kamar terdengar berderit pelan, seperti ada seseorang yang membukanya. Cheryl menoleh. Di sana, Bara berdiri dengan santai di dekat pintu. Wajahnya tampak tenang seperti biasanya, namun matanya terasa sedikit lebih gelap dari yang Cheryl ingat.Langkahnya pelan, hampir tak bersuara, namun setiap gerakannya membawa aura ancaman yang menggetarkan udara di sekitarnya.“Cheryl.” Suaranya rendah, seperti bisikan angin dingin di malam kelam. “Jangan senang dulu. Semua ini bukan untukmu.”Cheryl bangkit dari ranjang empuk, tubuhnya menegang. “Apa maksudmu, Bara?”“Kamu pikir… dengan menjadi istriku, lalu semua ini otomatis menjadi milikmu?” Bara terkekeh pelan, ada hinaan dalam nada tawanya itu. “Bapakmu licik sekali, atas nama balas budi… dia sengaja menjebakku untuk menikahi putrinya yang miskin dan merepotkan,” ketusnya penuh hinaan. “Heh! Jangan seenak
Cheryl mendengus pelan, memalingkan wajahnya dari Bara setelah berhasil menguasai perasaannya yang sempat kalut pasca mimpi buruk itu. Jemarinya yang masih sedikit gemetar bergerak mengusap wajah, seolah mencoba menghapus sisa-sisa ketakutan yang melekat di sana. "Hanya mimpi buruk," gumamnya lirih, meski suara itu nyaris tertelan oleh napasnya sendiri.Bara berdiri diam di tempatnya, mengamati setiap gerak Cheryl dengan sorot mata yang sulit ditebak. Ketegangan di wajahnya mulai memudar, berganti dengan ekspresi yang lebih lembut. "Kurasa kamu harus menemui psikolog," katanya kemudian, suaranya rendah tapi tegas.Cheryl langsung menggeleng. "Aku baik-baik saja," jawabnya, berusaha meyakinkan, meski nada suaranya terdengar goyah. Matanya yang masih basah beralih menatap Bara sekilas, sebelum kembali menghindar.Bara mengangkat alis, skeptis. Ia melipat tangan di depan dada. "Kamu menyebut jeritan yang hampir membuat jantungku copot itu 'baik-baik saja'?" ujarnya, dengan nada setengah
Sinar matahari menerobos lembut melalui tirai yang setengah terbuka. Cheryl menggeliat di ranjangnya, mengusir sisa kantuk yang masih menggantung di matanya. Ia mendengar suara langkah kaki, benda-benda yang bergeser, dan percakapan pelan di antara dengung mesin yang menyala.Suasana aneh itu seketika membuat matanya tiba-tiba terbuka lebar. Ia tersentak melihat kamarnya kini dipenuhi oleh beberapa pelayan yang sibuk membersihkan ruangan. Ada yang sedang menghisap debu di karpet, membuka jendela lebar-lebar, dan merapikan meja kecil di sudut kamar, seolah keberadaan Cheryl di kamar ini tak berarti apa-apa. Cheryl terduduk dengan rambut acak-acakan, menatap mereka dengan sorot bingung sekaligus kesal.“Kalian... kok bisa masuk? Dan kenapa masuk tanpa izin dariku dulu?” tegurnya dengan suara serak, khas orang yang baru bangun tidur. Kekesalan yang nyata memancar dari nada bicaranya, namun suaranya belum cukup keras untuk menghentikan kesibukan mereka. Seorang pelayan bernama Wati, ya
Bara bersedekap, tatapan tajamnya menusuk ke arah Cheryl, seolah-olah menguliti setiap lapisan yang melindungi dirinya. Mata pria itu bukan sekadar melihat, tapi menggali, membaca, dan menilai, membuat Cheryl merasa terpojok.Tubuh Cheryl menegang. Meski pria itu adalah suaminya, namun keberadaannya terasa seperti ancaman yang asing dan tidak diundang. Ia buru-buru menghindari sorotan itu dengan bergerak cepat menuju lemari. “Berhenti menatapku seperti itu!” bentaknya, berusaha menutupi getar dalam suaranya.“Aku hanya menggunakan mataku,” Bara menukas, suaranya rendah, nyaris seperti gumaman. Seolah kata-katanya adalah hal yang paling masuk akal di dunia.Wajah Cheryl memerah, entah karena marah atau tersipu—ia bahkan tak tahu. “Dan kamu cukup menarik untuk dilihat. Kenapa aku harus berhenti?”Panas menjalar ke seluruh tubuh Cheryl. Ia mencengkeram handuk yang membalut tubuhnya, menyadari betapa pendeknya kain itu hingga memperlihatkan pahanya yang jenjang. “Dasar kurang ajar,” de
"Aku? Me-apa katamu? Memasak?" Cheryl ternganga sejenak. "Tapi aku—" Ia menelan ludah, gugup. Memasak? Itu lebih mirip tantangan hidup daripada tugas sederhana baginya.Gagasan tentang dirinya berdiri di depan kompor, mencoba menciptakan sesuatu yang layak disebut "makanan," terasa seperti lelucon yang sangat buruk.Selama ini, dapur baginya hanyalah tempat untuk menyeduh teh dan kopi instan, atau membuat Indomie di tengah malam. Di rumahnya, memasak itu urusan mendiang ayahnya—yang sudah terbiasa mengurus semuanya sebagai orangtua tunggal. Cheryl bahkan tak pernah merasa perlu untuk menyentuh alat masak lebih dari sekadar membuka microwave.Namun kini ia justru diminta memasak oleh Bara—sosok pria yang memancarkan aura otoritas dari ujung rambut hingga sepatu kulit mahal yang membungkus kakinya. Dan Bara, alih-alih meralat perkataannya, justru menyambut kebingungan Cheryl dengan senyuman menantang yang sangat menyebalkan."Ada apa, Cheryl? Jangan bilang kamu nggak bisa masak."Cheryl
Bara bersandar pada meja marmer dengan gestur tenang, namun tatapannya tajam seperti bilah pisau yang siap mengiris lapisan pertahanan Cheryl. Ia menghela napas panjang, seolah sedang menghimpun kesabaran untuk menghadapi seseorang yang begitu jauh dari ekspektasinya.“Kupikir tadinya hanya putri bangsawan saja yang tidak bisa melakukan tugas sepele ini,” ujar Bara, suaranya terdengar lembut namun beracun, seperti beludru yang menutupi duri.Ia menatap Cheryl dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah menimbang-nimbang sosok di depannya yang tampak kecil dan lemah di matanya. “Tapi ternyata, gadis biasa-biasa saja bisa sama manjanya.”Tatapannya tak beranjak dari Cheryl, menusuk seperti sinar matahari yang tak memberi tempat untuk bersembunyi. Bara menggelengkan kepala pelan, senyumnya mengembang tipis tapi penuh ejekan. “Apa saja yang sudah kamu lakukan selama 22 tahun ini, Cheryl?” tanyanya, suaranya datar namun terasa begitu menguliti.Ia melipat tangan di depan dada, tubuhnya tega
Cheryl duduk termenung di dapur setelah Bara pergi, sisa-sisa perkataannya masih menggema di benaknya. Jemarinya meremas kain lap yang tergeletak di atas meja."Kalau hidup ini keras, maka aku juga harus lebih keras," gumam Cheryl pelan, mencoba menyemangati dirinya sendiri.Tanpa banyak berpikir, ia segera bertanya pada salah satu pelayan yang sedang berada di sekitar dapur. “Aku ingin bertemu dengan koki pribadinya Bara.” “Maaf, Tuan Bara tidak punya koki pribadi.”Cheryl mengerutkan kening. “Tidak punya? Bukankah orang-orang kaya biasanya punya koki pribadi?” pikirnya sedikit bingung.“Tuan Bara biasanya memasak sendiri.”“Hah?” Cheryl semakin tercengang. “Kok… bisa? Memangnya dia… sempat?” tanyanya dengan raut wajah yang semakin bingung.“Tuan Bara selalu sempat melakukan apa saja meskipun memiliki kesibukan segudang,” jelas si pelayan.Cheryl tercengang mendengar fakta itu. “Kenapa dia selalu berhasil membuatku merasa tak berguna?” pikirnya, antara rasa minder bercampur dengan k
Begitu Bara melangkah masuk ke dalam kamar mereka, ia menutup pintu perlahan dengan kakinya, membiarkan sunyi mengalir mengisi ruangan.Lampu di langit-langit memancarkan cahaya hangat, membungkus ruangan dalam bayangan keemasan. Namun, di balik kehangatan yang tampak, ada hawa dingin yang perlahan menggerogoti perasaan Cheryl. Dulu, ruangan ini terasa hidup oleh kebersamaan mereka, penuh dengan canda, tawa, dan detak cinta yang nyata. Tapi kini ruangan ini tak lebih seperti kurungan bagi Cheryl.Kamar ini memang pernah menjadi tempat perlindungan teraman bagi Cheryl. Tempat di mana tawa dan bisikan penuh cinta pernah mengisi setiap sudutnya. Tempat di mana ia bisa merasa dimiliki, dicintai, dan dicari. Tempat yang selama beberapa hari ini ia rindukan.Namun kini, setelah kembali ke kamar ini lagi… hatinya justru teriris pedih. Fakta tentang pertunangan Bara dan Milena kembali terasa menghujam jantungnya. Sebentar lagi, kamar ini mungkin tak lagi menjadi milik mereka berdua. Akan a
Begitu roda Mercedes-Maybach GLS 600 berkilau melewati gerbang utama, rumah Bara menjulang megah di tengah senja. SUV obsidian black itu meluncur mulus di atas jalan berbatu, gril krom besar memantulkan cahaya temaram, sementara emblem Maybach di kap depan berkilau bagai mahkota. Velg multi-spoke berpendar setiap kali roda berputar, menegaskan aura eksklusif yang membungkus mobil ini.Di dalam kabin beraroma kulit Nappa dan kayu oak, Cheryl memalingkan wajah ke jendela, menatap senja yang memburam. Tubuhnya kaku, bahunya menegang, membangun benteng tak kasat mata di sekeliling dirinya.Di sebelahnya, Bara duduk gelisah. Satu kakinya bergerak kecil, mengetuk-ngetuk lantai karpet seolah melampiaskan ketegangan yang ia tahan. Tangannya sempat terulur, hampir saja menyentuh punggung tangan Cheryl, namun ia menarik kembali.Keheningan di antara mereka terasa berat, nyaris mencekik. Bara bisa merasakan kemarahan Cheryl mengisi udara seperti listrik statis, menusuk kulitnya tanpa suara. Ia
Tuan Sigit masih terpaku di tempatnya. Ponsel di tangannya terasa dingin, nyaris membeku. Telepon itu sudah diputus sepihak oleh Valen. Dan untuk pertama kalinya, seseorang berani menutup telepon lebih dulu darinya. Lebih dari itu, untuk pertama kalinya pula... Tuan Sigit tidak bisa berbuat apa-apa.Rahangnya mengeras. Otot-ototnya menegang. Ia menggertakkan gigi, geram sekaligus tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.“Bisa-bisanya selama ini aku tidak tahu kalau Valen adalah cucunya Tuan Januar?” desisnya, nyaris seperti gumaman pahit yang tercekat di tenggorokan. Matanya menajam, penuh kemarahan yang tak bisa dilampiaskan.Nama itu—Januar Sutanto—bergema di kepalanya seperti dentang lonceng. Sosok legendaris yang tak sekadar berpengaruh di dunia bisnis, tapi juga menjadi tokoh panutan lintas generasi. Pendiam, karismatik, dan dikenal karena jaringan kekuasaan yang begitu luas, bahkan para pejabat tinggi pun menunduk saat berbicara dengannya. Dalam diamnya, Tuan Januar menan
Setelah beberapa basa-basi ringan, Tuan Sigit akhirnya menyentuh inti pembicaraan. Suaranya terdengar lebih serius, mengandung harap sekaligus tekanan yang tak tersamar.“Dok, kau adalah salah satu dokter ortopedi terbaik di Asia Tenggara yang pernah kukenal.” Ia berhenti sejenak, memberi jeda pada kalimatnya, seakan ingin memastikan Valen mendengarkan dengan saksama. “Karena itu, aku sangat berharap kau bersedia membantu calon menantuku. Ia menderita Spondilitis Ankilosa, dan kondisinya kian memburuk. Apakah Bara sudah menemuimu dan membicarakan hal ini?”Valen terdiam sejenak. Ada keraguan yang bergemuruh dalam pikirannya. Akan sangat mudah baginya untuk menjawab ‘tidak’ dan menjaga jarak dari drama keluarga Wardhana, kisah yang selalu berujung rumit. Akan lebih tenang hidupnya jika tak banyak ikut campur ke dalam masalah mereka.Sayangnya, hati Valen tak bisa sedingin itu. Ia telah mengenal Bara terlalu lama untuk bersikap acuh. Ia menyayangi pria itu layaknya adik sendiri, dan ba
“Ayo kita pulang, kita bicarakan ini di rumah,” ajak Bara, suaranya lembut tapi tegas, penuh harap, seolah ia ingin mengangkat mereka keluar dari jurang yang baru saja mereka tatap bersama.Cheryl tak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang, berat, seperti menarik semua keraguan dari dalam dadanya.“Pulang?” gumamnya lirih. Ada jeda dalam suaranya, keengganan yang tak bisa ia tutupi. “Kamu pikir aku bisa kembali ke rumah itu tanpa membayangkan bakal ada wanita lain yang juga akan menjadi istrimu?”Bara menggertakkan rahangnya pelan. “Sayang, kumohon. Aku tahu aku sudah keterlaluan. Tapi aku nggak ingin rumah itu kosong tanpamu, Cheryl. Aku butuh kamu di sana, Cheryl… tanpa kamu, rumah itu seperti kuburan bagiku.”Cheryl menoleh perlahan. Matanya basah, tapi kali ini tak ada air mata yang jatuh. Hanya pandangan penuh luka yang menggores dalam. “Kamu harus mulai belajar untuk tidak membutuhkan aku lagi, Bara. Demikian juga aku. Kita harus mulai membiasakan diri untuk tidak saling m
Bara menatap Valen dalam diam. Sorot matanya penuh kemarahan yang terpendam—dingin, tapi tajam seperti ujung pisau. Ia menggertakkan rahangnya perlahan, menahan dorongan untuk melampiaskan semuanya dengan kata-kata yang lebih kasar.Ada banyak kata yang ingin dimuntahkannya, tapi ia memilih menahannya. Bukan karena tak punya keberanian, melainkan karena ia tahu jika Valen bukan sembarang pria. Dan karena itu... ia harus lebih cerdas dari emosinya.Bara mengunci pandangannya pada Valen. “Jadi semua ini cuma karena Cheryl?” Suaranya pelan, tapi mengandung daya hantam yang tak bisa dihindari. “Bukan karena kamu memang ingin menolongku?”Lalu ia menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan. Dalam hening itu, Bara membuat satu keputusan.“Terima kasih atas bantuannya, Dok. Tapi aku akan membawa Cheryl pulang. Dia istriku. Tanggung jawabku. Dan tempatnya adalah di rumah kami. Bukan di sini.”Tanpa menunggu reaksi Valen, Bara memutar badan dan membuka pintu. Suara derit engsel menjadi pe
Ruangan itu hening setelah Bara dan Valen menghilang ke balik pintu. Cheryl duduk sendirian di atas sofa yang empuk, tapi tak bisa merasa nyaman sedikit pun. Ia menghela napas berat, mencoba mengusir kegelisahan yang menyusup dalam diam. Matanya tiba-tiba menatap remote televisi di meja kecil di sebelahnya. Tangannya bergerak refleks, meraihnya dan menekan tombol power. Cahaya dari layar memantul ke wajahnya yang pucat, memberikan warna pada keheningan yang menekan.Tapi Cheryl tidak benar-benar berniat menonton. Ia hanya ingin mengalihkan pikiran. Menenangkan diri. Menyibukkan mata, walau pikirannya tetap berputar-putar di tempat yang sama, tentang ketegangan barusan, antara Bara dan Valen. Tapi Cheryl tak benar-benar ingin menonton. Ia hanya butuh sesuatu—apa saja—untuk mengalihkan pikirannya. Sesuatu yang bisa menenggelamkan kekacauan di kepalanya. Jempolnya menari cepat, berpindah dari satu saluran ke saluran lain—iklan, sinetron, berita politik. Tak satu pun yang mampu menahan
“Tempat ini paling aman untuk Cheryl saat ini,” ucap Valen akhirnya, suaranya tetap tenang, tapi mengandung ketegasan. “Orang-orang Tuan Sigit akan menyisir semua kemungkinan jejak tentang hubungan kalian, termasuk rumahmu, bahkan mungkin rumah sakit tempat kalian dinikahkan. Tapi mereka tidak akan pernah mencari ke sini.”Bara menyipitkan mata. Rahangnya mengeras. “Kau meremehkan kemampuanku melindungi istriku sendiri, Dok?”Nada bicara Bara terdengar seperti peringatan. Tegas, dingin, namun tak meledak—ia menahan diri. Tapi sorot matanya berbicara lebih dari itu: penuh perhitungan, dan tak suka diremehkan.Cheryl menegang. Jantungnya berdebar lebih kencang menyaksikan intensitas antara dua pria yang berdiri di hadapannya. Suasana seolah mengerucut tajam, seperti dua kekuatan besar yang siap bertabrakan dalam diam.Valen berdiri tegap. Sorot matanya tajam, dan wajahnya tak lagi menyimpan sisa-sisa gurauan seperti biasanya. Cheryl menelan ludah, sulit percaya bahwa pria yang selama in
“Halo, Dok?” sapa Bara, suaranya tenang namun penuh kewaspadaan. Ia tak melepaskan pelukannya dari Cheryl. Bahkan seolah sengaja menguatkannya, seakan ingin menegaskan bahwa perempuan dalam dekapannya itu bukan sekadar rekan kerja biasa.Tatapan dokter Joshua alias Valen beralih dari Bara ke Cheryl, lalu kembali ke Bara. Ada kegamangan yang nyaris tak tersamar di balik senyumnya.“Cheryl adalah…” Bara menarik napas, lalu melanjutkan dengan mantap, “istriku. Kami menikah diam-diam sejak beberapa bulan lalu. Di salah satu rumah sakitmu.”Keheningan yang menyusul terasa menggantung di udara seperti kabut tipis yang enggan menguap.Valen mematung, menatap keduanya seolah mencoba memastikan apakah telinganya tidak salah dengar. “Di rumah sakit?” ulangnya nyaris tak percaya. Matanya berkedip cepat. “Kalian… menikah di rumah sakit?”“Ya,” jawab Bara tegas. “Semua berlangsung cepat, sederhana, tapi sah.”Valen tak langsung menjawab. Ia mengerjap, seperti mencoba menelan seluruh informasi seka