Share

2. Terpaksa Menikah

Penulis: Indy Shinta
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-08 16:58:49

Setelah menemui bapaknya, Cheryl menundukkan kepala, termenung di ruang tunggu keluarga pasien. Permintaan bapaknya barusan menghantamnya dengan keras, seperti pukulan yang membuatnya kehilangan keseimbangan. 

Menikah? Dengan pria itu? Sosok asing yang dingin dan miskin simpati? 

Cheryl menggigit bibir, mencoba menahan gelombang emosi yang tak keruan. Bersamaan dengan itu, tatapan penuh harap Pak Bondan yang lemah tak henti-hentinya berkelebat di pikirannya. 

Pikiran Cheryl seketika terhenti saat langkah tegas terdengar mendekat. Dia mendongak, dan di sana pria itu berdiri. Berkemeja hitam lengan panjang dengan lengan yang sedikit digulung, celana chino hitam pas tubuh, serta sepatu kulit hitam polos. Serba hitam….

‘Seperti malaikat pencabut nyawa,’ pikir Cheryl, tanpa secuil simpati di sorot matanya, apalagi belas kasih.

Wajahnya memang tampan, baiklah… sangat tampan. Tapi dingin. Terlalu dingin. 

“Waktu bapakmu tidak banyak,” kata pria itu, datar. “Kita harus segera menikah, sebelum bapakmu benar-benar meninggal.”

Kata-kata itu menghantam Cheryl seperti tamparan keras. Cheryl ternganga. Seolah yang dibicarakan oleh pria itu bukanlah sesuatu yang sakral saja, tapi hanya hal sepele yang bisa dikerjakan disela-sela kesibukan. 

Dan apa dia bilang tadi? ‘Sebelum bapakmu betul-betul meninggal?’

“Kamu gila, ya?” desis Cheryl, suaranya bergetar dengan amarah yang coba ia tahan. Tatapannya tajam, menusuk sepasang mata dingin di depannya. “Kamu pikir ini lelucon?”

Pria itu tersenyum tipis, senyuman yang lebih terasa seperti ejekan. “Lelucon atau bukan, ini hanya soal memenuhi permintaan seseorang di akhir hidupnya. Apa susahnya?”

“Apa susahnya?” Cheryl mengulang ucapan pria itu dengan nada tinggi. “Heh! Semudah itu menurutmu?” 

“Tidak juga sih,” pria itu mengedikkan bahunya dengan santai. “Tapi, masalah sepele atau rumit itu… tergantung gimana cara kita menyelesaikannya, kan?” 

Ada seringai tipis di wajah tampan tapi dingin itu. 

“Perlu kamu tahu, aku bisa saja menolak permintaan bapakmu, tapi aku berbaik hati mengiyakan permintaannya untuk menikahimu.”

Cheryl terdiam. Dia tidak habis pikir. 'Sombong sekali orang ini?'

“Kenapa tidak kamu tolak saja?” ketus Cheryl.

“Dan membiarkan bapakmu mati dengan membawa rasa kecewanya karena penolakanku?” balas pria itu, suaranya nyaris berbisik. 

Dia kemudian mengedikkan bahunya dengan santai. “Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan. Aku akan bilang pada bapakmu, bahwa kamu memintaku untuk menolak pernikahan ini. Jadi... kalau bapakmu meninggal dengan membawa rasa kecewa, toh kecewanya itu bukan sama aku, tapi kamu… anaknya sendiri.”

Hati Cheryl mencelos. Kata-kata pria itu terdengar dingin, tajam, dan menghakimi.

“Aku juga tak sebegitu inginnya menikahi kamu… gadis cengeng yang bahkan tak pernah aku kenal.” 

Cheryl tersentak. Sial, betapa mudahnya pria itu bicara… tanpa perasaan!

“Oke. Aku akan bilang ke bapakmu, sekarang.”

Ketika pria itu benar-benar mulai melangkah menuju ruang perawatan Pak Bondan, Cheryl menjadi panik. Tangannya mengepal di sisi tubuh. “Tu-tunggu…!” suaranya pecah, nyaris memohon.

Pria itu berhenti. Menoleh santai dengan ekspresi datar. “Ya?”

Cheryl menggigit bibir, menelan bulat-bulat konflik yang mengguncang dirinya. Permintaan menikah itu bukan lagi tentang dirinya. Tapi ini tentang harapan terakhir dari bapak, seseorang yang sangat ia cintai lebih dari apapun.

“B-baiklah,” Cheryl menghela napas berat, suaranya terdengar hampir berbisik. “Ayo… menikah.”

Dalam benaknya yang penuh konflik, Cheryl terpaksa menyetujui permintaan terakhir bapak.

Persiapan pernikahan itu berjalan secepat kilat, seolah waktu berlomba dengan napas Pak Bondan yang makin pendek. Keduanya sepakat untuk menikah siri—tak ada waktu untuk mengurus secara resmi. 

Upacara pernikahan itupun cuma dihadiri oleh dua orang saksi yang diambil dari staf rumah sakit, dan seorang penghulu yang siap memimpin akad nikah. 

Pernikahan yang sangat sederhana, tapi penuh beban.

Pria dingin itu duduk di samping Cheryl, tak sedikit pun menunjukkan emosi. Tatapannya kosong, seolah pernikahan ini hanyalah kontrak bisnis, bukan pengikat dua jiwa.

Saat penghulu melantunkan ijab kabul, hati Cheryl terasa semakin berat. Tangannya gemetar, tapi pandangannya tetap terpaku pada wajah lemah bapaknya. Di mata Pak Bondan, Cheryl melihat kelegaan, cinta, dan permintaan yang tak terucapkan.

“Ananda Bara Wardhana bin Wishnu Wardhana, saya nikahkan dan saya kawinkan Anda dengan ananda Cheryl Anindita binti Bondan Purnomo dengan mas kawin berupa perhiasan kalung emas seberat 25 gram, dibayar tunai.”

Untuk sejenak, pria dingin bernama Bara Wardhana itu terdiam. Cheryl meliriknya, berpikir bahwa pria itu mungkin ragu-ragu kemudian akan menghentikan pernikahan yang tak masuk akal ini. 

Namun ternyata, dengan sekali tarikan napas pria itu akhirnya berikrar, “Saya terima nikah dan kawinnya Cheryl Anindita binti Bondan Purnomo dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”

Ketika Bara mengucapkan ikrar pernikahan dengan suara datar, hati Cheryl mencelos. Kata-kata itu terdengar jelas, tapi kosong. Seperti lembaran kertas tanpa makna. 

Akan tetapi, ketika saksi akhirnya berkata, “Sah,” ia melihat wajah bapaknya berubah. Ada senyum damai yang menyungging di bibir Pak Bondan, juga… air mata menetes dari sudut matanya.

Pak Bondan menatap Cheryl penuh kasih. Ada kedamaian yang terpancar jelas di wajahnya. Melihatnya, Cheryl ikut tersenyum sambil menyeka air matanya. 

Mata Pak Bondan tiba-tiba terpejam, senyumnya yang masih terpatri seolah menyimpan kedamaian abadi. Bersamaan dengan itu, bunyi monoton beep yang panjang tiba-tiba terdengar di ruangan. Grafik monitor di sebelah ranjangnya kini berubah menjadi garis lurus yang memanjang tanpa jeda.

Suara itu seperti lonceng peringatan, memecah suasana seketika. 

Paramedis segera bergerak cepat. Dokter mendekat dengan defibrillator di tangan, sementara perawat yang lain dengan cekatan memeriksa tanda-tanda vital Pak Bondan. 

Namun, meski berbagai upaya dilakukan—kompresi dada, suntikan adrenalin, hingga perangkat kejutan listrik—garis pada monitor itu tetap tak bergerak, seperti mengukuhkan kenyataan pahit yang baru saja terjadi.

“Bapak…!” Jeritan Cheryl menggema. Tangannya yang gemetar mengguncang tubuh sang bapak, seakan berharap bahwa semua ini hanya mimpi buruk yang segera berlalu. 

Namun, tubuh Pak Bondan tetap diam, tak lagi merespons. Keheningan mencekam menggantung di udara, mengiringi tangis Cheryl yang pecah dalam kepedihan.

Pada akhirnya, senyum damai di wajah Pak Bondan menjadi jawaban atas harapan terakhirnya—melihat putrinya menikah dengan pria yang telah ia pilihkan.

Sementara itu Bara hanya terpaku melihat pemandangan itu. 

Rahang pria itu tampak mengeras, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Perlahan ia menarik napas panjang yang terdengar begitu berat, seolah sama beratnya dengan beban tanggung jawab yang baru saja berpindah ke pundaknya. 

***

Bab terkait

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   3. Pijakan yang Hilang

    Di bawah langit mendung yang seakan ikut berkabung, suasana tempat pemakaman umum terasa begitu hening dan sendu. Teman, tetangga, dan kerabat, serta orang-orang yang pernah merasakan kebaikan Pak Bondan hadir hari itu, turut mengantarkannya dengan doa. Tubuh Cheryl gemetar, wajahnya pucat, dan matanya sembab karena tangis yang hampir tak terhenti. Kehilangan sosok bapak, satu-satunya orang yang ia miliki di dunia ini, telah membuatnya rapuh dan hancur sehancur-hancurnya.Tubuh Cheryl terasa lemah, hampir tak sanggup menopang dirinya sendiri. Lututnya bergetar, pandangannya kabur oleh air mata. Sesekali ia terhuyung, dan di saat-saat itu, Bara dengan cekatan menangkapnya. Tangan pria itu terasa kokoh di lengannya, dingin tapi stabil—seperti penopang yang tak diinginkan, tapi tak bisa ditolak.Ketika ia benar-benar kehilangan kesadaran sejenak, Cheryl mendapati dirinya dalam gendongan Bara. Kehangatan tubuhnya terasa aneh, hampir tidak nyata, kontras dengan wajah datar pria itu yang

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-08
  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   4. Kamu Bisa Pergi

    Malam demi malam berlalu dengan lambat dan penuh beban bagi Cheryl. Setiap malam, kamar tidurnya yang sepi menjadi saksi bisu dari derai air mata yang tak pernah berhenti. Tiada satu pun malam yang ia lewati tanpa tangis, seolah air mata menjadi satu-satunya cara bagi hatinya untuk mengungkapkan rasa kehilangan yang begitu mendalam. Kepergian sang Bapak untuk selamanya masih terasa seperti sebuah mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Setiap kali Cheryl terjaga di tengah malam, ia berharap semua ini hanya ilusi, bahwa Bapak masih akan datang mengetuk pintu kamar dan menyapanya dengan lembut seperti biasa. Tapi realita itu terlalu nyata—Bapak sudah tiada, dan setiap keheningan malam semakin menegaskan bahwa ia kini harus belajar hidup tanpa orang yang paling ia cintai.Tidak terasa, sudah tujuh hari berlalu tanpa Bapak di sampingnya—suara Bapak yang selalu menenangkan, langkahnya yang kuat, dan tawanya yang hangat seolah hilang begitu saja. Cheryl tak menyangka bahwa perpisahan ini d

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   5. Red Flag

    "Apa yang kamu pahami tentang makna ijab kabul yang aku ucapkan di depan penghulu saat itu?" Bara tiba-tiba mendesaknya dengan pertanyaan, suaranya pelan namun penuh ketegasan."Maknanya? Kamu pikir itu penting buat dibahas? Sudahlah. Kamu menikahiku bukan karena maumu apalagi cinta. Kamu menikahiku karena terpaksa. Jadi, jangan berpura-pura seolah ini berarti banyak."Bara duduk di tepi ranjang, membuat Cheryl mundur sedikit sambil memandang awas padanya. "Tak peduli ada cinta atau tidak, tapi faktanya kita menikah. Kita terikat sekarang.” Bara mendekat, menatap Cheryl lekat-lekat. "Kamu sekarang menjadi urusanku."Cheryl tertawa sinis. “Itu cuma pernikahan siri, nggak perlu terlalu serius menyikapi pernikahan ini. Kita menikah cuma buat... bikin Bapak lega aja. Lagipula nggak ada yang tahu kalau kita sudah menikah, selain dua saksi yang asal comot dari rumah sakit itu… dan penghulu."Bara tetap diam, hanya menatapnya. Cheryl melanjutkan dengan nada yang semakin keras, "Menikah di u

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   6. I'm Committed

    Bara menatap Cheryl lebih dalam, seolah menelusuri emosi yang tersembunyi di balik wajahnya yang cantik tapi keras. “Aku sudah mengikat janji. Dan aku akan bertanggung jawab pada janji itu, terlepas dari perasaanku terhadapmu atau orang lain. Aku nggak main-main dengan janji ini, Cheryl. I'm committed.”Cheryl tersenyum sinis. “Menikahiku… berarti kamu selingkuh dari pacarmu, loh! Tapi dengan pedenya kamu bilang… I’m committed? Bullshit!” Ada hinaan dalam suara dan tatapan Cheryl pada Bara.“Kenapa kamu masih memaksakan pernikahan ini, sih?” Cheryl memulai lagi dengan suara tajam. “Bukankah lebih baik kamu fokus menyelamatkan hubunganmu dengan si “Baby” yang sudah lama kamu kenal, daripada mengikat diri dengan wanita asing seperti aku?”“Oke Cheryl, cukup,” ucap Bara dengan nada rendah, namun tegas. “Aku nggak peduli berapa lama kita saling mengenal. Satu hal yang pasti, aku nggak akan mengkhianati janjiku pada bapakmu untuk menjagamu. Itu alasan kenapa aku ingin tetap mempertahanka

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   7. Terpaksa Melihatmu Dari Dekat

    “Keluar dari kamarku…!” Cheryl berteriak dengan wajah merah padam penuh emosi. “Pergi sana...! Aku nggak sudi lihat kamu lagi. Lagian ngapain sih kamu iseng banget masuk-masuk kamarku?" usirnya sambil menarik lengan Bara yang jatuh terlentang di atas ranjang akibat menghindari pukulan gulingnya yang tanpa ampun. “Oke-oke! Aku pergi… tapi kamu ikut.”“Tidak akan!” bentak Cheryl, ia menarik lengan Bara semakin keras agar lekas menyingkir dari ranjangnya, ia bertekad mengusirnya. Akan tetapi, tubuh Bara yang jauh lebih besar dan kuat justru membuatnya kesulitan, tarikannya seolah tak berarti, yang ada Cheryl malah kehilangan keseimbangan hingga jatuh terjerembab tepat di atas tubuh Bara.Seketika jarak di antara mereka lenyap. Kedekatan itu mengunci mereka berdua dalam sekejap. Cheryl terhenyak ketika merasakan buah dadanya menekan dada Bara yang bidang. Keduanya seketika saling menatap dalam kebisuan, jantungnya berdegup kencang bagai sedang berlomba. “Ka-kamu… baik-baik saja?” sua

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-16
  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   8. Tunggakan

    “Iya, dua tahun, Neng….” Pak Asep mengangguk tegas. “Waktu itu mendiang Pak Bondan bilang kalau… uangnya sedang terpakai buat bayar kuliahnya Neng Cheryl, jadi saya maklumi. Soalnya saya juga tahu gimana rasanya nyekolahin anak. Memang mpot-mpotan duitnya, Neng….” Pak Asep mencoba mengurai ketegangan yang terlihat dalam diri Cheryl dengan tertawa kecil. “Syukurlah sekarang Neng Cheryl sudah lulus jadi Sarjana. Saya ikut plong, karena saya tahu gimana mendiang Pak Bondan bekerja keras cari duit buat biaya kuliah Neng Cheryl.”Cheryl menggigit bibir, tangannya terkepal di atas pangkuan. Dia tahu…, uang tunggakan sewa rumah ini selama dua tahun yang terpakai buat biaya kuliahnya itu pastilah tidak sedikit. “Sebenarnya, saya nggak pengen buru-buru nagihnya. Tapi, berhubung kondisinya mendesak, jadi… saya terpaksa bilang sekarang ke Neng Cheryl. Maaf… saya benar-benar butuh uangnya, Neng. Buat bayar biaya masuk kuliahnya si bontot yang Alhamdulillah diterima di Fakultas Kedokteran.”Su

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-17
  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   9. Seperti Membayar Recehan

    Pak Asep terkejut melihat seorang pria tampan tiba-tiba muncul dari dalam kamar Cheryl. Wajahnya seperti tak asing di mata Pak Asep. Ia masih ingat, pria ini… yang selalu berada di sisi Cheryl di hari pemakaman Pak Bondan."Abang keluarganya Neng Cheryl?" tanya Pak Asep, mata pria tua itu menelisik penasaran.Namun, Bara hanya menatap dengan ekspresi datar, seolah tak berminat membahas hal-hal di luar inti masalah. Sikapnya tampak tegas dan efisien, seperti caranya yang sudah terbiasa menyelesaikan setiap urusan bisnis.“Berapa nomor rekeningnya Pak Asep? Saya transfer sekarang,” ucap Bara dengan nada dingin dan tanpa basa-basi.Pak Asep tercekat mendengar ketegasan pria itu, seperti tidak ada ruang untuk berpanjang lebar. Iapun segera menyebutkan nomor rekeningnya, sementara hatinya berdebar, tampaknya tak yakin apakah pria ini benar-benar akan melunasi utang mendiang Pak Bondan saat ini juga. Sambil menunggu, mata Pak Asep meneliti sosok pria tampan di depannya, seolah sedang menca

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   10. Terbang Untuk Jatuh

    “Tolong nanti dibuat surat perjanjian sewanya yang resmi pakai materai ya, Pak.”Pak Asep merespons permintaan Bara dengan anggukan mantap. “Siap, Bang... pasti nanti saya buatkan. Biasanya memang selalu begitu kok, ada hitam di atas putih. Umm… nanti nama pihak penyewanya atas nama Bang Bara atau… Neng Cheryl?”“Pakai nama sayalah, Pak. Saya yang bayar, kan…,” Bara melirik Cheryl sejenak, “… bukan dia.”Cheryl melirik Bara penuh rasa sebal, merasa harga dirinya disentil tanpa ampun. Nada suaranya itu loh… ‘ngajak gelut bener!’Pak Asep mengeluarkan tawa kecil, mencoba mencairkan suasana yang terasa sedikit tegang di antara dua orang di depannya.“Baik… baik…, nanti atas namanya Bang Bara.” Sambil mengulum senyum, Pak Asep memandang Bara dan Cheryl bergantian.Bara hanya mengangguk ringan, sementara Cheryl semakin menunduk karena perasaannya digempur kesal sekaligus malu. Ah. Andai saja Bara tidak melunasi tunggakan sebanyak lima puluh lima juta itu, mungkin… dia akan segera terusir d

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-19

Bab terbaru

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   29. Mungkin Pertanda

    Lampu utama di kamar Cheryl tiba-tiba mati, ruangan yang besar itu kini hanya diterangi oleh sinar lampu redup di sudut-sudutnya. Pintu kamar terdengar berderit pelan, seperti ada seseorang yang membukanya. Cheryl menoleh. Di sana, Bara berdiri dengan santai di dekat pintu. Wajahnya tampak tenang seperti biasanya, namun matanya terasa sedikit lebih gelap dari yang Cheryl ingat.Langkahnya pelan, hampir tak bersuara, namun setiap gerakannya membawa aura ancaman yang menggetarkan udara di sekitarnya.“Cheryl.” Suaranya rendah, seperti bisikan angin dingin di malam kelam. “Jangan senang dulu. Semua ini bukan untukmu.”Cheryl bangkit dari ranjang empuk, tubuhnya menegang. “Apa maksudmu, Bara?”“Kamu pikir… dengan menjadi istriku, lalu semua ini otomatis menjadi milikmu?” Bara terkekeh pelan, ada hinaan dalam nada tawanya itu. “Bapakmu licik sekali, atas nama balas budi… dia sengaja menjebakku untuk menikahi putrinya yang miskin dan merepotkan,” ketusnya penuh hinaan. “Heh! Jangan seenak

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   28. Semua Ini Untukku?

    Di kamarnya, Cheryl mengagumi kemegahan yang tak pernah ia bayangkan. Tempat ini terasa seperti surga kecil yang disulap dari dalam mimpinya. Setiap sudut kamar terasa seperti keluar dari halaman majalah desain interior kelas dunia.“Ternyata begini ya rasanya tinggal di kamar yang mewah,” gumamnya pelan, seolah takut kenyataan ini hanya mimpi yang akan lenyap jika terlalu keras ia ungkapkan.Ia menyentuh bingkai meja rias dengan ukiran rumit, dingin dan halus di bawah jemarinya. Di atasnya, botol-botol parfum kristal berjajar rapi, memancarkan aroma mewah yang samar-samar menguar. Sebuah kursi kecil berlapis kain sutra melengkapi sudut itu, membuatnya terasa seperti tempat peraduan seorang putri. Di sudut ruangan, sebuah sofa empuk dengan meja kecil. Di atas meja itu, terletak set teko porselen dan cangkir-cangkir mungil dengan hiasan emas, seolah siap menemaninya jika ingin menikmati waktu santai.Cheryl menghela napas, matanya menyapu ruangan dengan takjub sekaligus perasaan ganji

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   27. Menggoda

    Cheryl tak punya pilihan selain menerima untuk tinggal di sini. Buat apa menggembel di luar sana padahal punya suami tajir yang menawarkan perlindungan yang nyata untuknya di dalam rumah semewah ini? Ia tidak sebodoh itu.“Sudah larut malam, saatnya istirahat. Ayo," ujar Bara tanpa menunggu persetujuan Cheryl. Suaranya tegas namun tetap terdengar lembut di telinga, seolah memerintah tanpa memaksa.Tanpa menunggu, Bara melangkah dengan tenang menyusuri koridor panjang yang dihiasi panel kayu berukir halus dan lukisan-lukisan indah yang memikat mata. Lampu-lampu kecil yang menggantung dengan rapi di sepanjang lorong memancarkan cahaya hangat, menciptakan suasana yang menenangkan, hampir melupakan fakta bahwa ini adalah bagian dari sebuah rumah, bukan galeri seni pribadi.Cheryl, yang berada beberapa langkah di belakangnya, bergerak dengan hati-hati, tubuhnya tampak kaku. Matanya sibuk menelusuri setiap sudut ruangan, mencari hal-hal yang dapat mengalihkan pikirannya yang perlahan dipen

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   26. Tempat yang Nyaman Ini Gratis

    Mercedes-Maybach S-Class berwarna hitam obsidian itu berhenti perlahan di depan sebuah gerbang tinggi yang terbuat dari besi hitam dengan ukiran artistik yang rumit. Lampu-lampu kecil di sepanjang dinding pagar batu memberikan pencahayaan lembut, menciptakan bayangan indah pada malam yang tenang. Cheryl membuka matanya perlahan, dan apa yang dilihatnya membuatnya tercengang.Gerbang besar itu terbuka otomatis, memperlihatkan jalan masuk yang diapit oleh pepohonan rindang dengan daun-daunnya yang bergerak pelan ditiup angin. Lampu-lampu jalan kecil di sisi kanan dan kiri jalan memandu mereka menuju rumah besar di ujung jalur berkerikil putih.Rumah itu berdiri megah dengan arsitektur klasik modern. Pilar-pilar tinggi menopang balkon di lantai atas, sementara jendela-jendela besar dengan bingkai emas memancarkan kilauan hangat dari cahaya lampu dalam rumah. Taman depan yang luas dihiasi dengan bunga-bunga warna-warni dan air mancur berbentuk ikan, mengeluarkan suara gemericik menenang

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   25. Tak Ingin Orang Lain Tahu

    Mercedes Maybach S-Class berwarna hitam obsidian milik Bara meluncur dengan halus di jalanan kota, suasana kabin yang sunyi itu terasa lebih seperti ruang pribadi daripada sebuah kendaraan. Lampu kabin dengan nuansa lembut memberikan kesan kehangatan, memancarkan cahaya redup yang menambah ketenangan dalam ruang mewah itu. Di dalam, segala sesuatu terasa sempurna—bahan jok kulit premium yang lembut, lantai karpet tebal yang menyerap setiap suara, dan suasana yang hampir hening, kecuali suara mesin mobil yang menyala dengan lembut.Cheryl duduk di kursi belakang yang sangat nyaman, seolah tubuhnya tenggelam dalam pelukan kursi yang dirancang untuk kenyamanan maksimal. Jendela samping yang gelap memberikan privasi penuh, sementara layar infotainment yang terpasang di konsol tengah menampilkan gambaran tenang dari mobil yang melaju dengan anggun. “Cheryl.” Bara menegur karena gadis itu terus saja melamun dengan wajahnya yang tampak pucat. “Tenanglah. Aku sudah menangani bajingan itu.”

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   24. Pria yang Mempesona

    Seketika hening menyelimuti, seolah setiap orang terhipnotis oleh kehadiran pria yang tiba-tiba muncul di antara mereka. Posturnya tegap, jas hitam yang membalut tubuhnya tampak sempurna, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang gagah dan menawan. Rambutnya yang rapi dengan sedikit gelombang menambah kesan karismatik.Wajahnya memancarkan ketampanan yang hampir tidak masuk akal—rahang tegas, matanya yang tajam memancarkan ketenangan sekaligus ketegasan.Bibir pria itu terkatup rapat, menambah aura dingin tapi berwibawa.Para gadis yang sebelumnya panik mendadak terdiam, sebagian bahkan menahan napas, tidak mampu mengalihkan pandangan dari sosok pria itu. Seolah-olah, kemunculannya telah menyedot perhatian semua orang. Bahkan beberapa pria yang ada di sana merasa terintimidasi oleh pesona dan kewibawaannya.Tanpa mengatakan apa-apa, pria itu melangkah masuk dengan tenang namun penuh kepastian, kerumunan langsung memberi jalan seperti gelombang yang terbelah oleh batu besar. Pria itu, yang t

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   23. Dunia yang Miskin Empati

    Di kamar kosnya, Cheryl sedang berjuang mempertahankan kehormatannya.“Ayolah, jangan sok sulit,” gumam pria itu, suaranya serak dan mengancam, matanya penuh dengan kilatan nafsu. Tangannya yang besar dan kasar mencengkeram bahu Cheryl, menariknya dengan paksa. Sentuhan itu seperti cengkeraman besi, seolah tubuh Cheryl adalah miliknya yang bisa diperlakukan sesukanya.“Lepaskan aku!” Cheryl berteriak sekuat tenaga, suaranya menggema memecah keheningan malam yang mencekam. “Tolooong!”Tetapi, tak ada yang datang, seolah penghuni kosan ini menutup mata dan telinga mereka, tidak peduli dengan jeritannya.Plak!Pria itu menghentikan teriakan Cheryl dengan tamparan keras di wajahnya, membuat Cheryl pusing seketika. Air mata membanjiri pipinya, meluncur turun bersama ketakutannya. Di bawah himpitan tubuh pria brengsek itu, tangannya yang gemetar berusaha meraba-raba permukaan nakas di samping ranjang. Akhirnya, ia menemukan sesuatu yang dingin dan berat—laptopnya. Dengan jantung berdeba

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   22. Bukan Sosok Ideal

    Kebosanan mulai menyelimuti Bara. Percakapan di meja makan ini mulai kehilangan daya tariknya. Iapun memilih undur diri dengan sopan, meninggalkan pesta yang terasa terlalu panjang untuk hatinya yang sedang gelisah.“Sudah selesai, Pak?” Sofyan bertanya dengan sedikit bingung. Tak pernah-pernahnya Bara meninggalkan acara jamuan dari keluarga Wongso secepat ini. “Aku tak ada agenda lagi, kan?” jawab Bara tanpa menjawab pertanyaan asisten pribadinya.“Tidak ada, Pak.” Sofyan menjawab sambil mengimbangi langkah sang bos.“Oke. Kita langsung pulang.” Besok masih banyak agenda bisnis yang harus ia kerjakan. Ia harus pintar-pintar menggunakan waktu yang ada untuk beristirahat.Bara memasuki sedan mewahnya yang telah menjadi saksi bisu berbagai perjalanan pentingnya. Ia mengendurkan dasi dan membuka dua kancing atas kemejanya, mencoba menghirup napas panjang untuk melepaskan penat yang mulai menyelimuti pikirannya.Sofyan duduk di kursi depan, diam tak ingin mengganggu. Bara mengisyaratkan

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   21. Ironis Tapi Realistis

    Ruang perjamuan hotel berbintang lima itu memancarkan kemewahan di setiap sudutnya. Lampu gantung kristal yang megah tergantung di tengah ruangan, memantulkan cahaya yang hangat di atas meja-meja panjang yang dihias dengan bunga segar dan lilin aromaterapi. Karpet tebal berwarna krem melapisi lantai, tirai satin berwarna emas menghiasi jendela-jendela besar yang menampilkan pemandangan kota malam yang gemerlap.Di salah satu meja utama, orangtua Milena, yaitu Tuan Adiguna Wongso dan Nyonya Dania duduk berdampingan, dikelilingi keluarga dan tamu-tamu terhormat. Malam ini adalah perayaan ulang tahun pernikahan mereka yang ke-30, sebuah momen istimewa yang dirayakan dengan kemegahan.Para pelayan berlalu-lalang, membawa nampan berisi hidangan gourmet yang disajikan dengan artistik. Alunan musik jazz dari band live di sudut ruangan menciptakan suasana hangat dan elegan.Bara duduk di salah satu kursi di meja utama. Di hadapannya, Nyonya Dania tersenyum ramah, mengenakan gaun malam yang

DMCA.com Protection Status