"Apa yang kamu pahami tentang makna ijab kabul yang aku ucapkan di depan penghulu saat itu?" Bara tiba-tiba mendesaknya dengan pertanyaan, suaranya pelan namun penuh ketegasan.
"Maknanya? Kamu pikir itu penting buat dibahas? Sudahlah. Kamu menikahiku bukan karena maumu apalagi cinta. Kamu menikahiku karena terpaksa. Jadi, jangan berpura-pura seolah ini berarti banyak."
Bara duduk di tepi ranjang, membuat Cheryl mundur sedikit sambil memandang awas padanya.
"Tak peduli ada cinta atau tidak, tapi faktanya kita menikah. Kita terikat sekarang.” Bara mendekat, menatap Cheryl lekat-lekat. "Kamu sekarang menjadi urusanku."
Cheryl tertawa sinis. “Itu cuma pernikahan siri, nggak perlu terlalu serius menyikapi pernikahan ini. Kita menikah cuma buat... bikin Bapak lega aja. Lagipula nggak ada yang tahu kalau kita sudah menikah, selain dua saksi yang asal comot dari rumah sakit itu… dan penghulu."
Bara tetap diam, hanya menatapnya. Cheryl melanjutkan dengan nada yang semakin keras, "Menikah di usia semuda ini, bahkan… sebelum wisuda? Itu bukan rencana hidupku. Aku masih pengen bebas, pengen cari kerja, punya karir bagus, terus jadi wanita independen yang nggak bergantung sama siapa-siapa, apalagi bergantung sama… lelaki seperti kamu."
"Lelaki seperti… aku?" Bara mengulangi dengan nada yang lebih rendah, sebuah seringai tipis yang menjengkelkan muncul di wajah tampannya.
Sebelum Cheryl sempat menjawab, tiba-tiba ponsel Bara berdering.
Bara segera mendekatkan ponselnya di telinga. “Halo?” Dia tiba-tiba saja tertawa lirih.
Hah? Si kulkas berjalan ini bisa tertawa? Cheryl nyaris tak percaya!
“Kamu sendiri udah makan belum?” Suara Bara tiba-tiba berubah begitu lembut, nyaris tak pernah terdengar seperti itu di hadapan Cheryl.
Melihat bagaimana Bara bersuara, tampaknya ia sedang berbicara dengan seseorang yang spesial.
Cheryl memperhatikan Bara dengan seksama. Ada sedikit rasa tak nyaman yang semakin mengganjal di dadanya.
“Baby… I’m sorry…,” suara Bara terdengar penuh penyesalan, lagi-lagi mengalun selembut sutera. “Sepertinya nggak bisa sekarang. Ada sedikit urusan mendesak yang nggak bisa aku tinggalkan.”
Tatapan Bara yang biasanya penuh ketegasan dan dingin kepada Cheryl, kini berubah hangat dan melunak. Senyum kecil tersungging di sudut bibirnya, senyum yang tak pernah ia perlihatkan pada Cheryl selama ini.
Cheryl menatap Bara yang kini benar-benar tampak berbeda, ada sisi lain dari dirinya yang baru saja terbuka di depan mata Cheryl.
Cheryl tidak pernah melihat Bara bersikap sehangat itu, bahkan selama mereka terlibat dalam pembicaraan tadi.
Sisi kelembutan yang terlihat sepanjang Bara berbicara dengan perempuan lain membuat Cheryl tiba-tiba merasa kesal.
Bara terlihat menghela napas dalam, seolah berat untuk mengakhiri pembicaraan pribadinya itu. “Ok. Nanti aku hubungi lagi, ya? Umm… me too, baby.”
Bisikan mesra itu nyaris terdengar seperti sayatan bagi Cheryl yang diam-diam mendengarnya.
Cheryl berusaha menahan diri, ada perasaan geram yang perlahan-lahan merambat dalam hatinya. Jadi, Bara sudah memiliki kekasih, seseorang yang ia panggil “Baby” dengan nada penuh kasih sayang. Lalu, untuk apa Bara bersikap seolah begitu peduli padanya sebagai “suami”? Mengapa Bara bertingkah seolah-olah ingin merawatnya, ingin ia ikut pindah ke rumahnya segala? Bara menutup teleponnya, ekspresi lembutnya seketika hilang dan kembali ke wajah tegas yang biasa ia tampilkan di hadapan Cheryl. Ia menyimpan ponselnya di saku, kemudian menoleh pada Cheryl yang menatapnya dengan tajam.“Kamu punya pacar,” ujar Cheryl dengan suara datar, namun tak bisa menyembunyikan nada kesalnya. “Lalu, buat apa kamu repot-repot bersikap seolah peduli padaku? Bukankah ini hanyalah pernikahan yang terpaksa?”Bara terdiam sejenak, seperti tak menduga Cheryl akan merespons setajam itu, lebih ketus dari yang sudah-sudah. “Cheryl, aku punya tanggung jawab sebagai suamimu. Itu berbeda dengan urusan pribadiku.”Cheryl mendengus. “Beda? Serius? Kamu mau bertanggung jawab sebagai suamiku tapi kamu punya pacar?” Ia memandang Bara dengan sorot penuh celaan.“Dih. Kamu nggak usah sok peduli sama aku! Nggak usah repot-repot main peran sebagai suamiku kalau di luar sana kamu sudah punya wanita lain.”
Bara menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang meski Cheryl jelas sekali sedang menyerangnya. “Cheryl, dengar. Urusanku dengan wanita lain bukan urusanmu. Tapi pernikahan kita adalah janji yang harus aku pertanggungjawabkan.”Cheryl ternganga, matanya melebar dengan ekspresi terkejut yang dipenuhi rasa jijik. "Oh. Wow!" Dia memutar bola matanya dengan dramatis, seolah kehilangan kata-kata. "Kamu… luar biasa!" Kemudian, dia bertepuk tangan dengan ekspresi yang lebih mengejek daripada terkesan.
Bara terlihat begitu tenang, hampir dingin, saat dia berbicara tentang tanggung jawabnya sebagai suami.
Tapi bagi Cheryl, ketenangan itu malah terasa seperti penyamaran untuk sikapnya yang lebih buruk. Ada sesuatu dalam diri Bara yang membuatnya merasa ragu—sikapnya yang seolah tidak peduli, tapi juga terlalu memaksa. Dia bukan pria yang tampak tulus atau hangat, melainkan seseorang yang lebih fokus pada kewajiban, tanpa melihat perasaan orang lain.
Bara memegang teguh statusnya sebagai suami, tetapi kata-katanya tidak pernah mencerminkan komitmen yang sesungguhnya. Untuk Cheryl, itu membuatnya merasa seperti Bara hanya menjalankan peran dalam sebuah drama yang tidak pernah dia pilih.
Dia sering merasa Bara lebih terikat pada ide pernikahan—bukan padanya sebagai pasangan hidup. Ditambah lagi, sikapnya yang tak ragu untuk berbicara tentang wanita lain, meski mereka sudah menikah, semakin menguatkan perasaan Cheryl bahwa pria ini lebih peduli pada kepentingannya sendiri daripada hubungan mereka.
Bah. Suami macam apa ini ya, Lord!
Di mata Cheryl, Bara jelas-jelas red flag. Seperti api yang terlihat menyala, tapi tak pernah menghangatkan—hanya memberi kepastian bahwa dia harus berhati-hati.
Tidak ada kehangatan dalam cara Bara berperilaku, tidak ada niat untuk membangun sesuatu yang nyata antara mereka. Semua yang dia lakukan terasa lebih seperti kewajiban daripada cinta.
“Bukankah lebih baik aku tetap tinggal di sini dan kamu silakan pergi? Lalu mari... kita kembali melanjutkan hidup masing-masing seperti sebelum pernikahan ini terjadi. Jadi kamu bisa bebas bersama dia.”
Cheryl memutar bola mata saat mengucapkan kata “dia”.
“Daripada kamu repot-repot mengurusiku? Ceraikan aku, sekarang.”
***
Bara menatap Cheryl lebih dalam, seolah menelusuri emosi yang tersembunyi di balik wajahnya yang cantik tapi keras. “Aku sudah mengikat janji. Dan aku akan bertanggung jawab pada janji itu, terlepas dari perasaanku terhadapmu atau orang lain. Aku nggak main-main dengan janji ini, Cheryl. I'm committed.”Cheryl tersenyum sinis. “Menikahiku… berarti kamu selingkuh dari pacarmu, loh! Tapi dengan pedenya kamu bilang… I’m committed? Bullshit!” Ada hinaan dalam suara dan tatapan Cheryl pada Bara.“Kenapa kamu masih memaksakan pernikahan ini, sih?” Cheryl memulai lagi dengan suara tajam. “Bukankah lebih baik kamu fokus menyelamatkan hubunganmu dengan si “Baby” yang sudah lama kamu kenal, daripada mengikat diri dengan wanita asing seperti aku?”“Oke Cheryl, cukup,” ucap Bara dengan nada rendah, namun tegas. “Aku nggak peduli berapa lama kita saling mengenal. Satu hal yang pasti, aku nggak akan mengkhianati janjiku pada bapakmu untuk menjagamu. Itu alasan kenapa aku ingin tetap mempertahanka
“Keluar dari kamarku…!” Cheryl berteriak dengan wajah merah padam penuh emosi. “Pergi sana...! Aku nggak sudi lihat kamu lagi. Lagian ngapain sih kamu iseng banget masuk-masuk kamarku?" usirnya sambil menarik lengan Bara yang jatuh terlentang di atas ranjang akibat menghindari pukulan gulingnya yang tanpa ampun. “Oke-oke! Aku pergi… tapi kamu ikut.”“Tidak akan!” bentak Cheryl, ia menarik lengan Bara semakin keras agar lekas menyingkir dari ranjangnya, ia bertekad mengusirnya. Akan tetapi, tubuh Bara yang jauh lebih besar dan kuat justru membuatnya kesulitan, tarikannya seolah tak berarti, yang ada Cheryl malah kehilangan keseimbangan hingga jatuh terjerembab tepat di atas tubuh Bara.Seketika jarak di antara mereka lenyap. Kedekatan itu mengunci mereka berdua dalam sekejap. Cheryl terhenyak ketika merasakan buah dadanya menekan dada Bara yang bidang. Keduanya seketika saling menatap dalam kebisuan, jantungnya berdegup kencang bagai sedang berlomba. “Ka-kamu… baik-baik saja?” sua
“Iya, dua tahun, Neng….” Pak Asep mengangguk tegas. “Waktu itu mendiang Pak Bondan bilang kalau… uangnya sedang terpakai buat bayar kuliahnya Neng Cheryl, jadi saya maklumi. Soalnya saya juga tahu gimana rasanya nyekolahin anak. Memang mpot-mpotan duitnya, Neng….” Pak Asep mencoba mengurai ketegangan yang terlihat dalam diri Cheryl dengan tertawa kecil. “Syukurlah sekarang Neng Cheryl sudah lulus jadi Sarjana. Saya ikut plong, karena saya tahu gimana mendiang Pak Bondan bekerja keras cari duit buat biaya kuliah Neng Cheryl.”Cheryl menggigit bibir, tangannya terkepal di atas pangkuan. Dia tahu…, uang tunggakan sewa rumah ini selama dua tahun yang terpakai buat biaya kuliahnya itu pastilah tidak sedikit. “Sebenarnya, saya nggak pengen buru-buru nagihnya. Tapi, berhubung kondisinya mendesak, jadi… saya terpaksa bilang sekarang ke Neng Cheryl. Maaf… saya benar-benar butuh uangnya, Neng. Buat bayar biaya masuk kuliahnya si bontot yang Alhamdulillah diterima di Fakultas Kedokteran.”Su
Pak Asep terkejut melihat seorang pria tampan tiba-tiba muncul dari dalam kamar Cheryl. Wajahnya seperti tak asing di mata Pak Asep. Ia masih ingat, pria ini… yang selalu berada di sisi Cheryl di hari pemakaman Pak Bondan."Abang keluarganya Neng Cheryl?" tanya Pak Asep, mata pria tua itu menelisik penasaran.Namun, Bara hanya menatap dengan ekspresi datar, seolah tak berminat membahas hal-hal di luar inti masalah. Sikapnya tampak tegas dan efisien, seperti caranya yang sudah terbiasa menyelesaikan setiap urusan bisnis.“Berapa nomor rekeningnya Pak Asep? Saya transfer sekarang,” ucap Bara dengan nada dingin dan tanpa basa-basi.Pak Asep tercekat mendengar ketegasan pria itu, seperti tidak ada ruang untuk berpanjang lebar. Iapun segera menyebutkan nomor rekeningnya, sementara hatinya berdebar, tampaknya tak yakin apakah pria ini benar-benar akan melunasi utang mendiang Pak Bondan saat ini juga. Sambil menunggu, mata Pak Asep meneliti sosok pria tampan di depannya, seolah sedang menca
“Tolong nanti dibuat surat perjanjian sewanya yang resmi pakai materai ya, Pak.”Pak Asep merespons permintaan Bara dengan anggukan mantap. “Siap, Bang... pasti nanti saya buatkan. Biasanya memang selalu begitu kok, ada hitam di atas putih. Umm… nanti nama pihak penyewanya atas nama Bang Bara atau… Neng Cheryl?”“Pakai nama sayalah, Pak. Saya yang bayar, kan…,” Bara melirik Cheryl sejenak, “… bukan dia.”Cheryl melirik Bara penuh rasa sebal, merasa harga dirinya disentil tanpa ampun. Nada suaranya itu loh… ‘ngajak gelut bener!’Pak Asep mengeluarkan tawa kecil, mencoba mencairkan suasana yang terasa sedikit tegang di antara dua orang di depannya.“Baik… baik…, nanti atas namanya Bang Bara.” Sambil mengulum senyum, Pak Asep memandang Bara dan Cheryl bergantian.Bara hanya mengangguk ringan, sementara Cheryl semakin menunduk karena perasaannya digempur kesal sekaligus malu. Ah. Andai saja Bara tidak melunasi tunggakan sebanyak lima puluh lima juta itu, mungkin… dia akan segera terusir d
"Jadi? Mau ikut pulang denganku, ke rumahku? Atau... mau cari rumah sendiri?" Bara mengucapkannya dengan santai, tapi jelas ada sentuhan ejekan yang membuat darah Cheryl langsung mendidih dibuatnya.Cheryl mengepalkan tangan, menahan marah. "Kamu pikir aku nggak bisa cari rumah sendiri?" ketusnya seraya menatap Bara dengan berani, matanya berkilat penuh kemarahan yang sulit disembunyikan.Ada sesuatu dalam nada Bara yang menusuk harga dirinya. Seolah dia hanyalah beban, seseorang yang tak bisa bertahan tanpa bantuan. Darahnya berdesir panas. Kata-kata Bara seperti paku yang menghujam, mengingatkannya pada rasa tidak berdaya yang selama ini berusaha ia lawan."Aku bisa mengurus diriku sendiri.” Suaranya bergetar karena amarah yang menggelegak di dadanya. Bara mengangkat satu alis. "Oh ya?" katanya ringan, sambil bersedekap memandang Cheryl dengan ekspresi santai. “Buktikan saja kalau memang bisa.”Cheryl mengepalkan tangan lebih erat. Dia tahu Bara sengaja memprovokasinya, tapi tak a
Cheryl mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, menatap satu per satu perabot yang mengisi rumahnya. Sofa empuk di ruang tamu, meja makan kayu jati dengan ukiran sederhana, lemari TV yang sudah menjadi tempatnya menaruh buku-buku dan koleksi kecil. Barang-barang itu bukan hanya harta benda, melainkan saksi bisu banyak kenangan yang pernah ia lalui di sini bersama bapak. Namun, keadaan menuntutnya untuk harus segera melepas semua itu. Tak mungkin semua barang ini bisa ia bawa jika batas kesanggupannya hanyalah menyewa kamar kos kecil. Dengan berat hati, ia memutuskan menjualnya kepada tetangga dengan harapan bisa mendapatkan uang tambahan. Lima belas tahun hidup berdampingan sebagai tetangga, membuat simpati mereka untuk Cheryl cukup kuat. Akhirnya, satu demi satu tetangga bersedia membeli barang-barang itu, meskipun mungkin sebenarnya mereka tak betul-betul sedang membutuhkannya. Sofa ruang tamu dan AC dibeli Pak Budi untuk anaknya yang baru menikah. Meja makan berbahan ka
Di dalam sebuh ruangan yang hening, terdengar bunyi detik jam di dinding. Bara duduk tegak di kursinya, matanya yang tajam memindai layar laptop di depannya. Pintu diketuk pelan, lalu terbuka. Seorang wanita melangkah masuk membawa setumpuk dokumen dan berdiri di depan meja Bara.“Dokumen untuk rapat nanti sore, Pak,” ujar sekretarisnya dengan nada hormat, meletakkan dokumen dengan hati-hati di atas meja.Bara tak segera menoleh. Jari-jarinya masih bergerak mengetik beberapa kalimat terakhir di laptop sebelum akhirnya berhenti. Dia mengambil dokumen pertama dari tumpukan. Tidak ada basa-basi. Dia langsung membaca.Sekretarisnya berdiri diam, menunggu. Sementara itu Bara membalik halaman demi halaman, matanya mengamati setiap detail dengan cermat. Di salah satu halaman, alisnya sedikit terangkat. Dia menunjuk sebuah baris dengan ujung pulpennya.“Apa ini?” tanyanya, nada suaranya datar tapi mengandung tekanan.“Saya pikir itu… data yang relevan, Pak,” jawab si sekretaris dengan nada se
Bara memandang wajahnya begitu dekat, dan dunia Cheryl seakan berhenti berputar. Tak ada suara lain selain detak jantungnya sendiri yang berpacu liar. Mata lelaki itu menatapnya seolah ia adalah satu-satunya perempuan di muka bumi. Ketika tangan Bara menyentuh pipinya yang dingin karena AC, Cheryl tak bisa menyembunyikan getar di dadanya. “Kamu nggak tahu betapa aku nungguin momen ini,” bisik Bara. Suaranya rendah, serak, penuh gejolak yang selama ini terpendam.Cheryl tersenyum. “Aku juga... setiap hari.”Lalu bibir mereka saling menemukan, ciuman yang begitu lembut, pelan, seolah-olah menyulam kembali sesuatu yang nyaris hilang. Tapi semakin lama, ciuman itu berubah. Lebih dalam. Lebih menuntut. Membawa Cheryl hanyut dalam gelombang kerinduan yang begitu kuat, hingga tubuhnya bergetar.Bara menariknya ke dalam pelukan, lengan kokoh itu membalut pinggangnya, dan Cheryl membalas, mencengkeram kerah kemeja lelaki itu seolah jika ia melepaskan, ia akan tenggelam dalam badai yang dicipta
Cheryl duduk di tepi ranjang, menatap langit-langit dengan ekspresi bosan. Kamar rumah sakit ini terlalu steril, terlalu sunyi, terlalu jauh dari segala sesuatu yang membuatnya nyaman. Ia merindukan kamar bernuansa ungunya, merindukan standee Jungkook yang setia berdiri menyambutnya di sudut ruangan, dan terutama… ia merindukan pintu rahasia yang selama ini menjadi jalur kecil menuju satu-satunya tempat yang selalu membuatnya merasa aman: kamar utama Bara.Ah, Bara… apa kabar suaminya itu? Ia sangat merindukannya.Cheryl mendesah. Ia betul-betul gabut. Hari-hari berlalu dengan ritme yang lambat, menyiksanya dengan kebosanan yang tak tertahankan. "Kenapa sih dokter Joshua menyita hapeku segala?" gerutunya.Keheningan yang menyelimutinya terlalu menusuk, dan ia benci perasaan terisolasi ini.Matanya beralih ke telepon rumah sakit di nakas samping tempat tidur. Dengan cepat, ia meraih gagangnya dan menekan nomor ekstensi yang ia ingat. Butuh waktu lama sebelum akhirnya ia tersambung den
Cahaya matahari keemasan memantul di permukaan kanal yang tenang, sementara gondola-gondola mulai berlayar perlahan membawa wisatawan yang ingin menikmati keindahan kota air ini. Bara berdiri di balkon kamarnya, secangkir kopi hangat berada dalam genggamannya, mengepul tipis di udara pagi yang masih sejuk.Seperti biasa, ia membuka ponselnya dan mulai membaca berita. Kebiasaan yang tak pernah ia tinggalkan. Bagi seorang pebisnis, informasi adalah senjata. Apa pun yang terjadi di dunia bisnis, baik di Indonesia maupun luar negeri, harus selalu ia ketahui lebih dulu. Tangannya menggulir layar, menelusuri berbagai tajuk ekonomi, pergerakan saham, hingga analisa pasar global.Namun tiba-tiba, matanya terpaku pada sebuah judul yang mencolok. Jantungnya mencelos seketika.‘Pertunangan Antar Cucu Konglomerat: Bara Wardhana dan Milena Wongso, Bersatunya Dua Kekuatan Bisnis Besar di Indonesia.’Bara terpaku. Seketika, dunia di sekelilingnya terasa membeku. Rahangnya mengatup rapat. Tatapann
Matahari mulai condong ke barat, menyisakan semburat jingga yang membelah langit senja. Angin sore yang sejuk berembus lembut di rooftop VIP rumah sakit, membawa aroma samar dari taman bunga kecil yang terletak di sudut teras. Cheryl duduk santai menikmati suasana sambil menyeruput jus alpukat yang dingin dan lembut di mulutnya. "Cheryl? Loh. Kamu... bukannya sudah pulang?" Teguran seseorang mengejutkan Cheryl dari lamunannya. "Eh. Bu Rini?" Wanita itu tersenyum lembut. "Kok kamu masih di sini, Cheryl?" "Aku masih perlu menjalani perawatan." "Ooh. Kupikir kamu kemarin sudah betul-betul pulih." Rini lalu menarik kursi dan duduk di samping Cheryl. "Senja di sini memang indah, ya?” Ada sesuatu dalam cara Rini berbicara—halus, hangat, dan tampak tulus. Tak ada tanda-tanda niat buruk. Akan tetapi, bayangan tentang siapa Rini sebenarnya masih menggelayut di benaknya. Bagaimanapun, wanita ini adalah ibu tiri Bara, seseorang yang katanya... jahat. Seharusnya ia tetap waspada. Namu
Di ruang perawatan VIP Bintang Hospital, Cheryl memandang Valen dengan sorot kesal. "Astaga… Dokter betul-betul melapor ke Pak Bara?" protesnya.Valen hanya mengangkat bahunya dengan santai. "Aku bukan tipe orang yang asal mengancam tanpa tindakan." Cheryl mengembuskan napas kasar. "Dokter lebay!”Valen menautkan jemarinya di depan dada, memiringkan kepala sedikit sambil menatap Cheryl dengan sorot penuh kemenangan. "Bukankah kemarin sudah kuingatkan soal itu? Tapi kamu bandel." Ia mendekat sedikit, suaranya lebih dalam. "Jangan salahkan aku kalau akhirnya aku melapor langsung ke bosmu."Cheryl mengerang kesal. "Aku tidak percaya Dokter betul-betul melakukannya.""Kenapa tidak?" Valen mengangkat sebelah alisnya. "Aku dokter, tugas utamaku memastikan pasienku istirahat dengan benar. Dan jika pasienku keras kepala, aku harus mencari cara. Dan langsung bicara dengan bosmu, itu solusi. Kamu dapat cuti, kamu istirahat tenang, kamu cepat sembuh, dan tugasku sebagai doktermu selesai.”Chery
Bara melangkah masuk ke dalam kamar hotelnya dengan langkah berat. Pintu tertutup di belakangnya, menciptakan keheningan yang nyaris menyesakkan. Ia mematikan lampu utama, membiarkan cahaya lembut dari lampu tidur menguasai kamar. Tanpa mengganti pakaiannya, Bara langsung merebahkan diri di atas ranjang yang empuk. Namun, tidak ada kenyamanan yang bisa ia temukan di sana. Pikirannya tidak berada di ruangan ini, tidak di tengah kemewahan hotel bintang lima ini, bukan di Venesia, bukan dalam pertunangan yang baru saja mengikatnya pada kehidupan yang tidak ia inginkan.Bara menatap langit-langit dengan kosong, napasnya terasa berat. Dalam pikirannya, bayangan Cheryl melintas begitu nyata. Wajahnya, senyumnya, suara lembutnya yang memanggil namanya dengan nada penuh cinta.Dengan satu gerakan, ia membuka galeri fotonya di ponsel. Dan di sanalah semua memori manisnya tersimpan nyata. Foto-foto Cheryl yang tertawa dalam pelukannya. Cheryl yang mencium pipinya dengan manja. Cheryl yang mena
Tuan Sigit terkekeh mendengar jawaban Milena, demikian pula keluarganya. "Wah, aku tidak keberatan jika acara pertunangan ini langsung berubah menjadi pernikahan," ucapnya sambil mengangguk puas."Bagaimana, Adiguna?" tanyanya kemudian pada ayah Milena. "Apa kau sudah siap melepas putrimu malam ini untuk diboyong pulang oleh Bara sebagai istrinya?"Ayah Milena, Adiguna, menatap putrinya sejenak sebelum beralih pada Bara. Ada kilatan penuh perhitungan dalam sorot matanya, seolah ingin memastikan keputusan yang diambil benar-benar tepat. Akhirnya, dengan suara mantap, ia menjawab, "Kuserahkan pada Bara. Apakah dia siap menikahi putriku sekarang?"Bara merasa sebuah bom sedang dilempar kepadanya. Kini, tatapan puluhan pasang mata tertuju padanya. Sorot penasaran, harapan, bahkan kegembiraan dari sebagian besar orang di ruangan itu, seolah menciptakan tekanan yang halus namun nyata. Bara meletakkan gelas wine di tangannya ke atas meja, lalu menegakkan punggungnya. Ia menarik napas perl
Malam itu, Venesia berpendar dalam cahaya keemasan. Lampu-lampu jalan memantulkan kilau lembut di permukaan kanal, menciptakan riak-riak cahaya yang menari di antara arus tenang. Dari balkon sebuah hotel bintang lima, pemandangan kota tampak seperti lukisan hidup. Gedung-gedung tua berdiri anggun di sepanjang tepian air, sementara gondola melintas perlahan, dayungnya mengiris permukaan air dengan keheningan yang indah. Sementara itu di dalam ruangan hotel, alunan musik klasik mengisi udara, berpadu dengan suara gelas beradu dan gumaman percakapan, menciptakan atmosfer hangat di antara mereka yang hadir.Di meja utama, dua keluarga besar duduk dalam keakraban yang dengan cepat tercipta. Para pelayan bergerak anggun, menuangkan anggur ke dalam gelas-gelas kristal para tamu tanpa sedikit pun mengganggu percakapan yang tengah mengalir.Di antara semua yang hadir, sosok Tuan Sigit paling mencuri perhatian. Pria tua itu mengenakan kemeja linen berwarna gading dengan kerah terbuka, dipaduk
Cheryl menyandarkan punggungnya ke kursi kantor, matanya berkilat kesal sembari mengusap kakinya yang masih berdenyut nyeri. Ia tak henti-hentinya menggerutu, "Kupikir dia dokter yang sabar, tapi ternyata bisa galak juga. Mau apa coba dia ke sini? Kelamaan! Apa susahnya sih kasih resep saja? Bisa-bisa aku keburu klenger kesakitan."Ia cepat-cepat meraih ponsel dan menghubungi OB. "Heri, tolong belikan Counterpain dan obat anti nyeri. Merk apa aja terserah, yang penting buat anti nyeri," ujarnya dengan nada tak sabar.Menunggu OB datang, Cheryl merebahkan diri di sofa, meringkuk sambil memegangi kakinya yang nyeri. Matanya terpejam, mencoba mengatur napas setiap kali rasa sakit itu kembali menyerang seperti sengatan tajam.“Sialan. Demi menghindari Bu Rini biar jangan sampai tahu alamat rumahku, aku malah nekat ke kantor dan sekarang jadi apes gini.”Cheryl mengerutkan kening, menduga-duga. “Aku kok masih nggak yakin ya kalau semua itu cuma kebetulan? Jangan-jangan Bu Rini memang ingi