“Keluar dari kamarku…!” Cheryl berteriak dengan wajah merah padam penuh emosi. “Pergi sana...! Aku nggak sudi lihat kamu lagi. Lagian ngapain sih kamu iseng banget masuk-masuk kamarku?" usirnya sambil menarik lengan Bara yang jatuh terlentang di atas ranjang akibat menghindari pukulan gulingnya yang tanpa ampun.
“Oke-oke! Aku pergi… tapi kamu ikut.”
“Tidak akan!” bentak Cheryl, ia menarik lengan Bara semakin keras agar lekas menyingkir dari ranjangnya, ia bertekad mengusirnya.
Akan tetapi, tubuh Bara yang jauh lebih besar dan kuat justru membuatnya kesulitan, tarikannya seolah tak berarti, yang ada Cheryl malah kehilangan keseimbangan hingga jatuh terjerembab tepat di atas tubuh Bara.
Seketika jarak di antara mereka lenyap. Kedekatan itu mengunci mereka berdua dalam sekejap.
Cheryl terhenyak ketika merasakan buah dadanya menekan dada Bara yang bidang.
Keduanya seketika saling menatap dalam kebisuan, jantungnya berdegup kencang bagai sedang berlomba.
“Ka-kamu… baik-baik saja?” suara Bara yang biasanya tegas mendominasi tiba-tiba berubah serak dan gugup.
Dan Cheryl, yang biasanya cerewet, mendadak seperti kehilangan seluruh kata-katanya. Gadis itu hanya mengangguk kikuk sambil cepat-cepat menyingkir dari atas tubuh Bara.
Setelah Cheryl berguling menjauh, mereka terdiam dalam kebisuan yang canggung.
Cheryl duduk di ujung ranjang, berusaha menenangkan detak jantungnya yang belum juga berhenti berpacu.
Sementara itu, Bara perlahan bangkit, duduk bersandar dengan napas yang tampaknya masih belum teratur, sepertinya ia juga belum pulih dari situasi canggung tadi.
Untuk beberapa saat, keduanya hanya saling melirik dalam keheningan.
Cheryl merasakan wajahnya memanas, sementara pikirannya penuh dengan apa yang baru saja terjadi. Ia ingin berkata sesuatu untuk memecah suasana. Namun, kata-kata itu menguap begitu saja setiap kali ia mencoba membuka mulut.
Cheryl mengambil bantalnya yang teronggok di kaki ranjang, berpura-pura merapikannya. Ia berusaha bersikap biasa saja, mengabaikan gemuruh aneh dalam dadanya.
Kejadian tadi membuatnya ‘terpaksa’ melihat wajah Bara dengan jarak yang begitu dekat. Setiap detail wajahnya ternyata memiliki daya tarik tersendiri. Hidungnya yang mancung, garis rahangnya yang tegas, sedikit belahan di dagunya, dan sorot matanya yang gelap tetapi lembut di saat bersamaan.
Bara... rupanya jauh lebih tampan dari yang ia perhatikan secara sekilas lalu saja selama ini. Rambut hitamnya yang biasanya tersisir rapi terlihat sedikit berantakan, membuatnya tampak lebih santai dan manusiawi. Bahkan sekadar memikirkan itu membuat perasaan Cheryl jadi tak menentu, seperti ada yang menggelitik lembut di dalam dadanya.
Di sisi lain, Bara… sesekali melirik ke arah Cheryl. Dengan gerakan canggung, pria itu meraih ujung lengan kemejanya, menggulungnya hingga siku. Gerakan itu seperti dilakukannya tanpa sadar, seperti sebuah cara untuk mengalihkan pikirannya dari suasana aneh yang baru saja tercipta.
Mereka berdua masih terdiam, masing-masing seakan tengah tersesat dalam pikiran yang bergemuruh.
Cheryl menghela napas panjang, berusaha keras menahan diri agar tak terpesona oleh ketampanan Bara.
“Huh, ganteng sih ganteng… tapi egoisnya kebangetan! Apa bagusnya?” Cheryl menggerutu dalam hati. Meski demikian, rona di pipinya tetap membara.
Bara akhirnya berdeham, seolah mencoba memecah kebisuan. “Jadi… aku diusir? Beneran harus cabut sekarang?” tanyanya dengan nada ringan, mencoba menetralkan suasana.
Cheryl menatapnya sekilas. “Iya… sebelum aku benar-benar melemparmu, bukan pakai guling lagi, tapi pakai kamus tebalku,” balasnya dengan suara yang kembali sengak.
Bara mengangkat kedua tangan ke atas kepalanya, seolah menyerah. “Baiklah, mungkin kamu lagi butuh ‘me-time’ sama…,” dia melirik guling bergambar wajah idol K-Pop yang tadi dipakai Cheryl untuk menyerangnya, “…ayang Jungkook-mu.”
Deg!
‘Ayang Jungkook’… sebutan itu biasanya dipakai Pak Bondan untuk menggoda Cheryl.
Kini, mendengar Bara menggunakan sebutan yang sama untuk meledeknya, membuat hati Cheryl tiba-tiba bergetar dalam kehangatan. Tiba-tiba dia… sangat merindukan kehadiran bapak yang sudah tiada!
“Halah… nangis lagi.” Bara geleng-geleng kepala melihat air mata kembali menetesi pipi Cheryl. Tak salah ia menyebut gadis itu cengeng, bukan? Mudah sekali menangis.
“Oke. Kukasih kamu tambahan waktu tiga hari,” lanjut Bara, mengabaikan isak tangis Cheryl. “Kemasi barang-barang yang mau kamu bawa ke rumahku. Kalau butuh bantuan, bilang aja ke Sofyan. Telepon dia. Nanti biar dia kirim orang buat bantu-bantu kamu.”
Sambil menyeka air mata di pipinya, Cheryl menjawab tegas, “Sudah kubilang, aku nggak mau pindah ke rumahmu. Ini rumahku, aku akan tetap di sini.”
Bara menatapnya dengan mata menyipit, mencoba mengurai makna di balik keras kepalanya itu. “Cheryl, kamu nggak capek ya, terus-terusan aja ngeyel?”
“Kamu juga nggak ada capek-capeknya ya? Ngeyel terus nyuruh aku pindah ke rumahmu?”
Bara menarik napas panjang, menyadari gadis di hadapannya tak hanya keras kepala, tapi juga tak kenal lelah dalam memperjuangkan keinginannya.
Di tengah ketegangan yang mulai terjadi, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu ruang tamu. Cheryl dan Bara saling berpandangan sesaat.
“Siapa sih yang datang malam-malam begini?” Cheryl bergumam sambil bangkit menuju ruang tamu dan membuka pintunya.
“Eh, Pak Asep?” Cheryl mencoba tersenyum, meski hatinya tiba-tiba saja gelisah.
Pak Asep adalah pemilik rumah yang sudah 15 tahun ini ia tempati bersama mendiang bapaknya.
Perasaannya tiba-tiba tidak enak. Ia tahu, Pak Asep datang pasti bukan untuk sekadar mengucapkan belasungkawa, sebab mereka sudah bertemu saat pemakaman bapaknya, seminggu yang lalu.
“Mari... masuk, Pak."
“Terima kasih, Neng. Maaf ya... saya datangnya kemalaman, sebenarnya saya baru balik dari Bandung... nengokin anak yang lagi kuliah di sana. Padahal pengen bisa ikut tahlilan di sini, tapi malah kena macet parah tadi. Sampai sini ternyata malah udah bubar acaranya."
Setelah berbasa-basi, Pak Asep akhirnya menjelaskan maksud kedatangannya.
“Saya cuma sebentar kok, apalagi ini sudah malam. Jadi begini, Neng Cheryl… saya ingin membicarakan soal sewa rumah ini.” Pak Asep berhenti sejenak, kemudian melanjutkan dengan nada serius. ”Sudah dua tahun... Pak Bondan belum melunasi biaya sewa rumah ini.”
Mata Cheryl melebar, terkejut mendengar penuturan itu. “Dua… dua tahun, Pak?”
***
“Iya, dua tahun, Neng….” Pak Asep mengangguk tegas. “Waktu itu mendiang Pak Bondan bilang kalau… uangnya sedang terpakai buat bayar kuliahnya Neng Cheryl, jadi saya maklumi. Soalnya saya juga tahu gimana rasanya nyekolahin anak. Memang mpot-mpotan duitnya, Neng….” Pak Asep mencoba mengurai ketegangan yang terlihat dalam diri Cheryl dengan tertawa kecil. “Syukurlah sekarang Neng Cheryl sudah lulus jadi Sarjana. Saya ikut plong, karena saya tahu gimana mendiang Pak Bondan bekerja keras cari duit buat biaya kuliah Neng Cheryl.”Cheryl menggigit bibir, tangannya terkepal di atas pangkuan. Dia tahu…, uang tunggakan sewa rumah ini selama dua tahun yang terpakai buat biaya kuliahnya itu pastilah tidak sedikit. “Sebenarnya, saya nggak pengen buru-buru nagihnya. Tapi, berhubung kondisinya mendesak, jadi… saya terpaksa bilang sekarang ke Neng Cheryl. Maaf… saya benar-benar butuh uangnya, Neng. Buat bayar biaya masuk kuliahnya si bontot yang Alhamdulillah diterima di Fakultas Kedokteran.”Su
Pak Asep terkejut melihat seorang pria tampan tiba-tiba muncul dari dalam kamar Cheryl. Wajahnya seperti tak asing di mata Pak Asep. Ia masih ingat, pria ini… yang selalu berada di sisi Cheryl di hari pemakaman Pak Bondan."Abang keluarganya Neng Cheryl?" tanya Pak Asep, mata pria tua itu menelisik penasaran.Namun, Bara hanya menatap dengan ekspresi datar, seolah tak berminat membahas hal-hal di luar inti masalah. Sikapnya tampak tegas dan efisien, seperti caranya yang sudah terbiasa menyelesaikan setiap urusan bisnis.“Berapa nomor rekeningnya Pak Asep? Saya transfer sekarang,” ucap Bara dengan nada dingin dan tanpa basa-basi.Pak Asep tercekat mendengar ketegasan pria itu, seperti tidak ada ruang untuk berpanjang lebar. Iapun segera menyebutkan nomor rekeningnya, sementara hatinya berdebar, tampaknya tak yakin apakah pria ini benar-benar akan melunasi utang mendiang Pak Bondan saat ini juga. Sambil menunggu, mata Pak Asep meneliti sosok pria tampan di depannya, seolah sedang menca
“Tolong nanti dibuat surat perjanjian sewanya yang resmi pakai materai ya, Pak.”Pak Asep merespons permintaan Bara dengan anggukan mantap. “Siap, Bang... pasti nanti saya buatkan. Biasanya memang selalu begitu kok, ada hitam di atas putih. Umm… nanti nama pihak penyewanya atas nama Bang Bara atau… Neng Cheryl?”“Pakai nama sayalah, Pak. Saya yang bayar, kan…,” Bara melirik Cheryl sejenak, “… bukan dia.”Cheryl melirik Bara penuh rasa sebal, merasa harga dirinya disentil tanpa ampun. Nada suaranya itu loh… ‘ngajak gelut bener!’Pak Asep mengeluarkan tawa kecil, mencoba mencairkan suasana yang terasa sedikit tegang di antara dua orang di depannya.“Baik… baik…, nanti atas namanya Bang Bara.” Sambil mengulum senyum, Pak Asep memandang Bara dan Cheryl bergantian.Bara hanya mengangguk ringan, sementara Cheryl semakin menunduk karena perasaannya digempur kesal sekaligus malu. Ah. Andai saja Bara tidak melunasi tunggakan sebanyak lima puluh lima juta itu, mungkin… dia akan segera terusir d
"Jadi? Mau ikut pulang denganku, ke rumahku? Atau... mau cari rumah sendiri?" Bara mengucapkannya dengan santai, tapi jelas ada sentuhan ejekan yang membuat darah Cheryl langsung mendidih dibuatnya.Cheryl mengepalkan tangan, menahan marah. "Kamu pikir aku nggak bisa cari rumah sendiri?" ketusnya seraya menatap Bara dengan berani, matanya berkilat penuh kemarahan yang sulit disembunyikan.Ada sesuatu dalam nada Bara yang menusuk harga dirinya. Seolah dia hanyalah beban, seseorang yang tak bisa bertahan tanpa bantuan. Darahnya berdesir panas. Kata-kata Bara seperti paku yang menghujam, mengingatkannya pada rasa tidak berdaya yang selama ini berusaha ia lawan."Aku bisa mengurus diriku sendiri.” Suaranya bergetar karena amarah yang menggelegak di dadanya. Bara mengangkat satu alis. "Oh ya?" katanya ringan, sambil bersedekap memandang Cheryl dengan ekspresi santai. “Buktikan saja kalau memang bisa.”Cheryl mengepalkan tangan lebih erat. Dia tahu Bara sengaja memprovokasinya, tapi tak a
Cheryl mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, menatap satu per satu perabot yang mengisi rumahnya. Sofa empuk di ruang tamu, meja makan kayu jati dengan ukiran sederhana, lemari TV yang sudah menjadi tempatnya menaruh buku-buku dan koleksi kecil. Barang-barang itu bukan hanya harta benda, melainkan saksi bisu banyak kenangan yang pernah ia lalui di sini bersama bapak. Namun, keadaan menuntutnya untuk harus segera melepas semua itu. Tak mungkin semua barang ini bisa ia bawa jika batas kesanggupannya hanyalah menyewa kamar kos kecil. Dengan berat hati, ia memutuskan menjualnya kepada tetangga dengan harapan bisa mendapatkan uang tambahan. Lima belas tahun hidup berdampingan sebagai tetangga, membuat simpati mereka untuk Cheryl cukup kuat. Akhirnya, satu demi satu tetangga bersedia membeli barang-barang itu, meskipun mungkin sebenarnya mereka tak betul-betul sedang membutuhkannya. Sofa ruang tamu dan AC dibeli Pak Budi untuk anaknya yang baru menikah. Meja makan berbahan ka
Di dalam sebuh ruangan yang hening, terdengar bunyi detik jam di dinding. Bara duduk tegak di kursinya, matanya yang tajam memindai layar laptop di depannya. Pintu diketuk pelan, lalu terbuka. Seorang wanita melangkah masuk membawa setumpuk dokumen dan berdiri di depan meja Bara.“Dokumen untuk rapat nanti sore, Pak,” ujar sekretarisnya dengan nada hormat, meletakkan dokumen dengan hati-hati di atas meja.Bara tak segera menoleh. Jari-jarinya masih bergerak mengetik beberapa kalimat terakhir di laptop sebelum akhirnya berhenti. Dia mengambil dokumen pertama dari tumpukan. Tidak ada basa-basi. Dia langsung membaca.Sekretarisnya berdiri diam, menunggu. Sementara itu Bara membalik halaman demi halaman, matanya mengamati setiap detail dengan cermat. Di salah satu halaman, alisnya sedikit terangkat. Dia menunjuk sebuah baris dengan ujung pulpennya.“Apa ini?” tanyanya, nada suaranya datar tapi mengandung tekanan.“Saya pikir itu… data yang relevan, Pak,” jawab si sekretaris dengan nada se
Air hangat menyentuh kulit Cheryl seperti pelukan yang menenangkan, menghilangkan rasa lelah yang menghantui tubuhnya sejak pagi. Seharian tadi, ia memenuhi dua panggilan perusahaan sekaligus untuk tes dan interview. “Ini masih bukan apa-apa… perjuanganku masih panjang,” gumamnya seraya berbaring di bathtub dengan mata terpejam, membiarkan aroma lavender dari gelembung sabun memenuhi indra penciumannya. Pikiran Cheryl melayang, mencoba melepaskan diri dari semua kekhawatiran tentang pekerjaan, uang, dan masa depan yang belum pasti.“Untuk sementara waktu, hanya aku dan ketenangan ini,” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan kepada dirinya sendiri. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati sensasi relaksasi yang perlahan menyelimuti seluruh tubuhnya.Setelah selesai mandi, Cheryl mengenakan piyama longgar yang nyaman dan merapikan rambutnya sebentar sebelum berbaring di tempat tidur. Tubuhnya terasa lebih ringan, dan pikirannya sedikit lebih tenang setelah menikmati waktu relaksasi di
“Setelah kemarin-kemarin ia memintaku untuk tinggal di rumahnya—seolah betul-betul peduli, sekarang dia pura-pura tak mengenaliku?” Dengan langkah menghentak, Cheryl meninggalkan lobi, berusaha mengalihkan pikirannya dari kejadian barusan. Namun, ia berhenti sejenak sambil memegangi perutnya yang keroncongan.“Duh, kenapa harus sekarang?” keluhnya sambil menahan rasa lapar yang sejak tadi ia abaikan.Menyadari ia tak mungkin bertahan di perjalanan tanpa makanan, Cheryl akhirnya menuju kafetaria terdekat yang ada di gedung itu. Meskipun sudah tahu harga menu di sana lebih mahal, saat ini ia tak punya pilihan lain.Di kafetaria, Cheryl memerhatikan menu yang terpampang di layar digital dengan alis berkerut. Hampir semua makanan yang ditawarkan memiliki harga fantastis untuk ukuran kantongnya. Ia menghela napas panjang, lalu memilih satu menu termurah yang masih masuk akal.“Pesan nasi putih dengan sup ayam saja,” ujarnya kepada pelayan. Dalam hatinya ada rasa getir karena harus begitu
Lampu utama di kamar Cheryl tiba-tiba mati, ruangan yang besar itu kini hanya diterangi oleh sinar lampu redup di sudut-sudutnya. Pintu kamar terdengar berderit pelan, seperti ada seseorang yang membukanya. Cheryl menoleh. Di sana, Bara berdiri dengan santai di dekat pintu. Wajahnya tampak tenang seperti biasanya, namun matanya terasa sedikit lebih gelap dari yang Cheryl ingat.Langkahnya pelan, hampir tak bersuara, namun setiap gerakannya membawa aura ancaman yang menggetarkan udara di sekitarnya.“Cheryl.” Suaranya rendah, seperti bisikan angin dingin di malam kelam. “Jangan senang dulu. Semua ini bukan untukmu.”Cheryl bangkit dari ranjang empuk, tubuhnya menegang. “Apa maksudmu, Bara?”“Kamu pikir… dengan menjadi istriku, lalu semua ini otomatis menjadi milikmu?” Bara terkekeh pelan, ada hinaan dalam nada tawanya itu. “Bapakmu licik sekali, atas nama balas budi… dia sengaja menjebakku untuk menikahi putrinya yang miskin dan merepotkan,” ketusnya penuh hinaan. “Heh! Jangan seenak
Di kamarnya, Cheryl mengagumi kemegahan yang tak pernah ia bayangkan. Tempat ini terasa seperti surga kecil yang disulap dari dalam mimpinya. Setiap sudut kamar terasa seperti keluar dari halaman majalah desain interior kelas dunia.“Ternyata begini ya rasanya tinggal di kamar yang mewah,” gumamnya pelan, seolah takut kenyataan ini hanya mimpi yang akan lenyap jika terlalu keras ia ungkapkan.Ia menyentuh bingkai meja rias dengan ukiran rumit, dingin dan halus di bawah jemarinya. Di atasnya, botol-botol parfum kristal berjajar rapi, memancarkan aroma mewah yang samar-samar menguar. Sebuah kursi kecil berlapis kain sutra melengkapi sudut itu, membuatnya terasa seperti tempat peraduan seorang putri. Di sudut ruangan, sebuah sofa empuk dengan meja kecil. Di atas meja itu, terletak set teko porselen dan cangkir-cangkir mungil dengan hiasan emas, seolah siap menemaninya jika ingin menikmati waktu santai.Cheryl menghela napas, matanya menyapu ruangan dengan takjub sekaligus perasaan ganji
Cheryl tak punya pilihan selain menerima untuk tinggal di sini. Buat apa menggembel di luar sana padahal punya suami tajir yang menawarkan perlindungan yang nyata untuknya di dalam rumah semewah ini? Ia tidak sebodoh itu.“Sudah larut malam, saatnya istirahat. Ayo," ujar Bara tanpa menunggu persetujuan Cheryl. Suaranya tegas namun tetap terdengar lembut di telinga, seolah memerintah tanpa memaksa.Tanpa menunggu, Bara melangkah dengan tenang menyusuri koridor panjang yang dihiasi panel kayu berukir halus dan lukisan-lukisan indah yang memikat mata. Lampu-lampu kecil yang menggantung dengan rapi di sepanjang lorong memancarkan cahaya hangat, menciptakan suasana yang menenangkan, hampir melupakan fakta bahwa ini adalah bagian dari sebuah rumah, bukan galeri seni pribadi.Cheryl, yang berada beberapa langkah di belakangnya, bergerak dengan hati-hati, tubuhnya tampak kaku. Matanya sibuk menelusuri setiap sudut ruangan, mencari hal-hal yang dapat mengalihkan pikirannya yang perlahan dipen
Mercedes-Maybach S-Class berwarna hitam obsidian itu berhenti perlahan di depan sebuah gerbang tinggi yang terbuat dari besi hitam dengan ukiran artistik yang rumit. Lampu-lampu kecil di sepanjang dinding pagar batu memberikan pencahayaan lembut, menciptakan bayangan indah pada malam yang tenang. Cheryl membuka matanya perlahan, dan apa yang dilihatnya membuatnya tercengang.Gerbang besar itu terbuka otomatis, memperlihatkan jalan masuk yang diapit oleh pepohonan rindang dengan daun-daunnya yang bergerak pelan ditiup angin. Lampu-lampu jalan kecil di sisi kanan dan kiri jalan memandu mereka menuju rumah besar di ujung jalur berkerikil putih.Rumah itu berdiri megah dengan arsitektur klasik modern. Pilar-pilar tinggi menopang balkon di lantai atas, sementara jendela-jendela besar dengan bingkai emas memancarkan kilauan hangat dari cahaya lampu dalam rumah. Taman depan yang luas dihiasi dengan bunga-bunga warna-warni dan air mancur berbentuk ikan, mengeluarkan suara gemericik menenang
Mercedes Maybach S-Class berwarna hitam obsidian milik Bara meluncur dengan halus di jalanan kota, suasana kabin yang sunyi itu terasa lebih seperti ruang pribadi daripada sebuah kendaraan. Lampu kabin dengan nuansa lembut memberikan kesan kehangatan, memancarkan cahaya redup yang menambah ketenangan dalam ruang mewah itu. Di dalam, segala sesuatu terasa sempurna—bahan jok kulit premium yang lembut, lantai karpet tebal yang menyerap setiap suara, dan suasana yang hampir hening, kecuali suara mesin mobil yang menyala dengan lembut.Cheryl duduk di kursi belakang yang sangat nyaman, seolah tubuhnya tenggelam dalam pelukan kursi yang dirancang untuk kenyamanan maksimal. Jendela samping yang gelap memberikan privasi penuh, sementara layar infotainment yang terpasang di konsol tengah menampilkan gambaran tenang dari mobil yang melaju dengan anggun. “Cheryl.” Bara menegur karena gadis itu terus saja melamun dengan wajahnya yang tampak pucat. “Tenanglah. Aku sudah menangani bajingan itu.”
Seketika hening menyelimuti, seolah setiap orang terhipnotis oleh kehadiran pria yang tiba-tiba muncul di antara mereka. Posturnya tegap, jas hitam yang membalut tubuhnya tampak sempurna, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang gagah dan menawan. Rambutnya yang rapi dengan sedikit gelombang menambah kesan karismatik.Wajahnya memancarkan ketampanan yang hampir tidak masuk akal—rahang tegas, matanya yang tajam memancarkan ketenangan sekaligus ketegasan.Bibir pria itu terkatup rapat, menambah aura dingin tapi berwibawa.Para gadis yang sebelumnya panik mendadak terdiam, sebagian bahkan menahan napas, tidak mampu mengalihkan pandangan dari sosok pria itu. Seolah-olah, kemunculannya telah menyedot perhatian semua orang. Bahkan beberapa pria yang ada di sana merasa terintimidasi oleh pesona dan kewibawaannya.Tanpa mengatakan apa-apa, pria itu melangkah masuk dengan tenang namun penuh kepastian, kerumunan langsung memberi jalan seperti gelombang yang terbelah oleh batu besar. Pria itu, yang t
Di kamar kosnya, Cheryl sedang berjuang mempertahankan kehormatannya.“Ayolah, jangan sok sulit,” gumam pria itu, suaranya serak dan mengancam, matanya penuh dengan kilatan nafsu. Tangannya yang besar dan kasar mencengkeram bahu Cheryl, menariknya dengan paksa. Sentuhan itu seperti cengkeraman besi, seolah tubuh Cheryl adalah miliknya yang bisa diperlakukan sesukanya.“Lepaskan aku!” Cheryl berteriak sekuat tenaga, suaranya menggema memecah keheningan malam yang mencekam. “Tolooong!”Tetapi, tak ada yang datang, seolah penghuni kosan ini menutup mata dan telinga mereka, tidak peduli dengan jeritannya.Plak!Pria itu menghentikan teriakan Cheryl dengan tamparan keras di wajahnya, membuat Cheryl pusing seketika. Air mata membanjiri pipinya, meluncur turun bersama ketakutannya. Di bawah himpitan tubuh pria brengsek itu, tangannya yang gemetar berusaha meraba-raba permukaan nakas di samping ranjang. Akhirnya, ia menemukan sesuatu yang dingin dan berat—laptopnya. Dengan jantung berdeba
Kebosanan mulai menyelimuti Bara. Percakapan di meja makan ini mulai kehilangan daya tariknya. Iapun memilih undur diri dengan sopan, meninggalkan pesta yang terasa terlalu panjang untuk hatinya yang sedang gelisah.“Sudah selesai, Pak?” Sofyan bertanya dengan sedikit bingung. Tak pernah-pernahnya Bara meninggalkan acara jamuan dari keluarga Wongso secepat ini. “Aku tak ada agenda lagi, kan?” jawab Bara tanpa menjawab pertanyaan asisten pribadinya.“Tidak ada, Pak.” Sofyan menjawab sambil mengimbangi langkah sang bos.“Oke. Kita langsung pulang.” Besok masih banyak agenda bisnis yang harus ia kerjakan. Ia harus pintar-pintar menggunakan waktu yang ada untuk beristirahat.Bara memasuki sedan mewahnya yang telah menjadi saksi bisu berbagai perjalanan pentingnya. Ia mengendurkan dasi dan membuka dua kancing atas kemejanya, mencoba menghirup napas panjang untuk melepaskan penat yang mulai menyelimuti pikirannya.Sofyan duduk di kursi depan, diam tak ingin mengganggu. Bara mengisyaratkan
Ruang perjamuan hotel berbintang lima itu memancarkan kemewahan di setiap sudutnya. Lampu gantung kristal yang megah tergantung di tengah ruangan, memantulkan cahaya yang hangat di atas meja-meja panjang yang dihias dengan bunga segar dan lilin aromaterapi. Karpet tebal berwarna krem melapisi lantai, tirai satin berwarna emas menghiasi jendela-jendela besar yang menampilkan pemandangan kota malam yang gemerlap.Di salah satu meja utama, orangtua Milena, yaitu Tuan Adiguna Wongso dan Nyonya Dania duduk berdampingan, dikelilingi keluarga dan tamu-tamu terhormat. Malam ini adalah perayaan ulang tahun pernikahan mereka yang ke-30, sebuah momen istimewa yang dirayakan dengan kemegahan.Para pelayan berlalu-lalang, membawa nampan berisi hidangan gourmet yang disajikan dengan artistik. Alunan musik jazz dari band live di sudut ruangan menciptakan suasana hangat dan elegan.Bara duduk di salah satu kursi di meja utama. Di hadapannya, Nyonya Dania tersenyum ramah, mengenakan gaun malam yang