“Keluar dari kamarku…!” Cheryl berteriak dengan wajah merah padam penuh emosi. “Pergi sana...! Aku nggak sudi lihat kamu lagi. Lagian ngapain sih kamu iseng banget masuk-masuk kamarku?" usirnya sambil menarik lengan Bara yang jatuh terlentang di atas ranjang akibat menghindari pukulan gulingnya yang tanpa ampun.
“Oke-oke! Aku pergi… tapi kamu ikut.”
“Tidak akan!” bentak Cheryl, ia menarik lengan Bara semakin keras agar lekas menyingkir dari ranjangnya, ia bertekad mengusirnya.
Akan tetapi, tubuh Bara yang jauh lebih besar dan kuat justru membuatnya kesulitan, tarikannya seolah tak berarti, yang ada Cheryl malah kehilangan keseimbangan hingga jatuh terjerembab tepat di atas tubuh Bara.
Seketika jarak di antara mereka lenyap. Kedekatan itu mengunci mereka berdua dalam sekejap.
Cheryl terhenyak ketika merasakan buah dadanya menekan dada Bara yang bidang.
Keduanya seketika saling menatap dalam kebisuan, jantungnya berdegup kencang bagai sedang berlomba.
“Ka-kamu… baik-baik saja?” suara Bara yang biasanya tegas mendominasi tiba-tiba berubah serak dan gugup.
Dan Cheryl, yang biasanya cerewet, mendadak seperti kehilangan seluruh kata-katanya. Gadis itu hanya mengangguk kikuk sambil cepat-cepat menyingkir dari atas tubuh Bara.
Setelah Cheryl berguling menjauh, mereka terdiam dalam kebisuan yang canggung.
Cheryl duduk di ujung ranjang, berusaha menenangkan detak jantungnya yang belum juga berhenti berpacu.
Sementara itu, Bara perlahan bangkit, duduk bersandar dengan napas yang tampaknya masih belum teratur, sepertinya ia juga belum pulih dari situasi canggung tadi.
Untuk beberapa saat, keduanya hanya saling melirik dalam keheningan.
Cheryl merasakan wajahnya memanas, sementara pikirannya penuh dengan apa yang baru saja terjadi. Ia ingin berkata sesuatu untuk memecah suasana. Namun, kata-kata itu menguap begitu saja setiap kali ia mencoba membuka mulut.
Cheryl mengambil bantalnya yang teronggok di kaki ranjang, berpura-pura merapikannya. Ia berusaha bersikap biasa saja, mengabaikan gemuruh aneh dalam dadanya.
Kejadian tadi membuatnya ‘terpaksa’ melihat wajah Bara dengan jarak yang begitu dekat. Setiap detail wajahnya ternyata memiliki daya tarik tersendiri. Hidungnya yang mancung, garis rahangnya yang tegas, sedikit belahan di dagunya, dan sorot matanya yang gelap tetapi lembut di saat bersamaan.
Bara... rupanya jauh lebih tampan dari yang ia perhatikan secara sekilas lalu saja selama ini. Rambut hitamnya yang biasanya tersisir rapi terlihat sedikit berantakan, membuatnya tampak lebih santai dan manusiawi. Bahkan sekadar memikirkan itu membuat perasaan Cheryl jadi tak menentu, seperti ada yang menggelitik lembut di dalam dadanya.
Di sisi lain, Bara… sesekali melirik ke arah Cheryl. Dengan gerakan canggung, pria itu meraih ujung lengan kemejanya, menggulungnya hingga siku. Gerakan itu seperti dilakukannya tanpa sadar, seperti sebuah cara untuk mengalihkan pikirannya dari suasana aneh yang baru saja tercipta.
Mereka berdua masih terdiam, masing-masing seakan tengah tersesat dalam pikiran yang bergemuruh.
Cheryl menghela napas panjang, berusaha keras menahan diri agar tak terpesona oleh ketampanan Bara.
“Huh, ganteng sih ganteng… tapi egoisnya kebangetan! Apa bagusnya?” Cheryl menggerutu dalam hati. Meski demikian, rona di pipinya tetap membara.
Bara akhirnya berdeham, seolah mencoba memecah kebisuan. “Jadi… aku diusir? Beneran harus cabut sekarang?” tanyanya dengan nada ringan, mencoba menetralkan suasana.
Cheryl menatapnya sekilas. “Iya… sebelum aku benar-benar melemparmu, bukan pakai guling lagi, tapi pakai kamus tebalku,” balasnya dengan suara yang kembali sengak.
Bara mengangkat kedua tangan ke atas kepalanya, seolah menyerah. “Baiklah, mungkin kamu lagi butuh ‘me-time’ sama…,” dia melirik guling bergambar wajah idol K-Pop yang tadi dipakai Cheryl untuk menyerangnya, “…ayang Jungkook-mu.”
Deg!
‘Ayang Jungkook’… sebutan itu biasanya dipakai Pak Bondan untuk menggoda Cheryl.
Kini, mendengar Bara menggunakan sebutan yang sama untuk meledeknya, membuat hati Cheryl tiba-tiba bergetar dalam kehangatan. Tiba-tiba dia… sangat merindukan kehadiran bapak yang sudah tiada!
“Halah… nangis lagi.” Bara geleng-geleng kepala melihat air mata kembali menetesi pipi Cheryl. Tak salah ia menyebut gadis itu cengeng, bukan? Mudah sekali menangis.
“Oke. Kukasih kamu tambahan waktu tiga hari,” lanjut Bara, mengabaikan isak tangis Cheryl. “Kemasi barang-barang yang mau kamu bawa ke rumahku. Kalau butuh bantuan, bilang aja ke Sofyan. Telepon dia. Nanti biar dia kirim orang buat bantu-bantu kamu.”
Sambil menyeka air mata di pipinya, Cheryl menjawab tegas, “Sudah kubilang, aku nggak mau pindah ke rumahmu. Ini rumahku, aku akan tetap di sini.”
Bara menatapnya dengan mata menyipit, mencoba mengurai makna di balik keras kepalanya itu. “Cheryl, kamu nggak capek ya, terus-terusan aja ngeyel?”
“Kamu juga nggak ada capek-capeknya ya? Ngeyel terus nyuruh aku pindah ke rumahmu?”
Bara menarik napas panjang, menyadari gadis di hadapannya tak hanya keras kepala, tapi juga tak kenal lelah dalam memperjuangkan keinginannya.
Di tengah ketegangan yang mulai terjadi, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu ruang tamu. Cheryl dan Bara saling berpandangan sesaat.
“Siapa sih yang datang malam-malam begini?” Cheryl bergumam sambil bangkit menuju ruang tamu dan membuka pintunya.
“Eh, Pak Asep?” Cheryl mencoba tersenyum, meski hatinya tiba-tiba saja gelisah.
Pak Asep adalah pemilik rumah yang sudah 15 tahun ini ia tempati bersama mendiang bapaknya.
Perasaannya tiba-tiba tidak enak. Ia tahu, Pak Asep datang pasti bukan untuk sekadar mengucapkan belasungkawa, sebab mereka sudah bertemu saat pemakaman bapaknya, seminggu yang lalu.
“Mari... masuk, Pak."
“Terima kasih, Neng. Maaf ya... saya datangnya kemalaman, sebenarnya saya baru balik dari Bandung... nengokin anak yang lagi kuliah di sana. Padahal pengen bisa ikut tahlilan di sini, tapi malah kena macet parah tadi. Sampai sini ternyata malah udah bubar acaranya."
Setelah berbasa-basi, Pak Asep akhirnya menjelaskan maksud kedatangannya.
“Saya cuma sebentar kok, apalagi ini sudah malam. Jadi begini, Neng Cheryl… saya ingin membicarakan soal sewa rumah ini.” Pak Asep berhenti sejenak, kemudian melanjutkan dengan nada serius. ”Sudah dua tahun... Pak Bondan belum melunasi biaya sewa rumah ini.”
Mata Cheryl melebar, terkejut mendengar penuturan itu. “Dua… dua tahun, Pak?”
***
“Iya, dua tahun, Neng….” Pak Asep mengangguk tegas. “Waktu itu mendiang Pak Bondan bilang kalau… uangnya sedang terpakai buat bayar kuliahnya Neng Cheryl, jadi saya maklumi. Soalnya saya juga tahu gimana rasanya nyekolahin anak. Memang mpot-mpotan duitnya, Neng….” Pak Asep mencoba mengurai ketegangan yang terlihat dalam diri Cheryl dengan tertawa kecil. “Syukurlah sekarang Neng Cheryl sudah lulus jadi Sarjana. Saya ikut plong, karena saya tahu gimana mendiang Pak Bondan bekerja keras cari duit buat biaya kuliah Neng Cheryl.”Cheryl menggigit bibir, tangannya terkepal di atas pangkuan. Dia tahu…, uang tunggakan sewa rumah ini selama dua tahun yang terpakai buat biaya kuliahnya itu pastilah tidak sedikit. “Sebenarnya, saya nggak pengen buru-buru nagihnya. Tapi, berhubung kondisinya mendesak, jadi… saya terpaksa bilang sekarang ke Neng Cheryl. Maaf… saya benar-benar butuh uangnya, Neng. Buat bayar biaya masuk kuliahnya si bontot yang Alhamdulillah diterima di Fakultas Kedokteran.”Su
Pak Asep terkejut melihat seorang pria tampan tiba-tiba muncul dari dalam kamar Cheryl. Wajahnya seperti tak asing di mata Pak Asep. Ia masih ingat, pria ini… yang selalu berada di sisi Cheryl di hari pemakaman Pak Bondan."Abang keluarganya Neng Cheryl?" tanya Pak Asep, mata pria tua itu menelisik penasaran.Namun, Bara hanya menatap dengan ekspresi datar, seolah tak berminat membahas hal-hal di luar inti masalah. Sikapnya tampak tegas dan efisien, seperti caranya yang sudah terbiasa menyelesaikan setiap urusan bisnis.“Berapa nomor rekeningnya Pak Asep? Saya transfer sekarang,” ucap Bara dengan nada dingin dan tanpa basa-basi.Pak Asep tercekat mendengar ketegasan pria itu, seperti tidak ada ruang untuk berpanjang lebar. Iapun segera menyebutkan nomor rekeningnya, sementara hatinya berdebar, tampaknya tak yakin apakah pria ini benar-benar akan melunasi utang mendiang Pak Bondan saat ini juga. Sambil menunggu, mata Pak Asep meneliti sosok pria tampan di depannya, seolah sedang menca
“Tolong nanti dibuat surat perjanjian sewanya yang resmi pakai materai ya, Pak.”Pak Asep merespons permintaan Bara dengan anggukan mantap. “Siap, Bang... pasti nanti saya buatkan. Biasanya memang selalu begitu kok, ada hitam di atas putih. Umm… nanti nama pihak penyewanya atas nama Bang Bara atau… Neng Cheryl?”“Pakai nama sayalah, Pak. Saya yang bayar, kan…,” Bara melirik Cheryl sejenak, “… bukan dia.”Cheryl melirik Bara penuh rasa sebal, merasa harga dirinya disentil tanpa ampun. Nada suaranya itu loh… ‘ngajak gelut bener!’Pak Asep mengeluarkan tawa kecil, mencoba mencairkan suasana yang terasa sedikit tegang di antara dua orang di depannya.“Baik… baik…, nanti atas namanya Bang Bara.” Sambil mengulum senyum, Pak Asep memandang Bara dan Cheryl bergantian.Bara hanya mengangguk ringan, sementara Cheryl semakin menunduk karena perasaannya digempur kesal sekaligus malu. Ah. Andai saja Bara tidak melunasi tunggakan sebanyak lima puluh lima juta itu, mungkin… dia akan segera terusir d
"Jadi? Mau ikut pulang denganku, ke rumahku? Atau... mau cari rumah sendiri?" Bara mengucapkannya dengan santai, tapi jelas ada sentuhan ejekan yang membuat darah Cheryl langsung mendidih dibuatnya.Cheryl mengepalkan tangan, menahan marah. "Kamu pikir aku nggak bisa cari rumah sendiri?" ketusnya seraya menatap Bara dengan berani, matanya berkilat penuh kemarahan yang sulit disembunyikan.Ada sesuatu dalam nada Bara yang menusuk harga dirinya. Seolah dia hanyalah beban, seseorang yang tak bisa bertahan tanpa bantuan. Darahnya berdesir panas. Kata-kata Bara seperti paku yang menghujam, mengingatkannya pada rasa tidak berdaya yang selama ini berusaha ia lawan."Aku bisa mengurus diriku sendiri.” Suaranya bergetar karena amarah yang menggelegak di dadanya. Bara mengangkat satu alis. "Oh ya?" katanya ringan, sambil bersedekap memandang Cheryl dengan ekspresi santai. “Buktikan saja kalau memang bisa.”Cheryl mengepalkan tangan lebih erat. Dia tahu Bara sengaja memprovokasinya, tapi tak a
Cheryl mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, menatap satu per satu perabot yang mengisi rumahnya. Sofa empuk di ruang tamu, meja makan kayu jati dengan ukiran sederhana, lemari TV yang sudah menjadi tempatnya menaruh buku-buku dan koleksi kecil. Barang-barang itu bukan hanya harta benda, melainkan saksi bisu banyak kenangan yang pernah ia lalui di sini bersama bapak. Namun, keadaan menuntutnya untuk harus segera melepas semua itu. Tak mungkin semua barang ini bisa ia bawa jika batas kesanggupannya hanyalah menyewa kamar kos kecil. Dengan berat hati, ia memutuskan menjualnya kepada tetangga dengan harapan bisa mendapatkan uang tambahan. Lima belas tahun hidup berdampingan sebagai tetangga, membuat simpati mereka untuk Cheryl cukup kuat. Akhirnya, satu demi satu tetangga bersedia membeli barang-barang itu, meskipun mungkin sebenarnya mereka tak betul-betul sedang membutuhkannya. Sofa ruang tamu dan AC dibeli Pak Budi untuk anaknya yang baru menikah. Meja makan berbahan ka
Di dalam sebuh ruangan yang hening, terdengar bunyi detik jam di dinding. Bara duduk tegak di kursinya, matanya yang tajam memindai layar laptop di depannya. Pintu diketuk pelan, lalu terbuka. Seorang wanita melangkah masuk membawa setumpuk dokumen dan berdiri di depan meja Bara.“Dokumen untuk rapat nanti sore, Pak,” ujar sekretarisnya dengan nada hormat, meletakkan dokumen dengan hati-hati di atas meja.Bara tak segera menoleh. Jari-jarinya masih bergerak mengetik beberapa kalimat terakhir di laptop sebelum akhirnya berhenti. Dia mengambil dokumen pertama dari tumpukan. Tidak ada basa-basi. Dia langsung membaca.Sekretarisnya berdiri diam, menunggu. Sementara itu Bara membalik halaman demi halaman, matanya mengamati setiap detail dengan cermat. Di salah satu halaman, alisnya sedikit terangkat. Dia menunjuk sebuah baris dengan ujung pulpennya.“Apa ini?” tanyanya, nada suaranya datar tapi mengandung tekanan.“Saya pikir itu… data yang relevan, Pak,” jawab si sekretaris dengan nada se
Air hangat menyentuh kulit Cheryl seperti pelukan yang menenangkan, menghilangkan rasa lelah yang menghantui tubuhnya sejak pagi. Seharian tadi, ia memenuhi dua panggilan perusahaan sekaligus untuk tes dan interview. “Ini masih bukan apa-apa… perjuanganku masih panjang,” gumamnya seraya berbaring di bathtub dengan mata terpejam, membiarkan aroma lavender dari gelembung sabun memenuhi indra penciumannya. Pikiran Cheryl melayang, mencoba melepaskan diri dari semua kekhawatiran tentang pekerjaan, uang, dan masa depan yang belum pasti.“Untuk sementara waktu, hanya aku dan ketenangan ini,” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan kepada dirinya sendiri. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati sensasi relaksasi yang perlahan menyelimuti seluruh tubuhnya.Setelah selesai mandi, Cheryl mengenakan piyama longgar yang nyaman dan merapikan rambutnya sebentar sebelum berbaring di tempat tidur. Tubuhnya terasa lebih ringan, dan pikirannya sedikit lebih tenang setelah menikmati waktu relaksasi di
“Setelah kemarin-kemarin ia memintaku untuk tinggal di rumahnya—seolah betul-betul peduli, sekarang dia pura-pura tak mengenaliku?” Dengan langkah menghentak, Cheryl meninggalkan lobi, berusaha mengalihkan pikirannya dari kejadian barusan. Namun, ia berhenti sejenak sambil memegangi perutnya yang keroncongan.“Duh, kenapa harus sekarang?” keluhnya sambil menahan rasa lapar yang sejak tadi ia abaikan.Menyadari ia tak mungkin bertahan di perjalanan tanpa makanan, Cheryl akhirnya menuju kafetaria terdekat yang ada di gedung itu. Meskipun sudah tahu harga menu di sana lebih mahal, saat ini ia tak punya pilihan lain.Di kafetaria, Cheryl memerhatikan menu yang terpampang di layar digital dengan alis berkerut. Hampir semua makanan yang ditawarkan memiliki harga fantastis untuk ukuran kantongnya. Ia menghela napas panjang, lalu memilih satu menu termurah yang masih masuk akal.“Pesan nasi putih dengan sup ayam saja,” ujarnya kepada pelayan. Dalam hatinya ada rasa getir karena harus begitu
Bara memandang wajahnya begitu dekat, dan dunia Cheryl seakan berhenti berputar. Tak ada suara lain selain detak jantungnya sendiri yang berpacu liar. Mata lelaki itu menatapnya seolah ia adalah satu-satunya perempuan di muka bumi. Ketika tangan Bara menyentuh pipinya yang dingin karena AC, Cheryl tak bisa menyembunyikan getar di dadanya. “Kamu nggak tahu betapa aku nungguin momen ini,” bisik Bara. Suaranya rendah, serak, penuh gejolak yang selama ini terpendam.Cheryl tersenyum. “Aku juga... setiap hari.”Lalu bibir mereka saling menemukan, ciuman yang begitu lembut, pelan, seolah-olah menyulam kembali sesuatu yang nyaris hilang. Tapi semakin lama, ciuman itu berubah. Lebih dalam. Lebih menuntut. Membawa Cheryl hanyut dalam gelombang kerinduan yang begitu kuat, hingga tubuhnya bergetar.Bara menariknya ke dalam pelukan, lengan kokoh itu membalut pinggangnya, dan Cheryl membalas, mencengkeram kerah kemeja lelaki itu seolah jika ia melepaskan, ia akan tenggelam dalam badai yang dicipta
Cheryl duduk di tepi ranjang, menatap langit-langit dengan ekspresi bosan. Kamar rumah sakit ini terlalu steril, terlalu sunyi, terlalu jauh dari segala sesuatu yang membuatnya nyaman. Ia merindukan kamar bernuansa ungunya, merindukan standee Jungkook yang setia berdiri menyambutnya di sudut ruangan, dan terutama… ia merindukan pintu rahasia yang selama ini menjadi jalur kecil menuju satu-satunya tempat yang selalu membuatnya merasa aman: kamar utama Bara.Ah, Bara… apa kabar suaminya itu? Ia sangat merindukannya.Cheryl mendesah. Ia betul-betul gabut. Hari-hari berlalu dengan ritme yang lambat, menyiksanya dengan kebosanan yang tak tertahankan. "Kenapa sih dokter Joshua menyita hapeku segala?" gerutunya.Keheningan yang menyelimutinya terlalu menusuk, dan ia benci perasaan terisolasi ini.Matanya beralih ke telepon rumah sakit di nakas samping tempat tidur. Dengan cepat, ia meraih gagangnya dan menekan nomor ekstensi yang ia ingat. Butuh waktu lama sebelum akhirnya ia tersambung den
Cahaya matahari keemasan memantul di permukaan kanal yang tenang, sementara gondola-gondola mulai berlayar perlahan membawa wisatawan yang ingin menikmati keindahan kota air ini. Bara berdiri di balkon kamarnya, secangkir kopi hangat berada dalam genggamannya, mengepul tipis di udara pagi yang masih sejuk.Seperti biasa, ia membuka ponselnya dan mulai membaca berita. Kebiasaan yang tak pernah ia tinggalkan. Bagi seorang pebisnis, informasi adalah senjata. Apa pun yang terjadi di dunia bisnis, baik di Indonesia maupun luar negeri, harus selalu ia ketahui lebih dulu. Tangannya menggulir layar, menelusuri berbagai tajuk ekonomi, pergerakan saham, hingga analisa pasar global.Namun tiba-tiba, matanya terpaku pada sebuah judul yang mencolok. Jantungnya mencelos seketika.‘Pertunangan Antar Cucu Konglomerat: Bara Wardhana dan Milena Wongso, Bersatunya Dua Kekuatan Bisnis Besar di Indonesia.’Bara terpaku. Seketika, dunia di sekelilingnya terasa membeku. Rahangnya mengatup rapat. Tatapann
Matahari mulai condong ke barat, menyisakan semburat jingga yang membelah langit senja. Angin sore yang sejuk berembus lembut di rooftop VIP rumah sakit, membawa aroma samar dari taman bunga kecil yang terletak di sudut teras. Cheryl duduk santai menikmati suasana sambil menyeruput jus alpukat yang dingin dan lembut di mulutnya. "Cheryl? Loh. Kamu... bukannya sudah pulang?" Teguran seseorang mengejutkan Cheryl dari lamunannya. "Eh. Bu Rini?" Wanita itu tersenyum lembut. "Kok kamu masih di sini, Cheryl?" "Aku masih perlu menjalani perawatan." "Ooh. Kupikir kamu kemarin sudah betul-betul pulih." Rini lalu menarik kursi dan duduk di samping Cheryl. "Senja di sini memang indah, ya?” Ada sesuatu dalam cara Rini berbicara—halus, hangat, dan tampak tulus. Tak ada tanda-tanda niat buruk. Akan tetapi, bayangan tentang siapa Rini sebenarnya masih menggelayut di benaknya. Bagaimanapun, wanita ini adalah ibu tiri Bara, seseorang yang katanya... jahat. Seharusnya ia tetap waspada. Namu
Di ruang perawatan VIP Bintang Hospital, Cheryl memandang Valen dengan sorot kesal. "Astaga… Dokter betul-betul melapor ke Pak Bara?" protesnya.Valen hanya mengangkat bahunya dengan santai. "Aku bukan tipe orang yang asal mengancam tanpa tindakan." Cheryl mengembuskan napas kasar. "Dokter lebay!”Valen menautkan jemarinya di depan dada, memiringkan kepala sedikit sambil menatap Cheryl dengan sorot penuh kemenangan. "Bukankah kemarin sudah kuingatkan soal itu? Tapi kamu bandel." Ia mendekat sedikit, suaranya lebih dalam. "Jangan salahkan aku kalau akhirnya aku melapor langsung ke bosmu."Cheryl mengerang kesal. "Aku tidak percaya Dokter betul-betul melakukannya.""Kenapa tidak?" Valen mengangkat sebelah alisnya. "Aku dokter, tugas utamaku memastikan pasienku istirahat dengan benar. Dan jika pasienku keras kepala, aku harus mencari cara. Dan langsung bicara dengan bosmu, itu solusi. Kamu dapat cuti, kamu istirahat tenang, kamu cepat sembuh, dan tugasku sebagai doktermu selesai.”Chery
Bara melangkah masuk ke dalam kamar hotelnya dengan langkah berat. Pintu tertutup di belakangnya, menciptakan keheningan yang nyaris menyesakkan. Ia mematikan lampu utama, membiarkan cahaya lembut dari lampu tidur menguasai kamar. Tanpa mengganti pakaiannya, Bara langsung merebahkan diri di atas ranjang yang empuk. Namun, tidak ada kenyamanan yang bisa ia temukan di sana. Pikirannya tidak berada di ruangan ini, tidak di tengah kemewahan hotel bintang lima ini, bukan di Venesia, bukan dalam pertunangan yang baru saja mengikatnya pada kehidupan yang tidak ia inginkan.Bara menatap langit-langit dengan kosong, napasnya terasa berat. Dalam pikirannya, bayangan Cheryl melintas begitu nyata. Wajahnya, senyumnya, suara lembutnya yang memanggil namanya dengan nada penuh cinta.Dengan satu gerakan, ia membuka galeri fotonya di ponsel. Dan di sanalah semua memori manisnya tersimpan nyata. Foto-foto Cheryl yang tertawa dalam pelukannya. Cheryl yang mencium pipinya dengan manja. Cheryl yang mena
Tuan Sigit terkekeh mendengar jawaban Milena, demikian pula keluarganya. "Wah, aku tidak keberatan jika acara pertunangan ini langsung berubah menjadi pernikahan," ucapnya sambil mengangguk puas."Bagaimana, Adiguna?" tanyanya kemudian pada ayah Milena. "Apa kau sudah siap melepas putrimu malam ini untuk diboyong pulang oleh Bara sebagai istrinya?"Ayah Milena, Adiguna, menatap putrinya sejenak sebelum beralih pada Bara. Ada kilatan penuh perhitungan dalam sorot matanya, seolah ingin memastikan keputusan yang diambil benar-benar tepat. Akhirnya, dengan suara mantap, ia menjawab, "Kuserahkan pada Bara. Apakah dia siap menikahi putriku sekarang?"Bara merasa sebuah bom sedang dilempar kepadanya. Kini, tatapan puluhan pasang mata tertuju padanya. Sorot penasaran, harapan, bahkan kegembiraan dari sebagian besar orang di ruangan itu, seolah menciptakan tekanan yang halus namun nyata. Bara meletakkan gelas wine di tangannya ke atas meja, lalu menegakkan punggungnya. Ia menarik napas perl
Malam itu, Venesia berpendar dalam cahaya keemasan. Lampu-lampu jalan memantulkan kilau lembut di permukaan kanal, menciptakan riak-riak cahaya yang menari di antara arus tenang. Dari balkon sebuah hotel bintang lima, pemandangan kota tampak seperti lukisan hidup. Gedung-gedung tua berdiri anggun di sepanjang tepian air, sementara gondola melintas perlahan, dayungnya mengiris permukaan air dengan keheningan yang indah. Sementara itu di dalam ruangan hotel, alunan musik klasik mengisi udara, berpadu dengan suara gelas beradu dan gumaman percakapan, menciptakan atmosfer hangat di antara mereka yang hadir.Di meja utama, dua keluarga besar duduk dalam keakraban yang dengan cepat tercipta. Para pelayan bergerak anggun, menuangkan anggur ke dalam gelas-gelas kristal para tamu tanpa sedikit pun mengganggu percakapan yang tengah mengalir.Di antara semua yang hadir, sosok Tuan Sigit paling mencuri perhatian. Pria tua itu mengenakan kemeja linen berwarna gading dengan kerah terbuka, dipaduk
Cheryl menyandarkan punggungnya ke kursi kantor, matanya berkilat kesal sembari mengusap kakinya yang masih berdenyut nyeri. Ia tak henti-hentinya menggerutu, "Kupikir dia dokter yang sabar, tapi ternyata bisa galak juga. Mau apa coba dia ke sini? Kelamaan! Apa susahnya sih kasih resep saja? Bisa-bisa aku keburu klenger kesakitan."Ia cepat-cepat meraih ponsel dan menghubungi OB. "Heri, tolong belikan Counterpain dan obat anti nyeri. Merk apa aja terserah, yang penting buat anti nyeri," ujarnya dengan nada tak sabar.Menunggu OB datang, Cheryl merebahkan diri di sofa, meringkuk sambil memegangi kakinya yang nyeri. Matanya terpejam, mencoba mengatur napas setiap kali rasa sakit itu kembali menyerang seperti sengatan tajam.“Sialan. Demi menghindari Bu Rini biar jangan sampai tahu alamat rumahku, aku malah nekat ke kantor dan sekarang jadi apes gini.”Cheryl mengerutkan kening, menduga-duga. “Aku kok masih nggak yakin ya kalau semua itu cuma kebetulan? Jangan-jangan Bu Rini memang ingi