Di bawah langit mendung yang seakan ikut berkabung, suasana tempat pemakaman umum terasa begitu hening dan sendu.
Teman, tetangga, dan kerabat, serta orang-orang yang pernah merasakan kebaikan Pak Bondan hadir hari itu, turut mengantarkannya dengan doa.
Tubuh Cheryl gemetar, wajahnya pucat, dan matanya sembab karena tangis yang hampir tak terhenti. Kehilangan sosok bapak, satu-satunya orang yang ia miliki di dunia ini, telah membuatnya rapuh dan hancur sehancur-hancurnya.
Tubuh Cheryl terasa lemah, hampir tak sanggup menopang dirinya sendiri. Lututnya bergetar, pandangannya kabur oleh air mata. Sesekali ia terhuyung, dan di saat-saat itu, Bara dengan cekatan menangkapnya. Tangan pria itu terasa kokoh di lengannya, dingin tapi stabil—seperti penopang yang tak diinginkan, tapi tak bisa ditolak.
Ketika ia benar-benar kehilangan kesadaran sejenak, Cheryl mendapati dirinya dalam gendongan Bara. Kehangatan tubuhnya terasa aneh, hampir tidak nyata, kontras dengan wajah datar pria itu yang tak menunjukkan apa pun selain kewajiban. Dari sudut pandangnya, mata Bara tampak penuh keterpaksaan, seolah ia melakukan semua ini hanya karena keadaan memaksanya.
Namun, Cheryl tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa ia merasa sedikit terlindungi. Setidaknya untuk saat ini, ia merasa tidak sendirian. Dalam hati, ia bertanya-tanya: bagaimana mungkin seseorang yang begitu asing, begitu dingin, kini memegang kendali atas kerapuhannya? Dan justru itu yang membuatnya semakin ingin menangis. Semua ini terlalu salah. Terlalu menyakitkan.
Saat akhirnya jenazah Pak Bondan mulai diturunkan ke liang lahat, tangis Cheryl kian menjadi. Tubuhnya kian berguncang, air mata semakin deras membasahi pipinya.
“Bapak… Cheryl nggak kuat, Pak... Cheryl nggak siap kehilangan Bapak secepat ini... Cheryl butuh Bapak...,” gumam Cheryl lirih, suaranya hampir tak terdengar di tengah kesedihannya. Matanya tak bisa lepas dari jenazah Pak Bondan yang kini mulai tertutup tanah.
“Padahal kita udah bikin banyak rencana buat merayakan wisuda Cheryl….”
“Cheryl… bapakmu mungkin sedih kalau kamu menangis terus seperti ini,” suara Bara terdengar pelan, seperti mencoba menyentuh ruang kecil di antara isakannya yang pecah.
Cheryl mendongak, memandangnya dengan mata sembab. Ia mendengus. 'Apa yang dia tahu soal rasa kehilangan ini?' pikirnya.
“Bapak udah biasa lihat aku nangis kok,” balasnya, suaranya mengguratkan keletihan sekaligus kemarahan yang ia tak tahu harus dilampiaskan ke siapa. “Justru aneh kalau aku nggak nangis pas Bapak meninggal. Kucing mati aja aku tangisin, apalagi ini… bapakku sendiri. Kamu jangan ngelarang aku nangis. Kamu itu cuma orang asing yang kebetulan jadi suamiku.”
Kata-katanya meluncur begitu saja, tajam dan menyakitkan. Tapi Bara hanya mengangguk pelan, wajahnya tetap datar seperti biasa. “Oke. Aku orang asing… yang kebetulan jadi suamimu.” Tidak ada nada menyindir, tidak ada emosi dalam suara bariton itu. Seolah pernyataan Cheryl hanyalah fakta sederhana yang tak perlu diperdebatkan.
Penerimaan datar yang membuat Cheryl merasa semakin kesal, membuatnya menangis semakin keras.
Akhirnya Bara tidak lagi berkomentar ketika Cheryl kembali menangis lagi dan lagi, sepuasnya.
Seorang teman lama Pak Bondan maju ke depan untuk memberikan sambutan singkat. Suaranya parau namun penuh keikhlasan.
“Pak Bondan adalah… teman yang setia, selalu mengulurkan tangan kepada siapa saja yang membutuhkan. Hidupnya… penuh dengan kebaikan yang tak terhitung. Hari ini… kita semua di sini… bukan sekadar mengantar beliau, tapi juga untuk menghargai… segala jasa dan kasih yang pernah diberikannya.”
Cheryl kian tersedu mendengar kata-kata itu. Kenangan akan bapak yang tak pernah lelah mengajarinya untuk peduli pada sesama kembali menyeruak di benaknya, menambah kesedihan di hatinya.
Ketika prosesi selesai, Cheryl terduduk di sisi pusara, menatap tanah yang kini menutupi tubuh sang bapak. Matanya kosong, bibirnya gemetar saat ia berbisik, “Pak…, terima kasih untuk semuanya… untuk segalanya….”
Bara berdiri diam sembari menatap langit yang semakin kelabu. Rintik gerimis mulai turun, seakan-akan alam ikut merasakan duka yang menggantung di udara.
Saat semua orang mulai meninggalkan area pemakaman, Cheryl tetap bergeming, tatapannya terpaku pada pusara Bapak yang berdampingan dengan pusara Ibu—yang telah meninggal lebih dulu sejak usia Cheryl tujuh tahun.
Bara berdiri di sampingnya, memayungi Cheryl dengan sabar. Waktu terus berlalu, dan udara semakin dingin. Bara menghela napas panjang, menggoyangkan payungnya sedikit, namun Cheryl tetap tak memberi reaksi. Wajahnya mengeras, ketidaksabarannya mulai tampak menyeruak.
Akhirnya, Bara menurunkan payungnya, membiarkannya terjatuh ke tanah. “Cukup,” gumamnya, nyaris seperti perintah. Tanpa banyak bicara, dia membungkuk, lalu mengangkat Cheryl dalam gendongannya. Gerakannya tegas, tidak memberi ruang bagi Cheryl untuk menolak.
Cheryl meronta dalam gendongan Bara, tangannya memukul-mukul dadanya dengan marah. “Lepasin aku! Aku nggak mau pulang! Aku mau sama Bapak…!” teriaknya, suaranya pecah di antara tangisnya yang menggema.
Namun, Bara tak memperlambat langkahnya. Tanpa menghiraukan protes dan amukan Cheryl, dia terus berjalan dengan tatapan lurus, seolah tak ada yang bisa mengubah keputusannya.
Di dekat sebuah mobil berwarna hitam obsidian, seorang pria berkacamata sudah menunggu, mesin mobil menderu pelan. Begitu melihat Bara mendekat, pria itu sigap membuka pintu belakang, memberi jalan tanpa sepatah kata.
“Keluarkan aku! Aku mau ke Bapak…!” Cheryl meronta, berusaha membuka pintu mobil.
Bara dengan sigap menariknya kembali, mendekapnya erat di tempat duduk. “Dengar, Cheryl!” suaranya tegas, hampir seperti geraman.
“Aku nggak melarang kamu nangis, tapi nangis itu butuh tenaga. Kita pulang dulu, kamu makan, istirahat… baru nangis sepuasnya di rumah. Kuburan Bapak nggak akan ke mana-mana. Besok atau kapan pun, kamu bisa balik lagi ke sini. Paham?”
Nada suaranya dingin, namun sarat dengan maksud yang tak bisa dibantah.
Suara Bara yang rendah, tajam, dan tegas itu seolah memiliki kekuatan hipnotis. Cheryl, yang kelelahan, tiba-tiba terdiam, lalu tubuhnya limpung dan pingsan.
“Dasar cengeng, merepotkan,” gerutu Bara pelan, hampir tak terdengar, sambil mengatur sandaran kursi mobil agar Cheryl bisa beristirahat lebih nyaman.
***Malam demi malam berlalu dengan lambat dan penuh beban bagi Cheryl. Setiap malam, kamar tidurnya yang sepi menjadi saksi bisu dari derai air mata yang tak pernah berhenti. Tiada satu pun malam yang ia lewati tanpa tangis, seolah air mata menjadi satu-satunya cara bagi hatinya untuk mengungkapkan rasa kehilangan yang begitu mendalam. Kepergian sang Bapak untuk selamanya masih terasa seperti sebuah mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Setiap kali Cheryl terjaga di tengah malam, ia berharap semua ini hanya ilusi, bahwa Bapak masih akan datang mengetuk pintu kamar dan menyapanya dengan lembut seperti biasa. Tapi realita itu terlalu nyata—Bapak sudah tiada, dan setiap keheningan malam semakin menegaskan bahwa ia kini harus belajar hidup tanpa orang yang paling ia cintai.Tidak terasa, sudah tujuh hari berlalu tanpa Bapak di sampingnya—suara Bapak yang selalu menenangkan, langkahnya yang kuat, dan tawanya yang hangat seolah hilang begitu saja. Cheryl tak menyangka bahwa perpisahan ini d
"Apa yang kamu pahami tentang makna ijab kabul yang aku ucapkan di depan penghulu saat itu?" Bara tiba-tiba mendesaknya dengan pertanyaan, suaranya pelan namun penuh ketegasan."Maknanya? Kamu pikir itu penting buat dibahas? Sudahlah. Kamu menikahiku bukan karena maumu apalagi cinta. Kamu menikahiku karena terpaksa. Jadi, jangan berpura-pura seolah ini berarti banyak."Bara duduk di tepi ranjang, membuat Cheryl mundur sedikit sambil memandang awas padanya. "Tak peduli ada cinta atau tidak, tapi faktanya kita menikah. Kita terikat sekarang.” Bara mendekat, menatap Cheryl lekat-lekat. "Kamu sekarang menjadi urusanku."Cheryl tertawa sinis. “Itu cuma pernikahan siri, nggak perlu terlalu serius menyikapi pernikahan ini. Kita menikah cuma buat... bikin Bapak lega aja. Lagipula nggak ada yang tahu kalau kita sudah menikah, selain dua saksi yang asal comot dari rumah sakit itu… dan penghulu."Bara tetap diam, hanya menatapnya. Cheryl melanjutkan dengan nada yang semakin keras, "Menikah di u
Bara menatap Cheryl lebih dalam, seolah menelusuri emosi yang tersembunyi di balik wajahnya yang cantik tapi keras. “Aku sudah mengikat janji. Dan aku akan bertanggung jawab pada janji itu, terlepas dari perasaanku terhadapmu atau orang lain. Aku nggak main-main dengan janji ini, Cheryl. I'm committed.”Cheryl tersenyum sinis. “Menikahiku… berarti kamu selingkuh dari pacarmu, loh! Tapi dengan pedenya kamu bilang… I’m committed? Bullshit!” Ada hinaan dalam suara dan tatapan Cheryl pada Bara.“Kenapa kamu masih memaksakan pernikahan ini, sih?” Cheryl memulai lagi dengan suara tajam. “Bukankah lebih baik kamu fokus menyelamatkan hubunganmu dengan si “Baby” yang sudah lama kamu kenal, daripada mengikat diri dengan wanita asing seperti aku?”“Oke Cheryl, cukup,” ucap Bara dengan nada rendah, namun tegas. “Aku nggak peduli berapa lama kita saling mengenal. Satu hal yang pasti, aku nggak akan mengkhianati janjiku pada bapakmu untuk menjagamu. Itu alasan kenapa aku ingin tetap mempertahanka
“Keluar dari kamarku…!” Cheryl berteriak dengan wajah merah padam penuh emosi. “Pergi sana...! Aku nggak sudi lihat kamu lagi. Lagian ngapain sih kamu iseng banget masuk-masuk kamarku?" usirnya sambil menarik lengan Bara yang jatuh terlentang di atas ranjang akibat menghindari pukulan gulingnya yang tanpa ampun. “Oke-oke! Aku pergi… tapi kamu ikut.”“Tidak akan!” bentak Cheryl, ia menarik lengan Bara semakin keras agar lekas menyingkir dari ranjangnya, ia bertekad mengusirnya. Akan tetapi, tubuh Bara yang jauh lebih besar dan kuat justru membuatnya kesulitan, tarikannya seolah tak berarti, yang ada Cheryl malah kehilangan keseimbangan hingga jatuh terjerembab tepat di atas tubuh Bara.Seketika jarak di antara mereka lenyap. Kedekatan itu mengunci mereka berdua dalam sekejap. Cheryl terhenyak ketika merasakan buah dadanya menekan dada Bara yang bidang. Keduanya seketika saling menatap dalam kebisuan, jantungnya berdegup kencang bagai sedang berlomba. “Ka-kamu… baik-baik saja?” sua
“Iya, dua tahun, Neng….” Pak Asep mengangguk tegas. “Waktu itu mendiang Pak Bondan bilang kalau… uangnya sedang terpakai buat bayar kuliahnya Neng Cheryl, jadi saya maklumi. Soalnya saya juga tahu gimana rasanya nyekolahin anak. Memang mpot-mpotan duitnya, Neng….” Pak Asep mencoba mengurai ketegangan yang terlihat dalam diri Cheryl dengan tertawa kecil. “Syukurlah sekarang Neng Cheryl sudah lulus jadi Sarjana. Saya ikut plong, karena saya tahu gimana mendiang Pak Bondan bekerja keras cari duit buat biaya kuliah Neng Cheryl.”Cheryl menggigit bibir, tangannya terkepal di atas pangkuan. Dia tahu…, uang tunggakan sewa rumah ini selama dua tahun yang terpakai buat biaya kuliahnya itu pastilah tidak sedikit. “Sebenarnya, saya nggak pengen buru-buru nagihnya. Tapi, berhubung kondisinya mendesak, jadi… saya terpaksa bilang sekarang ke Neng Cheryl. Maaf… saya benar-benar butuh uangnya, Neng. Buat bayar biaya masuk kuliahnya si bontot yang Alhamdulillah diterima di Fakultas Kedokteran.”Su
Pak Asep terkejut melihat seorang pria tampan tiba-tiba muncul dari dalam kamar Cheryl. Wajahnya seperti tak asing di mata Pak Asep. Ia masih ingat, pria ini… yang selalu berada di sisi Cheryl di hari pemakaman Pak Bondan."Abang keluarganya Neng Cheryl?" tanya Pak Asep, mata pria tua itu menelisik penasaran.Namun, Bara hanya menatap dengan ekspresi datar, seolah tak berminat membahas hal-hal di luar inti masalah. Sikapnya tampak tegas dan efisien, seperti caranya yang sudah terbiasa menyelesaikan setiap urusan bisnis.“Berapa nomor rekeningnya Pak Asep? Saya transfer sekarang,” ucap Bara dengan nada dingin dan tanpa basa-basi.Pak Asep tercekat mendengar ketegasan pria itu, seperti tidak ada ruang untuk berpanjang lebar. Iapun segera menyebutkan nomor rekeningnya, sementara hatinya berdebar, tampaknya tak yakin apakah pria ini benar-benar akan melunasi utang mendiang Pak Bondan saat ini juga. Sambil menunggu, mata Pak Asep meneliti sosok pria tampan di depannya, seolah sedang menca
“Tolong nanti dibuat surat perjanjian sewanya yang resmi pakai materai ya, Pak.”Pak Asep merespons permintaan Bara dengan anggukan mantap. “Siap, Bang... pasti nanti saya buatkan. Biasanya memang selalu begitu kok, ada hitam di atas putih. Umm… nanti nama pihak penyewanya atas nama Bang Bara atau… Neng Cheryl?”“Pakai nama sayalah, Pak. Saya yang bayar, kan…,” Bara melirik Cheryl sejenak, “… bukan dia.”Cheryl melirik Bara penuh rasa sebal, merasa harga dirinya disentil tanpa ampun. Nada suaranya itu loh… ‘ngajak gelut bener!’Pak Asep mengeluarkan tawa kecil, mencoba mencairkan suasana yang terasa sedikit tegang di antara dua orang di depannya.“Baik… baik…, nanti atas namanya Bang Bara.” Sambil mengulum senyum, Pak Asep memandang Bara dan Cheryl bergantian.Bara hanya mengangguk ringan, sementara Cheryl semakin menunduk karena perasaannya digempur kesal sekaligus malu. Ah. Andai saja Bara tidak melunasi tunggakan sebanyak lima puluh lima juta itu, mungkin… dia akan segera terusir d
"Jadi? Mau ikut pulang denganku, ke rumahku? Atau... mau cari rumah sendiri?" Bara mengucapkannya dengan santai, tapi jelas ada sentuhan ejekan yang membuat darah Cheryl langsung mendidih dibuatnya.Cheryl mengepalkan tangan, menahan marah. "Kamu pikir aku nggak bisa cari rumah sendiri?" ketusnya seraya menatap Bara dengan berani, matanya berkilat penuh kemarahan yang sulit disembunyikan.Ada sesuatu dalam nada Bara yang menusuk harga dirinya. Seolah dia hanyalah beban, seseorang yang tak bisa bertahan tanpa bantuan. Darahnya berdesir panas. Kata-kata Bara seperti paku yang menghujam, mengingatkannya pada rasa tidak berdaya yang selama ini berusaha ia lawan."Aku bisa mengurus diriku sendiri.” Suaranya bergetar karena amarah yang menggelegak di dadanya. Bara mengangkat satu alis. "Oh ya?" katanya ringan, sambil bersedekap memandang Cheryl dengan ekspresi santai. “Buktikan saja kalau memang bisa.”Cheryl mengepalkan tangan lebih erat. Dia tahu Bara sengaja memprovokasinya, tapi tak a
Bara memandang wajahnya begitu dekat, dan dunia Cheryl seakan berhenti berputar. Tak ada suara lain selain detak jantungnya sendiri yang berpacu liar. Mata lelaki itu menatapnya seolah ia adalah satu-satunya perempuan di muka bumi. Ketika tangan Bara menyentuh pipinya yang dingin karena AC, Cheryl tak bisa menyembunyikan getar di dadanya. “Kamu nggak tahu betapa aku nungguin momen ini,” bisik Bara. Suaranya rendah, serak, penuh gejolak yang selama ini terpendam.Cheryl tersenyum. “Aku juga... setiap hari.”Lalu bibir mereka saling menemukan, ciuman yang begitu lembut, pelan, seolah-olah menyulam kembali sesuatu yang nyaris hilang. Tapi semakin lama, ciuman itu berubah. Lebih dalam. Lebih menuntut. Membawa Cheryl hanyut dalam gelombang kerinduan yang begitu kuat, hingga tubuhnya bergetar.Bara menariknya ke dalam pelukan, lengan kokoh itu membalut pinggangnya, dan Cheryl membalas, mencengkeram kerah kemeja lelaki itu seolah jika ia melepaskan, ia akan tenggelam dalam badai yang dicipta
Cheryl duduk di tepi ranjang, menatap langit-langit dengan ekspresi bosan. Kamar rumah sakit ini terlalu steril, terlalu sunyi, terlalu jauh dari segala sesuatu yang membuatnya nyaman. Ia merindukan kamar bernuansa ungunya, merindukan standee Jungkook yang setia berdiri menyambutnya di sudut ruangan, dan terutama… ia merindukan pintu rahasia yang selama ini menjadi jalur kecil menuju satu-satunya tempat yang selalu membuatnya merasa aman: kamar utama Bara.Ah, Bara… apa kabar suaminya itu? Ia sangat merindukannya.Cheryl mendesah. Ia betul-betul gabut. Hari-hari berlalu dengan ritme yang lambat, menyiksanya dengan kebosanan yang tak tertahankan. "Kenapa sih dokter Joshua menyita hapeku segala?" gerutunya.Keheningan yang menyelimutinya terlalu menusuk, dan ia benci perasaan terisolasi ini.Matanya beralih ke telepon rumah sakit di nakas samping tempat tidur. Dengan cepat, ia meraih gagangnya dan menekan nomor ekstensi yang ia ingat. Butuh waktu lama sebelum akhirnya ia tersambung den
Cahaya matahari keemasan memantul di permukaan kanal yang tenang, sementara gondola-gondola mulai berlayar perlahan membawa wisatawan yang ingin menikmati keindahan kota air ini. Bara berdiri di balkon kamarnya, secangkir kopi hangat berada dalam genggamannya, mengepul tipis di udara pagi yang masih sejuk.Seperti biasa, ia membuka ponselnya dan mulai membaca berita. Kebiasaan yang tak pernah ia tinggalkan. Bagi seorang pebisnis, informasi adalah senjata. Apa pun yang terjadi di dunia bisnis, baik di Indonesia maupun luar negeri, harus selalu ia ketahui lebih dulu. Tangannya menggulir layar, menelusuri berbagai tajuk ekonomi, pergerakan saham, hingga analisa pasar global.Namun tiba-tiba, matanya terpaku pada sebuah judul yang mencolok. Jantungnya mencelos seketika.‘Pertunangan Antar Cucu Konglomerat: Bara Wardhana dan Milena Wongso, Bersatunya Dua Kekuatan Bisnis Besar di Indonesia.’Bara terpaku. Seketika, dunia di sekelilingnya terasa membeku. Rahangnya mengatup rapat. Tatapann
Matahari mulai condong ke barat, menyisakan semburat jingga yang membelah langit senja. Angin sore yang sejuk berembus lembut di rooftop VIP rumah sakit, membawa aroma samar dari taman bunga kecil yang terletak di sudut teras. Cheryl duduk santai menikmati suasana sambil menyeruput jus alpukat yang dingin dan lembut di mulutnya. "Cheryl? Loh. Kamu... bukannya sudah pulang?" Teguran seseorang mengejutkan Cheryl dari lamunannya. "Eh. Bu Rini?" Wanita itu tersenyum lembut. "Kok kamu masih di sini, Cheryl?" "Aku masih perlu menjalani perawatan." "Ooh. Kupikir kamu kemarin sudah betul-betul pulih." Rini lalu menarik kursi dan duduk di samping Cheryl. "Senja di sini memang indah, ya?” Ada sesuatu dalam cara Rini berbicara—halus, hangat, dan tampak tulus. Tak ada tanda-tanda niat buruk. Akan tetapi, bayangan tentang siapa Rini sebenarnya masih menggelayut di benaknya. Bagaimanapun, wanita ini adalah ibu tiri Bara, seseorang yang katanya... jahat. Seharusnya ia tetap waspada. Namu
Di ruang perawatan VIP Bintang Hospital, Cheryl memandang Valen dengan sorot kesal. "Astaga… Dokter betul-betul melapor ke Pak Bara?" protesnya.Valen hanya mengangkat bahunya dengan santai. "Aku bukan tipe orang yang asal mengancam tanpa tindakan." Cheryl mengembuskan napas kasar. "Dokter lebay!”Valen menautkan jemarinya di depan dada, memiringkan kepala sedikit sambil menatap Cheryl dengan sorot penuh kemenangan. "Bukankah kemarin sudah kuingatkan soal itu? Tapi kamu bandel." Ia mendekat sedikit, suaranya lebih dalam. "Jangan salahkan aku kalau akhirnya aku melapor langsung ke bosmu."Cheryl mengerang kesal. "Aku tidak percaya Dokter betul-betul melakukannya.""Kenapa tidak?" Valen mengangkat sebelah alisnya. "Aku dokter, tugas utamaku memastikan pasienku istirahat dengan benar. Dan jika pasienku keras kepala, aku harus mencari cara. Dan langsung bicara dengan bosmu, itu solusi. Kamu dapat cuti, kamu istirahat tenang, kamu cepat sembuh, dan tugasku sebagai doktermu selesai.”Chery
Bara melangkah masuk ke dalam kamar hotelnya dengan langkah berat. Pintu tertutup di belakangnya, menciptakan keheningan yang nyaris menyesakkan. Ia mematikan lampu utama, membiarkan cahaya lembut dari lampu tidur menguasai kamar. Tanpa mengganti pakaiannya, Bara langsung merebahkan diri di atas ranjang yang empuk. Namun, tidak ada kenyamanan yang bisa ia temukan di sana. Pikirannya tidak berada di ruangan ini, tidak di tengah kemewahan hotel bintang lima ini, bukan di Venesia, bukan dalam pertunangan yang baru saja mengikatnya pada kehidupan yang tidak ia inginkan.Bara menatap langit-langit dengan kosong, napasnya terasa berat. Dalam pikirannya, bayangan Cheryl melintas begitu nyata. Wajahnya, senyumnya, suara lembutnya yang memanggil namanya dengan nada penuh cinta.Dengan satu gerakan, ia membuka galeri fotonya di ponsel. Dan di sanalah semua memori manisnya tersimpan nyata. Foto-foto Cheryl yang tertawa dalam pelukannya. Cheryl yang mencium pipinya dengan manja. Cheryl yang mena
Tuan Sigit terkekeh mendengar jawaban Milena, demikian pula keluarganya. "Wah, aku tidak keberatan jika acara pertunangan ini langsung berubah menjadi pernikahan," ucapnya sambil mengangguk puas."Bagaimana, Adiguna?" tanyanya kemudian pada ayah Milena. "Apa kau sudah siap melepas putrimu malam ini untuk diboyong pulang oleh Bara sebagai istrinya?"Ayah Milena, Adiguna, menatap putrinya sejenak sebelum beralih pada Bara. Ada kilatan penuh perhitungan dalam sorot matanya, seolah ingin memastikan keputusan yang diambil benar-benar tepat. Akhirnya, dengan suara mantap, ia menjawab, "Kuserahkan pada Bara. Apakah dia siap menikahi putriku sekarang?"Bara merasa sebuah bom sedang dilempar kepadanya. Kini, tatapan puluhan pasang mata tertuju padanya. Sorot penasaran, harapan, bahkan kegembiraan dari sebagian besar orang di ruangan itu, seolah menciptakan tekanan yang halus namun nyata. Bara meletakkan gelas wine di tangannya ke atas meja, lalu menegakkan punggungnya. Ia menarik napas perl
Malam itu, Venesia berpendar dalam cahaya keemasan. Lampu-lampu jalan memantulkan kilau lembut di permukaan kanal, menciptakan riak-riak cahaya yang menari di antara arus tenang. Dari balkon sebuah hotel bintang lima, pemandangan kota tampak seperti lukisan hidup. Gedung-gedung tua berdiri anggun di sepanjang tepian air, sementara gondola melintas perlahan, dayungnya mengiris permukaan air dengan keheningan yang indah. Sementara itu di dalam ruangan hotel, alunan musik klasik mengisi udara, berpadu dengan suara gelas beradu dan gumaman percakapan, menciptakan atmosfer hangat di antara mereka yang hadir.Di meja utama, dua keluarga besar duduk dalam keakraban yang dengan cepat tercipta. Para pelayan bergerak anggun, menuangkan anggur ke dalam gelas-gelas kristal para tamu tanpa sedikit pun mengganggu percakapan yang tengah mengalir.Di antara semua yang hadir, sosok Tuan Sigit paling mencuri perhatian. Pria tua itu mengenakan kemeja linen berwarna gading dengan kerah terbuka, dipaduk
Cheryl menyandarkan punggungnya ke kursi kantor, matanya berkilat kesal sembari mengusap kakinya yang masih berdenyut nyeri. Ia tak henti-hentinya menggerutu, "Kupikir dia dokter yang sabar, tapi ternyata bisa galak juga. Mau apa coba dia ke sini? Kelamaan! Apa susahnya sih kasih resep saja? Bisa-bisa aku keburu klenger kesakitan."Ia cepat-cepat meraih ponsel dan menghubungi OB. "Heri, tolong belikan Counterpain dan obat anti nyeri. Merk apa aja terserah, yang penting buat anti nyeri," ujarnya dengan nada tak sabar.Menunggu OB datang, Cheryl merebahkan diri di sofa, meringkuk sambil memegangi kakinya yang nyeri. Matanya terpejam, mencoba mengatur napas setiap kali rasa sakit itu kembali menyerang seperti sengatan tajam.“Sialan. Demi menghindari Bu Rini biar jangan sampai tahu alamat rumahku, aku malah nekat ke kantor dan sekarang jadi apes gini.”Cheryl mengerutkan kening, menduga-duga. “Aku kok masih nggak yakin ya kalau semua itu cuma kebetulan? Jangan-jangan Bu Rini memang ingi