Seandainya ada wanita masa lalu kekasihku yang merasa kisahnya belum selesai, aku pasti tidak mau mencampuri urusan mereka. Dengan tegas, akan aku katakan kalau dia harus menyelesaikannya sebelum dia datang kembali kepadaku.Begitu juga sekarang. Alexander masa sekarang, sedangkan Arman itu masa lalu. Alangkah tidak tepat kalau aku membebani kekasihku itu dengan masalah yang ditimbulkan laki-laki itu. Aku harus menyelesaikan urusan kami dulu.Itu yang ada di pikiranku. Namun ucapan Alex memutar pendapatku itu. “Ibu sangat mencemaskan keadaanmu, Raya. Kamu jangan marah karena Ibu sudah menceritakan semuanya kepadaku,” ucapnya sambil mengusap lenganku.Kedua alis mataku masih tetap bertaut. Niat ibu memang baik, tetapi bukankah ini tindakan yang mendahuluiku? Aku memang anaknya, tapi masa laluku dengan Arman adalah hak sepenuhnya ada ditanganku. Kapan aku akan menceritakan ini kepada Alex, atau bahkan menguburnya dalam-dalam.Rasa malu dan tidak pantas menyeruak begitu saja. Aku wanit
Sampai mobil berhenti, perkataannya masih terngiang di telinga ini."Bilang saja kamu calon istriku, dan sebentar lagi menikah." Terdengar sekadar candaan, sih. Namun, bagi aku wanita yang umurnya sudah di batas ambang ini terasa beda. Langkahku seperti tidak menapak, antara mimpi dan nyata. Wajah inipun menghangat seiring pemikiran yang meletakkan harapan lebih.Calon istri? Menikah? Pacaran belum lama sudah berandai-andai terlalu jauh.Namun, isi kepala dan hatiku sekan tidak mendengarkan. Mereka justru disibukkan dengan pertanyaan, laki-laki inikah yang akan menemani hidupku? Sudah turun dari mobil pun, pikiran masih berkutat dengan hal yang sama. Mata ini menatap punggung kokoh berbalut jaket biru ini. Gerakan tubuhnya seperti menawarkan kehangatan untuk bersama, memberi perlindungan dan penghiburan di saat suka dan duka. Aku mengembungkan pipi, menahan napas dan menghembuskan untuk mengusir pikiran aneh ini.“Ayo, Raya!” ucapnya sambil mengulurkan tangan.Jarinya digerakkan me
“Alex. Pelan-pelan.”“Tenang saja. Aku akan melakukannya dengan lembut. Tidak kasar, kok. Kecuali khilaf,” bisiknya sambil tersenyum. Lebih tepatnya menyeringai.Aku mendengkus berusaha menghindar. Melihat ekspresinya, sudah aku bayangkan rasa sakit sebagai pembalasan perlakuanku.“Kamu tega, ya. Menodai aku. Katanya sayang. Tapi gitu. Please ….”“Enak saja. Ini hukuman dariku.”Mata ini aku kerjapkan, meminta pengampunan. Alih-alih mendapatkan keinginan, dia justru tertawa.“Ini kali pertama untukmu, kan? Dengan senang hati aku akan melakukannya. Sini!”Tangan yang masih tergenggam, ditariknya dengan paksa. Terpaksa, aku menyodorkan wajah sambil memejamkan mata bersiap menerima perlakuannya.Pletak!“Aduh!” teriakku sambil menangkup dahi. Katanya pelan, tapi sentilannya lumayan sakit. Belum sempat membuka mata.Sreeet!Rasa dingin terasa melintang di wajahku.“Alex! Kamu balas dendam!” teriakku sambil menelengkan kepala ke arah cermin. Noda bedak dicampur air melintang di wajahku.Me
“Harus masuk kerja?”Aku menoleh ke belakang. Alex yang sudah berpakaian rapi, berdiri bersandar di pintu dengan tangan berlipat di dada. Kedua kakinya bersilang, dengan mata mengamatiku yang sedang melipat baju bekas aku pakai itu.“Haruslah. Mbak Leni masih belum masuk. Kalau aku tidak datang, bisa jadi pos di atas kosong.”“Gitu, ya?” sahutnya sambil mengangguk-angguk. Namun, dahinya berkerut seperti sedang memikirkan sesuatu.“Bajunya ini aku cuci dulu nanti aku kembalikan.”“Untuk apa. Pakai saja sebagai pengingat. Kalau kamu kangen, bisa peluk baju itu,” sahutnya sambil menaik-naikkan alis mata. “Itu sebelum kamu bisa memelukku semalaman.”“Ck! Pagi-pagi sudah gombal. Ayo berangkat sekarang. Kita kan mampir ke rumahku dulu.” Aku menyambar tas dan melewatinya. Seperti anak kecil, dia mempercepat jalan mengekoriku.Hari masih pagi. Jalanan masih dipenuhi anak-anak yang berangkat sekolah. Beberapa memenuhi angkutan umum, dan banyak juga yang diantar dengan kendaraan pribadi. Tering
“Jangan berhenti!”Tanganku memegang lengannya. Seakan tidak mendengarkan ucapanku, kecepatan mobil justru melamban.Masih ada dua mobil di depanku. Kalau melihat gelagatnya, Arman tidak mengetahui aku di mobil ini. Dia terlihat menghentikan semua mobil, kemudian seperti mengajukan pertanyaan.“Alex! Dengarkan aku!” teriakku lebih keras.“Kenapa, Raya? Kamu pikir aku tidak berani dengan laki-laki kecil itu?” ucap Alex dengan mendengkus. Jari-jarinya terlihat mencengkeram erat kemudi dan mata tajamnya tidak teralihkan ke arah depan.“Aku tidak suka keributan.”“Siapa yang akan ribut? Dia yang memancingku untuk melawannya. Laki-laki manapun tidak terima kalau kekasihnya dikejar sampai seperti ini. Ini urusan laki-laki, Raya. Kamu tidak perlu__”“Alex!” seruku kesal sambil menampik keras dirinya.Kemudian dia menghembuskan napas keras. Terlihat sekali kalau sebenarnya dia tidak mau mendengarkan aku.“Baiklah.”Dia menekan klakson mobil. Si Arman itu menoleh ke arah Alex. Benar dugaanku,
“Korban sudah dilarikan ke rumah sakit, sedangkan para pelaku sudah diamankan pihak berwajib.”Tubuhku terhuyun mendengar keterangan pegawai itu. Beruntung Jaka dengan sigap memapahku.“Kita ke rumah sakit sekarang!” seruku menolak untuk duduk.Pikiranku bergulir liar. Alex dilarikan ke rumah sakit yang menandakan dia terluka parah. Sedangkan kata para pelaku, aku asumsikan ini pengroyokan. Jantung ini seperti terlepas dari tempatnya membayangkan apa yang terjadi.“Selamat siang. Saya pegawainya Pak Alexander. Dengan Ibu Raya?”Kami menoleh bersamaan ke arah suara itu. Lelaki muda dan gagah berpenampilan rapi-setelan jas hitam berdasi- mengangguk hormat kepadaku.“Saya Tomo. Tuan Dominic memerintahkan untuk mengantar Ibu Raya ke rumah sakit.”Aku menatap Jaka dan Pak Wira meminta pertimbangan. Dalam keadaan seperti ini, aku harus tetap waspada. Apalagi seperti lelaki yang aku pun belum kenal. Siapapun bisa mengaku karyawan atau kenalan kekasihku, Alexander Dominic.“Aku akan ikut den
Nanar menatap dia yang di hadapanku. Kepala dibalut perban, wajah yang lebam dan bibir pecah, kaki terluka, dan bagian perut yang terlihat memar. Tidak hanya itu, lengannya juga mendapat jahitan.“Mereka sekitar berlima, Ray. Kalau satu lawan satu, aku pasti menang, Mereka curang, membawa senjata sedangkan aku tangan kosong," ucapnya tadi.Kemudian dia menunjukkan lengannya. “Ini saja dijahit sepuluh karena menahan sabetan benda tajam. Entah yang dibawa apa, tiba-tiba sudah perih dan berdarah.”Tadi dia bercerita dengan bersemangat seakan baru saja menjalani petualangan. Berbanding terbalik denganku yang menekan rasa miris, kesal, dan geregetan. Mungkin yang dilakukan karena ingin meredam kekawatiranku. “Mereka seperti orang profesional. Aku yang sedang menelpon kamu, langsung ditarik dan semua terjadi begitu cepat.”“Tidak ada yang menolong?”Kenapa di tempat umum seperti itu, tidak ada orang yang membantu? Sampai dia mengalami luka seperti ini. Masih ingat di media sosial, saat ad
Kedua tangan ini mencengkeram pinggiran meja wastafel. Aku berusaha mengatur napas yang masih tersengal karena amarah yang tadi memuncak. Aliran air yang aku biarkan mengucur, tidak mampu memunculkan ketenangan. Sempat tadi mulut ini meluncurkan sumpah serapah yang tertahan sejak lama. Aku seperti mendapat panggung untuk mengatakan betapa orang itu menghancurkan keluargaku. Beruntung Eyang Jaya-orang tua ibu-datang. Hatiku yang terlanjur terbakar, akhirnya disurutkan. “Sudah, Nduk. Biarkan eyang yang menangani di sini. Kamu konsentrasi urusan di sana saja,” ucap Eyang Jaya menyudahi pembicaraan tadi. Kalau tidak ada Eyang Jaya, aku tidak tahu bagaimana akhir perdebatan ini. Kakekku itu selalu menjadi penengah di setiap gejolak di keluargaku, seperti saat bapak meninggal. Ibu begitu terpuruk bahkan dia mengajukan pensiun dini. Eyang Jaya lah yang menjemput Ibu untuk bersama mereka di kampung. Aku tidak tahu kenapa, hanya kepada kakekku lah Pak Sanjaya terlihat segan. Bahkan dia tid