Kedua tangan ini mencengkeram pinggiran meja wastafel. Aku berusaha mengatur napas yang masih tersengal karena amarah yang tadi memuncak. Aliran air yang aku biarkan mengucur, tidak mampu memunculkan ketenangan. Sempat tadi mulut ini meluncurkan sumpah serapah yang tertahan sejak lama. Aku seperti mendapat panggung untuk mengatakan betapa orang itu menghancurkan keluargaku. Beruntung Eyang Jaya-orang tua ibu-datang. Hatiku yang terlanjur terbakar, akhirnya disurutkan. “Sudah, Nduk. Biarkan eyang yang menangani di sini. Kamu konsentrasi urusan di sana saja,” ucap Eyang Jaya menyudahi pembicaraan tadi. Kalau tidak ada Eyang Jaya, aku tidak tahu bagaimana akhir perdebatan ini. Kakekku itu selalu menjadi penengah di setiap gejolak di keluargaku, seperti saat bapak meninggal. Ibu begitu terpuruk bahkan dia mengajukan pensiun dini. Eyang Jaya lah yang menjemput Ibu untuk bersama mereka di kampung. Aku tidak tahu kenapa, hanya kepada kakekku lah Pak Sanjaya terlihat segan. Bahkan dia tid
POV Alex“Sebentar saja, Raya,” bisikku tanpa melepaskan tangan ini.Harum tubuhnya menyelusup di penciuman dan menggetarkan syaraf. Tidak hanya itu, nyeri yang sempat terasa sekarang luruh. Ini lebih efektif daripada obat apapun yang diresepkan oleh dokter. Aku semakin gemas rasanya saat dia mengangkat wajah dengan mata mengerjap. “I love you, Raya,” bisikku sambil menangkup wajah dan mencium keningnya dalam.“Love you to. Tapi tanganku lama-lama pegal.”Dahiku sedikit berkerut, kemudian mengikuti arah pandangan matanya. Kedua tangannya menyangga tubuhnya yang berada di atasku.“Aku takut menyakitimu,” ucapnya dengan tatapan kawatir.Dia beringsut dengan sangat hati-hati setelah aku mengurai tangan ini. Ingin tertawa, tapi takut nyeri datang lagi. Sering kali dia bersikap manis, menghidupkan hati yang terbiasa dengan angka dan pekerjaan.Siapa sih yang tidak bahagia kalau wanita yang diinginkan berada di sampingnya? Dan, siapa yang tidak marah kalau ada yang mencoba merebutnya? S
Aku mengetatkan selimut, saat mendengar langkahnya yang mendekat. Mata aku pejamkan rapat, dan pura-pura mendengkur.“Akhirnya tertidur juga,” gumamnya sambil merapikan selimutku di bagian kaki.Tanpa membuka mata, aku tahu dia duduk tepat di sebelahku. Beberapa kali terdengar helaan napas darinya. Kepala ini merasakan belaian lembut tangannya, kemudian ciuman di kening. Lama.“Maafkan aku, Alex. Kamu jadi sakit seperti ini karena aku.”Terkesiap diri ini merasakan tetesan air di wajahku. Tidak tahan dengan kesedihannya, perlahan aku membuka mata.“Alex. Aku mengganggumu?” ucapnya sambil menarik tangannya. Buru-buru dia mengusap pipinya, kemudian memunculkan senyuman.Aku tersenyum, mengulurkan tangan dan dia menyambutnya. “Tidak. Kamu tidak mengganggu. Justru aku sekarang mem-visualkan mimpiku. Bertemu kamu yang dulunya hanya dalam mimpi.”“Sakit saja masih gombal.”Semakin gemas melihat dia yang tersipu dan pipinya semburat merah. Seandainya tubuhku bisa bergerak bebas, pasti aku me
Hanya bersekat dinding, aku menunggu dia yang berpacu dengan kemungkinan hidup dan mati. Prosentase keberhasilan memang tinggi, tapi tidak menutup terjadi takdir tidak berpihak kepada kita.Tomo dan beberapa pegawai bersiap di ujung sana. Wajah mereka yang biasanya tanpa ekspresi, sekarang tersirat kegundahan akan keselamatan sang induk semang.Waktu berputar seakan melambat. Semakin menyiksa hati yang penuh dengan kekawatiran. Dengan menangkup kedua tangan, aku memejamkan mata, memohon kepada Tuhan. Bibir ini tidak henti-hentinya merayu untuk keselamatan laki-laki yang menjadi tujuanku kini.BRAK!Pintu terbuka. Mata ini terbuka dan bukan dokter yang berjalan pelan sambil menunjukkan senyuman. Ini justru beberapa perawat hilir mudik berlarian. Aku yang berdiri bersiap melontarkan pertanyaan hanya dijawab lambaian tangan tanda memohon sabar.Kedua alis mata terpaut mendapati wajah-wajah yang jauh dari senyuman lepas. Walaupun mereka tidak menyatakan, tapi ini mengabarkan hal tidak bai
Rasa kesal yang sempat mencuat, ternyata dikalahkan desiran yang menyerbu di dada ini. Aku tidak mampu membencinya, dengan alasan yang mungkin tidak seperti ada di pikiranku. Dua pendapat yang saling berkecamuk di kepala ini. “Alex melihatmu sebagai wanita materialistis. Buktinya, dia membayar kesediaanmu selama bersamanya. Dia membayar!” Namun, sudut hati di sisi lain berkata lain. “Bukan. Yang dilakukan sekarang wujud kasih sayang. Dia ingin berbuat lebih kepadamu, walaupun dia sudah berkalang tanah.” Apapun alasannya, aku tetap menolak apa yang dia rencanakan dengan membuat wasiat itu. Aku berdiri di luar ruangan. Dari kaca pembatas, aku menatap tubuh Alex terbujur tidak bergerak. Peralatan medis menempel di beberapa tempat untuk menunjang dia tetap bernapas. Tangan ini bergerak pelan, mengusap kaca yang memburam karena embusan napasku. Dari sini, jari telunjukku seakan membelai rambutnya yang di sana. Ingatan matanya yang mengerjap, dan senyuman yang menunjukkan kemanjaan, s
“Syukurlah, semua sesuai yang harapan. Perkembangan Tuan Dominic bagus. Bahkan sangat bagus,” ucap Dokter menciptakan helaan napas lega. “Tapi tetap dalam masa penyembuhan, pasien harus istirahat dulu.” Tadi setelah Alex tersadar, mereka membawa kekasihku itu kembali memeriksa secara keseluruhan. Katanya, perkembangan harus dipastikan keberhasilannya dengan pemeriksaan rontgen. Gumpalan darah yang membeku akibat benturan di dada, tidak mengganggu paru-paru kembali. Juga pemasangan penguat pada tulang rusuk, seperti yang direncanakan. Setelah beberapa lama, baru aku diizinkan menemui Alex kembali. Laki-laki yang kurindukan menatapku dengan menunjukkan senyuman yang aku rindukan. Ini seperti aku mendapatkan kembali duniaku yang nyaris hilang. Kata syukur tidak henti-hentinya terucap di hati ini. Namun, bukan seorang Alexander Dominic kalau tidak memantik mata melotot. Dengan wajah masih pucat dan tubuh terkapar menyerah pada jarum infus, sempat-sempatnya dia mengerlingkan mata. “Ray
“Yang aku tulis itu keterlaluan, ya? Aku menyakitimu?” ucapnya menyambung perbincangan tadi malam. Setelah sama-sama membuka identitas, kami belum sempat berbincang banyak. Dokter datang melakukan pemeriksaan dan mengingatkan Alex untuk segera istirahat. “Saya sudah baik dan segar, Dok. Nanti saja istirahatnya,” tolak Alex saat posisi ranjang akan diturunkan. Dokter itu tersenyum sambil mengangguk. “Tuan meminum obat dan vitaminnya dulu. Jadi tubuh akan segera pulih,” ucapnya sambil memerintahkan suster. Beberapa tablet yang harus dikonsumsi, langsung ditelan oleh Alex. Dokter ini memang tidak membantah, tapi Alex yang menguap meyakinkan ini karena obat yang diminum. Tidurnya begitu nyenyak, dan aku bisa melanjutkan rencanaku untuk memuaskan pembaca yang menungguku. Tidak ada yang dikawatirnya, membuat ideku mengalir. Otak yang tidak terbebani meleluasakan jari-jari ini menari di atas layar ponsel. Teringat komentar Alex akan pernikahan yang merujuk untung dan rugi, aku pun me
Pesan yang dikirim oleh orang kantor, memaksaku untuk menangguhkan istirahat. Untung saja Raya sudah pergi. Kalau tidak, bisa jadi aku tidak leluasa karena kekawatirannya.“Harus aku lakukan ini?”“Iya, Tuan. Sesuai arahan orang kantor,” ucap Tomo yang bersiap di sebelahku. Dia menyakinkan dengan mengangguk, sambil menunjukkan deretan kalimat di layar ipad.Aku menghela napas. Namun bagaimana lagi, aku sebagai wajah perusahaan menjadikan keberadaanku tolok ukur berkembangnya usaha. Musibah yang aku alami sekarang sudah dirahasiakan. Bahkan, aku dirawat di bagian tingkat yang paling tinggi. Tidak semua pasien bisa dirawat di lantai ini. Hanya member dengan kerahasiaan menjadi jaminannya.Akan tetapi kenapa masih saja bocor dan menimbulkan kepanikan pemilik saham.“Ada isu yang merebak di luar sana. Tuan terkena kasus perkelahian dan terluka parah.”Aku tersenyum. Wajar sih kalau mereka bersikap seperti itu. Uang mereka dipercayakan karena namaku menjadi jaminannya.“Orang kantor sudah
Aku ingat perbincangan dengan Alex, suamiku beberapa waktu yang lalu. Saat itu aku di titik jenuh. Berbanding terbalik dengan Alex yang sibuknya luar biasa, aku hanya tidak dan tidak mengerjakan apapun. Aku seperti orang yang tidak berguna.Ok, saat ini Alex yang lelaki luar biasa ini masih di sampingku. Namun, bukankah banyak kemungkian dia akan berpaling, terlebih aku bukan siapa-siapa. Hanya wanita menua yang pura-pura lupa akan usia.“Kamu bahagia dengan pernikahan kita?” tanyaku sambil menyelusupkan kepala ke ketiaknya.Entah kenapa aku mempunyai kesenangan baru, mengendus bau keringat sepulang dia kerja. Awalnya Alex menolak karena merasa gerah, tapi dengan alasan aku kangen, akhirnya dia menyerah.Aku mendongak ketika jawaban tidak kunjung kudengar. Dia senyum dikulum, menundukkan kepala dan mencium kening ini.“Bahagia?…. Tidaklah.”“Ha?” Spontan aku menarik tubuh memberi jarak. Ketakutanku ternyata tidak perlu menunggu waktu lama. Sekarang malah dia mengakui.Kedua alis mataku
Pandangan kami di satu garis lurus. Sorot mata suamiku menunjukkan ketidak sukaan. Ini kali pertama aku merasakan takut kepadanya. Dia pun sudah menderap ke arah kami. Namun, tidak sopan kalau aku begitu saja tanpa pamitan pada Tuan Anderson. Mertuaku … kalau itu benar.“Maaf saya harus pamit. Alex sudah ada di sini.”Lelaki tua ini tersenyum. Sekali lagi menepuk lenganku. “Maaf, ya. Semoga suamimu tidak marah. Saya titip Alexander kepadamu.”Belum sempat menjawab, tangan ini sudah disentakkan oleh Alex. Tubuh ini sampai terhuyun dan tangan terlepas dari jabat tangan sebelumnya. Satu tangan lain menarikku untuk terdiam di balik punggungnya.“Jangan ganggu istriku!”“Dengarkan penjelasanku, Alex anakku. Aku memang berhutang waktu dua puluh enam tahun kepadamu. Namun, kita bisa__”“Stop! Saya jelaskan berulang kali, saya tidak ada urusan dengan anda.” Suara Alex terdengar keras. Bahkan menggema di ruangan ini. Aku mengedarkan pandangan, terlihat anaeh ruang baca ini lengang dari pengunj
“Huh! Kalau aku sudah aku remet-remet mulutnya itu! Kamu ini terlalu sabar jadi orang,” seru Mbak Leni seusai dia dari lantai satu.Entah dari mana dia tahu tentang pertemuanku dengan Lastri. Padahal tadi setelah peristiwa tadi, sengaja aku tidak memberitahu seniorku ini. Karena tahu benar sifatnya bagaimana terutama yang berkaitan dengan Lastri. Mbak Leni selalu menjadi garda terdepan membela diriku.“Santai saja, lah. Anggap saja radio rusak.”Aku tersenyum, kemudian kembali ke meja kerja berniat melanjutkan memasukkan data kembali.“Bener yang kau bilang, Yak. Yah dia kan orang gila. Buat apa ditanggapi, kita malah jadi gila nanti,” seloroh Mbak Leni sambil tertawa.Dalam hati, aku pun masih kesal sama si Lastri itu. Tidak capek-capeknya menerorku. Padahal salahku apa? Bertegur sapa atau menyoal tentang dia saja tidak pernah. Lebih baik aku menghindar demi kewarasan. Fokus dengan tujuanku kerja kembali ke perpustakaan. Aku hanya berinteraksi dengan Mbak Leni, Jaka, dan kalau di
“Raya …!”Senyumku merekah mendengar suara yang sudah aku rindukan. Langkah menderap memberiku semangat untuk membalikkan badan. Benar, teman kerja yang aku rindukan berlari menghampiri dengan kedua tangan merentang.Ini hari pertamaku memulai kerja kembali ke perpustakaan. Sedikit ngambek dan berujung kata setuju dari Alex suami tercinta. Aku boleh kerja kembali tapi dia menugaskan beberapa pengawal pribadi di luar gedung.“Kamu tidak usah kawatir. Mereka sudah aku perintahkan berpakaian dan bersikap seperti orang biasa.” Janji dia menanggapi aku yang jengah dengan perlakuan yang berlebihan ini.Jangan ditanya bagaimana cerewetnya Alex sebelum tadi berangkat. Tidak boleh ini, dilarang itu. Pokoknya mengalahkan wejangan Ibu saat aku dulu kost untuk pertama kali.“Mbak Leni …!”Seperti orang yang bertahun-tahun tidak bertemu kami saling menyambut. Tubuhnya yang kecil seakan tenggelam dalam pelukanku.“Mbak aku kangen.”“Aku juga sangat. Tidak ada kamu, aku kesepian,” jawabnya dengan bi
(pov Alex)“Lebih baik tidak daripada syaratnya seperti itu. Memang aku anak TK yang kemana-mana harus diikuti orang.”Raya mencebik dan binar mata pun melesap menunjukkan ketidaksetujuan. Namun bagaimana lagi, keselamatannya lebih penting daripada keinginannya itu. Musuhku ada dimana-mana. Sekarang tidak hanya mengincarku saja, tapi kemungkinan besar membidik titik yang menjadikan aku terpuruk.Dan itu Raya istriku.“Bukankah tadi bilang kalau apapun syaratnya kamu mau?”“Tapi bukan seperti itu.”Matanya mengerjap sekali lagi. Tatapannya yang memohon sempat membuatku tidak tega. Ini seperti aku dulu saat kecil. Kakek Sebastian bersikap keras dan tidak memperbolehkan aku bermain seperti anak pada umumnya. Berbagai alasan dikemukakan yang merujuk pada keselamatan.Aku mengerti yang dirasakan istriku, tapi semua ini harus dilakukan.“Memang harus ada pengawal yang jaga juga di dalam gedung perpustakaan?”“Iya, Ray.”Raya menghela napas panjang. “Ada teman-teman yang bisa menjagaku. Ada
Aku seperti anak ayam yang tinggal di lumbung padi. Tidak kurang suatu apa, apalagi kelaparan. Pengen apa aja tinggal nunjuk. Tidak perlu mengintip isi dompet kalau ingin beli sesuatu.Di rumah pun praktisnya tidak ada yang bisa aku kerjakan. Semua sudah ada yang bersiap dengan tugas masing-masing. Aku seperti orang yang tidak ada kegunaan. Hanya saat ada Alex saja aku melakukan tugas sebagai istri. Selebihnya tidak ngapa-ngapain.Menulis?Isi kepala ini seperti mampat. Tidak ada kejadian sekitar yang mematikku untuk berkarya. Pemandangan datar dan itu-itu saja. Pegawai dengan sikap bersiap menerima tugas, dan aku yang penuh dengan rasa bosan.“Belanjakan apa yang kamu ingin. Yang aku punya, juga punya kamu juga, Sayang. Memang siapa lagi?” ujar Alex, suamiku.Namun aku yang biasa memperhitungkan segalanya sebelum membelanjakan sesuatu, tidak bisa disuruh boros-boros seperti itu. Untuk apa mengeluarkan uang banyak, kalau dengan fungsi dan kualitas yang sama kita dapat harga tidak ting
“Ini aman? Tidak bahaya?”Aku menoleh ke belakang. Gerakan zig-zag mobil pengiring tidak mengurangi laju jeep hitam itu. Lampu justru disorot dan klakson disuarakan seakan menunjukkan kemarahan. Mata ini mengedarkan ke sekeliling dimana pengguna jalan lainnya menyingkir cepat. Beberapa orang terlihat mengumpat dengan kekesalan.Dahi ini semakin aku kerutkan melihat Tomo yang seperti biasa, dan Alex suamiku pun tidak terlihat panik. Dia justru merangkul dan mengacak lembut kepala ini.“Tenang saja. Serahkan kepada mereka. Kalau seperti ini, kesenengannya Tomo. Dia jago ngebut,” celetuk Alex sambil melempar senyum ke arah Tomo yang melirik ke arah kami melalui spion tengah.“Tancap, Bos,” seru Tomo sebelum mobil melaju lebih kencang meninggalkan dua mobil yang masih berjibaku di belakang.“Kencang sekali?”“Kalau tidak ditambah kecepatan, ya terkejar sama orang itu, Sayang,” bisik Alex menarik diriku lebih dekat.Mataku terpejam sambil menyelusupkan kepala ke dadanya. Walaupun mobil ini
“Masih berasa tidak enak?”Aku mengangguk. Setelah mandi, seperti anak kecil lelaki yang sudah menjadi suamiku ini membantu berpakaian. Nyeri yang masih mendera menjadikan aku kesulitan melakukan hal yang sederhana. Memang aku sering mendengar teman-teman yang menikah dulu, katanya untuk pertama kali memang terasa sakit. Namun aku tidak mengira sebegitu membuatku meringis setelahnya.“Maaf, ya. Aku terlalu bersemangat,” ucapnya sambil mengarahkan pengering rambut di kepalaku. Dari bayangan cermin terlihat dia yang senyum-senyum dengan bola mata berputar. Huft, istrinya merasa sakit dia malah terlihat bangga.Awalnya kami memang seperti dua orang bodoh. Kikuk dan menyerahkan sepernuhnya kepada naluri primitif yang menguasai. Namun seiring malam semakin larut, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda ini menunjukkan kekuasaan dan membuatku menyerah.“Sudah kering,” ucapnya sambil meletakkan pengering rambut. Berganti dengan sisir dan mulai mengikat rambutku.“Nanti malam aku akan rem-rem.”
Huuft!Tanganku menepuk jidat. Aku seperti perawan tua yang tidak tahan mendapat sentuhan. Bikin malu saja. Jangan-jangan Alex menuduhku menjebak dia. Pura-pura tidak bisa membuka korset supaya seolah-olah dia melucuti pakaianku. Memang itu akhirnya terjadi, sih, tapi bukan saat aku belum membersihkan diri seperti ini. Aku mengangkat tangan dan mengendus kedua ketiak. Jauh dari kata harum apalagi menggairahkan. Harusnya di pengalaman pertama aku bersiap diri. Apalagi luluran, mandipun beberapa hari ke belakang tidak aku lakukan. ‘Namun …. kenapa dia terlihat tidak sabaran juga?’ bisikku dalam hati sambil menelan senyuman. Masih lekat di ingatan, kejadian tak terduga tadi. Kami nyaris saja kebablasan. Seandainya ketukan pintu tidak terdengar, aku pasti menyesal. Melakukan yang pertama tidak dalam keadaan yang terbaik. Pasti malunya seumur hidup.“Aku harus memberi pengalaman yang terindah di kali pertama ini,” gumamku sembali menuang sabun cair banyak-banyak. Untung saja aku mempu