Laki-laki yang aku tetapkan sebagai musuhku terlihat menebar senyuman. Langkah pongah seperti dulu bergerak lebih cepat. Arman meninggalkan mobil berwarna biru lawas miliknya dulu. Aku masih ingat, dulu satu kali aku pernah duduk di kursi sebelah pengemudi. Tanpa sadar, kaki ini mundur beberapa langkah dan terhenti pada pohon palem di pinggiran jalan paving ini. Pandanganku melihat ke sekeliling. Sepi karena jadwal anak-anak sekolah berangkat sudah berlalu satu jam yang lalu. Tubuh ini gemetar teringat kejadian itu. Harusnya tadi aku mau dijemput Alex dan tidak bertemu dengan laki-laki ini saat berjalan menuju halte depan perumahan. Alasan ingin kembali ke rutinitasku dulu, sekarang justru menjadi bumerang. “Ka-kamu?” Laki-laki yang namanya pernah tertulis di undangan pernikahanku ini sekarang berdiri tepat di depanku. Sorot matanya menajam seakan mengupas penampilanku. Kedua alisnya sedikit bergerak, kemudian senyuman kembali disajikan. “Kenapa kamu ke sini?” Aku melemparkan tat
Seandainya ada wanita masa lalu kekasihku yang merasa kisahnya belum selesai, aku pasti tidak mau mencampuri urusan mereka. Dengan tegas, akan aku katakan kalau dia harus menyelesaikannya sebelum dia datang kembali kepadaku.Begitu juga sekarang. Alexander masa sekarang, sedangkan Arman itu masa lalu. Alangkah tidak tepat kalau aku membebani kekasihku itu dengan masalah yang ditimbulkan laki-laki itu. Aku harus menyelesaikan urusan kami dulu.Itu yang ada di pikiranku. Namun ucapan Alex memutar pendapatku itu. “Ibu sangat mencemaskan keadaanmu, Raya. Kamu jangan marah karena Ibu sudah menceritakan semuanya kepadaku,” ucapnya sambil mengusap lenganku.Kedua alis mataku masih tetap bertaut. Niat ibu memang baik, tetapi bukankah ini tindakan yang mendahuluiku? Aku memang anaknya, tapi masa laluku dengan Arman adalah hak sepenuhnya ada ditanganku. Kapan aku akan menceritakan ini kepada Alex, atau bahkan menguburnya dalam-dalam.Rasa malu dan tidak pantas menyeruak begitu saja. Aku wanit
Sampai mobil berhenti, perkataannya masih terngiang di telinga ini."Bilang saja kamu calon istriku, dan sebentar lagi menikah." Terdengar sekadar candaan, sih. Namun, bagi aku wanita yang umurnya sudah di batas ambang ini terasa beda. Langkahku seperti tidak menapak, antara mimpi dan nyata. Wajah inipun menghangat seiring pemikiran yang meletakkan harapan lebih.Calon istri? Menikah? Pacaran belum lama sudah berandai-andai terlalu jauh.Namun, isi kepala dan hatiku sekan tidak mendengarkan. Mereka justru disibukkan dengan pertanyaan, laki-laki inikah yang akan menemani hidupku? Sudah turun dari mobil pun, pikiran masih berkutat dengan hal yang sama. Mata ini menatap punggung kokoh berbalut jaket biru ini. Gerakan tubuhnya seperti menawarkan kehangatan untuk bersama, memberi perlindungan dan penghiburan di saat suka dan duka. Aku mengembungkan pipi, menahan napas dan menghembuskan untuk mengusir pikiran aneh ini.“Ayo, Raya!” ucapnya sambil mengulurkan tangan.Jarinya digerakkan me
“Alex. Pelan-pelan.”“Tenang saja. Aku akan melakukannya dengan lembut. Tidak kasar, kok. Kecuali khilaf,” bisiknya sambil tersenyum. Lebih tepatnya menyeringai.Aku mendengkus berusaha menghindar. Melihat ekspresinya, sudah aku bayangkan rasa sakit sebagai pembalasan perlakuanku.“Kamu tega, ya. Menodai aku. Katanya sayang. Tapi gitu. Please ….”“Enak saja. Ini hukuman dariku.”Mata ini aku kerjapkan, meminta pengampunan. Alih-alih mendapatkan keinginan, dia justru tertawa.“Ini kali pertama untukmu, kan? Dengan senang hati aku akan melakukannya. Sini!”Tangan yang masih tergenggam, ditariknya dengan paksa. Terpaksa, aku menyodorkan wajah sambil memejamkan mata bersiap menerima perlakuannya.Pletak!“Aduh!” teriakku sambil menangkup dahi. Katanya pelan, tapi sentilannya lumayan sakit. Belum sempat membuka mata.Sreeet!Rasa dingin terasa melintang di wajahku.“Alex! Kamu balas dendam!” teriakku sambil menelengkan kepala ke arah cermin. Noda bedak dicampur air melintang di wajahku.Me
“Harus masuk kerja?”Aku menoleh ke belakang. Alex yang sudah berpakaian rapi, berdiri bersandar di pintu dengan tangan berlipat di dada. Kedua kakinya bersilang, dengan mata mengamatiku yang sedang melipat baju bekas aku pakai itu.“Haruslah. Mbak Leni masih belum masuk. Kalau aku tidak datang, bisa jadi pos di atas kosong.”“Gitu, ya?” sahutnya sambil mengangguk-angguk. Namun, dahinya berkerut seperti sedang memikirkan sesuatu.“Bajunya ini aku cuci dulu nanti aku kembalikan.”“Untuk apa. Pakai saja sebagai pengingat. Kalau kamu kangen, bisa peluk baju itu,” sahutnya sambil menaik-naikkan alis mata. “Itu sebelum kamu bisa memelukku semalaman.”“Ck! Pagi-pagi sudah gombal. Ayo berangkat sekarang. Kita kan mampir ke rumahku dulu.” Aku menyambar tas dan melewatinya. Seperti anak kecil, dia mempercepat jalan mengekoriku.Hari masih pagi. Jalanan masih dipenuhi anak-anak yang berangkat sekolah. Beberapa memenuhi angkutan umum, dan banyak juga yang diantar dengan kendaraan pribadi. Tering
“Jangan berhenti!”Tanganku memegang lengannya. Seakan tidak mendengarkan ucapanku, kecepatan mobil justru melamban.Masih ada dua mobil di depanku. Kalau melihat gelagatnya, Arman tidak mengetahui aku di mobil ini. Dia terlihat menghentikan semua mobil, kemudian seperti mengajukan pertanyaan.“Alex! Dengarkan aku!” teriakku lebih keras.“Kenapa, Raya? Kamu pikir aku tidak berani dengan laki-laki kecil itu?” ucap Alex dengan mendengkus. Jari-jarinya terlihat mencengkeram erat kemudi dan mata tajamnya tidak teralihkan ke arah depan.“Aku tidak suka keributan.”“Siapa yang akan ribut? Dia yang memancingku untuk melawannya. Laki-laki manapun tidak terima kalau kekasihnya dikejar sampai seperti ini. Ini urusan laki-laki, Raya. Kamu tidak perlu__”“Alex!” seruku kesal sambil menampik keras dirinya.Kemudian dia menghembuskan napas keras. Terlihat sekali kalau sebenarnya dia tidak mau mendengarkan aku.“Baiklah.”Dia menekan klakson mobil. Si Arman itu menoleh ke arah Alex. Benar dugaanku,
“Korban sudah dilarikan ke rumah sakit, sedangkan para pelaku sudah diamankan pihak berwajib.”Tubuhku terhuyun mendengar keterangan pegawai itu. Beruntung Jaka dengan sigap memapahku.“Kita ke rumah sakit sekarang!” seruku menolak untuk duduk.Pikiranku bergulir liar. Alex dilarikan ke rumah sakit yang menandakan dia terluka parah. Sedangkan kata para pelaku, aku asumsikan ini pengroyokan. Jantung ini seperti terlepas dari tempatnya membayangkan apa yang terjadi.“Selamat siang. Saya pegawainya Pak Alexander. Dengan Ibu Raya?”Kami menoleh bersamaan ke arah suara itu. Lelaki muda dan gagah berpenampilan rapi-setelan jas hitam berdasi- mengangguk hormat kepadaku.“Saya Tomo. Tuan Dominic memerintahkan untuk mengantar Ibu Raya ke rumah sakit.”Aku menatap Jaka dan Pak Wira meminta pertimbangan. Dalam keadaan seperti ini, aku harus tetap waspada. Apalagi seperti lelaki yang aku pun belum kenal. Siapapun bisa mengaku karyawan atau kenalan kekasihku, Alexander Dominic.“Aku akan ikut den
Nanar menatap dia yang di hadapanku. Kepala dibalut perban, wajah yang lebam dan bibir pecah, kaki terluka, dan bagian perut yang terlihat memar. Tidak hanya itu, lengannya juga mendapat jahitan.“Mereka sekitar berlima, Ray. Kalau satu lawan satu, aku pasti menang, Mereka curang, membawa senjata sedangkan aku tangan kosong," ucapnya tadi.Kemudian dia menunjukkan lengannya. “Ini saja dijahit sepuluh karena menahan sabetan benda tajam. Entah yang dibawa apa, tiba-tiba sudah perih dan berdarah.”Tadi dia bercerita dengan bersemangat seakan baru saja menjalani petualangan. Berbanding terbalik denganku yang menekan rasa miris, kesal, dan geregetan. Mungkin yang dilakukan karena ingin meredam kekawatiranku. “Mereka seperti orang profesional. Aku yang sedang menelpon kamu, langsung ditarik dan semua terjadi begitu cepat.”“Tidak ada yang menolong?”Kenapa di tempat umum seperti itu, tidak ada orang yang membantu? Sampai dia mengalami luka seperti ini. Masih ingat di media sosial, saat ad
Aku ingat perbincangan dengan Alex, suamiku beberapa waktu yang lalu. Saat itu aku di titik jenuh. Berbanding terbalik dengan Alex yang sibuknya luar biasa, aku hanya tidak dan tidak mengerjakan apapun. Aku seperti orang yang tidak berguna.Ok, saat ini Alex yang lelaki luar biasa ini masih di sampingku. Namun, bukankah banyak kemungkian dia akan berpaling, terlebih aku bukan siapa-siapa. Hanya wanita menua yang pura-pura lupa akan usia.“Kamu bahagia dengan pernikahan kita?” tanyaku sambil menyelusupkan kepala ke ketiaknya.Entah kenapa aku mempunyai kesenangan baru, mengendus bau keringat sepulang dia kerja. Awalnya Alex menolak karena merasa gerah, tapi dengan alasan aku kangen, akhirnya dia menyerah.Aku mendongak ketika jawaban tidak kunjung kudengar. Dia senyum dikulum, menundukkan kepala dan mencium kening ini.“Bahagia?…. Tidaklah.”“Ha?” Spontan aku menarik tubuh memberi jarak. Ketakutanku ternyata tidak perlu menunggu waktu lama. Sekarang malah dia mengakui.Kedua alis mataku
Pandangan kami di satu garis lurus. Sorot mata suamiku menunjukkan ketidak sukaan. Ini kali pertama aku merasakan takut kepadanya. Dia pun sudah menderap ke arah kami. Namun, tidak sopan kalau aku begitu saja tanpa pamitan pada Tuan Anderson. Mertuaku … kalau itu benar.“Maaf saya harus pamit. Alex sudah ada di sini.”Lelaki tua ini tersenyum. Sekali lagi menepuk lenganku. “Maaf, ya. Semoga suamimu tidak marah. Saya titip Alexander kepadamu.”Belum sempat menjawab, tangan ini sudah disentakkan oleh Alex. Tubuh ini sampai terhuyun dan tangan terlepas dari jabat tangan sebelumnya. Satu tangan lain menarikku untuk terdiam di balik punggungnya.“Jangan ganggu istriku!”“Dengarkan penjelasanku, Alex anakku. Aku memang berhutang waktu dua puluh enam tahun kepadamu. Namun, kita bisa__”“Stop! Saya jelaskan berulang kali, saya tidak ada urusan dengan anda.” Suara Alex terdengar keras. Bahkan menggema di ruangan ini. Aku mengedarkan pandangan, terlihat anaeh ruang baca ini lengang dari pengunj
“Huh! Kalau aku sudah aku remet-remet mulutnya itu! Kamu ini terlalu sabar jadi orang,” seru Mbak Leni seusai dia dari lantai satu.Entah dari mana dia tahu tentang pertemuanku dengan Lastri. Padahal tadi setelah peristiwa tadi, sengaja aku tidak memberitahu seniorku ini. Karena tahu benar sifatnya bagaimana terutama yang berkaitan dengan Lastri. Mbak Leni selalu menjadi garda terdepan membela diriku.“Santai saja, lah. Anggap saja radio rusak.”Aku tersenyum, kemudian kembali ke meja kerja berniat melanjutkan memasukkan data kembali.“Bener yang kau bilang, Yak. Yah dia kan orang gila. Buat apa ditanggapi, kita malah jadi gila nanti,” seloroh Mbak Leni sambil tertawa.Dalam hati, aku pun masih kesal sama si Lastri itu. Tidak capek-capeknya menerorku. Padahal salahku apa? Bertegur sapa atau menyoal tentang dia saja tidak pernah. Lebih baik aku menghindar demi kewarasan. Fokus dengan tujuanku kerja kembali ke perpustakaan. Aku hanya berinteraksi dengan Mbak Leni, Jaka, dan kalau di
“Raya …!”Senyumku merekah mendengar suara yang sudah aku rindukan. Langkah menderap memberiku semangat untuk membalikkan badan. Benar, teman kerja yang aku rindukan berlari menghampiri dengan kedua tangan merentang.Ini hari pertamaku memulai kerja kembali ke perpustakaan. Sedikit ngambek dan berujung kata setuju dari Alex suami tercinta. Aku boleh kerja kembali tapi dia menugaskan beberapa pengawal pribadi di luar gedung.“Kamu tidak usah kawatir. Mereka sudah aku perintahkan berpakaian dan bersikap seperti orang biasa.” Janji dia menanggapi aku yang jengah dengan perlakuan yang berlebihan ini.Jangan ditanya bagaimana cerewetnya Alex sebelum tadi berangkat. Tidak boleh ini, dilarang itu. Pokoknya mengalahkan wejangan Ibu saat aku dulu kost untuk pertama kali.“Mbak Leni …!”Seperti orang yang bertahun-tahun tidak bertemu kami saling menyambut. Tubuhnya yang kecil seakan tenggelam dalam pelukanku.“Mbak aku kangen.”“Aku juga sangat. Tidak ada kamu, aku kesepian,” jawabnya dengan bi
(pov Alex)“Lebih baik tidak daripada syaratnya seperti itu. Memang aku anak TK yang kemana-mana harus diikuti orang.”Raya mencebik dan binar mata pun melesap menunjukkan ketidaksetujuan. Namun bagaimana lagi, keselamatannya lebih penting daripada keinginannya itu. Musuhku ada dimana-mana. Sekarang tidak hanya mengincarku saja, tapi kemungkinan besar membidik titik yang menjadikan aku terpuruk.Dan itu Raya istriku.“Bukankah tadi bilang kalau apapun syaratnya kamu mau?”“Tapi bukan seperti itu.”Matanya mengerjap sekali lagi. Tatapannya yang memohon sempat membuatku tidak tega. Ini seperti aku dulu saat kecil. Kakek Sebastian bersikap keras dan tidak memperbolehkan aku bermain seperti anak pada umumnya. Berbagai alasan dikemukakan yang merujuk pada keselamatan.Aku mengerti yang dirasakan istriku, tapi semua ini harus dilakukan.“Memang harus ada pengawal yang jaga juga di dalam gedung perpustakaan?”“Iya, Ray.”Raya menghela napas panjang. “Ada teman-teman yang bisa menjagaku. Ada
Aku seperti anak ayam yang tinggal di lumbung padi. Tidak kurang suatu apa, apalagi kelaparan. Pengen apa aja tinggal nunjuk. Tidak perlu mengintip isi dompet kalau ingin beli sesuatu.Di rumah pun praktisnya tidak ada yang bisa aku kerjakan. Semua sudah ada yang bersiap dengan tugas masing-masing. Aku seperti orang yang tidak ada kegunaan. Hanya saat ada Alex saja aku melakukan tugas sebagai istri. Selebihnya tidak ngapa-ngapain.Menulis?Isi kepala ini seperti mampat. Tidak ada kejadian sekitar yang mematikku untuk berkarya. Pemandangan datar dan itu-itu saja. Pegawai dengan sikap bersiap menerima tugas, dan aku yang penuh dengan rasa bosan.“Belanjakan apa yang kamu ingin. Yang aku punya, juga punya kamu juga, Sayang. Memang siapa lagi?” ujar Alex, suamiku.Namun aku yang biasa memperhitungkan segalanya sebelum membelanjakan sesuatu, tidak bisa disuruh boros-boros seperti itu. Untuk apa mengeluarkan uang banyak, kalau dengan fungsi dan kualitas yang sama kita dapat harga tidak ting
“Ini aman? Tidak bahaya?”Aku menoleh ke belakang. Gerakan zig-zag mobil pengiring tidak mengurangi laju jeep hitam itu. Lampu justru disorot dan klakson disuarakan seakan menunjukkan kemarahan. Mata ini mengedarkan ke sekeliling dimana pengguna jalan lainnya menyingkir cepat. Beberapa orang terlihat mengumpat dengan kekesalan.Dahi ini semakin aku kerutkan melihat Tomo yang seperti biasa, dan Alex suamiku pun tidak terlihat panik. Dia justru merangkul dan mengacak lembut kepala ini.“Tenang saja. Serahkan kepada mereka. Kalau seperti ini, kesenengannya Tomo. Dia jago ngebut,” celetuk Alex sambil melempar senyum ke arah Tomo yang melirik ke arah kami melalui spion tengah.“Tancap, Bos,” seru Tomo sebelum mobil melaju lebih kencang meninggalkan dua mobil yang masih berjibaku di belakang.“Kencang sekali?”“Kalau tidak ditambah kecepatan, ya terkejar sama orang itu, Sayang,” bisik Alex menarik diriku lebih dekat.Mataku terpejam sambil menyelusupkan kepala ke dadanya. Walaupun mobil ini
“Masih berasa tidak enak?”Aku mengangguk. Setelah mandi, seperti anak kecil lelaki yang sudah menjadi suamiku ini membantu berpakaian. Nyeri yang masih mendera menjadikan aku kesulitan melakukan hal yang sederhana. Memang aku sering mendengar teman-teman yang menikah dulu, katanya untuk pertama kali memang terasa sakit. Namun aku tidak mengira sebegitu membuatku meringis setelahnya.“Maaf, ya. Aku terlalu bersemangat,” ucapnya sambil mengarahkan pengering rambut di kepalaku. Dari bayangan cermin terlihat dia yang senyum-senyum dengan bola mata berputar. Huft, istrinya merasa sakit dia malah terlihat bangga.Awalnya kami memang seperti dua orang bodoh. Kikuk dan menyerahkan sepernuhnya kepada naluri primitif yang menguasai. Namun seiring malam semakin larut, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda ini menunjukkan kekuasaan dan membuatku menyerah.“Sudah kering,” ucapnya sambil meletakkan pengering rambut. Berganti dengan sisir dan mulai mengikat rambutku.“Nanti malam aku akan rem-rem.”
Huuft!Tanganku menepuk jidat. Aku seperti perawan tua yang tidak tahan mendapat sentuhan. Bikin malu saja. Jangan-jangan Alex menuduhku menjebak dia. Pura-pura tidak bisa membuka korset supaya seolah-olah dia melucuti pakaianku. Memang itu akhirnya terjadi, sih, tapi bukan saat aku belum membersihkan diri seperti ini. Aku mengangkat tangan dan mengendus kedua ketiak. Jauh dari kata harum apalagi menggairahkan. Harusnya di pengalaman pertama aku bersiap diri. Apalagi luluran, mandipun beberapa hari ke belakang tidak aku lakukan. ‘Namun …. kenapa dia terlihat tidak sabaran juga?’ bisikku dalam hati sambil menelan senyuman. Masih lekat di ingatan, kejadian tak terduga tadi. Kami nyaris saja kebablasan. Seandainya ketukan pintu tidak terdengar, aku pasti menyesal. Melakukan yang pertama tidak dalam keadaan yang terbaik. Pasti malunya seumur hidup.“Aku harus memberi pengalaman yang terindah di kali pertama ini,” gumamku sembali menuang sabun cair banyak-banyak. Untung saja aku mempu