Seperti lagu yang sering diputar ibu, penyanyi Vina Panduwinata itu mewakili apa yang aku rasakan. Hatiku berlomba menyanyikan lagu cinta. Dengan alasan yang masuk akal, aku menyelinap ke jajaran rak-rak buku.“Tidak lama kan, Yak?”“Tidak, Mbak. Cuma memastikan hitungan buku yang selisih,” ucapku tadi sambil beranjak.Aku mengambil buku Bioteknologi Pertanian. Buku tebal ini aku jadikan cover lembar kertas yang aku keluarkan dari amplop biru.Sesaat aku menghela napas, meredam jantung yang tak mau kalah dengan hati. Senyumku mengembang melihat tulisan yang terlalu indah untuk ukuran laki-laki. Tinta hitam ini seperti menari membentuk tulisan latin yang indah.Kata demi kata merajut dan perlahan melemparkan aku ke dunia lain. Tidak ada tumpukan buku atau rak-rak yang menjuang. Sepanjang mata memandang hanya ada taman bunga dengan kupu-kupu berterbangan. Bibirku tersenyum membaca keromantisan ala Alexander Dominic.~~Nayaka Raya, Saat mata ini membaca namamu, seketika itu juga otakk
Tidak peduli dengan tatapan heran Mbak Leni dan teman-teman lainnya, tangan ini dipaksa mengikutinya. Tidak mungkin aku berbuat drama dengan menolaknya. Terpaksa aku pasrah saat pintu mobil dibuka dan aku di dorong masuk. Sepintas, aku mendengar bisik-bisik mereka.“Saya duluan,” serunya sambil melambaikan tangan dan senyuman seperti biasa.Mobil hitam ini berjalan pelan, melewati jalan yang dipadati dengan karyawan yang bersamaan pulang. Namun, setelah masuk ke jalan raya, aku merasa kecepatan semakin bertambah.Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Jarum penunjuk kecepatan bergeser dari angka seratus. Ingin berbicara. Akan tetapi melihat wajahnya mengeras. Aku pasrah sampai mobil berhenti dengan sendirinya.“Apa maksudnya ini?”Dia menunjukkan ponsel dengan menghujam tatapan tajam.Mataku mengerjap. Melihat wajahnya yang begitu serius, diri ini mengerut dengan sendirinya. Bukannya takut, tetapi rasa bersalah mendominasi.“A-aku bingung.”Dia memejamkan mata sambil menghela napas.“A
Aku merasa kehilangan raga dan tidak menapak di bumi. Mata ini tetap tertuju pada bukti kisah cinta pertama. Mungkin bagi orang lain ini terlihat romantis, tapi bagiku ini patut disembunyikan."Kenapa, Ray?".Kedua tangan besarnya menangkup bahuku dan menghadapkan badan ini ke arahnya. Manik hazel menilik tajam memaksa diriku untuk menatapnya seorang."Aku mau pulang sekarang," ucapku kemudian mengurai kedua tangannya, dan bergegas berdiri.“Raya! Kita perlu bicara.”“Bicara apa? Aku sudah tahu kalau aku terlalu tua untuk kamu!”Tak kuindahkan panggilan Alex. Langkah cepatnya tergesa untuk mensejajariku yang setengah berlari. Tujuanku hanya satu, segera berkemas dan pulang. "Raya!" teriaknya sembari mencekal tanganku.Mungkin dia kebingungan melihat reaksiku ini. Yang seharusnya tersenyum senang karena ungkapan cinta pertama yang tersematkan kepadaku, adalah nyata. Namun, kasusku ini lain. Dia jatuh cinta kepadaku disaat dia masih bocah, dan kenyataan yang tidak bisa diubah ini sema
“Kalian tahu salahnya, apa?”Ibu duduk tegak setelah membenarkan ikatan rambut. Tidak ada terbersit senyuman menyambut calon menantu seperti biasanya. Aku mengangkat kepala sedikit dan kembali menunduk setelah mendapati ibu yang tidak main-main. Sorot matanya serius dengan kedua alis mata berbaut, dan sekarang tangannya berlipat di depan dada. Sama persis kalau dulu dia marah kepadaku."Kalian ini sudah bukan anak kecil. Yang tidak tahu waktu kapan pulang. Seharusnya tanpa diberi tahu sudah mengerti," tambahnya lagi semakin membuat keder.Aku dan Alex yang duduk di depannya, diam, dan menekuri lantai. Jempol kaki aku gerak-gerakkan sambil mendengar omelan yang menyambar. Kebiasaanku kalau kena marah, mengalihkan perhatian, bahkan saat kecil dulu aku mampu menulikan pendengaran tanpa menutup telinga.“Kalian itu laki-laki dan wanita yang sudah dewasa. Memang kalian sudah berkomitmen, tetapi kalau belum ada ikatan yang sah, dilarang berduaan apalagi sampai petang seperti ini. Kalian tah
“Jadi aku sudah bisa di-launching?”“Hemm?” Aku menoleh ke arahnya.“Hari ini bisa diluncurkan? Aku kan kekasih baru Nayaka Raya,” ucapnya memperjelas yang dimaksud.Aku yang sedang berkutat dengan ungkapan ibu semalam, hanya mengangguk mengiyakan.‘Apa ibu tidak menyadari kalau jarak usia kami jauh, ya?’ pikirku dalam hati. Aku menoleh ke arahnya dan memperhatikan sosoknya yang tinggi besar.Memang kalau sekilas, tidak ada perbedaan yang mencolok di antara kami, yang merujuk pada usia. Alex yang selalu berpakaian rapi dan ketika bertemu orang, pembawaannya serius, seperti menutupi usia yang sebenarnya. Terlebih orang sekitar memanggilnya dengan sebutan Pak Alex.“Jangan memandangku terus. Nanti jadi benci. Benar-benar mencintai,” celetuknya dengan tetap konsentrasi mengemudi. “Tapi tidak apalah, itu yang aku harapkan.”“Kamu ini pagi-pagi sudah gombal.”“Ada apa? Ada yang kamu pikirkan?”Kali ini dia menoleh kepadaku setelah mobil berhenti karena lampu merah. Dia menatapku penuh per
“Bukankah hari ini hari jadi kita? Dimulai titik nol, untuk angka-angka berikutnya yang tidak terhingga,” ucapnya saat video call.Aku protes dengan perlakuannya. Entah berapa uang yang dititipkan ke Pak Wira, sampai seniorku itu dengan senang hati membantu proses syukuran itu.“Tapi bukan begitu caranya. Kamu tahu tidak, semua orang memandangku dengan tatapan aneh.”“Itu hanya perasaanmu saja. Yang penting, mereka akan menjagamu untuk aku.”“Maksudnya?”“Iya, lah. Semua orang tahu kalau Nayaka Raya kekasih Alexander Dominic. Tidak akan ada laki-laki yang macam-macam mendekatimu.”Aku merasa sungguh kesal. Selalu aku kehabisan kata-kata saat berpeda pendapan dengannya.Niatku menyembunyikan hubungan ini untuk menghindari keriuhan, dia justru mengumumkan dengan pengeras suara. Desas-desus yang mengatakan aku mempunyai kekasih, sekarang semakin menyeruak.Seperti mendapat panggung, semua orang berasumsi dengan hubungan kami.“Sudah, tidak usah didengar.Anggap saja itu supporter yang men
“Nak Alex mana?” tanya Ibu yang baru keluar dari kamar mandi.Bukan anaknya yang ditanya, sekarang malah si brondong itu. Ada rasa cemburu yang mencuat, selama ini sebagai anak tunggal perhatian ibu hanya kepadaku seorang.“Dia langsung kembali. Katanya masih ada kerjaan. Ini ada untuk ibu.” Aku menyodorkan tas berisi menu yang sama, ikan bakar madu.“Ini dari Nak Alex?”Aku mengangguk. Sepertinya ibu tidak tahu anggukanku, dia justru sibuk membuka bungkusan yang menguar baru sedap yang disertai beberapa jenis sambal di wadah kecil. Ibu menutup dengan tudung saji, katanya nanti aja akan dimakan.“Nak Alex itu baik, ya. Sudah sopan, perhatian sama orang tua lagi.”“Ibu tidak tanya tentang aku?” ucapku setelah mengambil minum dan duduk di sebelahnya. Kami berdua duduk menghadap meja makan.Ibu tersenyum, mendekat, kemudian mengambil tangan ini. Sambil menepuk punggung tanganku, dia berucap.“Dari awal pintu terbuka, mata ibu awas memastikan anak ibu ini baik-baik saja. Wajah terlihat
Jawabanku sudah mantap. Tidak peduli siapa Alex, yang penting diri ini ingin bersamanya. Ibu pun tidak mengungkit kecurigaannya pada usia kekasihku itu. Padahal, Alex mengatakan kalau dia tidak ada kesempatan menemui ibu. Wanita yang melahirkanku itu sibuk memilih perawatan untuk diriku yang terlihat tidak bening saat bersamanya. “Pokoknya, Nduk, ingat kata-kata ibu. Wanita itu, penampilan sangat dipentingkan. La wong cinta itu dari mata turun ke hati.” Jawaban iya, merupakan jalan aman dan tidak mengundang rentetan kalimat lainnya. Minimal tambahkan kalimatnya tidak mengular seperti kereta api. “Tapi tetep jangan berlebihan merubah penampilan. Sewajarnya. Wanita itu yang utama, kulit, dan kebersihan. Jangan sampai bau apalagi bolotan. Di sampingmu itu Nak Alex. Jangan sampai kamu dipikir asistennya, bukan kekasihnya.” “Ibu ini, lo. Sama anak kok tega banget.” Kesal juga dikatakan seperti itu. Mulutku mengerucut dengan dahi berkerut. “Ya harus. Ini demi kebaikanmu. Supaya kamu m